Surah Ali Imran ayat 103 adalah salah satu pilar fundamental dalam bangunan ajaran Islam yang menekankan pentingnya persatuan, kohesi sosial, dan kepatuhan kolektif kepada sumber hukum Illahi. Ayat ini tidak hanya sekadar perintah, tetapi juga pengingat historis akan nikmat besar yang dianugerahkan Allah kepada umat Islam: nikmat persaudaraan (ukhuwah) setelah sebelumnya hidup dalam jurang perpecahan dan permusuhan yang mendalam. Memahami ayat ini secara komprehensif memerlukan telaah mendalam terhadap setiap frasa, konteks sejarah penurunannya, dan implikasi praktisnya dalam kehidupan modern.
Ayat ini dapat dipecah menjadi tiga perintah dan pengingat yang saling terkait, yang membentuk fondasi bagi tatanan sosial Islam yang kokoh:
Perintah pertama, "وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا" (Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali Allah seluruhnya), adalah inti dari persatuan. Para ulama tafsir sepakat bahwa "Hablullah" (Tali Allah) merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Inilah satu-satunya landasan yang diakui Allah sebagai standar kebenaran, keadilan, dan tata cara kehidupan. Dengan menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai tali yang sama-sama dipegang, perbedaan-perbedaan cabang (furu') yang muncul dalam fiqh atau interpretasi tidak akan berujung pada perpecahan fundamental (tafriqah).
Kata kunci di sini adalah "جَمِيعًا" (seluruhnya/bersama-sama). Ini menunjukkan bahwa persatuan bukanlah pilihan, melainkan kewajiban kolektif. Berpegang teguh secara individu saja tidak cukup; umat harus berpegang teguh secara simultan dan sinkron. Ketika semua tangan berpegangan pada tali yang sama, gaya tarik dan dorong internal akan tereliminasi, dan umat akan bergerak dalam arah yang sama. Kekuatan kolektif inilah yang menjadi benteng terhadap upaya musuh untuk memecah belah.
Larangan yang menyertai perintah persatuan adalah "وَلَا تَفَرَّقُوا" (dan janganlah kamu bercerai berai). Perpecahan, atau tafraqah, dianggap sebagai dosa besar dalam Islam karena ia melemahkan umat, menghilangkan keberkahan, dan membuka celah bagi musuh-musuh Islam. Perpecahan muncul bukan hanya karena perbedaan pendapat, tetapi karena perbedaan sikap: ketika perbedaan pendapat diangkat menjadi sumber permusuhan, melampaui batas-batas toleransi, dan mengarah pada pengkafiran atau penolakan terhadap sesama Muslim.
Allah SWT memperingatkan dalam ayat lain bahwa bercerai berai adalah karakteristik umat-umat terdahulu yang dihancurkan karena mereka memilih untuk mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan pedoman yang jelas. Oleh karena itu, larangan ini merupakan perlindungan ilahiah terhadap kehancuran internal. Perpecahan dalam konteks Al-Qur'an sering kali disamakan dengan kesesatan dan penyimpangan dari jalan lurus. Kesatuan adalah manifestasi fisik dari Tauhid, sementara perpecahan adalah manifestasi Syirik dalam tingkatan sosial dan komunitas.
Bagian ketiga adalah pengingat yang menyentuh hati: "وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا" (dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan hati-hati kamu, lalu menjadilah kamu karena nikmat-Nya orang-orang yang bersaudara).
Ini adalah pengakuan bahwa persatuan bukanlah hasil dari kekuatan manusia, strategi politik, atau kesepakatan suku, melainkan murni anugerah (nikmat) dari Allah SWT. Perasaan cinta dan persaudaraan yang mengikat hati kaum Muslimin adalah mukjizat spiritual. Ayat ini secara spesifik merujuk pada latar belakang historis yang sangat dramatis, yaitu konflik berdarah antara suku Aus dan Khazraj di Madinah. Sebelum Islam, kedua suku ini terlibat dalam peperangan yang berlangsung selama ratusan tahun, di mana dendam diwariskan dari generasi ke generasi. Islam datang dan dalam waktu singkat, mengubah musuh bebuyutan menjadi saudara yang saling mencintai dan membela.
Konteks penurunan ayat 103 ini sangat penting untuk memahami kedalaman makna "nikmat persaudaraan." Kisah Aus dan Khazraj (yang kemudian dikenal sebagai kaum Anshar) merupakan studi kasus tentang bagaimana perpecahan yang paling parah sekalipun dapat disembuhkan total oleh Islam.
Sebelum kedatangan Nabi Muhammad ﷺ, Yatsrib (Madinah) adalah kota yang dikuasai oleh ketegangan abadi antara dua suku Arab utama, Aus dan Khazraj. Konflik mereka, terutama yang dikenal sebagai Perang Bu'ats, telah menghabiskan kekayaan, jiwa, dan moralitas kedua suku tersebut. Mereka hidup dalam siklus pembalasan dendam yang tak berujung. Ketika seseorang dari Aus dibunuh, Khazraj harus membayar dengan darah, dan siklus ini terus berulang. Keadaan ini menciptakan masyarakat yang lemah, rentan, dan mudah diintervensi oleh pihak luar (terutama suku-suku Yahudi yang mendiami Madinah pada saat itu).
Tidak ada pemimpin yang berhasil mendamaikan mereka secara permanen karena solusi yang ditawarkan selalu berbasis kepentingan suku, bukan prinsip universal.
Ketika Nabi Muhammad ﷺ tiba di Madinah setelah hijrah, beliau tidak hanya membawa ajaran baru, tetapi juga membawa konsep persaudaraan universal (al-ukhuwwah al-Islamiyah) yang melampaui ikatan darah atau suku. Aus dan Khazraj menerima Islam, dan dengan ketaatan mereka terhadap "Tali Allah" (Al-Qur'an), dendam ratusan tahun itu melebur menjadi kasih sayang yang tulus. Mereka kini bersatu dalam satu identitas, yaitu identitas Muslim, dan disebut sebagai Anshar (Penolong).
Ayat 103 turun sebagai peringatan dan pujian atas transformasi luar biasa ini. Allah mengingatkan mereka: "Ingatlah! Kalian dulunya adalah musuh, tetapi karena nikmat-Ku (yaitu Islam), kalian menjadi saudara." Pengingatan ini bertujuan agar umat Islam selalu menghargai nikmat persatuan tersebut dan menjauhi segala upaya untuk mengembalikan diri mereka ke jurang permusuhan Jahiliyah.
Terdapat riwayat yang masyhur mengenai sebab turunnya ayat ini. Suatu ketika, seorang Yahudi tua bernama Syasy bin Qais, yang sangat dengki melihat persatuan kaum Muslimin, mencoba membangkitkan kembali semangat kesukuan antara Aus dan Khazraj. Dia menyuruh seorang pemuda untuk duduk di tengah-tengah mereka dan membacakan syair-syair lama yang memuji kemenangan salah satu suku dalam Perang Bu'ats. Strategi ini berhasil. Kedua kelompok mulai saling membanggakan diri dan bersiap mengambil senjata. Hampir saja terjadi pertumpahan darah kembali, seandainya Nabi Muhammad ﷺ tidak segera datang menengahi.
Nabi ﷺ berseru dengan keras: "Wahai kaum Muslimin, apakah kalian kembali ke masa Jahiliyah setelah Allah memuliakan kalian dengan Islam dan mempersatukan kalian? Apakah kalian akan bercerai berai sementara aku berada di antara kalian?" Kejadian inilah yang menjadi momentum diturunkannya ayat 103, sebagai peringatan bahwa musuh akan selalu berusaha menghidupkan kembali perpecahan lama. Hal ini mengajarkan bahwa menjaga persatuan membutuhkan kewaspadaan abadi terhadap bisikan-bisikan perpecahan, baik dari luar maupun dari dalam.
Jika Hablullah adalah Al-Qur'an dan Sunnah, maka berpegang teguh kepadanya memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar membaca atau menghafalnya. Ini melibatkan komitmen total pada metodologi dan substansi ajaran yang dibawa oleh keduanya.
Persatuan yang dituntut oleh Al Imran 103 adalah persatuan pada sumber hukum yang sah. Artinya, umat harus sepakat bahwa Al-Qur'an dan Sunnah adalah otoritas tertinggi dalam setiap perselisihan. Ketika terjadi perbedaan interpretasi (khilafiyah), rujukan harus kembali kepada prinsip-prinsip syariat yang universal, bukan pada kepentingan pribadi atau mazhab semata. Inilah yang membedakan perselisihan yang diperbolehkan (khilaf ijtihadi) dari perpecahan yang dilarang (tafriqah madzmumah).
Perselisihan ijtihadi adalah produk alami dari dinamika berpikir manusia, yang masih berpegang pada Hablullah. Adapun perpecahan yang dilarang terjadi ketika seseorang atau kelompok menolak Hablullah dan membuat tali baru (yaitu ideologi, hawa nafsu, atau taklid buta) yang bertentangan dengan prinsip dasar agama. Perpecahan muncul ketika suatu kelompok merasa hanya interpretasi mereka sajalah yang benar dan menafikan interpretasi kelompok lain yang sama-sama berpegang pada sumber yang sama.
Ukhuwah (persaudaraan) adalah buah dari berpegang teguh pada Hablullah. Ia adalah hubungan spiritual yang diikat oleh iman. Ini lebih kuat daripada ikatan darah. Ketika seorang Muslim melupakan statusnya sebagai "saudara" dari Muslim lain, ia telah merusak tali Allah yang telah disatukan oleh-Nya.
Persaudaraan ini menuntut hak-hak timbal balik: saling mencintai karena Allah, saling menasihati dengan hikmah, menutup aib saudara, membantu saat kesulitan, dan menunaikan kewajiban sosial. Pelanggaran terhadap hak-hak ini—seperti ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), dan prasangka buruk—adalah langkah-langkah menuju Tafarraqu (perpecahan). Persatuan bukanlah sekadar kehadiran fisik, melainkan kesatuan hati (ta'liful qulub) yang disebutkan dalam ayat tersebut.
Ayat 103 secara implisit mengingatkan umat bahwa ancaman terhadap Islam seringkali datang dalam bentuk pelemahan persatuan. Musuh Islam tidak perlu menghancurkan umat secara fisik jika mereka dapat membuat umat menghancurkan dirinya sendiri melalui perpecahan internal. Baik itu perpecahan politik, mazhab, atau etnis, semuanya adalah strategi Iblis untuk mengembalikan umat ke kondisi Jahiliyah.
Oleh karena itu, menjaga persatuan adalah bagian dari jihad yang paling fundamental. Setiap Muslim memiliki kewajiban untuk tidak menjadi penyebab perpecahan, bahkan jika itu berarti mengorbankan ego atau pandangan pribadi demi kepentingan kolektif yang lebih besar, selama prinsip-prinsip syariat tidak dilanggar.
Di era kontemporer, umat Islam dihadapkan pada keragaman budaya, politik, dan perbedaan pemahaman yang semakin kompleks. Ayat 103 menjadi kompas yang sangat relevan. Bagaimana umat dapat menjaga persatuan ketika perbedaan pendapat (khilaf) tampak semakin tajam?
Perbedaan dalam masalah fiqih (cabang hukum) adalah keniscayaan dan rahmat. Persatuan yang dituntut oleh Al Imran 103 bukanlah keseragaman, melainkan kesatuan tujuan. Kita harus mengakui bahwa semua mazhab fiqih yang muktabar (diakui) sama-sama berpegangan pada Hablullah (Al-Qur'an dan Sunnah), meskipun dengan metodologi ijtihad yang berbeda.
Manajemen khilafiyah menuntut adab: tidak memaksakan pendapat kepada orang lain, menghormati ijtihad yang sah, dan tidak menjadikan perbedaan furu' (cabang) sebagai alasan untuk menjauhi atau memutus silaturahmi. Misalnya, perbedaan dalam tata cara salat atau penentuan awal bulan, tidak boleh dijadikan garis pemisah yang menyebabkan permusuhan. Selama semua pihak bersujud menghadap Kiblat yang sama, mereka masih dalam ikatan Hablullah.
Salah satu penyebab utama perpecahan modern adalah ashabiyah atau fanatisme yang sempit, baik itu fanatisme mazhab, organisasi, atau kelompok. Fanatisme menyebabkan seseorang mencintai atau membenci karena kelompoknya, bukan karena Allah. Ini persis seperti semangat kesukuan Jahiliyah yang ingin dihidupkan kembali oleh musuh-musuh Islam di Madinah.
Ayat 103 mengajarkan bahwa satu-satunya identitas utama kita adalah Islam. Kesetiaan harus pada prinsip, bukan pada figur atau kelompok. Ketika kesetiaan dialihkan dari Hablullah kepada idola atau organisasi, saat itulah perpecahan mulai berakar, karena setiap organisasi memiliki "tali"nya sendiri yang bersaing dengan tali Allah yang universal.
Ulama memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi pewaris Nabi dalam menjaga persatuan. Mereka harus menjadi jembatan, bukan pemisah. Tugas utama mereka adalah mengembalikan umat kepada Al-Qur'an dan Sunnah, mengajarkan adab berdialog, dan meredam ketegangan yang muncul dari perbedaan ijtihad.
Ketika ulama atau pemimpin justru menjadi agen perpecahan, dengan mengkafirkan atau memfasilitasi kebencian antar-kelompok, mereka secara langsung menentang perintah Al Imran 103 dan mengkhianati nikmat persaudaraan yang telah diberikan Allah. Kewajiban pemimpin umat adalah memastikan bahwa medan dakwah tetap fokus pada prinsip-prinsip dasar (ushul) dan memperbolehkan fleksibilitas dalam cabang (furu').
Meskipun Asbabun Nuzul ayat ini terkait dengan Aus dan Khazraj, perintah untuk berpegang teguh pada tali Allah adalah universal dan berlaku bagi seluruh umat Islam di penjuru dunia. Persatuan global (al-wahdah al-Islamiyah) adalah cita-cita yang lahir dari semangat Ali Imran 103.
Persatuan umat Islam menjadi sangat vital ketika menghadapi ancaman kolektif, baik berupa penjajahan, kezaliman politik, atau propaganda anti-Islam. Dalam situasi ini, perbedaan etnis, kebangsaan, atau mazhab harus diletakkan di bawah kepentingan ukhuwah Islamiyah. Ayat ini mendorong umat untuk membentuk kekuatan kolektif yang tak terpisahkan, sehingga musuh tidak menemukan celah untuk menundukkan satu bagian umat tanpa ditentang oleh bagian umat yang lain.
Kekuatan yang hilang akibat perpecahan sangat besar. Sejarah Islam dipenuhi dengan pelajaran pahit tentang jatuhnya kekhalifahan dan wilayah karena penguasa-penguasa Muslim sibuk bertengkar satu sama lain, alih-alih bersatu melawan kekuatan eksternal. Ayat ini adalah seruan abadi untuk mengutamakan kepentingan umat di atas kepentingan negara-bangsa atau sekte.
Mencapai persatuan membutuhkan fiqih prioritas (fiqh al-awlawiyat). Prioritas utama adalah kesepakatan pada rukun iman, rukun Islam, dan sumber hukum syariah (Hablullah). Masalah-masalah yang disepakati (mujtama' alaih) harus dijadikan landasan utama. Masalah-masalah yang diperselisihkan (mukhtalaf fihi) harus dikelola dengan toleransi dan adab ilmiah. Pengalihan energi umat dari masalah-masalah prioritas (seperti keadilan, ekonomi, dan pendidikan) kepada perdebatan tak berujung mengenai masalah cabang adalah salah satu bentuk perpecahan yang paling merusak.
Ayat 103 mendesak umat untuk menggunakan energi persatuan mereka untuk membangun peradaban dan bukan untuk saling menjatuhkan. Ketika persatuan berfokus pada pembangunan, perbedaan kecil akan terasa tidak signifikan.
Jika persatuan adalah nikmat terbesar yang harus disyukuri, maka perpecahan adalah azab yang harus dihindari. Allah memberikan peringatan keras terhadap mereka yang memilih jalan perpecahan setelah kebenaran datang kepada mereka.
Dalam ayat 105 Surah Ali Imran, yang merupakan kelanjutan dari konteks ini, Allah berfirman: "Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat."
Ayat ini menunjukkan bahwa perpecahan setelah mengetahui kebenaran (yaitu setelah menerima Hablullah) adalah kejahatan serius yang akan berujung pada siksa yang pedih. Ini menegaskan bahwa persatuan bukan sekadar urusan sosial, tetapi tuntutan keimanan yang sangat fundamental. Orang yang memecah belah umat adalah orang yang menolak nikmat Allah yang paling berharga.
Di dunia, konsekuensi utama dari perpecahan adalah hilangnya kekuatan (al-quwwah) dan hilangnya keberhasilan (an-najah). Allah berfirman dalam Surah Al-Anfal: "Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu..." (QS. Al-Anfal: 46).
Ayat ini menegaskan hubungan langsung antara perdebatan (pertengkaran/perselisihan yang merusak) dengan hilangnya kekuatan. Ketika umat sibuk berdebat dan saling menyalahkan, energi mereka terbuang, keberanian mereka hilang (gentar), dan akhirnya mereka mudah dikalahkan. Sebaliknya, persatuan melahirkan sinergi, kekuatan militer, kestabilan politik, dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Pelajaran dari Al Imran 103 adalah bahwa kegagalan umat Islam saat ini sebagian besar disebabkan oleh penyakit internal ini. Kita memiliki sumber hukum yang sempurna (Hablullah), tetapi kita gagal berpegang teguh padanya secara kolektif, sehingga nikmat persaudaraan yang seharusnya menjadi kekuatan kita justru berubah menjadi kelemahan.
Perintah untuk berpegang teguh pada tali Allah dan tidak bercerai berai harus diterjemahkan dalam tindakan nyata, dari tingkatan individu hingga institusional. Persatuan dimulai dari hati yang bersih dan sikap yang benar.
Inti dari persaudaraan yang sukses adalah itar, yaitu mendahulukan kebutuhan dan kepentingan saudara seiman di atas kepentingan diri sendiri. Ini adalah karakteristik Anshar yang dipuji Allah dan merupakan antitesis dari egoisme dan individualisme yang memicu perpecahan.
Ithar menuntut kita untuk bersabar terhadap kekurangan saudara kita, memberikan maaf, dan menjauhi mencari-cari kesalahan. Ketika setiap Muslim berjuang untuk memberi lebih banyak daripada yang ia ambil, hubungan sosial akan diperkuat, dan benih-benih perpecahan akan layu sebelum sempat tumbuh. Jiwa itar inilah yang menambal celah-celah kecil yang seringkali dilebarkan oleh nafsu menjadi jurang perpecahan.
Diskusi yang sehat tidak merusak persatuan, melainkan memperkaya pemahaman. Namun, diskusi menjadi destruktif ketika dilakukan tanpa etika (adab). Etika yang harus dipegang teguh, sesuai dengan semangat Al Imran 103, adalah:
Perpecahan seringkali disebabkan oleh cara kita berbicara, bukan oleh isi pembicaraan itu sendiri. Jika kita kembali pada adab Al-Qur'an dan Sunnah dalam berdialog, perbedaan pendapat akan tetap menjadi khilaf yang sehat dan tidak akan berubah menjadi tafriqah yang merusak.
Banyak perpecahan modern berakar pada kebodohan tentang prinsip-prinsip dasar Islam. Seseorang yang dangkal pemahaman agamanya cenderung mudah difitnah dan digerakkan untuk membenci kelompok lain. Mereka yang berpegang pada taklid buta (mengikuti tanpa dasar ilmu) rentan terhadap pemimpin yang memanfaatkan sentimen kelompok.
Perintah untuk berpegang teguh pada Hablullah (Al-Qur'an dan Sunnah) adalah perintah untuk berilmu. Ilmu adalah penerang yang memungkinkan umat membedakan antara masalah prinsip dan masalah cabang, antara kebenaran universal dan interpretasi pribadi. Dengan ilmu, Muslim dapat bersatu di atas pondasi yang kuat dan tidak goyah oleh setiap isu kecil yang dihembuskan oleh pihak yang ingin memecah belah.
Di tingkat institusional, persatuan membutuhkan upaya yang terorganisir. Ini termasuk pembentukan dewan-dewan ulama yang dapat menengahi perselisihan, forum-forum lintas mazhab untuk mempromosikan dialog, dan lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan toleransi dan adab berkhilaf.
Institusi persatuan harus bekerja proaktif untuk mencegah perpecahan, bukan hanya reaktif setelah perpecahan terjadi. Mereka harus menjadi penjaga yang memastikan bahwa setiap kelompok yang mengklaim diri Muslim tetap berada dalam koridor Hablullah dan tidak menciptakan "agama" baru berdasarkan hawa nafsu kelompok.
Untuk benar-benar menghayati makna Al Imran 103, kita harus terus-menerus menginternalisasi betapa berharganya nikmat persaudaraan ini. Persatuan bukanlah sekadar idealisme; ia adalah keharusan eksistensial bagi kelangsungan umat.
Dalam sejarah peradaban, hanya masyarakat yang memiliki kohesi sosial dan kesamaan visi yang mampu bertahan dan berkembang. Bagi umat Islam, kohesi ini dijamin oleh Hablullah. Jika masyarakat non-Muslim berusaha keras menciptakan nasionalisme, ideologi, atau kesamaan budaya untuk menyatukan diri, maka umat Islam telah dianugerahi tali persatuan yang paling sempurna, yaitu tauhid dan ajaran Nabi Muhammad ﷺ.
Kegagalan untuk memanfaatkan anugerah ini adalah penghinaan terhadap karunia Ilahi. Persatuan adalah sunnatullah (hukum Allah) yang memastikan bahwa suatu komunitas dapat berfungsi secara optimal, saling melengkapi, dan memimpin kemanusiaan menuju kebaikan.
Selain sebagai benteng pertahanan fisik dan politik, ukhuwah Islamiyah juga merupakan benteng pertahanan akhlak dan spiritual. Ketika seorang Muslim merasa diawasi dan didukung oleh saudara-saudaranya, ia cenderung lebih teguh dalam menjalankan perintah agama dan menjauhi maksiat.
Perpecahan, sebaliknya, menciptakan lingkungan yang dingin, di mana individu merasa terasing, mudah jatuh ke dalam dosa, dan sulit mendapatkan nasihat yang tulus. Dalam persatuan, terdapat kekuatan untuk saling mengingatkan dan menolong dalam kebaikan, sesuai dengan perintah dalam Surah Al-Asr. Tanpa ikatan ukhuwah yang kuat, masyarakat akan menjadi serpihan-serpihan individu yang rentan terhadap godaan duniawi.
Perintah "وَاعْتَصِمُوا" (berpegang teguhlah) menggunakan bentuk kata kerja yang menyiratkan tindakan berkelanjutan dan berkesinambungan (istiqamah). Ini bukan hanya tindakan sesaat, melainkan komitmen seumur hidup. Umat Islam harus terus-menerus berjuang untuk menjaga tali Hablullah agar tidak kendur atau putus.
Perjuangan ini memerlukan kesabaran yang luar biasa, terutama ketika menghadapi perbedaan pendapat dengan saudara seiman. Namun, balasan bagi mereka yang gigih menjaga persatuan adalah balasan yang besar, karena mereka adalah penerus sejati dari semangat Anshar yang rela mengorbankan dendam lama demi mendapatkan nikmat ukhuwah yang tiada tara. Setiap upaya untuk merajut kembali tali persatuan yang terputus adalah ibadah yang mulia di sisi Allah.
Ayat 103 secara tegas melarang perpecahan. Untuk memenuhi larangan ini, umat harus cerdas membedakan antara identitas yang sah dan identitas yang memecah belah.
Islam tidak menghapus identitas etnis atau nasionalitas. Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal (QS. Al-Hujurat: 13). Namun, identitas-identitas ini dilarang menjadi sumber kebanggaan yang merendahkan pihak lain (ashabiyah jahiliyah) atau menjadi garis pemisah yang memutuskan Hablullah.
Muslim dari berbagai ras dan negara harus menyadari bahwa ikatan iman mereka jauh lebih tinggi dan lebih utama daripada ikatan darah atau batas wilayah. Ayat 103 mengajar bahwa persatuan Islam melintasi semua batas geografis dan demografis.
Meskipun Al Imran 103 menekankan toleransi dalam khilafiyah, persatuan tidak berarti menyatukan kebenaran dengan kebatilan. Umat dilarang untuk bersatu atas dasar dosa atau penyimpangan akidah yang jelas (bid'ah yang mukaffirah) yang secara fundamental menolak salah satu dari Hablullah. Persatuan hanya dapat ditegakkan di atas landasan kebenaran, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah.
Oleh karena itu, menjaga persatuan juga berarti menolak ideologi atau ajaran yang secara terang-terangan bertentangan dengan prinsip dasar syariah. Namun, penolakan terhadap penyimpangan harus dilakukan dengan metode yang tidak menyebabkan perpecahan yang lebih besar di kalangan Muslim yang masih berpegang teguh pada Tauhid, yaitu dengan dakwah yang santun dan hikmah.
Pada akhirnya, persatuan yang sejati berakar pada ketulusan (ikhlas). Persatuan tidak dapat dipaksakan oleh undang-undang atau kesepakatan politik semata. Ia harus menjadi hasil dari hati yang tulus menerima Islam dan mencintai saudara seiman hanya karena Allah. Ketika hati bersih dari iri, dengki, dan ambisi pribadi, otomatis ia akan terikat pada hati saudara Muslim lainnya.
Pujian Allah terhadap Aus dan Khazraj (bahwa Dia yang mempersatukan hati mereka) adalah bukti bahwa persatuan adalah urusan hati yang dikendalikan oleh Allah. Tugas kita adalah menciptakan kondisi yang memungkinkan rahmat Allah ini turun, yaitu dengan berpegang teguh secara kolektif pada Hablullah. Ketika kita memenuhi syarat ini, Allah akan menganugerahkan kesatuan hati, yang merupakan inti dari Surah Ali Imran ayat 103.
Setiap Muslim, setiap hari, harus mengingat bahwa ia adalah bagian dari bangunan yang besar. Jika satu bata dilepas, seluruh bangunan akan melemah. Dengan merenungkan kembali nikmat yang diberikan Allah—mengubah permusuhan menjadi persaudaraan—semangat untuk menjaga tali Allah akan terus menyala. Persatuan umat adalah amanah terbesar yang harus kita jaga dengan segala upaya, demi keberlangsungan agama di muka bumi, dan demi mencapai keridaan Allah SWT di akhirat.
Komitmen ini harus diulang dan dihidupkan dalam setiap salat, setiap pertemuan, dan setiap interaksi sosial. Mengingat masa lalu yang gelap sebelum Islam datang, dan melihat ancaman masa kini, tidak ada pilihan lain selain merapatkan barisan, memeluk erat "Tali Allah" bersama-sama, dan memelihara ukhuwah Islamiyah sebagai warisan terbesar dari Nabi Muhammad ﷺ. Inilah esensi abadi dari Surah Ali Imran ayat 103.
Persatuan adalah kekuatan, perpecahan adalah kelemahan. Kita harus terus berusaha meraih kekuatan yang dijanjikan Allah bagi mereka yang bersatu di bawah panji-Nya. Keberkahan, pertolongan, dan kemenangan akan datang hanya ketika umat kembali menyadari bahwa tali persaudaraan yang mengikat hati mereka jauh lebih berharga daripada semua perbedaan duniawi. Ini adalah pesan utama yang harus terukir dalam setiap aspek kehidupan Muslim, mewujudkan firman Allah yang mulia, dan menjamin bahwa umat ini akan menjadi umat yang satu, kuat, dan bersaudara. Implementasi Al Imran 103 adalah jalan menuju kemuliaan abadi. Jalan ini menuntut pengorbanan ego dan pemikiran sempit demi tercapainya kebaikan kolektif, sebuah upaya tak kenal lelah untuk menjaga amanah Hablullah yang telah dipercayakan kepada kita.
Kesinambungan dakwah dan kesaksian umat di hadapan Allah dan manusia sangat bergantung pada seberapa baik kita mengelola amanah persatuan ini. Jika kita berhasil, kita akan menjadi teladan bagi dunia, sebagaimana Aus dan Khazraj menjadi teladan bagi seluruh jazirah Arab. Jika kita gagal, kita akan kembali ke masa kegelapan yang penuh dengan konflik internal, kehilangan identitas, dan menjauh dari janji kemenangan yang telah ditetapkan bagi umat yang teguh. Oleh karena itu, mari kita perbaharui janji kita untuk selalu berpegang pada tali Allah, bersama-sama, hari ini, esok, dan seterusnya. Kewajiban ini adalah perintah yang tidak bisa ditawar, sebuah pilar fundamental yang menopang seluruh arsitektur ajaran Islam.