Dalam susunan agung Al-Qur’an, Surah Al A'raf (Benteng-benteng Tinggi) menempati posisi sentral dalam menguraikan dialektika antara kebenaran dan kesesatan. Surat ini mempersembahkan kisah-kisah para nabi, petunjuk moral, dan peringatan keras bagi umat manusia. Di antara ayat-ayatnya yang sarat makna, Ayat 56 berdiri tegak sebagai pilar utama yang menyatukan dua perintah fundamental dalam eksistensi manusia: menjaga tatanan sosial dan alam semesta, serta memelihara hubungan spiritual yang tulus dengan Sang Pencipta.
Ayat 56 dari Surah Al A'raf bukan sekadar larangan atau perintah biasa; ia adalah cetak biru (blueprint) bagi peradaban yang berlandaskan keadilan dan ketenteraman. Ayat ini adalah seruan universal yang melintasi batas geografis dan zaman, mengajarkan umat manusia tentang tanggung jawab mereka sebagai khalifah di bumi yang telah diperbaiki dan ditata dengan sempurna oleh kebijaksanaan ilahi.
Paruh pertama ayat ini memuat larangan tegas dan mutlak: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya." Pemahaman mendalam terhadap frasa ini menuntut kita untuk memahami tiga elemen kunci: definisi Fasad, makna Islah, dan implikasi dari tindakan merusak itu sendiri.
Secara bahasa, Fasad adalah antonim dari Islah (perbaikan). Fasad berarti penyimpangan dari keadaan yang seimbang, rusaknya tatanan, atau berlalunya sesuatu dari manfaat kepada mudarat. Dalam konteks Al-Qur’an, fasad memiliki spektrum makna yang sangat luas, mencakup bukan hanya kerusakan fisik, tetapi juga kerusakan moral, spiritual, dan sosial.
Kerusakan yang paling mendasar adalah kerusakan akidah, yaitu menempatkan entitas lain setara dengan Allah (syirik) atau menolak kebenaran mutlak (kekufuran). Syirik adalah fasad spiritual karena ia merusak tujuan eksistensi manusia, mengganggu fitrah yang condong kepada tauhid. Ketika jiwa rusak oleh syirik atau kesombongan, maka seluruh tindakannya di bumi cenderung menghasilkan kerusakan, sebab ia kehilangan kompas moral dari Sang Pencipta.
Contoh fasad spiritual meliputi menyebarkan ajaran yang menyesatkan, melakukan kebid'ahan yang mengubah esensi ibadah, atau menolak hukum-hukum Allah secara terang-terangan. Inilah akar dari segala fasad lain, karena ketika orientasi hati telah rusak, tangan dan lisan akan mengikuti.
Fasad sosial terjadi ketika keadilan (al-adl) dihilangkan dan digantikan oleh kezaliman (az-zulm). Ini mencakup segala bentuk pelanggaran hak-hak individu, penindasan kaum lemah, penyebaran kebohongan, fitnah, dan pengkhianatan amanah. Allah SWT telah menetapkan tatanan sosial yang berlandaskan keadilan, kejujuran, dan persatuan. Tindakan korupsi, penipuan dalam perdagangan, dan penyebaran kekacauan (hirabah) adalah manifestasi nyata dari fasad sosial.
Fasad hukum merujuk pada penyelewengan sistem peradilan, di mana hukum dijadikan alat untuk keuntungan pribadi atau kelompok, bukan untuk menegakkan kebenaran. Dalam tatanan masyarakat yang rusak, orang yang berbuat baik dianggap aneh, sementara pelaku kejahatan merajalela tanpa sanksi. Ayat 56 mengingatkan bahwa tatanan ideal ini—yang telah diperbaiki oleh risalah para nabi—tidak boleh dirusak kembali oleh hawa nafsu dan keserakahan manusia.
Ini adalah makna fasad yang paling sering dibahas dalam konteks modern. Ayat ini secara eksplisit mencakup kerusakan ekologis. Allah menciptakan bumi dalam keadaan seimbang (mizan). Eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, polusi, pencemaran air dan udara, penebangan hutan tanpa batas, dan perburuan yang merusak ekosistem, semuanya tergolong dalam fasad. Manusia diberi izin untuk memanfaatkan bumi, tetapi bukan untuk menghancurkannya.
Keseimbangan alam adalah cerminan dari kesempurnaan ciptaan. Ketika manusia merusak salah satu rantai ekosistem, dampak kerusakannya tidak hanya dirasakan oleh alam itu sendiri, tetapi juga oleh kehidupan manusia. Dengan kata lain, fasad lingkungan adalah tindakan bunuh diri kolektif secara perlahan, karena bumi yang dirusak adalah satu-satunya tempat tinggal yang dianugerahkan kepada manusia.
Frasa "ba'da islahiha" (setelah diperbaiki) memberikan kedalaman interpretasi. Para mufasir membagi makna perbaikan ini menjadi beberapa tingkatan:
Allah menciptakan bumi dalam keadaan sempurna, siap huni, dengan semua sumber daya dan hukum alam yang stabil (gravitasi, siklus air, kesuburan tanah). Bumi tidak diciptakan dalam keadaan kacau balau, melainkan telah diperbaiki dan ditata agar dapat menopang kehidupan. Merusak tatanan fisik ini adalah pengingkaran terhadap karunia penciptaan.
Interpretasi yang paling umum adalah bahwa "perbaikan" ini merujuk pada pengiriman para nabi dan rasul. Sebelum risalah para nabi, masyarakat berada dalam keadaan jahiliyah (kebodohan), di mana fasad (kezaliman, penyembahan berhala, kekejaman) merajalela. Allah mengutus para nabi untuk memperbaiki kerusakan moral dan sosial ini, meletakkan dasar-dasar syariat yang adil. Setelah tatanan ilahi ini ditegakkan, merusak tatanan tersebut sama dengan menolak seluruh upaya perbaikan spiritual yang telah dilakukan oleh sejarah kenabian.
Peringatan "setelah diperbaiki" menyiratkan sebuah tanggung jawab historis dan moral. Manusia diberi amanah untuk tidak kembali ke era kekacauan. Ini menuntut upaya berkelanjutan (istiqamah) dalam menjaga nilai-nilai kebaikan. Tindakan fasad menjadi lebih buruk dan lebih berat sanksinya karena dilakukan setelah adanya pengetahuan dan petunjuk yang benar. Itu adalah kemunduran yang disengaja.
Untuk menghindari fasad, seseorang harus secara aktif melakukan Islah. Islah dimulai dari perbaikan diri (tazkiyatun nafs), memastikan hati bersih dari penyakit spiritual seperti dengki, riya', dan keserakahan. Hati yang korup adalah sumber dari segala fasad eksternal. Seseorang tidak bisa menjadi agen perbaikan (muslih) di luar jika ia sendiri rusak di dalam.
Pada skala masyarakat, memerangi fasad menuntut keberanian untuk menegakkan kebenaran (amar ma'ruf nahi munkar) tanpa takut celaan. Ini termasuk membangun institusi yang transparan, memastikan distribusi kekayaan yang adil, dan menjamin akses terhadap pendidikan yang berbasis nilai-nilai moral. Kerusakan akan terus terjadi selama kezaliman dibiarkan berakar, dan satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah melalui gerakan islah kolektif yang jujur dan tulus.
Fasad dan Islah adalah dua kutub yang menentukan arah peradaban manusia. Ayat 56 menekankan bahwa tugas utama manusia di bumi adalah menjadi agen Islah, bukan Fasid (perusak). Ini adalah panggilan untuk membangun peradaban yang beradab dan beretika, yang menghormati baik hukum Tuhan maupun hukum alam.
Keseimbangan (Mizan) adalah inti dari Islah yang harus dijaga.
Paruh kedua ayat ini mengalihkan perhatian dari aksi eksternal (menjaga bumi) menuju hubungan internal dan spiritual dengan Allah: "dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (akan siksa-Nya) dan harapan (akan rahmat-Nya)." Ini adalah resep ilahi untuk doa yang efektif dan benar, yang merupakan jembatan antara upaya Islah manusia dan pertolongan Allah.
Khauf, atau rasa takut, dalam konteks ibadah bukanlah ketakutan yang melumpuhkan, melainkan ketakutan yang memotivasi. Ini adalah kesadaran mendalam akan keagungan Allah, ketaatan-Nya yang mutlak, dan keadilan-Nya yang pasti. Khauf mencegah seseorang bersikap sombong atau meremehkan dosa.
Dalam konteks Ayat 56, rasa takut secara langsung terhubung dengan larangan Fasad. Seseorang berdoa dengan rasa takut agar ia tidak tergelincir kembali ke dalam kerusakan. Ia takut akan akibat dari tindakannya di dunia (bencana, kekacauan sosial) dan sanksi di akhirat. Ketakutan ini mendorong kehati-hatian (wara') dan kejujuran dalam semua urusan.
Rasa takut ini juga mencakup ketakutan akan kegagalan dalam amanah kekhalifahan. Ketika manusia menyadari bahwa kegagalan dalam menjaga bumi atau menegakkan keadilan akan dipertanggungjawabkan, ia akan lebih bersungguh-sungguh dalam doanya, memohon perlindungan dari kelemahan diri dan godaan syaitan.
Khauf berfungsi sebagai rem spiritual. Ia memastikan bahwa ibadah dan ketaatan dilakukan bukan karena kebiasaan sosial atau pamer (riya'), melainkan karena pengakuan tulus atas kekuasaan Allah. Khauf melahirkan keikhlasan, yang merupakan prasyarat mutlak untuk diterimanya suatu amal dan doa. Tanpa Khauf, doa bisa menjadi sekadar rutinitas tanpa ruh, dan upaya Islah bisa tercemar oleh kepentingan pribadi.
Thama', atau harapan, adalah kebalikan dari putus asa (al-qunuth). Harapan adalah optimisme abadi terhadap kasih sayang dan kemurahan Allah (Rahmat-Nya) yang meliputi segala sesuatu. Thama' menyeimbangkan Khauf, memastikan bahwa seorang hamba tidak pernah merasa terlalu berdosa untuk diampuni atau terlalu lemah untuk dikuatkan.
Dalam konteks Islah, Thama' adalah keyakinan bahwa meskipun tugas mencegah Fasad di dunia tampak berat dan musuh kebenaran kuat, pertolongan Allah itu dekat dan pasti bagi mereka yang tulus. Harapan inilah yang memberikan daya tahan (tsabat) bagi para reformis dan agen perubahan untuk terus berjuang meskipun menghadapi tantangan yang luar biasa.
Tanpa Thama', seorang hamba akan mudah putus asa ketika menghadapi kegagalan atau melihat dominasi Fasad. Harapan adalah sumber energi positif yang memastikan bahwa setiap upaya kebaikan, sekecil apa pun, akan dihargai dan dibalas dengan berlipat ganda oleh Allah SWT.
Para ulama spiritual (suluk) sering menganalogikan Khauf dan Thama' sebagai dua sayap seekor burung. Keduanya harus seimbang agar burung (hamba) dapat terbang lurus menuju Allah. Jika Khauf mendominasi, hamba akan jatuh ke dalam keputusasaan yang dilarang (al-qunuth). Jika Thama' mendominasi tanpa Khauf, hamba akan merasa aman dari murka Allah, yang menyebabkan kelalaian dan keberanian untuk berbuat dosa (al-ghurur).
Doa yang benar, sesuai petunjuk Al A'raf 56, harus mencerminkan keseimbangan paripurna ini: takut akan azab-Nya mendorong kita untuk menjauhi Fasad, sementara harapan akan Rahmat-Nya memotivasi kita untuk terus melakukan Islah dan memohon keberhasilan. Doa adalah pengakuan bahwa manusia adalah makhluk lemah yang berusaha keras, tetapi keberhasilan mutlak datang dari Allah semata.
Keseimbangan Khauf (Takut) dan Thama' (Harapan).
Ayat 56 ditutup dengan sebuah janji yang sangat membesarkan hati dan memberikan motivasi tertinggi untuk terus beramal: "Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik (al-muhsinin)." Kalimat ini menghubungkan aksi mencegah Fasad dan doa yang tulus langsung dengan penerimaan Rahmat Ilahi.
Penggunaan kata "qaribun" (dekat) menunjukkan bahwa Rahmat Allah bukanlah sesuatu yang sulit dicapai atau terlalu jauh, melainkan dapat diakses. Kedekatan Rahmat ini bukan berarti Rahmat selalu hadir secara fisik, tetapi secara kausalitas dan responsif. Apabila hamba memenuhi syarat, Rahmat akan datang tanpa penundaan. Syarat tersebut adalah Ihsan.
Muhsinin adalah orang-orang yang melakukan Ihsan (perbuatan baik atau kebaikan tertinggi). Ihsan, sebagaimana didefinisikan dalam Hadis Jibril, adalah beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.
Ayat 56 menyajikan Ihsan dalam dua dimensi: internal dan eksternal:
Melakukan doa (wad’uuhu) dengan Khauf dan Thama’ adalah bentuk Ihsan spiritual. Ini adalah ibadah yang dilakukan dengan kesungguhan, kesadaran penuh, dan kehadiran hati. Ketika seorang hamba berdoa dalam keadaan Ihsan, doanya memiliki bobot dan kualitas yang tinggi, menjadikannya layak menerima Rahmat yang dekat.
Menjaga bumi dari Fasad dan secara aktif melakukan Islah adalah bentuk Ihsan sosial dan ekologis. Seorang Muhsin tidak hanya menjauhi kejahatan, tetapi secara proaktif mencari cara untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan masyarakat. Ia tidak sekadar tidak mencuri, tetapi ia berbagi. Ia tidak sekadar tidak merusak alam, tetapi ia merawatnya. Perbuatan baik ini (Ihsan) adalah manifestasi nyata dari ketakutan (Khauf) akan azab dan harapan (Thama') akan pahala.
Rahmat Allah dekat bagi Muhsinin karena mereka telah memenuhi prasyarat ilahi. Ketika seseorang menahan diri dari merusak tatanan yang telah diperbaiki (Fasad), dan pada saat yang sama mengakui kelemahannya serta memohon pertolongan (Doa Khaufan wa Thama'a), ia telah mencapai tingkat amal yang disebut Ihsan. Ini adalah harmoni sempurna antara meninggalkan yang buruk (tarkul fasad) dan melakukan yang baik (fil islah), yang pada akhirnya menarik Rahmat dan berkah Allah SWT.
Rahmat Allah yang dekat ini bukan hanya bersifat eskatologis (di akhirat), tetapi juga aktual di dunia. Rahmat ini bisa berupa ketenangan jiwa, keberkahan dalam rezeki, perlindungan dari bencana, dan dukungan ilahi dalam menghadapi kezaliman. Rahmat ini adalah balasan yang adil dan segera bagi orang-orang yang telah berjuang menunaikan amanah sebagai khalifah di muka bumi.
Ayat 56 menawarkan kerangka etika yang relevan untuk mengatasi krisis global dan lokal saat ini. Penerapan ayat ini meluas dari masalah lingkungan hingga kompleksitas politik dan ekonomi.
Salah satu bentuk Fasad terbesar di era modern adalah Fasad Ekonomi, yang dimanifestasikan melalui praktik riba, penimbunan kekayaan yang ekstrem (oligarki), dan korupsi sistemik. Korupsi adalah fasad sosial dan ekonomi karena merusak tatanan distribusi yang adil. Ketika dana publik dicuri, hak-hak kaum miskin dan lemah dirampas. Ayat 56 menuntut semua pihak untuk memerangi fasad ini, karena korupsi merusak keadilan (Islah) yang seharusnya menjadi fondasi masyarakat.
Muhsinin dalam konteks ekonomi adalah mereka yang menjalankan bisnis dengan kejujuran, membayar hak-hak pekerja, dan mengelola sumber daya dengan penuh tanggung jawab sosial. Mereka berdoa (Khaufan wa Thama’a) agar sistem ekonomi mereka tetap bersih dari kezaliman, takut akan siksa akibat memakan harta haram, dan berharap akan keberkahan rezeki yang halal.
Fasad politik adalah pengkhianatan amanah kekuasaan, di mana pemimpin menggunakan otoritas mereka untuk menindas atau melayani kepentingan pribadi. Surah Al A'raf 56 adalah peringatan bagi setiap pemegang kekuasaan bahwa tatanan telah diperbaiki—yaitu, telah ditetapkan bahwa kekuasaan harus melayani keadilan. Merusak tatanan ini melalui tirani atau kezaliman adalah fasad yang paling berbahaya, karena dampaknya meluas ke seluruh rakyat.
Kepemimpinan yang Islami adalah kepemimpinan yang secara aktif memperbaiki kerusakan, memastikan penegakan hukum yang setara, dan mendengarkan aspirasi rakyat. Pemimpin harus senantiasa dalam keadaan Khauf (takut akan pertanggungjawaban di hadapan Allah) dan Thama' (berharap pada Rahmat dan dukungan-Nya untuk menegakkan keadilan).
Islah di bidang lingkungan menuntut lebih dari sekadar larangan polusi. Ia menuntut kesadaran ekologis yang mendalam (ecological consciousness). Sebagai Muhsinin, kita harus memandang alam bukan sebagai objek untuk dieksploitasi tanpa batas, tetapi sebagai amanah yang harus dipelihara. Ini termasuk adopsi teknologi ramah lingkungan, manajemen limbah yang bijaksana, dan restorasi habitat yang rusak.
Doa yang dipanjatkan oleh Muhsinin dalam konteks ini adalah doa yang diiringi dengan tindakan nyata: memohon kepada Allah agar usaha pelestarian alam diberi keberkahan, takut jika kelalaian manusia menyebabkan bencana ekologi, dan berharap Rahmat Allah melindungi bumi dari keserakahan manusia.
Fasad tidak selalu datang dari luar; sering kali ia berasal dari dalam diri (nafsu ammarah bis-su'). Perang terbesar adalah perang melawan korupsi hati. Seseorang yang berhasil menguasai hawa nafsunya dan membersihkan hatinya dari penyakit adalah benteng terkuat melawan Fasad eksternal. Islah diri adalah fondasi dari Islah masyarakat.
Dalam konteks ini, Khauf berarti takut akan godaan nafsu yang menyesatkan, dan Thama' berarti berharap pertolongan Allah agar hati selalu istiqamah di atas kebenaran. Ihsan internal ini adalah prasyarat untuk menjadi Muhsin yang efektif di panggung dunia.
Ayat 56 juga memberikan panduan tentang bagaimana bersikap terhadap mereka yang secara terang-terangan menyebarkan Fasad. Muhsinin diperintahkan untuk tidak ikut serta dalam Fasad, dan sebaliknya, mendoakan kebaikan, serta berjuang dengan cara-cara yang Islami untuk menghentikan kezaliman. Ini bisa berupa nasihat (mau'izah), pendidikan, atau penegakan hukum. Seluruh upaya ini dilakukan dengan ketulusan yang hanya mengharapkan Rahmat Allah, bukan pujian manusia.
Inti dari pesan Al A'raf 56 adalah sinergi antara spiritualitas dan aksi. Kita tidak boleh hanya berdoa tanpa berbuat baik, dan kita tidak boleh berbuat baik tanpa menyandarkan diri pada Rahmat Ilahi. Manusia harus menjadi agen aktif yang menjaga warisan perbaikan yang telah diturunkan oleh para nabi, sambil terus-menerus memohon pertolongan dan pengampunan, karena hanya dengan Rahmat Allah-lah keberhasilan sejati dapat dicapai.
Para filosof dan teolog Muslim memandang Fasad sebagai penyimpangan dari fitrah. Fitrah adalah keadaan penciptaan yang murni dan seimbang. Ketika Allah SWT menyatakan bahwa bumi telah diperbaiki (islahiha), ini merujuk pada penetapan hukum-hukum ilahi (sunnatullah) yang memastikan keteraturan. Fasad adalah pelanggaran terhadap hukum-hukum ini, baik hukum alam maupun hukum moral. Dalam pandangan ontologis, fasad adalah non-eksistensi dari kebaikan, atau keberadaan yang cacat.
Setiap tindakan Fasad menghasilkan entropi, yaitu peningkatan kekacauan dan penurunan keteraturan. Tugas khalifah (manusia) adalah memerangi entropi moral dan sosial ini, melalui aksi-aksi Islah yang menumbuhkan keteraturan dan keadilan. Keseimbangan ini adalah esensi dari tauhid; mengakui bahwa hanya Allah yang mampu menciptakan tatanan (al-Munazzim), dan manusia hanya bertugas memelihara tatanan itu.
Ayat 56 menguatkan konsep manusia sebagai khalifah (wakil) Allah di bumi. Kekhalifahan adalah amanah. Inti dari amanah ini adalah menjaga dan melestarikan tatanan, bukan merusaknya. Fasad terjadi ketika manusia melupakan status mereka sebagai pelaksana amanah dan mulai bertindak seolah-olah mereka adalah pemilik absolut bumi. Sikap arogan ini (istighna') adalah bentuk fasad spiritual yang memungkinkan segala bentuk kerusakan lain terjadi.
Tanggung jawab ini mencakup dimensi intergenerasi. Kita tidak hanya dilarang merusak untuk diri kita sendiri, tetapi juga dilarang merusak tatanan yang akan diwariskan kepada generasi mendatang. Fasad ekologis dan ekonomi yang kita lakukan hari ini adalah pengkhianatan terhadap amanah untuk melestarikan sumber daya bagi anak cucu.
Imam Al-Ghazali, dalam membahas spiritualitas, menekankan bahwa Khauf dan Thama' harus selalu terintegrasi dalam hati. Jika seorang hamba hanya berfokus pada Rahmat (Thama'), ia mungkin menunda taubat dan merasa aman dalam dosa. Jika ia hanya berfokus pada azab (Khauf), ia bisa putus asa dari pengampunan Allah, yang juga merupakan dosa besar.
Keseimbangan yang diajarkan dalam Ayat 56 menghasilkan kondisi hati yang disebut Raja' (harapan aktif). Raja' adalah harapan yang diiringi dengan usaha. Kita berharap Rahmat (Thama') hanya setelah kita melakukan Islah (usaha). Kita berdoa dengan Khauf setelah kita menyadari bahwa usaha kita mungkin belum sempurna, dan kita takut jika usaha itu ditolak. Ini adalah dialektika spiritual yang membuat hamba senantiasa waspada dan gigih.
Khauf yang benar mendorong amal jariyah (amal yang berkelanjutan). Seorang Muhsin yang takut akan kegagalan proyek Islahnya akan memastikan bahwa kebaikan yang ia tanam memiliki akar yang kuat. Ia membangun institusi yang berkelanjutan, menanam pohon yang hasilnya dinikmati orang lain, dan menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Ini adalah upaya Islah yang didorong oleh Khauf, memastikan warisan kebaikan tetap ada setelah kematiannya.
Thama' yang murni memberikan optimisme bahwa perubahan positif (Islah) itu mungkin, meskipun kondisi sosial tampak suram. Jika Allah SWT telah berjanji bahwa Rahmat-Nya dekat bagi Muhsinin, maka tidak ada upaya Islah yang sia-sia. Bahkan di tengah Fasad yang merajalela, benih kebaikan yang ditanam Muhsinin akan tumbuh subur berkat Rahmat Ilahi.
Ayat ini menutup lingkaran etika: Fasad (ditinggalkan) → Doa (penyandaran) → Ihsan (aksi) → Rahmat (hadiah). Rahmat adalah hadiah terpenting dan terbesar, karena Rahmat Allah mencakup segalanya—pengampunan, keberhasilan di dunia, dan kebahagiaan abadi.
Perlu ditekankan bahwa Rahmat bukan hadiah yang diberikan secara acak, melainkan konsekuensi yang logis bagi mereka yang memenuhi kriteria Ihsan. Mereka yang menahan diri dari merusak bumi (tarkul fasad) dan pada saat yang sama berjuang untuk memperbaikinya (fil islah) sambil merendahkan diri di hadapan Tuhan (doa khaufan wa thama'a) secara otomatis menempatkan diri mereka dalam jalur Rahmat yang telah dijanjikan.
Rahmat Allah adalah penjamin bahwa semua upaya Islah yang dilakukan oleh Muhsinin tidak akan pernah sia-sia, bahkan jika dalam pandangan duniawi upaya tersebut belum membuahkan hasil yang tampak. Karena penilaian sejati atas kebaikan bukanlah pada hasil, melainkan pada keikhlasan dan kesungguhan aksi (Ihsan) itu sendiri. Inilah kepastian mutlak yang ditawarkan oleh penutup Ayat 56.
Kesinambungan antara larangan Fasad, perintah doa, dan janji Rahmat menjadikannya salah satu ayat terpenting dalam Al-Qur'an mengenai etika kehidupan. Ayat ini membentuk paradigma holistik di mana spiritualitas (doa) menjadi pondasi bagi tanggung jawab moral dan sosial (menjaga bumi), yang pada gilirannya membuka pintu menuju keberuntungan abadi (Rahmat Ilahi).
Sejarah peradaban manusia yang diceritakan dalam Surah Al A'raf—seperti kisah kaum ‘Ad, Tsamud, dan kaum Nabi Luth—selalu berujung pada kehancuran karena mereka memilih Fasad di atas Islah. Mereka merusak tatanan sosial, ekonomi, dan moral yang telah diperbaiki oleh para nabi. Ayat 56 adalah ringkasan dari semua pelajaran sejarah tersebut. Ia memperingatkan umat akhir zaman agar tidak mengulangi kesalahan fatal peradaban masa lalu: ketika mereka telah menerima petunjuk (Islah), mereka tidak boleh kembali kepada Fasad.
Kerusakan yang mereka timbulkan menarik azab Allah, karena azab tersebut pada hakikatnya adalah konsekuensi logis dari rusaknya hukum-hukum Allah. Oleh karena itu, larangan Fasad adalah bentuk Rahmat preventif; Allah melarang kita merusak diri kita sendiri dan lingkungan kita.
Dalam konteks pembangunan global, prinsip Fasad dan Islah sangat relevan. Upaya-upaya global untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) secara etis selaras dengan perintah Islah dalam Ayat 56. Tujuan untuk mengentaskan kemiskinan, menjaga iklim, dan memastikan keadilan adalah upaya Islah yang dilakukan oleh manusia. Namun, implementasi ini harus diiringi dengan kesadaran Khauf (takut akan penyimpangan moral) dan Thama' (harapan bahwa pertolongan Ilahi akan menyertai perjuangan yang tulus).
Jika pembangunan hanya didorong oleh keserakahan (yang merupakan Fasad tersembunyi), maka hasilnya akan melahirkan ketidakseimbangan baru. Hanya pembangunan yang berakar pada nilai-nilai Ihsan—yaitu, dilakukan dengan kesungguhan, kualitas, dan niat yang murni—yang akan meraih Rahmat dan keberlanjutan sejati.
Oleh karena itu, Ayat 56 adalah Piagam Etika Universal. Ia menetapkan bahwa tugas utama manusia adalah menjadi pelestari dan pembangun, bukan perusak, dan bahwa sumber kekuatan sejati untuk tugas raksasa ini terletak pada kerendahan hati dan ketergantungan total pada Allah SWT melalui doa yang seimbang antara rasa takut dan harapan.
Sangat penting untuk memahami bahwa larangan Fasad dan perintah Islah berakar kuat pada Tauhid (keesaan Allah). Kerusakan terjadi ketika manusia mengklaim hak ilahi untuk mengatur tanpa panduan Tuhan, atau ketika mereka menyembah berhala modern (kekuatan uang, kekuasaan, ego). Ketika seseorang mengikrarkan Tauhid, ia mengakui bahwa satu-satunya yang berhak menetapkan tatanan (Islah) adalah Allah, dan bahwa manusia hanyalah pelaksana. Dengan demikian, setiap upaya Islah yang dilakukan seorang Muhsin adalah perwujudan praktis dari Tauhidnya.
Sebaliknya, setiap tindakan Fasad adalah bentuk syirik yang tersembunyi, karena ia menempatkan keinginan dan keserakahan diri di atas kehendak Ilahi untuk tatanan yang adil. Fasad adalah pemberontakan terhadap tatanan kosmik dan spiritual yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Oleh karena itu, Ayat 56 mengajarkan bahwa perjuangan melawan Fasad adalah perjuangan untuk memurnikan Tauhid di dalam hati dan di permukaan bumi.
Jalan Islah adalah jalan yang panjang dan penuh rintangan, karena selalu ada pihak yang diuntungkan dari Fasad. Muhsinin membutuhkan kesabaran yang luar biasa (sabr). Ayat 56 secara implisit menjamin bahwa kesabaran ini tidak akan sia-sia, karena Rahmat Allah—yaitu balasan dan pertolongan-Nya—akan datang. Ini adalah pesan ketekunan: teruslah berbuat baik dan menjaga tatanan, meskipun hasilnya belum terlihat, karena Allah melihat keikhlasan dan Rahmat-Nya akan membalasnya.
Kesabaran adalah bentuk Khauf (takut akan kegagalan jika kita berhenti) dan Thama' (harapan bahwa kemenangan akan datang). Kesabaran adalah praktik tertinggi dari Ihsan, yaitu melakukan yang terbaik secara berkelanjutan, tanpa putus asa, sembari menyandarkan hasil akhir hanya kepada Allah SWT. Dengan demikian, Ayat 56 bukan hanya petunjuk, tetapi juga sumber inspirasi tak terbatas bagi setiap individu yang bercita-cita menjadi agen kebaikan di dunia.
Surah Al A'raf Ayat 56 adalah permata hikmah yang memadukan etika lingkungan, moral sosial, dan spiritualitas pribadi. Ia menegaskan bahwa perbuatan manusia di dunia memiliki dampak kosmik. Bumi telah diciptakan dalam keadaan sempurna dan diperbaiki melalui risalah kenabian; tugas kita adalah menjaganya dari segala bentuk kerusakan.
Pesan intinya jelas: jangan merusak tatanan dunia yang telah ditetapkan, dan dalam setiap upaya pencegahan Fasad serta penegakan Islah, sandarkanlah diri sepenuhnya kepada Allah dengan keseimbangan sempurna antara rasa takut akan konsekuensi kelalaian dan harapan akan anugerah-Nya. Dengan memenuhi dua prasyarat ini—meninggalkan Fasad dan berpegang pada Doa Khaufan wa Thama'a—seseorang mencapai derajat Ihsan, dan dengan Ihsan itulah, Rahmat Allah yang tak terhingga akan senantiasa dekat.
Semoga kita semua dijadikan sebagai Muhsinin yang gigih dalam Islah, konsisten dalam doa, dan senantiasa berada dalam naungan Rahmat Ilahi.