Epistemologi Al-Qur'an: Menyingkap Makna Inti Surah Al-Isra Ayat 36

Representasi Ilmu dan Tanggung Jawab Indra Simbol pengetahuan yang diwakili oleh sebuah buku terbuka, mata, telinga, dan hati yang diterangi cahaya. Ilmu Hati

Pintu Gerbang Pengetahuan dalam Al-Qur'an

Konsep pengetahuan atau 'ilmu dalam Islam bukanlah sekadar akumulasi data atau fakta, melainkan sebuah jalan spiritual dan etika yang mengikat manusia pada tanggung jawab tertinggi. Di antara sekian banyak ayat yang menekankan pentingnya verifikasi, Surah Al-Isra ayat 36 (QS. 17:36) berdiri sebagai pilar utama epistemologi Islam, memberikan kerangka kerja yang jelas mengenai bagaimana seorang Muslim harus berinteraksi dengan informasi dan dunia di sekitarnya. Ayat ini secara eksplisit menghubungkan proses kognitif manusia — pendengaran, penglihatan, dan hati — dengan kewajiban moral untuk mencari kebenaran yang terverifikasi.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra: 36)

Ayat mulia ini bukan hanya perintah untuk menghindari kebodohan, tetapi lebih jauh, ia adalah peringatan keras terhadap penyebaran asumsi, rumor, dan spekulasi yang tidak berdasar. Di era informasi yang bergerak cepat, prinsip yang ditawarkan oleh Al-Isra 36 menjadi semakin relevan dan mendesak. Ia menuntut kejernihan intelektual dan integritas etis dalam setiap langkah kehidupan, mulai dari ucapan hingga pengambilan keputusan strategis.

I. Analisis Linguistik dan Konsep Inti Ayat

1. Larangan Mengikuti Tanpa Ilmu (وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ)

Kata kunci pertama yang harus dipahami adalah وَلَا تَقْفُ (Wa Lā Taqfu), yang berasal dari akar kata Qafa (قاف). Dalam bahasa Arab klasik, Qafa berarti "mengikuti jejak", "membuntuti", atau "mengejar". Ketika digunakan dalam bentuk larangan (nahy), ia mengandung makna: Janganlah kamu berbicara, bertindak, atau bahkan mempercayai sesuatu yang kamu tidak memiliki bukti kuat (Hujjah) atau pengetahuan ('Ilm) yang sahih mengenainya.

Ini mencakup larangan:

  1. Mengeluarkan fatwa atau pendapat tanpa dasar ilmu.
  2. Menuduh seseorang tanpa saksi dan bukti (termasuk Qadhf).
  3. Menyebarkan gosip atau rumor (Namimah dan Ghibah) yang sumbernya tidak jelas.
  4. Mengambil keputusan penting berdasarkan asumsi atau dugaan belaka (Zhann).

Kontras utama dalam ayat ini adalah antara Qafw (mengikuti tanpa dasar) dan 'Ilm (pengetahuan yang terverifikasi). 'Ilm dalam terminologi Al-Qur'an adalah keyakinan yang pasti, yang didukung oleh dalil yang kuat, baik itu dalil Naqli (wahyu) maupun Aqli (rasio/empiris). Ayat ini menegaskan bahwa setiap aksi, ucapan, atau keyakinan harus berakar pada keyakinan yang pasti, bukan pada Zhann (dugaan) atau Wahm (ilusi).

2. Tiga Pintu Tanggung Jawab (السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ)

Ayat ini kemudian mengalihkan fokus kepada tiga alat utama yang digunakan manusia untuk mendapatkan 'Ilm dan yang darinya pertanggungjawaban akan diminta:

A. As-Sam'u (Pendengaran)

Pendengaran adalah sarana utama penerimaan informasi non-visual, termasuk wahyu, pengajaran, kesaksian, dan berita. Tanggung jawab pendengaran sangat besar. Ketika seseorang mendengar sebuah kabar—baik yang memuji atau mencela—ia wajib memverifikasinya. Jika seseorang mendengarkan ghibah atau namimah dan diam saja tanpa mengingkari atau meninggalkannya, ia dianggap telah berpartisipasi dalam pelanggaran tersebut. Pendengaran adalah pintu gerbang pertama yang memungkinkan rumor masuk dan menyebar.

Secara etis, pertanggungjawaban pendengaran menuntut kita untuk: menyimak hal yang baik, menghindari mendengarkan perkataan sia-sia (Laghw), dan bersikap kritis terhadap sumber suara, terutama di zaman modern yang didominasi oleh media audio dan podcast. Tidak jarang seseorang terjebak dalam keyakinan yang salah hanya karena dia terus-menerus mendengarkan narasi yang bias tanpa mencari kontranarasi atau verifikasi fakta.

B. Al-Bashar (Penglihatan)

Penglihatan berkaitan dengan observasi empiris dan verifikasi visual. Ini adalah alat untuk menyaksikan realitas alam semesta (ayat-ayat kauniyah) dan juga alat untuk menyaksikan peristiwa sosial. Pertanggungjawaban penglihatan mencakup:

  1. Mengamati ciptaan Allah untuk meningkatkan iman.
  2. Menggunakan mata untuk mencari bukti dan membedakan kebenaran dari kebohongan visual (misalnya, dalam konteks persaksian).
  3. Menjaga pandangan (Ghadhdhul Bashar) dari hal-hal yang dilarang.
Jika seseorang melihat sebuah kebatilan dan tidak mengambil tindakan untuk menghentikannya (jika mampu), atau jika dia bersaksi palsu atas dasar apa yang dilihatnya secara keliru, maka mata tersebut akan dimintai pertanggungjawaban. Penglihatan harus digunakan sebagai alat verifikasi, bukan hanya sebagai penerima gambar pasif.

C. Al-Fu'ad (Hati Nurani/Akal Batin)

Fu'ad sering diterjemahkan sebagai hati, namun dalam konteks kognitif Al-Qur'an, ia merujuk pada pusat pemahaman, refleksi, nalar, dan emosi yang bertanggung jawab atas sintesis data yang diterima oleh telinga dan mata. Fu'ad adalah prosesor utama yang menimbang, menganalisis, dan memutuskan. Ilmu yang sesungguhnya bersemayam di Fu'ad setelah diolah.

Pertanggungjawaban Fu'ad adalah yang paling mendalam, karena ia bertanggung jawab atas:

Jika seseorang menerima informasi dari Sam'u dan Bashar, namun gagal menggunakan Fu'ad-nya untuk menganalisis dan memverifikasi informasi tersebut, ia telah lalai dalam tanggung jawab intelektualnya. Kegagalan Fu'ad adalah kegagalan refleksi, yang mengarah pada taklid buta atau fanatisme yang tidak rasional.

II. Prinsip Epistemologi dan Fiqh dalam Al-Isra 36

1. Kedudukan Zhann (Dugaan) dalam Syariat

Al-Isra 36 mengajarkan bahwa 'Ilm adalah standar minimum untuk berbicara dan bertindak. Ini membawa kita pada diskusi tentang Zhann (dugaan) dan Yaqin (keyakinan pasti). Meskipun dalam beberapa konteks fiqih praktis, Zhann Ghalib (dugaan kuat) diizinkan (misalnya, dalam menentukan arah kiblat atau waktu shalat jika tidak ada tanda pasti), ayat ini melarang mengandalkan Zhann dalam masalah akidah, etika, dan terutama dalam menjatuhkan hukuman atau tuduhan terhadap orang lain.

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa mengikuti 'Zhann' dalam masalah fundamental adalah tindakan yang dilarang, sebagaimana ditegaskan pula dalam ayat lain, "Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan, dan sesungguhnya dugaan itu sedikitpun tidak berfaedah terhadap kebenaran." (QS. An-Najm: 28). Dengan demikian, Al-Isra 36 menetapkan standar etis yang tinggi: Kebenaran harus didasarkan pada verifikasi, bukan sekadar asumsi kolektif atau kecenderungan pribadi.

2. Metode Verifikasi (Tabayyun) dan Ihtiyat (Kehati-hatian)

Ayat ini secara implisit memerintahkan Tabayyun, yaitu mencari kejelasan dan verifikasi. Perintah untuk tidak mengikuti apa yang tidak diketahui adalah perintah positif untuk mencari tahu dan memastikan. Konsep Tabayyun diperkuat oleh Surah Al-Hujurat ayat 6, yang memerintahkan umat Islam untuk meneliti berita yang dibawa oleh orang fasik, agar tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan.

Prinsip Ihtiyat (kehati-hatian) juga menjadi konsekuensi langsung dari Al-Isra 36. Dalam menghadapi informasi ambigu, sikap yang paling selamat adalah menahan diri dari menyebarkan atau bertindak atas dasar informasi tersebut. Sifat Wara' (berhati-hati agar tidak terjerumus dalam syubhat) sangat erat kaitannya dengan penghayatan ayat ini. Seseorang yang memiliki Wara' akan lebih memilih diam daripada berbicara tanpa dasar yang kuat, karena ia sadar bahwa setiap kata dan pikiran akan dimintai pertanggungjawaban.

3. Implikasi Fiqh dalam Tuduhan (Qadhf)

Salah satu aplikasi fiqih yang paling ketat dari Al-Isra 36 adalah hukum mengenai Qadhf (tuduhan zina atau fitnah serius). Syariat menuntut empat orang saksi mata yang adil untuk membuktikan tuduhan zina. Standar bukti yang sangat tinggi ini mencerminkan penghormatan terhadap martabat individu dan implementasi langsung dari larangan mengikuti apa yang tidak diketahui. Tanpa 'Ilm (yaitu, tanpa empat saksi yang dipersyaratkan), seseorang yang menuduh harus dihukum cambuk. Ini menunjukkan betapa seriusnya Allah memandang tindakan berbicara tanpa pengetahuan sahih, terutama ketika ia merusak kehormatan orang lain.

Tanggung jawab pendengaran, penglihatan, dan hati harus bekerja selaras di sini:

III. Dimensi Psikologis dan Spiritual Tanggung Jawab Indra

1. Keterkaitan Indra dan Fitrah

Al-Qur'an secara konsisten menyebutkan Sam', Bashar, dan Fu'ad sebagai anugerah terbesar dan alat utama ketaatan (QS. An-Nahl: 78). Ketiga indra ini adalah jembatan antara manusia dan alam semesta, antara manusia dan Tuhannya. Penggunaan yang salah terhadap indra ini tidak hanya menghasilkan kekeliruan kognitif tetapi juga menyebabkan kerusakan spiritual. Ketika seseorang secara sadar menggunakan pendengaran dan penglihatannya untuk mengumpulkan hal-hal yang tidak berfaedah atau bahkan merusak, Fu'ad-nya akan tercemar, dan kemampuannya untuk memproses kebenaran (hidayah) akan berkurang.

Penyucian hati (Tazkiyatun Nafs) menuntut penyaringan ketat terhadap apa yang masuk melalui gerbang indra. Seorang sufi atau penuntut ilmu sejati harus menjaga matanya dari pandangan yang mengganggu konsentrasi spiritual, menjaga telinganya dari kata-kata kotor atau gosip, karena mereka tahu bahwa setiap input akan meninggalkan jejak pada Fu'ad yang bertanggung jawab atas kearifan batin.

2. Pertanggungjawaban sebagai Keadilan Ilahi

Puncak dari Al-Isra 36 adalah frasa penutup: كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا (Kullu ulā'ika kāna 'anhu mas'ūlā) — Semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban. Ini bukan sekadar ancaman, melainkan penegasan prinsip keadilan ilahi (Al-Adl). Manusia dikaruniai kemampuan unik yang membedakannya dari makhluk lain. Jika anugerah ini digunakan secara serampangan—untuk menyebar kebohongan, untuk menyaksikan kemaksiatan, atau untuk memendam prasangka tanpa dasar—maka keadilan menuntut adanya konsekuensi.

Rasa tanggung jawab ini harus mengakar dalam diri setiap Muslim, berfungsi sebagai sensor internal (Muraqabah) yang mengingatkan bahwa kita berada di bawah pengawasan abadi. Kesadaran bahwa Fu'ad, yang menyimpan niat terdalam, akan berbicara di Hari Kiamat, memaksa individu untuk mengaudit motivasinya dalam setiap tindakan.

3. Peran Hati dalam Menghadapi Syubhat (Kerancuan)

Dalam ilmu tauhid, terdapat dua jenis penyakit spiritual: Syahwat (nafsu keinginan) dan Syubhat (kerancuan pemikiran). Al-Isra 36 secara khusus mengatasi Syubhat. Kerancuan muncul ketika Fu'ad menerima informasi yang tidak terverifikasi atau gagal memproses bukti yang jelas. Orang yang terbiasa mengikuti 'Zhann' akan rentan terhadap Syubhat, karena dasar keyakinannya lemah. Sebaliknya, orang yang secara ketat menerapkan Al-Isra 36 akan memiliki benteng pemikiran yang kokoh, mampu membedakan kebenaran (Haqq) dari kebatilan (Bātil).

Peran hati dalam verifikasi adalah memberikan ketenangan batin (Thuma'ninah). Rasulullah ﷺ bersabda, "Kebaikan adalah yang membuat hati tenang, dan dosa adalah yang membuat hati gelisah." Ketika seseorang merasa ragu atau gelisah tentang kebenaran suatu informasi, itu adalah sinyal dari Fu'ad bahwa informasi tersebut belum memenuhi standar 'Ilm, dan wajib baginya untuk menahan diri atau melakukan Tabayyun lebih lanjut.

IV. Al-Isra 36 dalam Konteks Kontemporer: Krisis Informasi dan Media Sosial

Jika ayat ini diturunkan pada masa yang didominasi oleh komunikasi lisan dan saksi mata, relevansinya meledak di zaman modern, di mana informasi, baik benar maupun palsu (hoax), menyebar dengan kecepatan kilat melalui media sosial dan platform digital.

1. 'Qafw' dan Budaya Berbagi Tanpa Verifikasi

Di dunia digital, Qafw (mengikuti tanpa ilmu) telah berevolusi menjadi "berbagi tanpa verifikasi" atau "viral tanpa fakta". Banyak pengguna internet terjerumus dalam dosa Al-Isra 36 karena mereka menjadi rantai penyebaran berita palsu, kebencian, atau tuduhan tanpa pernah menguji keabsahan sumbernya. Jari-jari yang mengklik tombol 'share' adalah perpanjangan dari pendengaran dan penglihatan yang gagal diolah oleh Fu'ad.

Dalam konteks ini, pertanggungjawaban indra meliputi:

Ketika seseorang menyebarkan fitnah, bahkan jika ia hanya 'ikut-ikutan', ia telah melanggar prinsip Lā Taqfu, dan ia ikut menanggung beban dosa yang terus berlipat ganda setiap kali kabar bohong tersebut dibagikan oleh orang lain. Inilah yang membuat ancaman pertanggungjawaban indra di Hari Kiamat menjadi semakin menakutkan di era siber.

2. Epistemologi Sumber Berita

Ayat ini mengajarkan perlunya hierarki kepercayaan terhadap sumber (Masadir). Dalam dunia fiqih, sumber berita dibagi berdasarkan tingkat keotentikannya (seperti Mutawatir, Ahad, atau sumber yang dikenal fasik). Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus menerapkan kriteria serupa:

  1. Sumber Primer: Kesaksian langsung atau dokumentasi resmi. Ini mendekati 'Ilm.
  2. Sumber Sekunder Terpercaya: Laporan dari institusi kredibel yang melakukan verifikasi ketat.
  3. Sumber Tersier/Tidak Jelas: Status media sosial, pesan berantai, atau platform anonim. Ini harus ditolak atau diverifikasi ulang secara ekstrem.

Kegagalan membedakan jenis sumber ini adalah kegagalan Fu'ad, dan melanggar perintah Al-Isra 36 untuk mencari pengetahuan yang pasti.

3. Tanggung Jawab dalam Berdiskusi dan Berpendapat

Banyak perdebatan publik, baik di dunia nyata maupun virtual, didominasi oleh ego dan keinginan untuk menang, bukan oleh pencarian 'Ilm. Al-Isra 36 menuntut kerendahan hati intelektual. Jika kita tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang suatu isu—misalnya, ekonomi makro, politik internasional, atau fiqih yang kompleks—kita diperintahkan untuk diam, atau setidaknya, untuk menyatakan pendapat kita sebagai dugaan (Zhann) yang terbuka untuk koreksi, bukan sebagai kebenaran mutlak.

Tanggung jawab pendengaran di sini juga berarti mendengarkan argumen lawan bicara dengan adil dan mencari kebenaran di dalamnya, bahkan jika itu menyakitkan ego. Sementara tanggung jawab hati adalah untuk memastikan bahwa niat kita dalam berdiskusi adalah mencari rida Allah dan mencapai kebenaran, bukan sekadar memuaskan kebutuhan untuk mendominasi perdebatan.

V. Penerapan dan Jalan Menuju Ilmu Haqiqi

1. Pendidikan dan Pengembangan Intelektual

Ayat ini memberikan fondasi bagi sistem pendidikan Islam: pendidikan harus berorientasi pada 'Ilm yang sahih. Kurikulum dan metodologi pengajaran harus menanamkan keraguan yang sehat (skeptisisme metodis) dan semangat verifikasi (Tahqiq), bukan sekadar hafalan. Guru dan murid harus sadar bahwa mereka adalah subjek pertanggungjawaban dalam hal transfer dan penerimaan ilmu.

Pengembangan Fu'ad, yang merupakan pusat analisis, harus menjadi prioritas. Ini dilakukan melalui latihan berpikir kritis, Tadabbur (merenungkan Al-Qur'an), dan belajar logika (Mantiq) agar hati mampu memproses data dengan benar dan tidak mudah dibingungkan oleh silogisme yang salah atau emosi yang berlebihan.

2. Kontrol Diri (Muraqabah) terhadap Indra

Praktik spiritual yang paling efektif dalam menginternalisasi Al-Isra 36 adalah Muraqabah (kesadaran diri bahwa Allah mengawasi) terhadap indra. Setiap kali indra aktif, seorang Muslim harus bertanya:

Ini adalah disiplin spiritual yang mencegah kita dari bertindak sebagai "pengikut buta" (Qafw) di tengah hiruk pikuk kehidupan. Disiplin ini menciptakan individu yang tenang, bijaksana, dan bertanggung jawab.

3. Konsekuensi Mengabaikan Ilmu dan Berpegang pada Prasangka

Sejarah Islam dan sejarah peradaban secara umum dipenuhi dengan bencana yang disebabkan oleh pengabaian prinsip 'Ilm. Konflik sektarian, ketidakadilan politik, dan penyebaran takhayul sering kali berakar pada kegagalan untuk memverifikasi. Ketika Fu'ad ditutup oleh hawa nafsu atau fanatisme, ia kehilangan kemampuannya untuk berpegang pada fakta, dan akhirnya, seluruh sistem sosial menjadi sakit. Ayat ini adalah resep ilahi untuk menjaga kesehatan sosial dan spiritual umat manusia.

Konsekuensi di akhirat adalah yang paling berat. Jika kita menggunakan indra kita untuk menyebarkan permusuhan, menyaksikan kebohongan, atau memegang teguh keyakinan yang bertentangan dengan bukti yang jelas, maka di Hari Perhitungan, pendengaran kita akan bersaksi melawan kita, penglihatan kita akan menjadi bukti kealpaan kita, dan hati kita akan mengungkap niat buruk kita, menjadikannya saksi utama atas kegagalan kita dalam mencari kebenaran yang dituntut oleh Al-Isra 36.

Oleh karena itu, prinsip Al-Isra 36 adalah panggilan abadi menuju kecerdasan yang bertanggung jawab (Intellectual Accountability). Ia menuntut kita untuk menjadi pribadi yang:

  1. Selalu skeptis terhadap klaim yang tidak berdasar.
  2. Terus-menerus mencari dalil dan bukti.
  3. Menggunakan akal dan hati (Fu'ad) sebagai hakim yang adil atas segala informasi yang masuk.
Kesadaran akan pertanggungjawaban indra adalah kunci menuju kehidupan yang bermartabat dan akhirat yang selamat.

4. Perluasan Makna ‘Ilm dalam Hubungan Antarmanusia

Ayat Al-Isra 36 ini tidak hanya berlaku dalam pencarian ilmu agama atau ilmu pengetahuan murni, tetapi juga dalam interaksi sosial sehari-hari. 'Ilm yang dimaksud di sini mencakup ilmu tentang karakter, perilaku, dan motivasi orang lain. Ketika kita menghakimi, menilai, atau memberikan label kepada seseorang, kita harus memiliki 'Ilm. Seringkali, keretakan hubungan terjadi karena kita membangun narasi tentang orang lain hanya berdasarkan Zhann (asumsi negatif) yang diserap melalui pendengaran rumor atau penglihatan yang keliru konteksnya.

Seorang Muslim diwajibkan untuk menangguhkan penilaian (Tawaqquf) sampai ilmu yang meyakinkan diperoleh. Dalam hal ini, 'Ilm berfungsi sebagai perisai dari dosa ghibah, fitnah, dan su'uzh zhann (prasangka buruk). Jika kita tidak memiliki 'Ilm yang pasti tentang keburukan seseorang, maka hukum asal (al-asl) adalah berprasangka baik (Husnuz Zhann). Melanggar prinsip ini berarti membiarkan hati (Fu'ad) dipenuhi spekulasi yang akan memberatkannya di hari perhitungan.

5. Integrasi Ilmu Naqli dan Ilmu Aqli

Tuntutan Al-Isra 36 untuk memiliki 'Ilm yang pasti tidak membatasi sumber ilmu. Ia mencakup ilmu wahyu (Naqli) dan ilmu rasio/empiris (Aqli). Fu'ad bertanggung jawab untuk mengintegrasikan kedua jenis ilmu ini. Ilmu Naqli (seperti ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits) harus diterima dengan keyakinan, tetapi pemahamannya harus melalui proses Fu'ad yang rasional (Tadabbur), sementara Ilmu Aqli (sains, logika, sejarah) harus diterima melalui observasi (Bashar) dan eksperimen yang terverifikasi (Sam').

Kegagalan integrasi terjadi ketika seseorang menggunakan logika semata untuk menolak wahyu (seperti yang dilakukan kaum Mu'tazilah ekstrem), atau sebaliknya, ketika seseorang menolak fakta-fakta ilmiah yang terbukti hanya karena bertentangan dengan pemahaman tekstual yang kaku. Ayat 36 menuntut harmonisasi: Gunakan seluruh potensi indra dan Fu'ad untuk mencapai kebenaran yang komprehensif, baik vertikal (wahyu) maupun horizontal (alam semesta).

Pengejaran ilmu yang sejati adalah ibadah. Jika proses pencarian ilmu itu sendiri cacat—karena didasarkan pada sumber yang diragukan atau metodologi yang tidak jujur—maka hasil akhirnya, meskipun mungkin terlihat seperti ilmu, tetaplah Qafw, sebuah pengejaran tanpa jejak, yang tidak akan diterima sebagai amal saleh di hadapan Allah SWT.

6. Penguatan Konsep Amanah dan Khilafah

Manusia dibebani Amanah (kepercayaan) dan diberi peran sebagai Khalifah (wakil Tuhan) di bumi. Pemberian indra Sam', Bashar, dan Fu'ad adalah bagian krusial dari Amanah ini. Kita tidak diberikan indra tersebut untuk kesenangan semata, melainkan sebagai alat untuk menjalankan tugas kekhalifahan: membangun bumi, menegakkan keadilan, dan menyembah Tuhan berdasarkan bukti dan keyakinan yang pasti.

Ketika seseorang melanggar Al-Isra 36, ia tidak hanya berdosa secara personal, tetapi ia juga mengkhianati Amanah kekhalifahan. Seorang Khalifah yang bertindak atas dasar rumor atau kebohongan akan menyebabkan kekacauan dalam masyarakat. Pertanggungjawaban indra adalah pertanggungjawaban kepemimpinan, baik dalam skala mikro (mengelola diri sendiri) maupun skala makro (memimpin komunitas atau negara). Ini menempatkan ilmu, yang diverifikasi oleh indra, sebagai prasyarat utama untuk kepemimpinan yang sah dan adil.

Di masa kini, di mana kita dibanjiri oleh data yang tak terbatas, kemampuan untuk memilah antara 'Ilm dan Qafw adalah bentuk ibadah tertinggi. Jika para pendahulu kita berjuang melawan kebodohan karena minimnya akses informasi, tantangan kita adalah melawan kebodohan yang terselubung di balik banjir informasi yang tidak terverifikasi. Al-Isra 36 menjadi filter moral dan intelektual kita, memastikan bahwa setiap keyakinan dan tindakan kita tegak di atas fondasi kebenaran yang kokoh, bukan pasir spekulasi.

Kajian mendalam ini harus terus diulang dan direnungkan oleh setiap individu Muslim, karena kesadaran akan tanggung jawab indra dan hati adalah benteng terakhir melawan kekacauan etika dan intelektual. Kegagalan kita dalam menjaga Sam', Bashar, dan Fu'ad adalah kegagalan kita dalam mencapai derajat kemanusiaan yang sempurna, yang pada akhirnya membawa kita pada hukuman yang adil: pertanggungjawaban atas setiap jejak yang kita ikuti tanpa pengetahuan yang sahih.

Oleh karena itu, setiap kali kita mendengarkan, melihat, atau merenungkan, kita harus mengingat janji dan peringatan dalam Surah Al-Isra 36. Janji untuk mencapai kebenaran bagi mereka yang tekun mencari ilmu, dan peringatan keras bagi mereka yang lalai dalam menjaga anugerah terbesar: kemampuan untuk membedakan yang benar dari yang salah.

Kesadaran bahwa pendengaran, penglihatan, dan hati kita akan menjadi saksi bisu di hadapan Sang Pencipta harus mengarahkan setiap langkah, setiap kata, dan setiap niat. Ilmu adalah cahaya, dan mengejar cahaya ini adalah amanah yang harus dijaga hingga napas terakhir. Hanya dengan disiplin ilmu yang ketat, kita dapat memenuhi tuntutan ayat yang agung ini.

Ini adalah prinsip yang harus diaplikasikan tidak hanya pada isu-isu besar teologis, tetapi juga dalam perkara kecil sehari-hari, seperti memilih produk, mengevaluasi janji politik, atau bahkan menilai motif teman. Dalam setiap situasi, prinsipnya tetap sama: jangan bertindak atas dasar apa yang tidak kamu ketahui secara pasti. Ilmu adalah otoritas tertinggi dalam pandangan Islam, dan pertanggungjawaban atas perolehan serta penggunaan ilmu tersebut adalah tak terhindarkan. Kesadaran ini adalah fondasi moralitas Islam.

🏠 Kembali ke Homepage