Kajian Intensif Surah Al-Baqarah Ayat 225: Dimensi Niat, Sumpah, dan Hikmah Pemaafan Ilahi

Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, memuat pedoman hidup yang komprehensif, mencakup akidah, syariat, dan muamalat. Di antara hukum-hukum penting yang diatur adalah mengenai sumpah (yamin). Ayat 225 hadir sebagai klarifikasi fundamental yang membedakan antara sumpah yang bersifat mengikat dan sumpah yang terucap tanpa kesengajaan, menekankan bahwa Allah Yang Maha Mengetahui tidak menghukum manusia atas ketidak sengajaan lisan, melainkan atas intensi yang tertanam di dalam hati.

لَّا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغْوِ فِىٓ أَيْمَـٰنِكُمْ وَلَـٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ‌ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan (sumpah) yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah: 225)

Ilustrasi Hati dan Cahaya Ilahi Representasi hati manusia yang dipantau oleh cahaya pengetahuan ilahi, melambangkan niat dalam Sumpah. NIAT
Gambar 1: Fokus Hukum pada Intensi Hati (Niat).

I. Tafsir Lafazh per Lafazh: Membedah Makna Kunci

Untuk memahami kedalaman ayat ini, penting untuk menganalisis tiga komponen utama yang membentuk hukum sumpah, yaitu al-laghw (sumpah sia-sia), kasabat qulubukum (apa yang diusahakan hati), dan atribut Ghafurun Halim (Maha Pengampun lagi Maha Penyantun).

A. Makna Al-Laghw (Sumpah Sia-sia)

Kata al-laghw (اللَّغْوِ) secara bahasa berarti sesuatu yang tidak berguna, tidak diperhitungkan, atau sesuatu yang terucap tanpa sengaja dan tanpa maksud yang serius. Dalam konteks sumpah, para ulama tafsir dan fikih memiliki beberapa pandangan mengenai definisi spesifik dari Yaminul Laghw (Sumpah Sia-sia) yang diampuni oleh Allah:

1. Sumpah yang Terucap Karena Kebiasaan (Lisanun Jarain)

Ini adalah pandangan mayoritas ulama. Laghw merujuk pada ucapan yang sering terulang secara spontan dalam percakapan sehari-hari tanpa ada niat sama sekali untuk mengikat diri pada sumpah yang sebenarnya. Contohnya, seseorang berkata, "Demi Allah, saya tidak melakukan itu," padahal kalimat itu hanya ungkapan lisan yang berfungsi sebagai penekanan biasa. Imam Asy-Syafi'i cenderung pada pandangan ini, menekankan bahwa sumpah yang keluar tanpa intensi (qasd) bersumpah tidak memerlukan kaffarah (penebusan).

2. Sumpah atas Hal yang Diyakini Benar, Namun Ternyata Salah

Pandangan lain, yang sering dinisbatkan kepada Ibnu Abbas dan juga menjadi salah satu pendapat dalam mazhab Hanafi, mendefinisikan laghw sebagai sumpah yang dilakukan seseorang atas keyakinan bahwa ia benar, tetapi kemudian terbukti bahwa informasinya keliru. Misalnya, seseorang bersumpah, "Demi Allah, Zaid ada di rumah," karena ia yakin telah melihat Zaid, tetapi ternyata yang dilihatnya adalah orang lain. Karena ia tidak berbohong secara sengaja, sumpah ini dianggap laghw dan tidak berdosa, meskipun tidak mengubah kenyataan. Sumpah jenis ini menunjukkan bahwa pemaafan Allah terkait erat dengan ketidaksengajaan hati.

3. Sumpah dalam Keadaan Marah atau Tertekan

Meskipun sebagian besar ulama memasukkan sumpah dalam keadaan marah ke dalam kategori Yaminul Mun'aqidah (sumpah yang mengikat) jika ada intensi, beberapa tafsir juga memberikan ruang bahwa sumpah yang terucap saat marah luar biasa (yang menghilangkan kontrol lisan) bisa mendekati kategori laghw. Namun, ini adalah pandangan yang lebih hati-hati, karena marah sering kali dianggap masih menyisakan sedikit kontrol atas ucapan.

Intinya, ayat 225 memberikan jaminan keamanan psikologis: kesalahan lisan yang tidak berakar pada intensi jahat atau serius tidak akan membawa konsekuensi hukum berat di sisi Allah.

B. Fokus Hukum pada Kasabat Qulubukum (Apa yang Diusahakan Hati)

Kontras dari al-laghw adalah sumpah yang dilakukan 'disebabkan oleh apa yang diusahakan oleh hatimu' (بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ). Frasa ini adalah inti hukum dan moralitas dalam Islam. Ayat ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban di sisi Allah (mu'akhadzah) terletak pada niat, kesengajaan, dan kemauan bebas (ikhtiar) yang timbul dari hati. Hukum tidak melihat pada ucapan lisan semata, tetapi pada niat yang mendukung ucapan tersebut.

1. Definisi Yaminul Mun'aqidah (Sumpah yang Mengikat)

Sumpah yang diusahakan hati disebut Yaminul Mun'aqidah. Ini adalah sumpah yang memenuhi tiga syarat utama:

Jika seseorang melanggar Yaminul Mun'aqidah, ia wajib membayar kaffarah (penebusan), yang diatur secara rinci dalam Surah Al-Ma'idah ayat 89.

2. Peran Hati sebagai Pusat Pertanggungjawaban

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa hati adalah raja dari seluruh anggota badan. Ucapan yang terucap namun tanpa dukungan niat hati tidak memiliki bobot moral yang sama dengan ucapan yang didorong oleh kemauan hati. Inilah yang membedakan sumpah dusta (yaminul ghamus) dari sumpah sia-sia (yaminul laghw).

Sumpah dusta (Yaminul Ghamus) adalah sumpah yang dilakukan seseorang atas masa lalu dengan sengaja berbohong, padahal hatinya mengetahui kebenaran yang sebaliknya. Sumpah jenis ini sangat besar dosanya dan disebut Ghamus (yang menenggelamkan) karena ia menenggelamkan pelakunya ke dalam neraka. Menurut mayoritas ulama, sumpah ghamus tidak bisa ditebus dengan kaffarah harta benda, tetapi hanya bisa dihapus melalui taubat nasuha yang murni, karena ia berkaitan dengan hak Allah (dusta) dan seringkali hak manusia (kerugian akibat dusta).

C. Atribut Ilahi: Ghafurun Halim (Maha Pengampun, Maha Penyantun)

Penutup ayat, Wa Allahu Ghafurun Halim (Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun), berfungsi sebagai penenang dan penegas rahmat-Nya. Penggunaan dua nama ini sangat relevan dengan konteks sumpah yang tidak disengaja:

1. Al-Ghafur (Maha Pengampun)

Menunjukkan bahwa Allah mengampuni dosa-dosa yang mungkin timbul dari ketidaksempurnaan manusia dalam menjaga lisan dan niatnya, terutama pada Yaminul Laghw. Pemaafan-Nya adalah luas, mencakup kekhilafan dan kelalaian yang tidak disengaja.

2. Al-Halim (Maha Penyantun/Pemaaf)

Atribut Al-Halim mengandung makna kesabaran, penangguhan hukuman, dan kelembutan. Allah tidak tergesa-gesa dalam menghukum hamba-Nya meskipun mereka melanggar. Dia memberi waktu, kesempatan untuk bertaubat, dan tidak segera menuntut pertanggungjawaban atas kesalahan yang terucap tanpa niat. Kehaliman-Nya memungkinkan manusia untuk belajar dari kesalahan tanpa dihukum secara instan.

II. Klasifikasi Fiqih Terperinci Mengenai Sumpah (Yamin)

Ayat 225 adalah fondasi bagi seluruh hukum sumpah dalam fikih Islam (Bab Al-Aiman). Para fuqaha (ahli fikih) membagi sumpah menjadi tiga kategori utama, yang masing-masing memiliki hukum dan konsekuensi yang berbeda sesuai dengan intensi hati yang disebutkan dalam ayat ini.

A. Yaminul Laghw (Sumpah Sia-Sia atau Tidak Bertujuan)

Sebagaimana dijelaskan di atas, ini adalah sumpah yang tidak ada konsekuensinya, baik berupa dosa maupun kaffarah. Hukum Islam memaafkan jenis ini sebagai bentuk kemudahan (taysir) bagi umat manusia.

B. Yaminul Mun'aqidah (Sumpah yang Mengikat)

Ini adalah jenis sumpah yang dilarang untuk dilanggar dan membutuhkan kaffarah jika dilanggar, karena ia berasal dari niat yang sungguh-sungguh dari hati.

1. Definisi dan Konsekuensi

Sumpah ini terkait dengan janji di masa depan. Misalnya, "Demi Allah, saya tidak akan berbicara dengan Fulan selama sebulan." Jika ia melanggar sumpah tersebut, ia tidak berdosa karena pelanggaran janji (karena ia bisa bertaubat dan menebus), tetapi ia wajib membayar kaffarah.

2. Rincian Kaffarah (Penebusan)

Kaffarah sumpah diatur dalam QS. Al-Ma'idah ayat 89, yang memberikan tiga opsi berurutan:

  1. Memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan standar keluarga, atau
  2. Memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau
  3. Membebaskan seorang budak (opsi yang kini tidak relevan).

Jika seseorang tidak mampu melakukan salah satu dari tiga opsi di atas, maka opsi terakhir adalah berpuasa selama tiga hari. Para fuqaha sangat detail dalam menjelaskan jumlah makanan per orang (biasanya satu mud atau setengah sha' gandum/beras, tergantung mazhab) dan batas kemampuan seseorang untuk membayar kaffarah.

Prinsip fiqih di sini adalah bahwa sumpah yang mengikat menunjukkan keseriusan hati, dan pelanggarannya memerlukan tindakan serius (kaffarah) untuk memperbaiki kesalahan dan menjaga kehormatan nama Allah.

C. Yaminul Ghamus (Sumpah Dusta yang Menenggelamkan)

Meskipun ayat 225 secara eksplisit membahas laghw, pemahaman tentang 'apa yang diusahakan hati' mencakup Yaminul Ghamus. Ini adalah sumpah yang paling berbahaya.

III. Dimensi Ruhaniyah dan Niat dalam Hukum Islam

Ayat 225 bukan hanya memberikan batasan hukum; ia juga mengajarkan prinsip teologis mendasar: Allah mengetahui niat dan rahasia yang tersembunyi. Ini sejalan dengan hadits masyhur, "Innamal a'malu bin-niyyat" (Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya).

A. Hati Sebagai Sumber Hukum Moral

Penekanan pada 'apa yang diusahakan hati' (kasabat qulubukum) menempatkan hati (qalb) sebagai sentralitas pertanggungjawaban moral dan spiritual. Dalam Islam, ucapan lisan tanpa niat yang berakar dianggap cacat. Ini menunjukkan keadilan Ilahi yang tidak menghukum manusia atas ketidaksengajaan yang bersifat mekanis, tetapi atas kehendak bebas dan pilihan moral.

Para sufi dan ahli tasawuf menggunakan ayat ini untuk menekankan pentingnya introspeksi. Hati harus dijaga dari intensi buruk, karena itulah yang paling dilihat oleh Allah SWT. Jika lisan adalah penerjemah, hati adalah pengadil pertama. Hati yang 'mengusahakan' (kasabat) berarti hati yang secara sadar memilih dan berkehendak untuk melakukan sumpah atau tindakan tertentu, termasuk memilih untuk berbohong atau mengikat janji.

B. Implikasi Ayat Terhadap Hubungan Sosial (Muamalat)

Secara sosial, ayat ini menggarisbawahi pentingnya kejujuran transaksional. Jika sumpah yang mengikat diabaikan, kredibilitas individu dan stabilitas masyarakat terancam. Hukum kaffarah hadir bukan hanya sebagai hukuman, tetapi sebagai mekanisme pembersihan (taharah) dan tanggung jawab sosial. Dengan memberi makan orang miskin sebagai tebusan, pelanggaran sumpah diubah menjadi tindakan kebaikan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Lebih dari lima puluh kasus hukum dalam fiqih (terutama terkait pernikahan, talak, dan perdagangan) kembali kepada prinsip niat. Ayat 225 ini mengajarkan bahwa dalam perselisihan, niatlah yang menentukan keabsahan klaim atau janji yang diucapkan. Seorang hakim harus berusaha keras menggali intensi di balik lisan seseorang.

IV. Konteks dan Korelasi Ayat (Hubungan dengan Ayat 224)

Ayat 225 tidak berdiri sendiri. Ia hadir tepat setelah Ayat 224, yang melarang penggunaan sumpah (dengan nama Allah) sebagai penghalang untuk melakukan kebaikan, bertakwa, dan mengadakan perdamaian antara manusia. Ayat 224 berbunyi:

"Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 224)

A. Pencegahan Sumpah yang Menghalangi Kebaikan

Ayat 224 ditujukan kepada mereka yang mungkin bersumpah untuk menahan diri dari tindakan baik, misalnya bersumpah tidak akan membantu kerabatnya yang membutuhkan karena marah. Jika sumpah itu mengikat (mun'aqidah), Ayat 224 memerintahkan untuk melanggarnya demi kebaikan, tetapi dengan kewajiban membayar kaffarah.

Imam At-Tabari menjelaskan bahwa korelasi antara 224 dan 225 adalah sebagai berikut: Ayat 224 menetapkan bahwa sumpah yang mengikat boleh dilanggar jika menghalangi kebaikan, asalkan ada kaffarah. Sementara Ayat 225 memberikan pengecualian, menjelaskan bahwa tidak semua sumpah membutuhkan kaffarah, khususnya jika ia adalah sumpah sia-sia (laghw) yang tidak didukung oleh niat hati. Ini adalah rangkaian hukum yang sempurna: menetapkan aturan umum, memberikan pengecualian yang meringankan, dan menempatkan niat sebagai penentu.

B. Keseimbangan Antara Syariat dan Maqasid

Rangkaian ayat ini menunjukkan keseimbangan sempurna dalam syariat. Di satu sisi, Islam menghormati sumpah karena melibatkan nama Allah. Di sisi lain, Islam menempatkan tujuan syariat (Maqasid Syariah)—seperti persatuan, kebaikan, dan takwa—di atas sumpah itu sendiri. Jika sumpah menghalangi tujuan-tujuan mulia ini, maka sumpah tersebut harus diputus (dibatalkan) dan ditebus. Ayat 225 memastikan bahwa keringanan hukum juga diterapkan, sehingga kesalahan lisan tidak membebani hamba-Nya.

V. Ekspansi Mendalam: Analisis Linguistik dan Balaghah Ayat

Kekuatan ayat 225 juga terletak pada struktur bahasa Arab (balaghah) yang digunakan, khususnya dalam pemilihan kata 'kasabat' (كَسَبَتْ) dan penyatuan nama 'Ghafurun Halim'.

A. Pilihan Kata Kasabat (Mengusahakan)

Kata kerja kasabat (dari akar K-S-B) memiliki konotasi 'mendapatkan dengan usaha' atau 'memperoleh melalui tindakan yang disengaja'. Allah tidak menggunakan kata seperti 'terlintas' (khathara) atau 'terpikirkan' (tafakkur) di hati, tetapi 'mengusahakan'. Ini menyiratkan bahwa sumpah yang dipertanggungjawabkan bukanlah pikiran yang sekadar melintas, melainkan niat yang telah dimantapkan, diolah, dan menjadi kehendak hati untuk diwujudkan dalam lisan.

Konsep kasb dalam teologi Asy'ariyah dan Maturidiyah juga relevan, meskipun dalam konteks yang berbeda. Namun, intinya tetap sama: ada unsur partisipasi aktif manusia (usaha) dalam membentuk niat yang kemudian melahirkan pertanggungjawaban. Jika niat tidak diusahakan secara sadar, itu masuk kategori laghw (sia-sia).

B. Signifikansi Penggabungan Ghafurun dan Halim

Dalam Al-Qur'an, asmaul husna sering digabungkan secara strategis untuk memberikan konteks pada hukum yang baru saja disebutkan. Dalam hal sumpah, Allah memilih Ghafurun (Pengampun) dan Halim (Penyantun/Pemaaf):

1. Relevansi Al-Halim dengan Sumpah

Kehaliman Allah sangat tampak dalam hukum sumpah. Sumpah yang mengikat seringkali dilanggar karena kelemahan manusiawi atau perubahan keadaan. Jika Allah menghukum setiap pelanggaran sumpah tanpa penangguhan, kehidupan akan sangat sulit. Kehaliman-Nya memungkinkan adanya mekanisme kaffarah (penebusan) sebagai jalan keluar yang praktis dan penuh kasih. Dia tidak segera menghukum, tetapi memberikan jalan untuk membersihkan diri.

2. Keseimbangan Antara Keadilan dan Rahmat

Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun Allah adalah Hakim yang paling adil (menghukum niat buruk), Dia juga paling Penyayang (memaafkan kelalaian lisan). Keseimbangan ini memastikan bahwa syariat tidak memberatkan umat-Nya. Hukum sumpah adalah cerminan dari kaidah fikih "Al-Masyaqqatu tajlibut-taysir" (Kesulitan membawa pada kemudahan).

Timbangan Keadilan dan Pemaafan Sebuah timbangan yang melambangkan keadilan hukum, dengan satu sisi lebih ringan (sumpah sia-sia) dan sisi lain lebih berat (niat hati). LAGHW NIAT HATI
Gambar 2: Keseimbangan Hukum Sumpah.

VI. Perbedaan Pandangan Ulama Klasik dalam Mendefinisikan Laghw

Meskipun semua ulama sepakat pada prinsip dasar ayat 225, ada perbedaan nuansa dalam mendefinisikan batas-batas Yaminul Laghw dan Yaminul Mun'aqidah. Perbedaan ini terutama relevan dalam mazhab fikih yang berbeda, dan pemahaman terhadap perdebatan ini menambah kedalaman pada interpretasi ayat.

A. Pendapat Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafi)

Imam Abu Hanifah dan pengikutnya cenderung membatasi definisi Yaminul Laghw hanya pada sumpah yang berkaitan dengan masa lalu, di mana orang yang bersumpah meyakini dirinya benar, namun ternyata keliru. Misalnya, bersumpah saat bersaksi di pengadilan atas fakta yang diyakininya benar. Jika ternyata salah, ia tidak berdosa dan tidak wajib kaffarah. Namun, sumpah yang terucap karena kebiasaan lisan (seperti "Demi Allah, saya datang sekarang") tanpa merujuk pada suatu peristiwa penting, seringkali mereka anggap mendekati Yaminul Mun'aqidah jika ada sedikit intensi untuk penekanan. Hanafi sangat berhati-hati dalam membebaskan kaffarah.

B. Pendapat Imam Malik (Mazhab Maliki)

Mazhab Maliki memiliki pendekatan yang lebih luas terhadap laghw. Mereka memasukkan sumpah yang keluar karena kebiasaan lisan dan juga sumpah yang dilakukan dalam keadaan marah yang ekstrem, selama kemarahan tersebut membuat seseorang kehilangan kontrol atas niatnya. Namun, mereka juga sangat ketat terhadap sumpah yang disengaja. Bagi Maliki, yang paling penting adalah apakah ada intensi qasd (maksud utama) saat mengucapkan sumpah. Jika tidak ada, sumpah itu laghw.

C. Pendapat Imam Asy-Syafi'i (Mazhab Syafi'i)

Imam Asy-Syafi'i adalah yang paling ketat dalam mendefinisikan Yaminul Mun'aqidah. Beliau berpendapat bahwa Yaminul Laghw adalah murni sumpah yang terucap tanpa sengaja sebagai kebiasaan lisan (lisanun jarain). Beliau memandang bahwa jika ada niat (walaupun lemah) atau jika sumpah terkait dengan peristiwa masa lalu yang ternyata bohong (meski diyakini benar), ini bisa mendekati mun'aqidah atau ghamus.

D. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali)

Mazhab Hanbali memiliki pandangan yang paling inklusif terhadap definisi laghw. Mereka menyatukan dua pandangan utama:

  1. Sumpah yang terucap secara spontan tanpa niat (kebiasaan lisan).
  2. Sumpah atas sesuatu di masa lalu yang diyakini benar namun ternyata keliru.

Pandangan Hanbali ini dianggap paling sesuai dengan semangat keringanan (rukhsah) yang terkandung dalam penutup ayat Ghafurun Halim.

Rekapitulasi Fiqih dan Implikasinya

Inti dari perdebatan mazhab adalah mencari batas yang presisi antara 'lisan yang terbiasa' dan 'hati yang mengusahakan'. Apabila lisan terbiasa mengucapkan sumpah namun tanpa niat serius, ia dimaafkan. Namun, ketika lisan itu dikaitkan dengan janji masa depan atau penegasan fakta masa lalu, ia secara otomatis membutuhkan niat sadar, dan di sinilah pertanggungjawaban hukum dimulai.

VII. Konsekuensi Spiritual dan Pendidikan Akhlak

Di luar kerangka hukum (fikih), ayat 225 berfungsi sebagai landasan pendidikan akhlak (tarbiyah) bagi seorang Muslim, mengajarkan pengendalian diri dan penghormatan terhadap nama Allah.

A. Mengendalikan Lisan (Hifzhul Lisan)

Meskipun sumpah sia-sia dimaafkan, ayat ini secara implisit mendorong umat Muslim untuk tidak sembarangan menggunakan nama Allah dalam percakapan sehari-hari. Penggunaan nama Allah haruslah sakral dan terkait dengan perkara penting. Jika seseorang terlalu sering menggunakan sumpah, bahkan yang laghw, ia berisiko mengurangi kemuliaan nama Allah dan membuat orang lain meragukan keseriusannya ketika ia benar-benar bersumpah secara mengikat.

B. Budaya Akuntabilitas Internal

Ayat ini mengajarkan akuntabilitas internal. Muslim diajarkan bahwa Allah tidak hanya menilai tindakan luar, tetapi juga proses berpikir, kehendak, dan intensi di dalam hati. Hal ini memotivasi seseorang untuk senantiasa membersihkan niat (tazkiyatun nafs) sebelum bertindak atau berbicara, mengetahui bahwa Pengawasan Ilahi tidak pernah luput dari apa yang diusahakan oleh hati.

Dalam konteks modern, di mana komunikasi lisan seringkali santai dan cepat, ayat 225 menjadi pengingat kritis. Kekhilafan lisan dimaafkan, namun kesengajaan untuk menipu atau mengingkari janji tetap dihukum. Niat adalah filter utama antara lisan dan konsekuensi ilahi.

C. Manifestasi Rahmat dalam Syariat

Keringanan hukum dalam Yaminul Laghw adalah salah satu manifestasi Rahmat Ilahi yang mencegah syariat menjadi terlalu kaku atau tidak realistis terhadap kelemahan manusia. Jika setiap ucapan spontan harus ditebus, beban hidup akan tak tertahankan. Allah, yang Maha Mengetahui kelemahan lisan manusia, memberikan keringanan ini sebagai tanda kemurahan-Nya. Ini menguatkan prinsip bahwa Islam adalah agama yang mudah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, "Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tidaklah seseorang mempersulit (berlebihan) agama ini kecuali ia akan terkalahkan."

VIII. Kesimpulan: Prinsip Universal Ayat 225

Surah Al-Baqarah ayat 225 adalah salah satu pilar utama dalam hukum Islam yang berkaitan dengan pertanggungjawaban moral dan hukum. Ayat ini memberikan fondasi yang kokoh, yang telah diuraikan dan diperluas oleh para ulama selama berabad-abad, memastikan bahwa keadilan dan rahmat selalu berjalan beriringan.

Secara ringkas, ayat ini menetapkan tiga prinsip universal:

  1. Keringanan untuk Kelalaian Lisan: Sumpah yang terucap secara spontan atau karena kebiasaan (Yaminul Laghw) dimaafkan.
  2. Pertanggungjawaban Intensional: Hukum dan moralitas didasarkan pada niat yang disengaja dan diusahakan oleh hati (Kasabat Qulubukum).
  3. Rahmat Mendahului Murka: Penutup ayat (Ghafurun Halim) menjamin bahwa Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha Penyantun, menyediakan mekanisme penebusan bagi kesalahan yang disengaja (Yaminul Mun'aqidah) dan memaafkan kesalahan yang tidak disengaja.

Kajian mendalam terhadap ayat 225 ini tidak hanya memberikan pemahaman tentang hukum sumpah, tetapi juga menawarkan pelajaran etika yang lebih luas: pentingnya menjaga niat, mengendalikan lisan, dan senantiasa merujuk pada keadilan dan kelembutan Allah dalam setiap aspek kehidupan.

Ayat ini berfungsi sebagai pedoman abadi bagi umat, mengingatkan bahwa meskipun kata-kata memiliki kekuatan, niat yang tersembunyi di dalam sanubari adalah penentu utama nasib dan kedudukan seseorang di hadapan Sang Pencipta.

🏠 Kembali ke Homepage