(Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi)
Surah Ali Imran, ayat 190 dan 191, sering disebut sebagai jantung filosofis Al-Qur'an, menawarkan sebuah peta jalan spiritual dan intelektual bagi mereka yang disebut Ulul Albab—orang-orang yang memiliki akal murni, hati yang tercerahkan, dan kapasitas refleksi yang mendalam. Ayat-ayat ini tidak hanya merupakan deskripsi alam semesta, tetapi juga sebuah deklarasi tentang metode berpikir yang benar, sebuah integrasi sempurna antara sains dan spiritualitas. Keduanya membentuk rangkaian perintah tegas untuk mengamati ciptaan (tafakkur) dan memelihara kesadaran (dzikir).
Dua ayat penutup ini berfungsi sebagai penekanan dramatis setelah serangkaian pembahasan dalam Surah Ali Imran mengenai tauhid, sejarah kenabian, dan hukum-hukum sosial. Ayat 190 membuka pintu menuju renungan kosmis, sementara Ayat 191 merinci aktivitas Ulul Albab serta hasil dari renungan tersebut.
Ayat ini menetapkan tiga domain utama untuk kontemplasi: penciptaan langit, penciptaan bumi, dan siklus waktu (pergantian malam dan siang). Kata kunci di sini adalah lāyāt (tanda-tanda). Alam semesta bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah teks terbuka, kumpulan tanda-tanda yang menunjuk kepada Wujud yang Maha Agung.
Ayat ini mendefinisikan Ulul Albab melalui dua aksioma utama yang harus berjalan simultan: Dzikir (Mengingat/kesadaran tanpa henti) dan Tafakkur (Berpikir/kontemplasi mendalam). Keduanya berujung pada pengakuan filosofis yang agung: bahwa alam semesta ini memiliki tujuan (tidak bathilan).
Secara etimologi, Ulul Albab (أولي الألباب) berarti 'pemilik inti' atau 'pemilik akal yang murni'. Kata lubb merujuk pada bagian terdalam atau sari dari sesuatu, seperti inti buah. Ulul Albab bukanlah sekadar orang pandai atau ilmuwan; mereka adalah ilmuwan yang spiritual, atau spiritualis yang berilmu, yang mampu menembus lapisan luar realitas untuk mencapai kebenaran esensial.
Integrasi kedua elemen—dzikir yang bersifat hati dan tafakkur yang bersifat otak—adalah kunci. Tanpa dzikir, tafakkur hanya menghasilkan ilmu pengetahuan yang kering dan materialistik. Tanpa tafakkur, dzikir hanya menjadi ritual tanpa kedalaman pemahaman kosmis. Ulul Albab menggabungkan keduanya menjadi kesadaran monistik yang utuh.
Perintah untuk bertafakkur pada penciptaan langit dan bumi bukanlah permintaan retoris, melainkan mandat untuk melakukan investigasi ilmiah. Ayat ini adalah landasan epistemologi bagi ilmu pengetahuan Islam, menuntut eksplorasi mendalam terhadap hukum-hukum alam yang merupakan manifestasi dari sifat-sifat Allah (Asmaul Husna).
Langit dalam konteks Ayat 190 mencakup segala sesuatu di luar bumi: galaksi, bintang, planet, ruang, waktu, dan hukum-hukum fisika yang mengaturnya. Ulul Albab merenungkan keagungan skala dan keakuratan mekanismenya.
Merupakan bagian integral dari tafakkur Ulul Albab untuk menyadari betapa kecilnya posisi manusia dalam jagat raya yang tak terbatas. Dari galaksi Bima Sakti yang memuat ratusan miliar bintang, hingga gugusan superkluster yang menyusun struktur kosmik dalam skala terbesar, setiap entitas bergerak dalam orbit yang presisi. Tafakkur ini menimbulkan kerendahan hati (tawadhu). Perenungan modern tentang lubang hitam (black holes) yang menyerap cahaya, atau energi gelap (dark energy) yang mendorong ekspansi kosmos, semakin memperkuat rasa takjub terhadap hukum alam yang mustahil diciptakan secara kebetulan.
Hukum-hukum fisika (gravitasi, elektromagnetisme, gaya nuklir kuat dan lemah) yang memungkinkan terbentuknya bintang, atom, dan akhirnya kehidupan, telah disetel secara sangat halus (fine-tuning). Jika salah satu konstanta dasar alam semesta menyimpang sedikit saja, alam semesta seperti yang kita kenal tidak akan pernah ada. Tafakkur Ulul Albab terhadap 'fine-tuning' ini secara otomatis menepis gagasan kebetulan, membawa kepada keyakinan bahwa ada Desain Agung di baliknya. Ini adalah pembuktian ilmiah terhadap keesaan Allah (Tauhid).
Ayat-ayat Al-Qur'an lain yang menyinggung penciptaan (seperti dzuhul - asap kosmik - atau ekspansi langit) menjadi bahan kontemplasi. Ulul Albab yang hidup di era modern merenungkan temuan Hubble tentang alam semesta yang terus mengembang. Ekspansi ini menunjukkan bahwa kosmos adalah proses, bukan statis. Keteraturan dalam ekspansi, di mana hukum-hukum alam tetap konsisten melintasi miliaran tahun cahaya, adalah bukti al-Qayyum (Yang Maha Berdiri Sendiri dan Mengurus makhluk-Nya).
Bumi adalah laboratorium Allah yang paling padat dan kompleks. Tafakkur tentang bumi mencakup geologi, biologi, ekologi, dan antropologi.
Keberadaan air di bumi dalam tiga fase (padat, cair, gas), dengan sifatnya yang unik (seperti densitas es yang lebih rendah daripada air cair), adalah prasyarat mutlak bagi kehidupan. Ulul Albab merenungkan siklus hidrologi, dari penguapan hingga hujan, sebagai mekanisme pemeliharaan yang berkesinambungan (Rizq). Selain itu, kerumitan molekul karbon yang membentuk dasar semua kehidupan organik menunjukkan pola yang kompleks dan terorganisir, bukan acak.
Keanekaragaman spesies (flora dan fauna) yang melimpah, dan bagaimana setiap spesies mengisi ceruk ekologisnya, adalah bukti al-Khāliq (Sang Pencipta) yang menciptakan dalam bentuk yang beragam dan spesifik. Tafakkur pada seekor semut, sel tunggal, atau hutan hujan Amazon, semuanya menunjukkan mekanisme adaptasi dan interkoneksi yang luar biasa, di mana setiap makhluk diciptakan dengan tujuan (hikmah).
Pergantian siang dan malam bukan sekadar penanda waktu, melainkan mesin vital bagi kehidupan di bumi. Perputaran bumi menciptakan irama biologis (ritme sirkadian) yang mengatur semua fungsi organisme hidup, dari tumbuhan hingga manusia. Tafakkur pada siklus ini membawa kesadaran akan manajemen waktu yang sempurna, mengingatkan manusia akan keterbatasan waktu hidup mereka, sekaligus kesempatan untuk beribadah dalam berbagai fase terang dan gelap.
Tafakkur yang sejati adalah mencari kausalitas ilmiah tanpa kehilangan pandangan terhadap Kausalitas Pertama, yaitu Allah.
Jika tafakkur adalah fungsi otak, maka dzikir (mengingat Allah) adalah fungsi hati. Ulul Albab harus mengintegrasikan temuan intelektual mereka dengan kesadaran spiritual yang berkelanjutan. Ayat 191 menekankan universalitas dzikir: "qiyaman wa qu’ūdan wa ‘alā junūbihim" (berdiri, duduk, dan berbaring).
Ungkapan "berdiri, duduk, dan berbaring" mencakup semua postur yang mungkin dilakukan manusia. Ini adalah metafora untuk semua keadaan hidup—aktif, istirahat, sakit, bepergian, bekerja, dan berinteraksi. Dzikir Ulul Albab bukanlah terbatas pada salat (yang memiliki waktu dan rukun tertentu), melainkan sebuah mode eksistensi. Setiap tindakan, setiap napas, harus disaring melalui filter kesadaran bahwa ia dilakukan di hadapan Allah.
Tafakkur terhadap keindahan kosmos secara alami memicu dzikir (mengagungkan Allah, Subhanallah). Sebaliknya, keadaan dzikir yang stabil (hati yang tenang) memberikan kejernihan mental yang diperlukan untuk melakukan tafakkur yang objektif dan mendalam. Keduanya saling menguatkan:
Ilmu (Tafakkur) memberitahu kita *Bagaimana* alam semesta bekerja; Dzikir memberitahu kita *Mengapa* kita harus peduli, dan *Kepada Siapa* semua ini menunjuk.
Ulul Albab tidak hanya melihat hukum gravitasi; mereka melihat al-Qadir (Yang Maha Kuasa) yang menciptakan dan mempertahankan hukum itu. Mereka tidak hanya melihat fotosintesis; mereka melihat al-Hayy (Yang Maha Hidup) yang memberi kehidupan. Inilah puncak integrasi ilmu pengetahuan dan kesadaran Ilahiah yang dituntut oleh ayat ini.
Hasil akhir dari dzikir dan tafakkur yang intensif diwujudkan dalam pengakuan lisan dan permohonan yang dicantumkan di akhir Ayat 191. Doa ini adalah pernyataan teologis yang padat dan komprehensif.
Frasa "Rabbanā mā khalaqta hādhā bāthilā" (Ya Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia) adalah inti dari kesimpulan Ulul Albab. Ini adalah penolakan terhadap nihilisme. Jika alam semesta ini memiliki tujuan, maka kehidupan manusia juga memiliki tujuan.
Pengakuan bahwa Allah Maha Suci (Subhānaka) adalah penyucian dari segala asosiasi atau kekurangan yang mungkin terpikirkan oleh akal yang terbatas. Setelah menyadari keagungan alam, Ulul Albab secara spontan memuji kesempurnaan Pencipta. Ini adalah momen penyerahan diri (Islam) yang paling murni, di mana akal mengakui batasnya di hadapan Realitas Absolut.
Puncaknya adalah permohonan agar dilindungi dari siksa neraka. Mengapa doa ini muncul setelah perenungan kosmik? Karena kesadaran akan Tujuan Agung (bahwa alam tidak diciptakan sia-sia) membawa kesadaran akan Hari Perhitungan, di mana manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka yang selaras atau bertentangan dengan tujuan penciptaan tersebut. Rasa takut (khauf) yang muncul dari pemahaman akan keadilan Ilahi ini adalah motivator untuk amal saleh dan penghindaran dari dosa.
Ayat ini telah menjadi landasan bagi berbagai disiplin ilmu dalam peradaban Islam, mulai dari filsafat, tasawuf, hingga ilmu kalam. Perintah tafakkur di sini membuka ruang bagi spekulasi rasional yang berakar pada tauhid.
Imam Al-Ghazali, dalam karyanya, menekankan bahwa tafakkur adalah ibadah yang paling mulia, karena ia melibatkan penggunaan anugerah terbesar Allah kepada manusia: akal. Tafakkur yang benar adalah jihad melawan ketidaktahuan (jahiliyah) dan kelalaian (ghaflah). Ketika Ulul Albab mempelajari fisika, biologi, atau matematika, mereka tidak sekadar belajar data, melainkan sedang beribadah dengan menguraikan tanda-tanda Allah.
Ayat 190-191 mengatasi dualisme yang sering membelah manusia modern: jiwa versus raga, spiritualitas versus materialitas. Ulul Albab diajari bahwa dzikir dan tafakkur harus terjadi secara simultan di dalam diri manusia yang utuh (holistik). Kehidupan duniawi (materi) tidak boleh dipisahkan dari tujuan akhir (spiritual).
Dalam tafsir klasik, para ulama menekankan bahwa dzikir dalam semua posisi fisik (berdiri, duduk, berbaring) juga mencerminkan kondisi sakit atau sehat. Seorang Ulul Albab tetap berdzikir dan bertafakkur bahkan ketika fisiknya lemah, menegaskan bahwa ibadah intelektual dan hati tidak mengenal batas kondisi fisik.
Ulul Albab memahami bahwa keberadaan Sunnatullah (hukum-hukum alam yang pasti) adalah bukti keadilan dan konsistensi Ilahi. Tafakkur mendorong studi ilmiah mendalam karena ilmu pengetahuan adalah usaha untuk memetakan konsistensi tersebut. Jika hukum alam berubah-ubah secara acak, tidak mungkin ada ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, mencari ilmu adalah manifestasi dari mencari kebenaran Tuhan dalam ciptaan-Nya.
Pemikiran ini sangat kontras dengan pandangan teologis yang menolak eksplorasi alam karena dianggap hanya urusan duniawi. Bagi Ulul Albab, dunia adalah cermin, bukan penjara.
Bagaimana Ulul Albab di abad modern menerapkan mandat tafakkur ini? Mereka harus terlibat aktif dalam studi ilmiah kontemporer, menggunakannya sebagai sarana untuk memperkuat iman, bukan meruntuhkannya.
Penemuan modern tentang asal usul alam semesta (Big Bang Theory), energi gelap, dan struktur berskala besar kosmos memberikan ruang tafakkur yang tak terbatas. Ulul Albab merenungkan titik singularitas awal, yang secara teologis dapat dihubungkan dengan Kun Fayakun (Jadilah, maka jadilah). Mereka melihat hukum termodinamika sebagai bukti bahwa energi kosmos harus dipelihara oleh Yang Maha Kekal.
Riset tentang planet ekstrasurya (exoplanets) dan pencarian kehidupan di luar bumi tidak mengurangi keagungan Allah; sebaliknya, itu hanya membuka lembaran baru dari ayat-ayat-Nya. Semakin luas kita memahami alam semesta, semakin besar rasa ketidakberdayaan dan kekaguman kita, yang merupakan esensi dari dzikir.
Tafakkur pada tingkat mikro adalah sama pentingnya dengan makro. Struktur DNA, yang menyimpan informasi kehidupan melalui kode yang sangat kompleks, adalah contoh sempurna dari desain yang bukan bathil. Keakuratan replikasi, perbaikan, dan ekspresi gen menunjukkan manajemen yang cermat. Ulul Albab melihat ini sebagai tulisan rahasia Allah (kitābah illāhiyyah) yang harus dibaca. Mereka merenungkan evolusi bukan sebagai kebetulan tanpa arah, tetapi sebagai mekanisme yang diatur oleh al-Mudabbir (Sang Pengatur) untuk mewujudkan keragaman hayati yang telah ditakdirkan.
Fisika kuantum menunjukkan bahwa realitas pada skala terkecil jauh lebih aneh dan misterius daripada yang kita duga, menantang persepsi materialistik yang kaku. Prinsip ketidakpastian Heisenberg dan dualitas gelombang-partikel mengajarkan Ulul Albab bahwa pemahaman manusia terhadap realitas adalah terbatas, bahkan dengan alat-alat ilmiah terbaik. Batasan ini sendiri adalah tanda (āyah) yang mendorong kerendahan hati dan mengakui bahwa realitas Ilahi melampaui kerangka pikir spasial dan temporal kita.
Tafakkur tanpa dzikir bisa menghasilkan ateisme atau kesombongan intelektual. Dzikir tanpa tafakkur bisa menghasilkan formalisme agama yang kering. Kontinuitas dzikir (qiyaman wa qu’ūdan wa ‘alā junūbihim) memastikan bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh Ulul Albab selalu diinternalisasi dalam kerangka etika tauhid.
Penerapan dzikir dalam semua posisi memiliki implikasi praktis. Ini mengajarkan bahwa ibadah tidak terpisah dari pekerjaan. Ketika Ulul Albab bekerja sebagai insinyur, dokter, atau guru, mereka sedang berdzikir dengan memastikan integritas dan profesionalisme, karena mereka sadar bahwa pekerjaan tersebut adalah bagian dari tanggung jawab khalifah.
Contoh dzikir dalam tiga postur kehidupan:
Karena Ulul Albab menyimpulkan bahwa alam ini tidak diciptakan bathil (sia-sia), maka mereka juga harus memastikan bahwa tindakan mereka tidak bathil. Segala bentuk kezaliman, keserakahan, atau penindasan dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan tujuan penciptaan. Ini adalah landasan etika lingkungan dan etika sosial Islam.
Membuang sampah sembarangan adalah bathil. Menciptakan teknologi yang merusak masyarakat adalah bathil. Mencari ilmu hanya untuk kesenangan pribadi tanpa kontribusi kepada umat manusia adalah penyalahgunaan dari tujuan penciptaan akal, dan karenanya, mendekati bathil.
Ayat Ali Imran 190 dan 191 adalah manifesto untuk sebuah peradaban yang berakar pada ilmu pengetahuan dan spiritualitas. Ia memanggil umat manusia untuk menjadi Ulul Albab, bukan hanya Alim (orang yang tahu) atau Abid (orang yang beribadah), tetapi gabungan yang harmonis dari keduanya.
Ayat ini secara eksplisit menolak dikotomi antara masjid dan laboratorium, antara hati dan otak. Peradaban Islam pada masa kejayaannya (seperti era Abbasiyah atau Andalusia) memahami prinsip ini. Para ilmuwan seperti Ibnu Sina (Avicenna), Al-Khwarizmi, dan Al-Biruni adalah Ulul Albab sejati, menggabungkan pemikiran filosofis, penemuan ilmiah, dan kedalaman spiritual.
Krisis pemikiran modern, yang sering memisahkan sains dari etika dan spiritualitas, adalah kegagalan untuk menerapkan prinsip 190-191. Ketika ilmu pengetahuan kehilangan dzikir, ia menjadi alat eksploitasi. Ketika spiritualitas kehilangan tafakkur, ia menjadi takhayul yang tidak berdasar.
Pendidikan yang ideal, berdasarkan ayat ini, harus bertujuan untuk membentuk Ulul Albab. Kurikulum harus mendorong rasa ingin tahu ilmiah (tafakkur) sambil menanamkan kesadaran akan tauhid (dzikir). Mahasiswa fisika harus diajarkan bagaimana hukum-hukum alam menunjuk kepada Sang Pemberi Hukum. Mahasiswa teologi harus mampu memahami dan merespon penemuan ilmiah dengan kedalaman Al-Qur'an.
Ini adalah seruan untuk rekontekstualisasi dan restorasi tujuan pendidikan: dari sekadar menghasilkan pekerja terampil menjadi menghasilkan individu yang sadar kosmis, yang doanya dan penelitiannya berakar pada keyakinan bahwa segala sesuatu memiliki hikmah dan tujuan ilahi.
Dalam kesimpulannya, Surah Ali Imran 190-191 bukanlah sekadar ayat-ayat untuk dihafal pada akhir surah; mereka adalah kerangka kerja abadi untuk menjalani kehidupan yang bermakna. Mereka adalah undangan untuk terus-menerus melihat dunia dengan mata Ulul Albab: mata yang melihat keindahan dan keteraturan, hati yang senantiasa berdzikir, dan lisan yang mengakui keagungan serta memohon perlindungan dari api yang menyala-nyala sebagai konsekuensi dari hidup yang sia-sia.
Sejauh manapun ilmu pengetahuan modern membawa kita—mulai dari kedalaman partikel sub-atomik hingga batas terjauh alam semesta yang teramati—setiap penemuan harusnya memperkuat seruan kolektif Ulul Albab: "Rabbanā mā khalaqta hādhā bāthilā, Subhānaka, faqinā 'adhāban nār." Inilah puncak dari kesadaran Ilahiah, di mana ilmu dan iman bertemu dalam satu titik tunggal: pengakuan akan kebesaran Allah.
Konsep Tafakkur dan Dzikir yang terangkum dalam ayat 190 dan 191 mencakup spektrum luas kehidupan spiritual dan intelektual. Ia menuntut keterlibatan total. Keterlibatan ini tidak bersifat pasif, tetapi aktif, transformatif, dan universal. Setiap momen keberadaan, setiap fenomena alam, setiap perhitungan matematika, dan setiap denyut jantung adalah materi mentah bagi kontemplasi yang membawa kepada pengenalan (Ma'rifah) terhadap Sang Khaliq. Tidak ada ilmu yang netral bagi Ulul Albab; semua ilmu adalah teologi yang diungkapkan melalui bahasa alam semesta. Pemisahan antara duniawi dan ukhrawi menjadi kabur, karena dunia adalah jembatan, dan melalui jembatan ini, Ulul Albab bergerak maju dengan dzikir yang tak terputus dan tafakkur yang tak bertepi, menjauhi kebatilan dan mendekatkan diri pada Kebenaran Absolut. Inilah warisan terbesar yang ditawarkan oleh ayat-ayat agung ini bagi setiap pencari hikmah di setiap zaman.
Penerapan praktis dari ayat ini mengarah pada penciptaan masyarakat yang berbasis ilmu, yang menjunjung tinggi kebenaran, dan yang sekaligus memiliki kepekaan moral tertinggi. Jika Ulul Albab melihat desain dalam mikrokosmos (struktur sel) dan makrokosmos (galaksi), maka mereka wajib merefleksikan desain itu dalam tatanan sosial mereka sendiri. Keteraturan alam semesta harus direplikasi dalam keteraturan etika, ekonomi, dan politik manusia. Kekacauan, korupsi, dan ketidakadilan adalah manifestasi dari hidup yang bathil (sia-sia) di tingkat komunitas, yang secara fundamental bertentangan dengan keteraturan yang mereka saksikan dalam ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, tafakkur tidak hanya menghasilkan kesimpulan teologis pribadi, tetapi juga tuntutan untuk keadilan sosial.
Setiap penemuan ilmiah yang dilakukan oleh Ulul Albab harus mengarah pada peningkatan syukur (syukur) dan peningkatan takut (khauf) kepada Allah. Syukur atas karunia akal yang memungkinkan mereka memahami misteri ciptaan, dan takut akan pertanggungjawaban jika anugerah akal tersebut disalahgunakan untuk merusak atau menyalahi tujuan Ilahi. Dalam pandangan ini, sains adalah bentuk ketaatan, dan ketaatan adalah bentuk ilmu. Ini menciptakan sebuah siklus kebajikan: semakin dalam ilmu yang didapatkan, semakin dalam pula dzikir yang dihasilkan; semakin dalam dzikir, semakin jernih pula kemampuan untuk bertafakkur. Siklus ini adalah mesin penggerak spiritualitas dan peradaban yang tak tertandingi.
Pengulangan frasa dzikir dalam tiga posisi menunjukkan keseriusan dan urgensi kesadaran ilahiah. Bahkan dalam kondisi paling rentan (seperti berbaring sakit atau menjelang kematian), Ulul Albab tetap berpegang teguh pada dzikir, menunjukkan bahwa hubungan dengan Allah melampaui kemampuan fisik. Ini adalah pertahanan terakhir spiritualitas mereka. Ketika tubuh gagal, hati dan akal yang telah terlatih oleh tafakkur dan dzikir akan tetap berfungsi, memimpin mereka pada kesimpulan akhir yang sama: bahwa semua ini memiliki makna, dan bahwa mereka harus memohon perlindungan dari konsekuensi hidup yang tanpa makna. Doa ini, oleh karena itu, adalah deklarasi kematangan spiritual dan intelektual yang tak tertandingi.
Sejak diwahyukan, ayat-ayat ini telah berfungsi sebagai katalisator bagi gerakan intelektual dan tasawuf. Mereka menginspirasi para filsuf untuk mengintegrasikan logika Yunani dan sains observasional dengan prinsip-prinsip tauhid. Mereka juga menginspirasi para sufi untuk menemukan tanda-tanda Allah (ayat-ayat) dalam hati mereka sendiri (mikrokosmos) sebagaimana mereka menemukannya di alam semesta (makrokosmos). Ulul Albab adalah jembatan antara rasionalitas murni dan pengalaman spiritual murni. Mereka mampu melihat kebenaran yang melampaui indra (metafisika) melalui observasi yang mendalam dan metodis (fisika), menyatukan langit dan bumi, waktu dan keabadian, dalam kesadaran monistik yang sempurna. Mereka adalah model ideal bagi manusia yang utuh.
Kajian mendalam Surah Ali Imran ayat 190 dan 191 ini adalah seruan untuk kembali kepada cetak biru asli penciptaan manusia—sebagai makhluk yang bertugas tidak hanya untuk memelihara bumi, tetapi juga untuk memahaminya, dengan akal yang tajam dan hati yang senantiasa basah dengan kesadaran akan kehadiran Ilahi. Penciptaan langit dan bumi, siklus siang dan malam, semua adalah saksi bisu yang setiap saat berteriak kepada manusia untuk merenungkan tujuan eksistensi. Dan hanya Ulul Albab yang mampu menjawab panggilan tersebut dengan pengakuan: "Engkau tidak menciptakan ini sia-sia."