Kajian Komprehensif Surah Al-Baqarah Ayat 222

Prinsip Kesucian dan Peringatan Ilahi

Surah Al-Baqarah ayat 222 merupakan salah satu landasan hukum fundamental dalam Islam yang mengatur interaksi dan kesucian dalam lingkup rumah tangga, khususnya yang berkaitan dengan fitrah biologis wanita, yakni haid (menstruasi). Ayat ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kebersihan, baik fisik maupun spiritual, serta memberikan panduan praktis yang didasarkan pada hikmah mendalam, kesehatan, dan keadilan. Ayat ini tidak hanya bersifat larangan, melainkan juga arahan untuk menjaga keharmonisan dan kualitas hubungan suami istri dengan mempertimbangkan kondisi biologis yang rentan.

Pesan utama dari ayat ini adalah klarifikasi terhadap praktik-praktik zaman jahiliyah yang ekstrem dalam menyikapi wanita haid, serta penentuan batasan syariat yang adil. Sebelum kedatangan Islam, beberapa masyarakat memperlakukan wanita haid sebagai sosok yang 'terasingkan' atau 'najis' secara mutlak, sehingga mereka dilarang berbagi ruang, makan bersama, atau bahkan disentuh. Islam datang dengan solusi yang moderat: menetapkan larangan tertentu demi kemaslahatan, namun pada saat yang sama, mempertahankan hak-hak dan martabat wanita secara keseluruhan.

(٢٢٢) وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Terjemah Makna: Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah kotoran.” Oleh karena itu, jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah bersuci (mandi), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.

Analisis Linguistik dan Terminologi Kunci

Untuk memahami kedalaman hukum yang terkandung, kita harus menelaah setiap kata kunci dalam ayat ini:

1. Al-Maḥīḍ (الْمَحِيضِ)

Secara bahasa, al-maḥīḍ berarti tempat keluarnya darah haid atau waktu terjadinya haid. Namun, dalam konteks ayat ini, ia merujuk pada darah menstruasi itu sendiri, atau keadaan di mana wanita sedang dalam masa menstruasi. Haid adalah darah alami yang keluar dari rahim wanita dewasa pada waktu-waktu tertentu, bukan disebabkan oleh penyakit atau melahirkan. Para fuqaha (ahli fikih) memiliki definisi yang sangat rinci mengenai batasan waktu minimal dan maksimal haid, yang menjadi penentu status hukum seorang wanita.

2. Adhā (أَذًى)

Kata Adhā diterjemahkan sebagai ‘kotoran’ atau ‘gangguan/bahaya’. Ini adalah inti argumen syariat mengenai larangan tersebut. Darah haid, secara fisik, adalah darah yang tidak sehat (buangan lapisan rahim), dan membawa risiko infeksi tertentu jika terjadi kontak intim. Secara spiritual, status kotoran (najis) ini mengharuskan adanya jarak dalam hubungan intim. Penggunaan kata Adhā menunjukkan bahwa larangan itu bukan semata-mata sanksi, melainkan bentuk perlindungan, baik bagi suami maupun istri, dari bahaya fisik dan menjaga kesucian hubungan.

3. Fa‘tazilū (فَاعْتَزِلُوا) dan Lā Taqrābūhunna (وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ)

Kedua frasa ini adalah perintah larangan. Fa‘tazilū berarti ‘menjauhi’ atau ‘mengasingkan diri’. Larangan ini spesifik merujuk pada tindakan hubungan intim. Mayoritas ulama sepakat bahwa larangan ini terbatas pada area hubungan seksual di vagina (farj). Larangan ini tidak berarti menjauhi wanita tersebut dari interaksi sosial, makan bersama, atau tidur seranjang, yang mana praktik pengasingan total seperti itu dikecam oleh Rasulullah ﷺ.

Adapun Lā Taqrābūhunna (jangan kamu dekati mereka) memperkuat larangan di atas. Larangan mendekat ini berlaku hingga mereka suci (ḥattā yaṭhurn).

4. Yaṭhurn dan Taṭahharu (يَطْهُرْنَ dan تَطَهَّرْنَ)

Ayat ini memuat dua bentuk kata kerja yang berasal dari akar kata ṭahara (suci/bersih):

  1. Yaṭhurn (Suci): Merujuk pada berhentinya darah haid. Ini adalah syarat pertama, yaitu kondisi alamiah darah telah berhenti total.
  2. Taṭahharu (Bersuci): Merujuk pada mandi wajib (Ghusl) setelah darah berhenti. Ini adalah syarat kedua, yaitu tindakan ritual pembersihan.
Para ulama sepakat bahwa hubungan intim hanya boleh dilakukan setelah terpenuhi kedua syarat ini: darah berhenti DAN wanita telah mandi wajib. Jika darah berhenti tetapi belum mandi, larangan masih berlaku, kecuali dalam kondisi darurat tertentu yang dibahas dalam fikih.

Simbol Purity dan Air Ilustrasi tetesan air dan bulan sabit, melambangkan kesucian (thaharah) dalam ajaran Islam.

Reformasi Sosial dan Kontras dengan Jahiliyah

Ayat 222 dari Surah Al-Baqarah diturunkan untuk memperbaiki pandangan yang salah dan ekstrem mengenai haid. Dalam sejarah peradaban manusia, kondisi haid seringkali dikaitkan dengan mitos dan status kotoran yang berlebihan. Dua pandangan ekstrem yang dikenal pada masa itu adalah:

  1. Yahudi: Mereka menerapkan pengasingan total. Wanita haid dianggap sangat najis sehingga tidak boleh makan bersama, disentuh, atau bahkan berbagi wadah.
  2. Nasrani (dan beberapa Arab Jahiliyah): Mereka cenderung mengabaikannya sama sekali, tidak menetapkan batasan apapun, dan mempraktikkan hubungan intim tanpa memperhatikan kondisi haid.

Ketika Rasulullah ﷺ ditanya mengenai perlakuan terhadap wanita haid, beliau menjawab dengan turunnya ayat ini. Islam mengambil jalan tengah (wasatiyyah). Larangan hanya difokuskan pada hubungan seksual (intimasi biologis), karena adanya Adhā (bahaya/kotoran), sementara aspek-aspek kehidupan lain seperti makan, minum, tidur, dan berinteraksi tetap diperbolehkan.

Aisyah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bahkan meminta Aisyah untuk menyisir rambutnya ketika Aisyah sedang haid, menunjukkan kedekatan non-seksual tetap terjaga. Ini adalah bentuk revolusi sosial yang mengembalikan martabat wanita, menolak stigma, namun tetap menjaga prinsip kebersihan dan kesehatan yang diatur oleh Syariat.

Implikasi Fiqh: Batasan dan Penerapan Hukum

Hukum yang ditarik dari Al-Baqarah 222 sangat mendetail dan telah menjadi fokus utama pembahasan dalam Bab Thaharah (Kesucian) di semua mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali).

1. Fokus Larangan (Mā Taḥrum):

Mayoritas ulama sepakat bahwa yang haram secara eksplisit berdasarkan ayat ini adalah:

2. Batasan Interaksi Non-Intim:

Bagaimana batasan interaksi fisik selain hubungan intim? Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

  1. Jumhur Ulama (Hanafi, Syafi'i, Hanbali): Diperbolehkan mencumbu dan berinteraksi secara fisik dengan wanita haid, asalkan menjauhi area antara pusar hingga lutut, kecuali terdapat penghalang (pakaian). Pendapat ini didasarkan pada hadis-hadis yang menunjukkan Rasulullah ﷺ mencumbui istrinya yang sedang haid di atas sarung.
  2. Mazhab Maliki: Membolehkan mencumbu seluruh tubuh, termasuk antara pusar hingga lutut, asalkan tidak terjadi penetrasi. Mereka berargumen bahwa larangan ayat bersifat spesifik (yaitu Jima').
  3. Pandangan yang Lebih Ketat (sebagian kecil): Menganggap haram mencumbu area pusar hingga lutut tanpa penghalang karena dikhawatirkan dapat memicu Jima'. Namun, pandangan ini kurang kuat dibandingkan jumhur yang membolehkan interaksi fisik yang penuh kasih sayang.

Intinya, Islam memastikan bahwa keintiman emosional dan dukungan suami tidak terputus hanya karena kondisi biologis. Wanita haid tetap merupakan pasangan yang sah, hanya status ritualnya yang berubah.

3. Kewajiban Kafarat (Denda):

Jika seorang suami melanggar larangan dan melakukan hubungan intim ketika istrinya sedang haid, ia wajib bertaubat. Mengenai kafarat, terdapat perbedaan:

4. Definisi Taharah Sempurna (Pembersihan Mutlak):

Seperti yang telah dibahas, taharah memiliki dua tingkatan: berhentinya darah (inqiṭā’) dan mandi wajib (ghusl). Permasalahan fikih muncul jika salah satu syarat telah terpenuhi namun yang lain belum:

Kasus 1: Darah Berhenti, Belum Mandi: Mayoritas ulama (Jumhur) berpendapat hubungan intim tetap haram. Ayat tersebut secara tegas menyatakan, “...ḥattā yaṭhurn. Fā’idhā taṭahharu fa’tūhunna...” (hingga mereka suci [berhenti darah]. Kemudian jika mereka telah bersuci [mandi], maka campurilah mereka). Urutan ini menetapkan mandi sebagai syarat sah untuk kembalinya interaksi intim. Hanya Abu Hanifah yang memiliki pengecualian jika masa haidnya telah mencapai batas maksimal (misalnya 10 hari) dan darah telah berhenti. Dalam kondisi ini, Abu Hanifah membolehkan hubungan intim, meskipun istri belum sempat mandi, asalkan waktu shalat telah berlalu (untuk menghindari kesulitan). Namun, ini adalah pandangan minoritas.

Kasus 2: Darah Belum Berhenti, Namun Sudah Mandi: Hubungan haram secara mutlak, karena sumber adhā (kotoran) masih ada. Mandi (ghusl) hanya mengangkat hadas besar, tapi darah haid adalah penghalang fisik yang haram didekati.

5. Batas Waktu Minimal dan Maksimal Haid

Penentuan status haid sangat penting untuk menentukan kapan 'suci' terjadi. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, yang secara langsung mempengaruhi penerapan Al-Baqarah 222:

Perbedaan durasi ini sangat krusial. Jika darah berhenti pada hari ke-16 menurut Mazhab Syafi'i, maka wanita tersebut dianggap mengalami Istihādah sejak hari ke-15, dan statusnya adalah suci (wajib shalat), meskipun harus tetap menjaga kebersihan karena darah yang keluar adalah darah penyakit, bukan haid.

Ayat Al-Qur'an dan Keseimbangan Ilustrasi kitab suci Al-Qur'an terbuka, dengan simbol timbangan di bawahnya, melambangkan keadilan dan keseimbangan hukum Islam.

Hikmah Syar'iyyah: Kesehatan, Psikologi, dan Spiritual

Perintah dalam Al-Baqarah 222 adalah manifestasi rahmat Allah SWT. Terdapat tiga dimensi utama di balik larangan ini:

1. Dimensi Kesehatan (Adhā):

Darah haid secara biologis adalah hasil dari peluruhan lapisan endometrium yang tidak dibuahi. Darah ini bukan hanya najis ritual (hadas), tetapi juga najis fisik. Secara medis, melakukan hubungan intim saat haid dapat meningkatkan risiko kesehatan yang signifikan, termasuk:

Dengan menetapkan larangan ini, Islam mendahului ilmu kedokteran modern dalam prinsip pencegahan dan menjaga kebersihan reproduksi.

2. Dimensi Psikologis dan Emosional:

Jeda seksual selama haid berfungsi sebagai 'rehat' wajib dalam kehidupan pernikahan. Jeda ini mendorong pasangan untuk fokus pada bentuk-bentuk keintiman non-seksual, seperti komunikasi, sentuhan kasih sayang, dan dukungan emosional. Ini memperkuat fondasi cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) yang tidak hanya bergantung pada pemenuhan hasrat fisik semata. Larangan ini memastikan bahwa pasangan melihat satu sama lain sebagai manusia seutuhnya, bukan sekadar objek pemuas hasrat.

3. Dimensi Spiritual dan Penyucian (Mutathahhirin):

Ayat ditutup dengan, “Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat (at-Tawwabīn) dan menyukai orang yang menyucikan diri (al-Mutathahhirīn).” Ini adalah penekanan ganda. Tobat ditujukan bagi mereka yang mungkin telah melanggar larangan tersebut. Sementara al-Mutathahhirīn merujuk pada mereka yang senantiasa menjaga kesucian, baik dari najis fisik (darah haid) maupun hadas spiritual (melalui wudu dan ghusl).

Kepatuhan terhadap hukum haid adalah bentuk kepatuhan terhadap perintah Allah. Kesucian dalam Islam bukan hanya tentang ritual, tetapi juga tentang disiplin diri, pengendalian nafsu, dan menjaga batasan ilahi.

Aplikasi Praktis dan Elaborasi Mendalam Mengenai Thaharah

Untuk memahami sepenuhnya bagaimana Al-Baqarah 222 beroperasi dalam kehidupan sehari-hari, kita harus menyelam lebih dalam ke isu-isu terkait yang sering menjadi pertanyaan dalam fikih kontemporer dan klasik.

I. Perbedaan Antara Haid dan Istihādah

Pengetahuan tentang haid (darah bulanan alami) versus istihādah (darah penyakit/abnormal) adalah kunci. Jika seorang wanita mengalami istihādah (darah yang keluar di luar batas maksimal haid, atau karena kondisi medis), maka status hukumnya berbeda total:

  1. Status Thaharah: Wanita Istihādah dianggap suci secara hukum. Ia wajib shalat, puasa, dan hubungan intim diperbolehkan.
  2. Kewajiban Khusus: Karena darahnya terus mengalir, wanita Istihādah diwajibkan melakukan wudu setiap kali memasuki waktu shalat (setelah membersihkan darah dan menggunakan pembalut yang efektif) dan boleh melaksanakan shalat dengan kondisi tersebut.

Ayat 222 hanya berlaku untuk al-maḥīḍ (haid). Karena itu, mengenali pola darah (kebiasaan) adalah ilmu fikih yang wajib dipelajari oleh setiap muslimah.

II. Peran Ghusl dalam Pemulihan Status Hukum

Mandi wajib (ghusl) adalah ritual penyucian yang mengubah status wanita dari ‘muhīd’ (sedang haid) menjadi ‘ṭāhir’ (suci) dan mengizinkan kembalinya aktivitas ibadah dan intimasi. Ghusl harus dilakukan dengan niat mengangkat hadas besar dan membasahi seluruh anggota badan dengan air suci mensucikan.

Jika darah berhenti di malam hari, namun wanita menunda mandi hingga setelah Subuh (sebelum waktu shalat berakhir), statusnya:

Pentingnya Taṭahharu (tindakan mandi) tidak dapat dilewatkan. Ia adalah penutup ritual bagi masa najis tersebut, dan tanpa itu, walaupun bahaya fisik darah telah hilang, penghalang spiritual masih ada.

III. Hubungan Antara Ayat Ini dan Kebutuhan Kontemporer

Di era modern, dengan kontrasepsi hormonal dan kemajuan medis, terkadang pola haid bisa diatur atau dihentikan. Para ulama kontemporer sepakat bahwa hukum Al-Baqarah 222 tetap berlaku, terlepas dari penyebab keluarnya darah. Jika darah yang keluar adalah darah haid secara medis (bukan darah penyakit atau pendarahan ringan), maka hukum haramnya hubungan intim tetap berlaku.

Ayat ini juga memberikan pedoman etis bagi suami. Suami dilarang memaksa atau menekan istri untuk berhubungan intim selama periode haid. Kewajiban menghormati kondisi istri dan menunggu hingga ia suci adalah bagian dari kesempurnaan iman dan perlakuan yang baik (mu'asyarah bil ma'ruf).

IV. Detail Fikih Tentang ‘Area Selain Farj’

Mengingat larangan dalam ayat ini sangat spesifik terhadap tempat keluarnya adhā, para fuqaha mencoba menentukan seberapa jauh batasan bolehnya interaksi fisik, yang dikenal sebagai istimtā' (bersenang-senang atau mencumbu).

Jumhur (terutama Syafi'iyah dan Hanbaliyah) sangat menekankan larangan mencumbui area antara pusar dan lutut secara langsung (tanpa kain penghalang). Argumen mereka didasarkan pada prinsip sadd al-dharā’i’ (menutup jalan menuju kemaksiatan). Kekhawatiran mereka adalah bahwa keintiman yang terlalu dekat tanpa batasan dapat dengan mudah terjerumus pada hubungan intim yang dilarang (Jima'). Oleh karena itu, bagi mereka, menggunakan kain atau pakaian sebagai pembatas adalah hal yang sangat dianjurkan untuk mencegah pelanggaran hukum Al-Baqarah 222.

Sementara itu, Mazhab Maliki dan sebagian pendapat dalam Mazhab Hanafi melihat bahwa larangan tersebut hanya berlaku untuk penetrasi. Mereka berargumen bahwa mencumbu di luar farj adalah halal karena Islam melarang pengasingan total dan membolehkan interaksi serta keintiman emosional. Mereka berpegangan pada kaidah bahwa 'asal segala sesuatu adalah mubah (boleh) kecuali yang dilarang oleh dalil syar'i', dan dalil syar'i hanya melarang Jima'.

Meskipun terdapat perbedaan ini, semangat umum dari ayat 222 adalah menjaga kesucian dan memastikan kenyamanan istri, serta menghindari aktivitas yang berisiko kesehatan.

V. Konsep Tobat dan Pemurnian Diri

Ayat ini ditutup dengan pujian Allah bagi at-Tawwabīn (orang-orang yang bertaubat) dan al-Mutathahhirīn (orang-orang yang menyucikan diri). Penempatan kedua sifat ini di akhir ayat sangat signifikan:

At-Tawwabīn: Menyadari bahwa manusia pasti berbuat salah. Karena larangan ini sangat berkaitan dengan hawa nafsu, potensi pelanggaran selalu ada. Pujian bagi yang bertaubat menunjukkan bahwa pintu rahmat Allah terbuka lebar bagi mereka yang menyesali pelanggaran larangan haid ini dan bertekad untuk tidak mengulanginya. Tobat ini harus disertai dengan kafarat (jika diyakini wajib).

Al-Mutathahhirīn: Ini mencakup penyucian fisik (dari najis haid, melalui ghusl) dan penyucian moral/spiritual (menjauhi perbuatan yang dilarang). Muslim yang ideal adalah mereka yang peduli terhadap kebersihan ritualnya sekaligus kebersihan jiwanya dari dosa dan maksiat. Menjaga batas-batas haid adalah latihan pengendalian diri yang menguatkan pemurnian spiritual.

Konsolidasi Hukum: Syarat Mutlak Kembali ke Keintiman

Penerapan hukum dalam Al-Baqarah 222 bersifat ketat dan memiliki dua syarat yang harus dipenuhi secara berurutan sebelum pasangan diizinkan untuk kembali melakukan hubungan intim:

Syarat Pertama: Berhentinya Darah (Inqiṭā’ al-Dam)

Ini adalah syarat fisik yang mutlak. Darah harus benar-benar berhenti mengalir. Berhentinya dapat diketahui melalui dua tanda yang diakui dalam fikih:

  1. Al-Qassah al-Bayḍā’ (Cairan Putih): Keluarnya cairan putih jernih yang menandakan rahim telah bersih total. Ini adalah tanda yang umum ditemukan di kalangan muslimah.
  2. Al-Jufūf (Kekeringan): Tidak ada lagi darah atau bercak kekuningan/kecokelatan yang tersisa pada kapas atau pembalut saat dimasukkan ke dalam area kewanitaan.

Jika seorang wanita ragu apakah darahnya telah berhenti atau belum, ia harus menunggu hingga keyakinan suci tercapai. Hanya setelah inqiṭā’ al-dam, barulah ia beralih ke syarat kedua.

Syarat Kedua: Mandi Wajib (Ghusl al-Hayd)

Ini adalah syarat ritual. Bahkan jika darah telah berhenti selama beberapa hari, ghusl harus dilaksanakan. Proses ghusl ini bukan hanya pembersihan fisik, tetapi juga ritual pengangkatan hadas besar, yang mengembalikan status wanita sebagai suci secara ritual (bisa shalat, thawaf, dan berhubungan intim).

Ayat ini adalah bukti kuat bahwa Islam adalah agama yang mengintegrasikan kesehatan fisik dengan kesucian ritual. Hukum ini menekankan pentingnya disiplin diri dan kepatuhan yang mendetail, memastikan bahwa setiap tindakan dalam rumah tangga didasarkan pada keridhaan Ilahi.

Kehidupan Pasca-Haid: Fa’tūhunna min ḥaythu amarakumullāh

Setelah kedua syarat terpenuhi, Allah berfirman, “...campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu.” Frasa ini membuka pintu kembali ke hubungan intim yang halal, namun tetap dengan batasan etika. Para mufassir menafsirkan frasa ini dalam dua makna:

  1. Makna Hukum (Paling Kuat): Campurilah mereka di tempat yang dihalalkan Allah, yaitu melalui farj (vagina), dan jauhilah perbuatan terlarang seperti anal seks, yang diharamkan secara terpisah dalam syariat.
  2. Makna Etika: Campurilah mereka dengan cara yang baik, penuh kasih sayang, dan sesuai dengan etika Islam, menjauhi kekerasan atau pemaksaan.

Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam aktivitas yang diizinkan, seorang mukmin harus selalu mengingat perintah dan etika dari Allah SWT, menjadikan hubungan suami istri sebagai ibadah yang bernilai pahala.

Kesimpulan: Ketaatan dan Kesucian

Surah Al-Baqarah ayat 222 adalah pilar penting dalam hukum keluarga Islam. Ayat ini bukan sekadar larangan, melainkan sebuah kurikulum komprehensif tentang kesehatan, keadilan sosial, dan kesucian spiritual. Islam melalui ayat ini mengajarkan umatnya untuk menghormati fitrah biologis wanita, menolak ekstremisme pengasingan, dan pada saat yang sama, menegakkan prinsip kebersihan (thaharah) sebagai separuh dari iman.

Kepatuhan terhadap batas-batas yang ditetapkan oleh ayat ini adalah wujud nyata dari keimanan seorang muslim. Ia menunjukkan pengendalian diri suami, penghormatan terhadap kondisi istri, dan pemahaman mendalam bahwa hubungan intim yang paling suci adalah yang dijalankan sesuai dengan panduan dan keridhaan Allah SWT. Dengan menjaga kesucian fisik dan spiritual, umat Islam mewujudkan janji yang termuat dalam penutup ayat: mendapatkan cinta Allah yang menyukai mereka yang bertaubat dan senantiasa menyucikan diri.

Ayat ini abadi, relevan, dan terus berfungsi sebagai pengingat akan keindahan dan kesempurnaan syariat yang mengatur setiap aspek kehidupan manusia, bahkan dalam hal yang paling intim sekalipun.

Semua pujian bagi Allah, Rabb semesta alam.
🏠 Kembali ke Homepage