Surah Ad-Dhuha: Cahaya di Ujung Kegelapan
Surah Ad-Dhuha (الضحى) adalah surah ke-93 dalam Al-Qur'an, yang terdiri dari 11 ayat. Tergolong dalam surah Makkiyah, ia diturunkan di Mekah pada periode awal kenabian. Nama "Ad-Dhuha" sendiri berarti "Waktu Dhuha" atau "Waktu Matahari Sepenggalahan Naik", sebuah nama yang sarat dengan simbolisme harapan, optimisme, dan awal yang baru. Surah ini dikenal sebagai penawar kesedihan, pelipur lara, dan peneguh hati, terutama bagi mereka yang merasa ditinggalkan atau berada dalam titik terendah dalam hidup.
Kandungan utamanya adalah sebuah pesan ilahi yang penuh kasih sayang dan jaminan bahwa Allah SWT tidak pernah meninggalkan hamba-Nya. Ia datang sebagai jawaban atas kegelisahan hati Nabi Muhammad SAW ketika wahyu sempat terhenti untuk beberapa waktu. Melalui surah ini, Allah tidak hanya menghibur Rasulullah, tetapi juga memberikan pedoman abadi bagi seluruh umat manusia tentang cara menghadapi kesulitan, mensyukuri nikmat, dan memelihara kepedulian sosial.
Asbabun Nuzul: Kisah di Balik Turunnya Surah
Memahami konteks turunnya sebuah surah (Asbabun Nuzul) akan membuka pintu pemahaman yang lebih dalam terhadap pesan yang terkandung di dalamnya. Surah Ad-Dhuha turun pada saat yang sangat krusial dalam kehidupan Rasulullah SAW. Terdapat sebuah periode di mana wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril terhenti untuk sementara waktu. Para ulama berbeda pendapat mengenai lamanya periode ini, ada yang mengatakan beberapa hari, beberapa minggu, hingga ada riwayat yang menyebutkan lebih lama.
Jeda ini membuat hati Nabi Muhammad SAW diliputi kesedihan dan kegelisahan yang mendalam. Beliau merasa cemas, bertanya-tanya apakah beliau telah melakukan kesalahan yang membuat Tuhannya murka atau meninggalkannya. Situasi ini diperparah oleh cemoohan dari kaum kafir Quraisy di Mekah. Mereka mengejek dan menyebarkan desas-desus. Salah seorang dari mereka, yang disebut-sebut sebagai istri Abu Lahab, berkata, "Wahai Muhammad, sepertinya setanmu (maksudnya Jibril) telah meninggalkanmu."
Ejekan dan fitnah ini tentu menambah beban di hati Rasulullah. Beliau, yang telah merasakan manisnya berkomunikasi dengan Sang Pencipta, kini merasakan kekosongan yang luar biasa. Di tengah puncak kesedihan dan kerinduan inilah, Allah SWT menurunkan Surah Ad-Dhuha sebagai penyejuk jiwa. Surah ini datang bukan dengan teguran, melainkan dengan sumpah yang agung dan kalimat-kalimat yang penuh kelembutan, untuk membantah semua tuduhan kaum kafir dan meneguhkan kembali hati Rasulullah SAW. Ia adalah bukti cinta Allah yang tak terbatas, sebuah deklarasi bahwa Dia tidak pernah dan tidak akan pernah meninggalkan hamba yang dikasihi-Nya.
Bacaan Surah Ad Dhuha Latin, Arab, dan Terjemahannya
Berikut adalah bacaan lengkap Surah Ad-Dhuha beserta transliterasi latin dan terjemahan bahasa Indonesia untuk mempermudah pemahaman dan penghafalan.
وَالضُّحٰىۙ
Wad duhaa.
Demi waktu dhuha (ketika matahari naik sepenggalah).
وَالَّيْلِ اِذَا سَجٰىۙ
Wal laili idzaa sajaa.
dan demi malam apabila telah sunyi.
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلٰىۗ
Maa wadda'aka rabbuka wa maa qalaa.
Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu.
وَلَلْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْاُوْلٰىۗ
Wa lal-aakhiratu khairul laka minal-uulaa.
Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang permulaan.
وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضٰىۗ
Wa lasawfa yu'tiika rabbuka fa tardaa.
Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.
اَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَاٰوٰىۖ
Alam yajidka yatiiman fa aawaa.
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ
Wa wajadaka daallan fa hadaa.
dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk?
وَوَجَدَكَ عَاۤىِٕلًا فَاَغْنٰىۗ
Wa wajadaka 'aa-ilan fa aghnaa.
dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?
فَاَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْۗ
Fa ammal yatiima fa laa taqhar.
Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.
وَاَمَّا السَّاۤىِٕلَ فَلَا تَنْهَرْۗ
Wa ammas saa-ila fa laa tanhar.
Dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah engkau menghardik(nya).
وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ࣖ
Wa ammaa bini'mati rabbika fa haddits.
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).
Tafsir dan Makna Mendalam Setiap Ayat Surah Ad-Dhuha
Setiap ayat dalam surah ini ibarat tetesan embun yang menyejukkan jiwa yang kering. Mari kita selami makna yang terkandung di dalamnya ayat per ayat untuk memahami pesan cinta dari Sang Pencipta.
Ayat 1-2: Sumpah Demi Waktu
وَالضُّحٰىۙ وَالَّيْلِ اِذَا سَجٰىۙ
Allah memulai surah ini dengan dua sumpah agung: demi waktu dhuha dan demi malam. Ini bukan sekadar sumpah biasa. Dalam Al-Qur'an, ketika Allah bersumpah dengan ciptaan-Nya, itu adalah untuk menarik perhatian kita pada kebesaran dan pentingnya objek sumpah tersebut, serta untuk menguatkan pesan yang akan disampaikan setelahnya.
Wad-duhaa (Demi waktu dhuha): Waktu dhuha adalah saat matahari mulai naik, sinarnya terang benderang namun tidak menyengat. Ini adalah simbol dari harapan, optimisme, kejelasan, dan awal dari aktivitas. Seperti halnya cahaya dhuha yang mengusir kegelapan malam, wahyu yang turun ini datang untuk mengusir kegelapan di hati Nabi Muhammad SAW. Ini adalah metafora yang kuat untuk pencerahan, kebahagiaan, dan kembalinya "siang" setelah "malam" penantian.
Wal-laili idzaa sajaa (dan demi malam apabila telah sunyi): Malam yang sunyi dan tenang adalah simbol dari ketenangan, istirahat, dan perenungan. Kata "sajaa" menggambarkan malam yang pekat dan hening. Dalam konteks ini, malam bisa diartikan sebagai periode terhentinya wahyu. Meskipun terasa gelap dan sepi, malam juga memiliki fungsi penting. Ia adalah waktu untuk beristirahat, memulihkan energi, dan mempersiapkan diri untuk fajar yang akan datang. Allah seakan ingin mengatakan bahwa periode jeda wahyu itu, seperti malam, memiliki hikmah dan tujuan, yaitu untuk mempersiapkan Rasulullah menerima wahyu-wahyu besar berikutnya.
Dengan bersumpah atas dua waktu yang kontras ini (siang dan malam, terang dan gelap, aktif dan tenang), Allah menunjukkan bahwa Dialah Penguasa segala waktu dan keadaan. Kehidupan manusia pun berputar di antara dua kutub ini: ada kalanya terang dan penuh harapan (dhuha), ada kalanya terasa sunyi dan penuh ketidakpastian (malam). Keduanya adalah bagian dari ketetapan-Nya yang penuh hikmah.
Ayat 3: Jawaban yang Menenangkan Jiwa
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلٰىۗ
Inilah inti dari seluruh surah, jawaban langsung atas kegelisahan Nabi dan bantahan telak terhadap cemoohan kaum kafir. Ayat ini adalah deklarasi cinta dan jaminan yang paling kuat.
Maa wadda'aka rabbuka (Tuhanmu tidak meninggalkan engkau): Kata "wadda'aka" berasal dari kata yang sama dengan "wada'" yang berarti perpisahan. Allah dengan tegas menyatakan, "Aku tidak mengucapkan selamat tinggal kepadamu." Ini adalah penegasan bahwa hubungan antara Allah dan hamba-Nya tidak terputus. Jeda wahyu bukanlah sebuah tanda perpisahan atau pengabaian. Ini adalah penegasan yang sangat personal dan penuh kelembutan.
Wa maa qalaa (dan tidak pula membencimu): Kata "qalaa" berarti benci atau murka. Allah tidak hanya menegaskan bahwa Dia tidak meninggalkan Nabi, tetapi Dia juga tidak membencinya. Ini menepis segala kekhawatiran di hati Rasulullah bahwa mungkin beliau telah melakukan kesalahan yang membuat Allah murka. Ayat ini seperti pelukan hangat dari langit, menghapus semua keraguan dan ketakutan, serta menggantinya dengan kepastian akan cinta dan keridhaan Allah.
Ayat 4-5: Janji Masa Depan yang Gemilang
وَلَلْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْاُوْلٰىۗ وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضٰىۗ
Setelah memberikan jaminan di masa sekarang, Allah mengalihkan pandangan Nabi ke masa depan yang cerah, baik di dunia maupun di akhirat.
Wa lal-aakhiratu khairul laka minal-uulaa (Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang permulaan): Ayat ini memiliki dua lapisan makna. Pertama, secara umum, kehidupan akhirat dengan segala kenikmatannya jauh lebih baik daripada kehidupan dunia yang fana. Ini adalah pengingat agar tidak terlalu bersedih atas kesulitan duniawi. Kedua, dalam konteks kehidupan Nabi, ayat ini berarti bahwa setiap fase kehidupannya akan selalu lebih baik dari sebelumnya. Masa kenabiannya akan lebih mulia dari masa sebelumnya, periode Madinah akan lebih jaya dari periode Mekah, dan kemenangan Islam akan terus berkembang. Ini adalah janji kemajuan dan peningkatan yang terus-menerus.
Wa lasawfa yu'tiika rabbuka fa tardaa (Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas): Ini adalah janji yang luar biasa. Allah tidak hanya berjanji akan memberi, tetapi Dia berjanji akan memberi sampai Rasulullah merasa "puas" atau "ridha". Kepuasan ini mencakup segala hal: kemenangan dalam dakwah, tersebarnya Islam, pengampunan bagi umatnya (syafaat), dan kedudukan yang mulia di surga (maqam mahmud). Kata "lasawfa" menunjukkan sesuatu yang pasti terjadi di masa depan. Ini adalah janji yang memberikan kekuatan dan motivasi untuk terus berjuang, karena hasil akhirnya adalah kepuasan yang sempurna dari Allah SWT.
Ayat 6-8: Mengingat Kembali Nikmat di Masa Lalu
اَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَاٰوٰىۖ وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ وَوَجَدَكَ عَاۤىِٕلًا فَاَغْنٰىۗ
Untuk menguatkan janji masa depan, Allah mengajak Nabi Muhammad SAW untuk merenungkan kembali perjalanan hidupnya di masa lalu. Allah mengingatkan tiga kondisi sulit yang pernah dialami Nabi dan bagaimana Allah senantiasa hadir memberikan pertolongan. Ini adalah metode penguatan psikologis yang sangat efektif: jika Allah telah menolongmu di masa lalu, mengapa engkau ragu Dia akan menolongmu di masa depan?
Alam yajidka yatiiman fa aawaa (Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?): Nabi Muhammad SAW lahir dalam keadaan yatim, ayahnya wafat sebelum beliau lahir. Ibunya kemudian wafat saat beliau masih kecil, disusul oleh kakeknya. Namun, Allah tidak pernah membiarkannya sendirian. Allah menggerakkan hati kakeknya, Abdul Muthalib, dan kemudian pamannya, Abu Thalib, untuk merawat dan melindunginya dengan penuh kasih sayang. Perlindungan ("aawaa") ini adalah nikmat pertama yang harus diingat. Ini adalah pesan bagi setiap anak yatim dan setiap orang yang merasa sendirian, bahwa Allah adalah pelindung sejati.
Wa wajadaka daallan fa hadaa (dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk?): Kata "daallan" di sini sering disalahartikan. Ini bukan berarti Nabi tersesat dalam kesyirikan. Makna yang paling tepat adalah "bingung" atau "tidak mengetahui" tentang syariat, Al-Qur'an, dan detail kenabian. Sebelum diangkat menjadi rasul, Nabi adalah seorang pencari kebenaran (hanif) yang tidak puas dengan praktik paganisme kaumnya. Beliau merenung di Gua Hira, mencari jawaban. Lalu, Allah menurunkan wahyu ("hadaa") sebagai petunjuk yang sempurna. Ini adalah nikmat hidayah, nikmat terbesar yang bisa diterima manusia.
Wa wajadaka 'aa-ilan fa aghnaa (dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?): Nabi Muhammad SAW tidak berasal dari keluarga yang kaya raya. Beliau hidup sederhana. Kemudian Allah memberikan "kecukupan" ("aghnaa"). Kecukupan ini bisa bersifat materiil, seperti melalui pernikahan beliau dengan Khadijah, seorang saudagar wanita yang mulia dan kaya raya, yang kemudian mendedikasikan hartanya untuk dakwah. Namun, makna "aghnaa" yang lebih dalam adalah kekayaan jiwa: sifat qana'ah (merasa cukup), hati yang lapang, dan ketenangan batin. Ini adalah pengingat bahwa kekayaan sejati bukanlah pada banyaknya harta, melainkan pada kekayaan hati.
Ayat 9-11: Konsekuensi dari Rasa Syukur
فَاَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْۗ وَاَمَّا السَّاۤىِٕلَ فَلَا تَنْهَرْۗ وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ࣖ
Setelah mengingatkan tiga nikmat besar di masa lalu, Allah kemudian memberikan tiga perintah sebagai wujud nyata dari rasa syukur. Ini adalah bagian "maka oleh sebab itu..." dari surah ini. Karena engkau telah dilindungi saat yatim, maka janganlah menindas anak yatim. Karena engkau telah diberi petunjuk saat bingung, maka janganlah menolak orang yang bertanya. Karena engkau telah diberi kecukupan saat kekurangan, maka ceritakanlah nikmat Tuhanmu.
Fa ammal yatiima fa laa taqhar (Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang): Perintah ini adalah cerminan langsung dari nikmat pada ayat 6. Karena engkau, wahai Muhammad, telah merasakan betapa sulitnya menjadi yatim dan telah merasakan indahnya perlindungan Allah, maka muliakanlah anak yatim. Jangan menghardiknya, jangan merampas haknya, jangan membuatnya bersedih. "Taqhar" berarti menindas, menekan, atau berlaku sewenang-wenang. Perintah ini menjadi fondasi penting dalam etika sosial Islam, yaitu kewajiban untuk menyantuni dan melindungi mereka yang lemah, terutama anak yatim.
Wa ammas saa-ila fa laa tanhar (Dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah engkau menghardik(nya)): Perintah ini adalah cerminan dari nikmat pada ayat 7. Kata "as-saa-il" memiliki makna luas: bisa berarti orang yang meminta bantuan materi (pengemis), bisa juga berarti orang yang meminta ilmu atau petunjuk. Karena engkau pernah berada dalam posisi "bertanya" dan "mencari" petunjuk lalu Allah memberikannya, maka janganlah pernah engkau menolak atau menghardik ("tanhar") orang yang datang kepadamu untuk bertanya. Berikanlah jawaban dengan lemah lembut, berikanlah bantuan semampunya, atau jika tidak mampu, tolaklah dengan cara yang baik, bukan dengan hardikan yang menyakiti hati.
Wa ammaa bini'mati rabbika fa haddits (Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan): Ini adalah puncak dari ekspresi syukur, cerminan dari nikmat pada ayat 8. Setelah merasakan kecukupan dari Allah, perintahnya adalah "fa haddits", yang berarti bicarakan, ceritakan, atau tampakkanlah. Mensyukuri nikmat ("tahadduts bin ni'mah") memiliki beberapa bentuk:
- Mengakui dengan hati: Menyadari sepenuhnya bahwa segala nikmat berasal dari Allah.
- Menyebut dengan lisan: Mengucapkan "Alhamdulillah" dan menceritakan kebaikan Allah (bukan untuk pamer, tetapi untuk menginspirasi dan mengakui kebesaran-Nya).
- Menampakkan dalam perbuatan: Menggunakan nikmat tersebut di jalan yang diridhai Allah. Nikmat ilmu digunakan untuk mengajar, nikmat harta digunakan untuk bersedekah, dan nikmat sehat digunakan untuk beribadah dan berbuat baik.
Pelajaran dan Hikmah dari Surah Ad-Dhuha
Surah Ad-Dhuha bukan hanya kisah untuk Nabi Muhammad SAW, melainkan peta jalan spiritual bagi setiap insan yang mengarungi kehidupan. Beberapa pelajaran utama yang bisa kita petik antara lain:
- Harapan Setelah Kesulitan: Seperti datangnya siang setelah malam, setiap kesulitan pasti akan berakhir. Surah ini mengajarkan optimisme dan keyakinan bahwa pertolongan Allah pasti akan datang pada waktu yang tepat.
- Jaminan Kasih Sayang Allah: Di saat kita merasa sendiri, putus asa, atau merasa ditinggalkan Tuhan, surah ini adalah pengingat abadi: "Tuhanmu tidak meninggalkan engkau dan tidak pula membencimu." Keyakinan ini adalah sumber kekuatan terbesar bagi seorang mukmin.
- Melihat ke Belakang untuk Melangkah ke Depan: Cara terbaik untuk membangun keyakinan akan masa depan adalah dengan merenungkan pertolongan Allah di masa lalu. Ingatlah saat-saat sulit yang berhasil kita lewati, itu semua karena campur tangan-Nya.
- Syukur yang Transformatif: Rasa syukur sejati bukan hanya ucapan di lisan. Ia harus diwujudkan dalam bentuk kepedulian sosial (memuliakan anak yatim), kerendahan hati (tidak menghardik peminta), dan berbagi kebaikan (menceritakan nikmat Allah).
- Empati yang Lahir dari Pengalaman: Surah ini mengajarkan kita untuk mengubah luka masa lalu menjadi sumber kekuatan untuk menolong orang lain. Karena pernah merasakan menjadi yatim, maka lindungilah anak yatim. Karena pernah merasakan kebingungan, maka bimbinglah orang yang bertanya.
Pada akhirnya, Surah Ad-Dhuha adalah surat cinta dari Allah. Ia adalah bisikan lembut di telinga hamba-Nya yang sedang berjuang, sebuah janji bahwa fajar pasti akan menyingsing, dan sebuah pengingat bahwa setelah setiap malam yang sunyi, akan selalu ada pagi yang cerah dan penuh harapan.