Al-Baqarah Ayat 87: Pelajaran Abadi dari Siklus Penolakan terhadap Para Nabi

Ilustrasi penolakan ajaran para Nabi WAHYU Alt Text: Ilustrasi penolakan ajaran para Nabi.

Kebenaran (Wahyu) yang Ditolak oleh Keangkuhan Manusia.

Surah Al-Baqarah, surah terpanjang dalam Al-Qur'an, berfungsi sebagai pengantar komprehensif terhadap prinsip-prinsip dasar Islam. Di dalamnya, Allah SWT tidak hanya menjelaskan hukum-hukum syariat dan pedoman hidup bagi umat Islam, tetapi juga merinci sejarah umat-umat terdahulu—terutama Bani Isra'il—sebagai pelajaran dan peringatan. Ayat 87 merupakan titik kritis dalam narasi ini, menyingkap karakter dasar dari suatu kaum yang secara konsisten diberikan petunjuk, namun memilih jalur pembangkangan dan penolakan.

وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَقَفَّيْنَا مِن بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ ۖ وَآتَيْنَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ ۗ أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَىٰ أَنفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ

Dan sungguh, Kami telah memberikan kepada Musa Kitab (Taurat), dan Kami telah menyusulkan setelahnya rasul-rasul, dan Kami telah memberikan kepada Isa putra Maryam bukti-bukti kebenaran serta Kami kuatkan dia dengan Ruhul Qudus (Jibril). Mengapa setiap kali datang kepada kalian seorang rasul dengan membawa sesuatu (ajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan hawa nafsu kalian, lalu kalian menyombongkan diri, sehingga sebagian di antara mereka kalian dustakan dan sebagian (yang lain) kalian bunuh?

I. Konteks Historis dan Tempat Ayat dalam Surah Al-Baqarah

Ayat 87 ini merupakan bagian dari rangkaian ayat (dari ayat 40 hingga 123) yang secara spesifik ditujukan kepada Bani Isra'il. Tujuannya adalah untuk mengungkap inkonsistensi, kebohongan, dan pengkhianatan mereka terhadap perjanjian ilahi, sekaligus memperingatkan kaum Muslimin agar tidak jatuh pada kesalahan yang sama. Ayat ini merangkum sejarah panjang interaksi Allah dengan Bani Isra'il melalui para utusan-Nya.

1. Anugerah Kitab dan Rantai Kenabian

Ayat ini diawali dengan pengakuan atas anugerah yang sangat besar: pemberian Kitab (Taurat) kepada Nabi Musa AS. Ini bukan sekadar buku hukum, melainkan peta jalan spiritual dan sosial. Frasa "wa qaffaynā min ba‘dihi bir rusul" (dan Kami menyusulkan setelahnya rasul-rasul) menunjukkan kesinambungan risalah kenabian. Allah tidak pernah meninggalkan Bani Isra'il tanpa panduan. Setelah Musa, datanglah Yusha', Daud, Sulaiman, Ilyas, Alyasa', Yunus, hingga Zakariyya dan Yahya, yang semuanya berjuang keras untuk mengembalikan kaum mereka ke jalan tauhid yang murni.

2. Keistimewaan Nabi Isa AS

Penyebutan Nabi Isa putra Maryam secara spesifik dengan dua anugerah besar—al-bayyināt (bukti-bukti kebenaran atau mukjizat) dan penguatan oleh Ruhul Qudus (Ruh yang Kudus, umumnya ditafsirkan sebagai Malaikat Jibril)—menyoroti betapa jelasnya petunjuk yang dibawa oleh Isa. Mukjizatnya, seperti menghidupkan yang mati dan menyembuhkan yang buta sejak lahir, seharusnya menghilangkan segala keraguan. Namun, sambutan yang diberikan oleh Bani Isra'il justru penolakan dan upaya pembunuhan.

II. Analisis Inti Ayat: Akar Penolakan

Inti teguran ilahi dalam Al-Baqarah 87 terletak pada pertanyaan retoris yang menusuk: Mengapa Bani Isra'il menolak kebenaran? Jawabannya dirangkum dalam tiga fase kronologis kesalahan:

1. Dikelola oleh Hawa Nafsu (Lā Tahwā Anfusukum)

Ini adalah akar permasalahan spiritual. Mereka tidak menolak pesan itu karena ketidakjelasan logis atau kurangnya bukti, melainkan karena pesan tersebut bertentangan dengan selera, kepentingan pribadi, atau norma sosial yang sudah terlanjur mereka nikmati. Para Nabi seringkali datang membawa ajaran yang menuntut pengorbanan, keadilan sosial yang ketat, atau meninggalkan tradisi sesat yang sudah mapan. Ketika kebenaran bertabrakan dengan ego, mereka memilih ego.

2. Kesombongan (Istakbartum)

Penolakan yang didasari hawa nafsu melahirkan kesombongan. Istikbar berarti merasa diri lebih tinggi, menolak tunduk pada otoritas ilahi. Mereka merasa mereka lebih cerdas, lebih kaya, atau lebih mapan daripada para utusan yang dikirim kepada mereka. Kesombongan inilah yang menutup pintu hati mereka, menghalangi mereka untuk melihat mukjizat yang jelas sekalipun.

Dalam konteks Bani Isra'il, kesombongan mereka seringkali berbentuk klaim sebagai "umat pilihan" (chosen people) yang membuat mereka merasa memiliki hak istimewa untuk menafsirkan (atau membatalkan) hukum Tuhan sesuka hati mereka, atau merasa bahwa utusan yang dikirim tidak setara dengan status yang mereka bayangkan.

3. Konsekuensi Berat: Mendustakan dan Membunuh

Reaksi kolektif mereka terbagi menjadi dua kelompok besar, mencerminkan puncak kejahatan terhadap risalah ilahi:

  1. Fafarīqan kadzdhabtum (sebagian kalian dustakan): Ini adalah penolakan verbal, klaim bahwa utusan tersebut adalah pendusta, penyihir, atau orang gila. Contohnya adalah penolakan terhadap Nabi Isa dan, kemudian, Nabi Muhammad SAW.
  2. Wa farīqan taqtulūn (dan sebagian kalian bunuh): Ini adalah penolakan fisik dan tindakan ekstrem. Para mufasir sepakat bahwa ini merujuk pada pembunuhan brutal terhadap banyak Nabi yang diutus kepada mereka, termasuk Nabi Zakariyya dan putranya, Yahya (Yohanes Pembaptis). Frasa taqtulūn (bentuk kata kerja masa kini/akan datang) menunjukkan bahwa perilaku ini adalah kecenderungan yang berkelanjutan dan akan terus terjadi, bukan hanya peristiwa sejarah masa lalu.

III. Tafsir Mendalam Klasik: Pendapat Para Ulama

Untuk memahami kedalaman ayat Al-Baqarah 87, kita perlu menelaah pandangan para mufasir klasik yang menjelaskan sejauh mana kejahatan Bani Isra'il ini.

1. Tafsir Ibn Katsir tentang Konsekuensi Kekuatan Diri

Imam Ibn Katsir menyoroti bahwa ayat ini adalah pengingat betapa besarnya nikmat yang diberikan kepada Bani Isra'il (kitab, rasul, mukjizat). Namun, ia menekankan bahwa sifat keras kepala mereka telah mencapai puncaknya. Mereka menolak risalah karena istikbar (kesombongan) dan penentangan terhadap haqq (kebenaran). Khusus mengenai Nabi Isa, Ibn Katsir menjelaskan bahwa mukjizat yang diberikan kepada Isa (seperti menghidupkan yang mati) adalah bukti yang mutlak, namun mereka tetap mendustakannya, bahkan berusaha menyalibnya—suatu tindakan yang Allah halangi.

Ibn Katsir juga mencatat, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis, bahwa membunuh Nabi adalah kejahatan terbesar yang dilakukan oleh Bani Isra'il, dan hukuman untuk dosa tersebut sangatlah berat, tercermin dalam kehancuran dan pembuangan mereka berulang kali dari tanah suci.

2. Tafsir Al-Thabari: Kontinuitas Dosa

Imam Al-Thabari menjelaskan bahwa frasa "Mengapa setiap kali datang kepada kalian seorang rasul..." menunjukkan bahwa ini adalah pola perilaku yang berulang. Ini bukan insiden tunggal, melainkan karakter yang mengakar. Para rasul datang membawa petunjuk yang sesuai dengan kehendak Allah, tetapi karena petunjuk tersebut menuntut mereka meninggalkan kebiasaan buruk, menunaikan zakat, atau berpegang pada keadilan, Bani Isra'il bereaksi dengan penolakan keras.

Al-Thabari secara khusus menafsirkan Ruhul Qudus sebagai Jibril AS, yang merupakan utusan kekuatan dari Allah, menegaskan bahwa Isa AS diperkuat bukan dengan kekuatan duniawi, melainkan dengan kekuatan spiritual dan ilahi yang tertinggi, yang seharusnya membuat penolakannya mustahil bagi akal sehat.

3. Tafsir Al-Qurtubi: Bahaya Memilih-milih Ajaran

Al-Qurtubi menyoroti bahaya memilih-milih di antara para rasul. Dengan mendustakan sebagian dan membunuh sebagian lainnya, Bani Isra'il telah menghancurkan fondasi keimanan. Keimanan sejati mengharuskan penerimaan terhadap semua rasul tanpa membedakan. Dengan menolak ajaran yang tidak disukai, mereka secara implisit menolak Allah yang mengutus mereka semua.

Ayat ini berfungsi sebagai kritik tajam terhadap praktik Bani Isra'il yang menerima Taurat (karena sesuai dengan kepentingan mereka pada saat itu) namun menolak Injil dan Al-Qur'an, atau bahkan menolak aspek-aspek Taurat yang terlalu keras bagi mereka. Sikap 'pilih-pilih' ini adalah manifestasi konkret dari dominasi hawa nafsu.

IV. Kasus-kasus Pembunuhan Nabi dalam Sejarah Bani Isra'il

Meskipun Al-Qur'an tidak menyebutkan nama-nama spesifik dalam ayat ini, tradisi Islam dan sumber-sumber sejarah lainnya menguatkan fakta bahwa Bani Isra'il membunuh sejumlah besar utusan yang diutus untuk membimbing mereka, terutama setelah era Musa dan Daud.

1. Zakariyya dan Yahya (Yohanes Pembaptis)

Dua contoh yang paling sering dikutip oleh para mufasir sehubungan dengan taqtulūn adalah Nabi Zakariyya dan putranya, Nabi Yahya. Keduanya diutus untuk memperbaiki moral Bani Isra'il yang telah merosot. Nabi Yahya dikenal karena kecaman kerasnya terhadap pelanggaran hukum Taurat dan pernikahan yang tidak sah di kalangan elit penguasa saat itu. Penolakan terhadap ajarannya berujung pada penangkapan dan pembunuhan yang tragis, atas desakan penguasa yang terpengaruh oleh hawa nafsu wanita. Pembunuhan Nabi Yahya adalah puncak dari penolakan terang-terangan terhadap seruan keadilan.

2. Upaya Pembunuhan Nabi Isa AS

Nabi Isa AS adalah kelompok yang didustakan dan hampir dibunuh. Penolakan Bani Isra'il (khususnya para rabi dan elit Yahudi) terhadap Isa bukan hanya karena ajaran spiritualnya yang dianggap mengancam otoritas mereka, tetapi juga karena Isa datang tanpa kekuatan militer atau politik yang mereka harapkan dari seorang Mesias. Mereka menganggap Isa sebagai penyihir atau orang yang melanggar hukum, dan karenanya bersekongkol untuk menyalibnya—yang kemudian digagalkan oleh Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam Surah An-Nisa.

3. Tradisi Pembunuhan Berulang

Sejumlah besar Nabi "kecil" dan pemberi peringatan lainnya yang diutus dalam periode antara kehancuran Baitul Maqdis pertama dan kedua juga menghadapi nasib serupa. Ini menunjukkan bahwa membunuh atau menolak utusan Tuhan telah menjadi solusi politik atau agama yang biasa digunakan oleh Bani Isra'il untuk menghilangkan kritikan dan ancaman terhadap status quo mereka.

V. Pelajaran Fundamental bagi Umat Muhammad SAW

Peringatan terhadap Bani Isra'il dalam Al-Baqarah 87 bukanlah sekadar kisah sejarah; ia adalah cermin bagi umat Islam. Ayat ini memuat pelajaran universal mengenai sikap yang benar dalam menghadapi wahyu.

1. Bahaya Sinkretisme dan Sekularisasi Wahyu

Pelajaran terpenting adalah kewaspadaan terhadap kecenderungan untuk memisahkan ajaran agama dari kehidupan sehari-hari atau hanya menerima bagian yang mudah. Ketika seorang Muslim menerima salat dan puasa (yang ringan bagi jiwa) tetapi menolak prinsip syariat yang mengatur ekonomi, politik, atau keadilan sosial (yang bertentangan dengan kepentingan pribadi atau gaya hidup), ia mengulang kesalahan Bani Isra'il. Ini adalah sikap mendustakan sebagian ajaran karena lā tahwā anfusukum.

2. Melawan Kesombongan Intelektual dan Spiritual

Kesombongan (istikbar) hari ini mungkin tidak berbentuk pembunuhan fisik terhadap Nabi, tetapi dapat berupa kesombongan intelektual yang menolak ajaran Al-Qur'an dan Sunnah karena dianggap "tidak relevan" atau "ketinggalan zaman" oleh standar modern. Kesombongan ini juga muncul ketika seseorang merasa ilmu dunianya lebih tinggi daripada hikmah ilahi, atau ketika ia menolak nasihat dari ulama yang benar dengan alasan merasa lebih tahu.

3. Prinsip Kepatuhan Total (As-Sam’u wat-Tā‘ah)

Kewajiban umat Islam adalah menerima seluruh risalah, dari awal hingga akhir, tanpa diskriminasi. Kita wajib beriman kepada Musa, Isa, dan Muhammad, serta seluruh rasul di antara mereka. Keimanan yang utuh menuntut kepatuhan yang menyeluruh (as-sam’u wat-tā‘ah). Kita mendengarkan dan kita taat, bahkan jika hukum tersebut terasa berat atau menuntut pengorbanan besar. Inilah benteng utama agar tidak jatuh ke dalam jurang penolakan yang dialami Bani Isra'il.

VI. Analisis Lanjutan dan Implikasi Modern

Memahami Al-Baqarah 87 dalam konteks modern membantu kita mengenali bagaimana pola penolakan terhadap kebenaran masih terus terjadi, meskipun dalam bentuk yang lebih terselubung.

1. Siklus Kekuasaan dan Agama

Bani Isra'il kerap kali membiarkan agama mereka dikuasai oleh kepentingan politik dan kekuasaan duniawi. Ketika seorang Nabi datang dengan pesan yang mengancam kekuasaan raja, imam, atau elit kaya, para elit ini menggunakan otoritas agama mereka yang sudah rusak untuk membenarkan penolakan dan eksekusi. Dalam konteks modern, kita melihat fenomena di mana pihak-pihak yang berkuasa berusaha membungkam suara keadilan atau ulama yang kritis, mengulang skema pembungkaman para Nabi.

2. Manifestasi Pembunuhan Spiritual

Jika pembunuhan fisik Nabi sudah tidak mungkin, manifestasi modern dari taqtulūn adalah 'pembunuhan spiritual' atau 'pembunuhan karakter'. Ini terjadi ketika:

Semua ini adalah taktik kesombongan modern untuk menghindari ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh kebenaran absolut.

3. Peran Ruhul Qudus dalam Pemahaman

Penguatan Isa AS dengan Ruhul Qudus menunjukkan bahwa petunjuk ilahi memerlukan bantuan spiritual yang murni. Bagi umat Muhammad SAW, penguatan ini hadir melalui pemahaman mendalam (hikmah) yang hanya dapat diperoleh melalui ketaatan tulus dan kebersihan hati. Ketika hati dipenuhi hawa nafsu dan kesombongan, bahkan petunjuk yang paling jelas (seperti yang dibawa Isa dengan mukjizatnya) akan gagal menembus, seolah-olah Ruhul Qudus tidak pernah ada.

Oleh karena itu, upaya membersihkan hati (tazkiyatun nafs) adalah prasyarat fundamental untuk menerima ajaran Islam secara total dan menghindari kesalahan historis yang dikutuk dalam Al-Baqarah 87.

VII. Kontinuitas Risalah dan Kedudukan Nabi Muhammad SAW

Ayat Al-Baqarah 87 berfungsi sebagai jembatan yang menjelaskan mengapa kenabian harus berakhir dengan Nabi Muhammad SAW. Setelah siklus kegagalan Bani Isra'il yang berulang, Allah memilih umat baru untuk mengemban amanah risalah terakhir.

1. Bukti Kenabian Muhammad SAW

Ketika ayat ini diturunkan di Madinah, kaum Yahudi di sana menolak Nabi Muhammad SAW, meskipun mereka tahu dari kitab suci mereka sendiri bahwa seorang Nabi terakhir akan datang. Penolakan mereka adalah manifestasi terbaru dari pola yang sama: mereka menolak Muhammad karena ia datang dari Bani Isma'il, bukan Bani Isra'il, dan ajarannya menuntut mereka melepaskan hak istimewa sosial dan ekonomi mereka.

Mereka menganggap ajaran Muhammad SAW "tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka" karena menuntut mereka untuk:

2. Kemenangan Risalah yang Sempurna

Berbeda dengan kaum terdahulu, umat Islam (umat Muhammad SAW) diperintahkan untuk menjadi ummatan wasathan (umat pertengahan/terbaik), yang bertanggung jawab menjaga risalah ini dari penyimpangan. Al-Qur'an tidak hanya menjadi petunjuk, tetapi juga dijanjikan pemeliharaan abadi. Dengan demikian, meskipun orang-orang mungkin menolak Al-Qur'an secara individu atau kolektif, mereka tidak akan mampu membunuh atau menghilangkan pesan itu sendiri, seperti yang telah mereka lakukan terhadap para Nabi terdahulu.

VIII. Memperdalam Makna Kesombongan (Istikbar)

Kesombongan, sebagaimana didefinisikan oleh Rasulullah SAW, adalah batharul haqq wa ghamthun naas (menolak kebenaran dan meremehkan manusia). Dalam konteks Al-Baqarah 87, kesombongan Bani Isra'il memiliki dimensi ganda:

1. Bathar al-Haqq: Penolakan terhadap Wahyu

Mereka menolak Nabi karena kebenaran yang dibawa menyingkap kelemahan mereka sendiri. Sebagai contoh, ketika Isa AS mengkritik fokus mereka yang berlebihan pada ritual tanpa substansi spiritual, mereka merasa dihina. Mereka tidak melihat Isa sebagai pembawa risalah, melainkan sebagai pengganggu tradisi yang diyakini nenek moyang mereka. Kesombongan ini mencegah pengakuan terhadap kebenaran, bahkan ketika bukti (mukjizat) ada di depan mata.

2. Ghamth an-Naas: Meremehkan Utusan

Banyak Nabi yang diutus kepada Bani Isra'il tidak berasal dari kalangan elit kekuasaan mereka. Mereka meremehkan para utusan ini berdasarkan status sosial atau latar belakang. Sikap ini berakar pada perasaan superioritas klan, yang merupakan inti dari kesombongan. Mereka berpikir, "Bagaimana mungkin Tuhan memilih orang ini, bukan kami, untuk menyampaikan pesan?" Padahal, hak untuk memilih utusan mutlak milik Allah SWT.

IX. Peringatan tentang Kontaminasi Sumber Ajaran

Sikap Bani Isra'il dalam mendustakan dan membunuh nabi tidak hanya terjadi secara eksternal (penolakan publik), tetapi juga internal (korupsi ajaran). Ketika mereka gagal menghilangkan rasul secara fisik, mereka berusaha mengubah isi risalah.

1. Pemalsuan dan Penyembunyian Kebenaran

Ayat-ayat sebelum dan sesudah Al-Baqarah 87 juga berbicara tentang bagaimana Bani Isra'il memutarbalikkan firman Allah, menulis kitab dengan tangan mereka sendiri dan mengklaimnya sebagai firman Allah. Ini adalah cara lain untuk ‘membunuh’ risalah; jika mereka tidak bisa membunuh pembawanya, mereka membunuh pesan itu sendiri dengan memalsukannya agar sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan kelompok mereka.

2. Kepatuhan Selektif

Pola ini menunjukkan bahwa Bani Isra'il hanya tunduk pada hukum yang mendukung keuntungan mereka, misalnya, hukum yang melindungi properti mereka atau yang memberikan mereka superioritas atas bangsa lain. Namun, ketika datang perintah yang menuntut keadilan bagi orang miskin, atau hukuman yang setimpal atas dosa mereka (seperti hukuman mati bagi pembunuh nabi), mereka mengelak, berdusta, atau berusaha menafsirkan ulang hukum tersebut.

X. Kesimpulan Reflektif

Al-Baqarah 87 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur'an yang menjelaskan hubungan abadi antara manusia dan wahyu. Ini bukan hanya sebuah laporan sejarah yang muram; ini adalah diagnosa terhadap penyakit spiritual yang paling berbahaya: percampuran antara keinginan pribadi dan kebenaran ilahi.

Allah SWT telah memberikan kepada kita Kitab yang sempurna, Al-Qur'an, dan diutuslah Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para Nabi, dengan bukti-bukti yang tidak terbantahkan. Tanggung jawab kita, sebagai umat terakhir, adalah memastikan bahwa kita tidak mengulangi kesalahan fatal Bani Isra'il.

Keimanan kita diuji setiap hari: apakah kita akan menerima ajaran yang dibawa oleh Al-Qur'an dan Sunnah secara utuh, meskipun itu bertentangan dengan hawa nafsu, tren sosial, atau kepentingan ekonomi kita? Ataukah kita akan membiarkan kesombongan dan keinginan diri menenggelamkan kita ke dalam kategori mereka yang "mendustakan sebagian dan membunuh sebagian lainnya"?

Ketaatan penuh, kerendahan hati, dan pengakuan atas keunggulan wahyu di atas akal dan keinginan pribadi adalah satu-satunya jalan untuk menggenapi amanah umat terbaik, menjauhi dosa mendustakan dan membunuh pesan-pesan suci yang telah berulang kali dikirimkan kepada umat manusia sejak masa Nabi Musa hingga akhir zaman.

🏠 Kembali ke Homepage