Surat Al-Baqarah, ayat 102, adalah salah satu ayat yang paling kompleks dan padat dalam Al-Qur'an, yang secara langsung membahas isu krusial mengenai sihir, kenabian, dan batas-batas ilmu yang diperbolehkan. Ayat ini berdiri sebagai pilar peringatan bagi umat manusia tentang bahaya ilmu yang digunakan di luar kerangka petunjuk ilahi, sekaligus membersihkan nama suci seorang Nabi besar, Sulaiman bin Dawud (AS), dari tuduhan keji yang dilemparkan oleh sekelompok Bani Israel.
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Terjemahan Makna: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu melakukan sihir). Padahal Sulaiman tidak kafir, hanya setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. Padahal keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seseorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), karena itu janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari keduanya (sihir) yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang suami dan istrinya. Dan mereka tidak akan dapat mencelakakan seseorang dengan sihir itu, kecuali dengan izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat kepada mereka. Dan sungguh, mereka tahu, barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, niscaya tidak akan mendapat bagian (keuntungan) di akhirat. Sungguh, amat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.
Latar Belakang Historis dan Pembelaan Terhadap Nabi Sulaiman (AS)
Ayat 102 ini memiliki konteks historis yang kuat, terutama berkaitan dengan Bani Israel di sekitar Madinah. Setelah kenabian Sulaiman (AS), di kalangan sebagian Bani Israel muncul tuduhan bahwa kekuasaan dan keajaiban yang dimiliki Sulaiman bukanlah mukjizat dari Allah, melainkan hasil dari praktik sihir. Tuduhan ini beredar luas, didukung oleh narasi yang disebarkan oleh setan dan para penganut ilmu hitam.
Pembersihan Nama Sulaiman: “Wamā Kafara Sulaimānu”
Titik sentral pertama ayat ini adalah penegasan ilahi: “Padahal Sulaiman tidak kafir.” Ini adalah deklarasi resmi dari Allah (SWT) yang membersihkan nama Nabi Sulaiman dari fitnah besar. Sulaiman (AS) adalah seorang Nabi yang saleh, yang kekuasaannya (menguasai angin, jin, dan memahami bahasa burung) adalah murni karunia dan mukjizat dari Allah, bukan hasil dari perjanjian setan atau praktik sihir.
Tuduhan bahwa Sulaiman adalah seorang penyihir sangat berbahaya karena ia merusak fondasi kenabian. Jika seorang Nabi dituduh menggunakan sihir, maka kebenaran yang dibawanya akan diragukan. Al-Qur'an datang untuk mengembalikan martabat Sulaiman dan memisahkan secara tegas antara mukjizat (kekuatan yang diberikan Allah kepada Nabi untuk membuktikan kebenaran risalah) dan sihir (ilmu yang diperoleh melalui jalan setan dan kekafiran).
Sebaliknya, ayat ini menimpakan kekafiran kepada sumber masalah: “Walākinna Ash-Shayāṭīna Kafarū” (hanya setan-setan itulah yang kafir). Setan-setan inilah yang menjadi penggagas dan penyebar sihir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia sebagai upaya sistematis untuk menyesatkan, menarik manusia dari tauhid, dan menjerumuskan mereka ke dalam kekufuran. Ilmu sihir, dalam esensinya, adalah penolakan terhadap keesaan Allah dan pengakuan terhadap kekuatan selain-Nya.
Fenomena Buku Sihir di Bawah Singgasana
Kisah ini sering dikaitkan dengan penemuan gulungan sihir di bawah singgasana Sulaiman setelah wafatnya. Setan-setan, dalam upaya jahat mereka, menuliskan mantra dan teknik sihir, kemudian menyembunyikannya dan menyebarkan desas-desus bahwa itulah sumber kekuatan Sulaiman. Ketika gulungan itu ditemukan, Bani Israel yang jauh dari petunjuk menganggapnya sebagai kebenaran, padahal itu adalah tipuan setan belaka. Ayat 102 adalah koreksi fundamental terhadap narasi sesat ini.
Perbedaan antara kekuasaan kenabian dan sihir harus dipahami secara mendalam. Kekuasaan kenabian didasarkan pada ketaatan mutlak kepada Allah, berfungsi untuk menegakkan kebenaran, dan menghasilkan manfaat yang abadi. Sementara sihir didasarkan pada ketidaktaatan (kekafiran), bertujuan menyesatkan, dan memberikan kerugian yang abadi. Kontras ini adalah inti dari ajaran yang terkandung dalam Al-Baqarah 102.
Gulungan Kitab dan Godaan Ilmu Terlarang
Kisah Harut dan Marut: Cobaan bagi Manusia
Bagian kedua ayat ini membahas fenomena yang luar biasa, yaitu diturunkannya dua malaikat, Harut dan Marut, di negeri Babil (Babilonia), yang diberi pengetahuan sihir. Ini adalah peristiwa yang sangat spesifik dan merupakan bagian dari ujian (fitnah) bagi manusia.
Tujuan Penurunan di Babil
“Wamā Unzila ‘Alá Al-Malakayni Bi-Bābila Hārūta wa Mārūta” (dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut). Babil pada masa itu dikenal sebagai pusat praktik sihir, astrologi, dan ilmu okultisme. Allah, melalui hikmah-Nya yang tak terbatas, mengutus dua malaikat ini bukan untuk menyebarkan sihir, melainkan untuk tujuan yang sangat jelas: sebagai ujian, dan sebagai penyingkap hakikat sihir.
Harut dan Marut, menurut tafsir mayoritas ulama, diutus untuk mengajarkan sihir dalam konteks yang terkontrol dan sangat terbatas. Tujuannya adalah agar manusia dapat membedakan sihir yang berasal dari setan (yang tujuannya murni kerusakan) dan mukjizat kenabian, serta untuk menunjukkan bahwa pengetahuan itu sendiri bisa menjadi pedang bermata dua.
Peringatan Keras: “Innamā Naḥnu Fitnahun Falā Takfur”
Yang membedakan ajaran Harut dan Marut dari ajaran setan adalah adanya peringatan yang mutlak: “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), karena itu janganlah kamu kafir.” Setiap kali seseorang datang untuk belajar, kedua malaikat ini wajib memberikan peringatan tersebut. Ini menunjukkan bahwa:
- Pengetahuan sihir adalah alat ujian.
- Menggunakan atau mempercayai sihir secara serius mengarah pada kekafiran (kufr).
- Mereka tidak bertanggung jawab atas kekufuran yang dipilih oleh manusia setelah menerima peringatan.
Peringatan ini menegaskan bahwa Allah tidak membiarkan manusia dalam kegelapan. Ilmu tersebut diizinkan turun, tetapi disertai rambu-rambu syariat yang sangat jelas. Barangsiapa yang tetap memilih untuk mempelajari dan mempraktikkannya, ia telah menukar petunjuk ilahi dengan kesesatan atas kesadarannya sendiri, dan inilah yang disebut kekafiran dalam konteks ini.
Sihir Pemisah: Mempelajari Kerusakan Rumah Tangga
Ayat ini kemudian menyingkap salah satu dampak paling destruktif dari sihir yang dipelajari dari Harut dan Marut, yaitu sihir yang digunakan untuk memisahkan suami dan istri (“Mā Yufarriqūna Bihi Bayna Al-Mar'i wa Zawjihi”). Fokus pada aspek ini sangat penting karena ia menunjukkan betapa sihir secara langsung menyerang fondasi masyarakat: keluarga.
Keluarga adalah benteng utama umat, dan sihir yang merusak hubungan suci pernikahan adalah salah satu kejahatan terbesar. Ini mencakup berbagai praktik seperti sihir pengasihan yang terbalik (membuat benci), gangguan psikologis, atau ilusi yang membuat salah satu pasangan melihat pasangannya dalam rupa yang menjijikkan. Ironisnya, manusia mencari ilmu ini, yang secara eksplisit bertujuan untuk merusak kebahagiaan dan kedamaian.
Hakikat Kekuatan Sihir dan Batasan Kehendak Ilahi
Meskipun sihir memiliki daya rusak yang luar biasa, Al-Qur'an segera memberikan batasan teologis yang tegas untuk mencegah manusia menganggap sihir memiliki kekuatan mandiri di luar kekuasaan Allah.
Prinsip Izin Allah: “Illā Bi'Idhni Allāh”
“Wamā Hum Biḍārīna Bihi Min Aḥadin Illā Bi’idhni Allāh” (Dan mereka tidak akan dapat mencelakakan seseorang dengan sihir itu, kecuali dengan izin Allah). Ini adalah klausul yang krusial. Ayat ini mengajarkan tauhid murni. Sihir mungkin tampak ampuh, tetapi dampaknya hanya terjadi jika Allah mengizinkannya. Ini menghapus pemahaman syirik bahwa sihir atau penyihir memiliki kekuatan mencipta atau mencelakakan secara independen.
Prinsip ini berfungsi ganda:
- Penghiburan bagi Mukmin: Seorang mukmin yang takut kepada Allah tahu bahwa tidak ada sihir yang dapat menimpanya tanpa takdir Allah, sehingga ia tidak perlu takut kepada penyihir, melainkan hanya kepada Allah.
- Penegasan Kekuasaan Mutlak: Allah adalah Penguasa mutlak. Bahkan kekuatan jahat sihir pun tunduk pada kehendak-Nya. Jika sihir berhasil, itu adalah bagian dari takdir dan ujian yang telah ditetapkan oleh Allah.
Kerugian yang Jelas: Ilmu yang Mencelakakan
Ayat ini kemudian mengalihkan fokus kepada pilihan rasional yang diambil oleh mereka yang mempelajari sihir: “Wa yata‘allamūna Mā Yaḍurruhum wa Lā Yanfa‘uhum” (Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat kepada mereka). Ini adalah kritikan tajam terhadap pilihan manusia.
Secara duniawi, sihir mungkin memberi sedikit keuntungan sesaat (misalnya, kekayaan, pengaruh, atau pembalasan), tetapi dalam jangka panjang, ia merusak jiwa, reputasi, dan masa depan pelakunya. Kerugian terbesar adalah kerugian spiritual. Ilmu sihir adalah ilmu yang membawa kerugian, karena ia menuntut pertukaran yang sangat mahal—iman dan ketaatan kepada Allah—demi keuntungan fana.
Konsekuensi dan Kerugian Abadi
Ayat 102 menutup dengan peringatan keras mengenai harga yang harus dibayar oleh mereka yang memilih jalan sihir, menegaskan bahwa kerugiannya bersifat kekal di akhirat.
Jual Beli yang Paling Buruk
“Wa Laqad ‘Alimū La Mani Ashtarahū Mā Lahū Fī Al-Ākhirati Min Khalāqin” (Dan sungguh, mereka tahu, barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, niscaya tidak akan mendapat bagian di akhirat). Frasa ini menggunakan metafora jual beli. Mereka menjual diri mereka sendiri, atau menjual iman dan petunjuk Allah, demi mendapatkan sihir.
Konsekuensi dari transaksi ini sangat jelas: tidak ada bagian (khalaq) di akhirat. Khalaq di sini berarti bagian, nasib, atau keberuntungan. Pelaku sihir, jika mereka meninggal dalam keadaan meyakini sihir dan tidak bertobat, akan merugi total. Mereka tidak akan mendapatkan rahmat, surga, atau keuntungan apa pun dari pahala yang mungkin telah mereka kumpulkan sebelumnya.
Ayat ini menekankan bahwa mereka tahu konsekuensinya—pengetahuan tentang bahaya sihir telah sampai kepada mereka, baik melalui peringatan Harut dan Marut, maupun melalui Kitab suci mereka. Namun, mereka tetap memilih jalan kehancuran.
Penutup ayat ini sangat menghantam: “Wa La Bi'sa Mā Sharaw Bihi Anfusahum” (Sungguh, amat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir). Ini adalah kutukan keras atas pilihan yang didorong oleh hawa nafsu dan kesenangan duniawi yang sesaat, ditukar dengan kebahagiaan abadi.
Elaborasi Mendalam Mengenai Konsep Sihir (Sihr)
Untuk memahami sepenuhnya peringatan dalam Al-Baqarah 102, kita harus memahami apa itu *sihr*. Secara etimologi, *sihr* (سحر) berarti sesuatu yang halus, tersembunyi, atau yang mengubah hakikat suatu perkara di mata orang lain. Para ulama membagi sihir menjadi beberapa kategori utama:
Sihir yang Murni Kekafiran (Kufr)
Ini adalah jenis sihir yang disebut dalam ayat 102. Sihir jenis ini melibatkan ritual penyembahan kepada jin atau setan, pengorbanan terlarang, penulisan jimat dengan darah najis, atau sumpah serapah yang melanggar tauhid. Seorang yang mempraktikkan sihir ini harus terlebih dahulu keluar dari lingkup Islam, sebagaimana diperingatkan oleh Harut dan Marut.
Sihir Khayalan (Takhayul)
Jenis sihir ini memanfaatkan tipuan mata, sugesti, dan kecepatan tangan untuk mengubah persepsi orang. Contoh terbaik adalah sihir yang dilakukan oleh para penyihir Fir’aun di hadapan Nabi Musa (AS), yang membuat orang melihat tali dan tongkat bergerak seperti ular. Ini adalah bentuk sihir yang lebih rendah, tetapi masih dilarang karena menipu dan menakut-nakuti orang lain.
Sihir Pengaruh (Penyakit)
Sihir yang bertujuan menyebabkan penyakit, impotensi, kebencian, atau kematian. Ini adalah sihir yang paling merusak, seperti yang disinggung dalam konteks pemisahan suami istri. Sihir ini bekerja melalui perantaraan jin yang diikat oleh penyihir untuk masuk ke dalam tubuh korban, menyebabkan gangguan fisik atau psikologis. Meskipun efeknya nyata, sekali lagi, efek ini hanya terjadi dengan izin Allah.
Inti dari larangan dalam Islam bukan hanya karena sihir itu berbahaya, tetapi karena **jalan untuk memperolehnya adalah kekafiran**. Penyihir harus tunduk kepada setan, meninggalkan syariat, dan merusak akidahnya sendiri, menjadikannya perbuatan yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Pelajarannya bagi Umat Masa Kini
Meskipun ayat ini diturunkan untuk mengoreksi pandangan Bani Israel dan membersihkan nama Sulaiman, ajarannya bersifat universal dan abadi. Ayat ini mengajarkan kita tentang bagaimana menghadapi godaan pengetahuan terlarang di setiap zaman.
Fitnah Pengetahuan Tanpa Petunjuk
Pada hakikatnya, sihir adalah bentuk pengetahuan yang salah arah. Di era modern, kita menghadapi bentuk "sihir" baru, yaitu ilmu yang, meskipun tampak canggih atau ilmiah, digunakan untuk merusak tatanan ilahi. Ini bisa berupa teknologi yang menghancurkan moral, filosofi yang menyangkal eksistensi Tuhan, atau pengejaran kekuasaan materi yang absolut tanpa mempertimbangkan etika spiritual.
Al-Baqarah 102 mengajarkan kita bahwa setiap pengetahuan harus disaring. Apakah pengetahuan ini mendekatkan kita kepada Allah atau menjauhkan kita? Apakah ia memberikan manfaat abadi (akhirat) atau hanya manfaat sesaat yang membawa kerugian jangka panjang? Ilmu sihir adalah prototipe dari ilmu yang hanya membawa kerugian.
Menguatkan Benteng Keluarga
Fokus ayat pada sihir yang memisahkan suami dan istri adalah pengingat bahwa kejahatan terbesar seringkali menyerang unit terkecil masyarakat. Perlindungan terhadap sihir modern dan spiritual dimulai dari penguatan ikatan pernikahan dengan iman, ketaatan, dan doa. Godaan yang merusak rumah tangga hari ini mungkin bukan mantera, tetapi perselingkuhan digital, godaan materi, atau ideologi yang merendahkan peran keluarga, yang semuanya bekerja seperti sihir: menciptakan ilusi kebahagiaan sesaat yang berujung pada perpisahan dan penderitaan.
Tauhid sebagai Perisai
Klausa "kecuali dengan izin Allah" adalah perlindungan tertinggi. Jika seorang mukmin meyakini sepenuh hati bahwa segala sesuatu terjadi atas izin-Nya, maka rasa takutnya akan beralih dari makhluk (penyihir, jin, setan) kepada Sang Pencipta. Perisai terbaik terhadap segala bentuk kejahatan, termasuk sihir, adalah ketakwaan, zikir, dan kepatuhan terhadap perintah Allah. Jika Allah tidak mengizinkan, tidak ada kekuatan di dunia ini, termasuk sihir paling gelap, yang dapat menyentuh hamba-Nya.
Pengetahuan tentang Al-Baqarah 102 harus berfungsi sebagai peringatan bahwa jalan pintas menuju kekuasaan, kekayaan, atau pembalasan dendam melalui cara-cara terlarang selalu membawa harga diri yang tak terbayangkan. Kita diperintahkan untuk mencari ilmu, tetapi ilmu yang memberikan manfaat dunia dan akhirat, bukan ilmu yang mencelakakan kita dan menjual nasib abadi kita demi kesenangan sementara.
Analisis Lanjutan: Kekafiran (Kufr) dalam Konteks Sihir
Penting untuk mengulas kembali bagaimana Al-Qur'an mengaitkan sihir dengan *kufr*. Kekafiran yang dimaksud di sini bukanlah hanya sekadar ingkar, tetapi melibatkan perbuatan nyata yang membatalkan keimanan seseorang. Ketika Harut dan Marut memperingatkan, "janganlah kamu kafir," mereka merujuk pada kekafiran praktis.
Sihir adalah penyelewengan karena ia memerlukan bantuan entitas non-manusia (jin/setan) yang hanya akan memberikan bantuannya jika ada persyaratan kekafiran yang dipenuhi. Persyaratan ini bisa berupa:
- Menghina ayat-ayat suci Al-Qur'an atau nama-nama Allah.
- Menjadikan jin sebagai tuhan atau pelindung selain Allah.
- Melakukan perbuatan syirik yang disengaja.
Oleh karena itu, mempelajari dan mempraktikkan sihir bukan sekadar dosa besar, tetapi dalam banyak kasus, ia adalah tindakan kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari agama. Ayat ini membedakan secara tajam antara ilmu yang diturunkan untuk petunjuk dan ilmu yang diajarkan setan untuk kehancuran. Manusia diberi akal untuk memilih, namun pilihan terhadap sihir adalah pilihan yang paling merugikan dan paling dikecam.
Implikasi Hukum (Syariat)
Ayat Al-Baqarah 102 menjadi dasar utama penetapan hukum Islam (fikih) mengenai sihir. Karena sihir dikaitkan langsung dengan kekafiran, banyak ulama berpendapat bahwa hukuman bagi penyihir yang mempraktikkan sihir yang melibatkan syirik adalah hukuman mati, sebagai tindakan preventif untuk melindungi masyarakat dan menjaga kemurnian akidah (tauhid).
Sihir adalah kejahatan terorganisir yang menyerang akidah, kesehatan, dan keharmonisan sosial. Ketika sebuah ilmu terlarang seperti sihir menyebar, ia merusak pondasi keimanan umat, sehingga langkah-langkah keras diperlukan untuk membasminya. Ayat ini memberikan pembenaran teologis yang kuat mengapa sihir tidak pernah dianggap sebagai praktik yang netral atau sekadar keahlian, melainkan selalu dikaitkan dengan kegelapan dan kekafiran.
Pelajaran terpenting dari pandangan hukum ini adalah bahwa umat Islam harus menjauhi segala bentuk praktik yang menyerupai sihir, meramal nasib, atau mencari bantuan dari sumber-sumber yang tidak disyariatkan, karena garis antara hal-hal ini dan kekafiran sangat tipis dan mudah dilanggar.
Pengulangan dan Penekanan Tauhid
Meskipun kita telah membahas secara rinci setiap klausa, penting untuk mengulangi pesan tauhid yang tersemat dalam ayat ini, karena inilah tulang punggung seluruh teguran:
1. **Bukan Sulaiman yang Kafir, tapi Setan:** Pengulangan ini penting. Sulaiman adalah simbol kenabian yang murni. Ayat ini memerangi desakan Bani Israel untuk menyamakan kenabian dengan sihir. Kekuatan sejati datang dari Allah, bukan dari ritual terlarang. Pemurnian ini adalah pertahanan terhadap segala bentuk sinkretisme atau campuran antara wahyu dan takhayul.
2. **Sihir Adalah Cobaan (Fitnah):** Pengakuan Harut dan Marut bahwa mereka adalah fitnah menunjukkan bahwa Allah menguji kita dengan segala hal, termasuk pengetahuan itu sendiri. Bagaimana kita menggunakan ilmu yang kita peroleh? Apakah untuk mendekatkan diri kepada Allah atau untuk memenuhi hawa nafsu duniawi yang fana? Pilihan di antara keduanya adalah inti dari ujian hidup.
3. **Izin Allah sebagai Batasan Mutlak:** Kalimat "Illā Bi'Idhni Allāh" diulang-ulang dalam konteks ancaman sihir. Ini adalah fondasi psikologis bagi mukmin. Ketakutan terhadap sihir harus selalu didominasi oleh kepercayaan kepada takdir Allah. Seseorang yang dilindungi Allah tidak akan terpengaruh oleh sihir, dan perlindungan itu diperoleh melalui ketaatan yang tulus. Rasa takut berlebihan terhadap sihir tanpa disertai tawakkal kepada Allah adalah bentuk kecil dari penyimpangan akidah.
Refleksi Akhir: Menukar Dunia dengan Akhirat
Kesimpulan dari Al-Baqarah 102 terletak pada perbandingan nilai. Ayat ini menyoroti transaksi terburuk yang pernah dilakukan manusia: menukar kehidupan abadi, rahmat Allah, dan kebahagiaan hakiki (akhirat) dengan sedikit kesenangan dan kekuasaan yang diperoleh melalui sihir (dunia). Ini adalah refleksi universal tentang moralitas dan spiritualitas.
Mereka yang memilih sihir telah gagal dalam pemahaman dasar tentang untung rugi. Mereka tahu bahwa akhirat mereka terancam, namun nafsu untuk mencelakakan orang lain atau mendapatkan kekuasaan di dunia mengalahkan akal sehat spiritual mereka. Al-Qur'an mengecam pilihan yang bodoh ini, pilihan yang hanya bisa diambil oleh mereka yang buta terhadap hakikat kehidupan.
Oleh karena itu, bagi setiap Muslim, Al-Baqarah 102 adalah kompas. Ia memandu kita untuk mencari ilmu yang bermanfaat, menolak jalan pintas yang melibatkan syirik dan kekafiran, dan selalu menempatkan Allah sebagai satu-satunya sumber kekuatan, perlindungan, dan petunjuk. Ini adalah pelajaran abadi tentang integritas spiritual dan penolakan total terhadap godaan setan dalam segala bentuknya.
Kajian mendalam ini menegaskan kembali betapa Al-Qur'an tidak pernah meninggalkan satu pun isu fundamental yang mengancam iman manusia, bahkan ilmu sihir yang paling tersembunyi sekalipun, telah dijelaskan hakikatnya, sumbernya, dan konsekuensi abadi bagi mereka yang memilih jalan kegelapan tersebut. Kita wajib mengambil pelajaran dari kisah masa lalu ini agar tidak terjerumus ke dalam kekelapan dan selalu berpegang teguh pada tali Allah.
Ketegasan ayat ini dalam memisahkan antara yang hak dan yang batil, antara mukjizat dan sihir, antara Nabi dan setan, adalah pelajaran esensial dalam menjaga kemurnian tauhid. Ilmu adalah anugerah, tetapi tanpa petunjuk, ia bisa menjadi bencana. Inilah esensi peringatan Al-Baqarah 102 yang relevan sepanjang masa, membimbing kita menjauhi segala bentuk tipuan yang dapat mengorbankan bagian kita di Akhirat demi ilusi sementara di dunia.
Pengejaran ilmu yang membawa manfaat, yang didasarkan pada ketakwaan dan bukan kekafiran, adalah jalan yang ditunjukkan oleh Sulaiman (AS). Sementara itu, sihir adalah jalan yang diajarkan oleh setan, yang hanya berakhir pada kerugian dan penyesalan. Pilihan ada di tangan setiap individu, dan Al-Qur'an telah memberikan panduan yang paling terang benderang mengenai bahaya dari transaksi spiritual yang merugikan ini.
Pada akhirnya, ayat ini bukan hanya tentang masa lalu di Babil, tetapi tentang pertarungan batin setiap insan menghadapi godaan kekuasaan yang diperoleh secara haram. Siapa yang kita jadikan sumber kekuatan? Allah ataukah bisikan gelap yang menjanjikan kemudahan semu?
Sihir adalah simbol dari segala sesuatu yang jahat dan terlarang yang dilakukan dengan mengorbankan akidah. Oleh karena itu, menjauhi sihir dan segala turunannya adalah bagian integral dari menjaga keimanan dan menjamin keselamatan abadi. Ini adalah pesan utama yang dibawa oleh Surah Al-Baqarah ayat 102, sebuah peringatan yang melintasi zaman dan geografi.
Kita menutup kajian ini dengan doa agar kita senantiasa dilindungi dari segala bentuk fitnah dan ilmu yang mencelakakan, serta diberikan kekuatan untuk selalu memilih jalan ilmu yang benar, sebagaimana yang ditunjukkan oleh para Nabi dan Rasul, menjauhi jejak langkah yang diikuti oleh setan dan orang-orang yang merugi di dunia dan akhirat.