Al Maidah: Surah Perjanjian, Hukum, dan Kesempurnaan Syariat

Pendahuluan: Identitas dan Keistimewaan Surah Al Maidah

Surah Al Maidah adalah surah kelima dalam Al-Qur'an dan termasuk dalam kelompok surah Madaniyah, yang diturunkan setelah hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Periode Madaniyah ditandai dengan penetapan hukum-hukum (syariat) yang terperinci, pembentukan komunitas Muslim yang terorganisasi, serta interaksi intensif dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).

Nama "Al Maidah" (Hidangan atau Jamuan Makanan) diambil dari kisah mukjizat Nabi Isa AS dan permintaan para Hawariyyin (pengikut setia) agar Allah menurunkan hidangan dari langit, yang diabadikan dalam ayat 112 hingga 115. Meskipun kisah hidangan tersebut menjadi nama surah, cakupan tema Surah Al Maidah jauh melampaui topik makanan, mencakup landasan utama hukum Islam dalam aspek muamalah, ibadah, jinayah (pidana), dan siyasah (politik/hubungan antarumat).

Surah ini memiliki keistimewaan mendasar karena diyakini sebagai salah satu surah terakhir yang diturunkan secara keseluruhan. Ayat-ayatnya mengatur urusan yang sangat krusial bagi penegakan Daulah Islamiyah di Madinah, seperti penyelesaian hukum-hukum yang tersisa dan penetapan batas-batas yang tegas antara Muslim dan non-Muslim dalam hal loyalitas dan kepemimpinan. Ini termasuk ayat yang menyatakan kesempurnaan agama Islam, yang turun saat Haji Wada’ (Haji Perpisahan):

ٱلۡیَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِینَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَیۡكُمۡ نِعۡمَتِی وَرَضِیتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَـٰمَ دِینࣰا

"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu." (Q.S. Al Maidah: 3)

Ayat ini menandai puncak dari wahyu ilahi, menunjukkan bahwa seluruh aspek hukum dan spiritual yang dibutuhkan umat manusia telah dipenuhi. Setelah ayat ini turun, hanya sedikit ayat hukum yang diturunkan, menunjukkan betapa sentralnya posisi Surah Al Maidah dalam keseluruhan struktur syariat.

Pilar I: Pemenuhan Perjanjian dan Ketetapan Makanan (Ayat 1-5)

Surah ini dibuka dengan seruan tegas kepada orang-orang beriman untuk menunaikan janji-janji mereka, baik janji kepada Allah (melaksanakan syariat) maupun janji antar sesama manusia. Ayat pertama segera menyentuh subjek hukum hewan ternak, menetapkan apa yang dihalalkan dan yang diharamkan, meletakkan dasar bagi sistem makanan yang bersih dan legal dalam Islam.

Analisis Hukum Hewan Ternak dan Darah

Ayat 3 memberikan daftar terperinci mengenai jenis makanan yang diharamkan, yang merupakan penegasan dan perluasan dari hukum-hukum sebelumnya. Larangan-larangan ini memiliki dimensi kebersihan, kesehatan, dan spiritualitas. Diharamkan bagi Muslim:

Selain itu, terdapat rincian tentang cara kematian hewan yang diharamkan: hewan yang tercekik (Al-Munkhaniqah), yang dipukul (Al-Mauqudhah), yang jatuh (Al-Mutaraddiyah), yang ditanduk (An-Nathihah), dan yang diterkam binatang buas (Ma Akala As-Sabu'). Pengecualian diberikan jika hewan-hewan tersebut sempat disembelih secara syar'i sebelum benar-benar mati.

Hukum Makanan Ahli Kitab dan Pernikahan

Ayat 5 memberikan kelonggaran spesifik terkait interaksi dengan Ahli Kitab, yang menunjukkan toleransi Islam sambil menjaga batasan syariat:

ٱلۡیَوۡمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّیِّبَـٰتُۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِینَ أُوتُوا۟ ٱلۡكِتَـٰبَ حِلࣱّ لَّكُمۡ وَطَعَامُكُمۡ حِلࣱّ لَّهُمۡۖ وَٱلۡمُحۡصَنَـٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَـٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَـٰتُ مِنَ ٱلَّذِینَ أُوتُوا۟ ٱلۡكِتَـٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ...

"Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal (pula) bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu..." (Q.S. Al Maidah: 5)

Ayat ini menetapkan dua hukum penting: kebolehan memakan sembelihan Ahli Kitab, selama mereka menyembelih dengan menyebut nama Allah sesuai keyakinan mereka, dan kebolehan menikahi wanita Ahli Kitab yang menjaga kehormatan. Pengecualian ini didasarkan pada asumsi dasar bahwa mereka masih berpegang pada tauhid dasar (walaupun telah bercampur syirik) dan memiliki landasan wahyu ilahi, membedakan mereka dari kaum Musyrikin (penyembah berhala).

Pilar II: Aturan Thaharah (Bersuci) dan Kewajiban (Ayat 6)

Ayat 6 dari Surah Al Maidah adalah fondasi utama bagi Fiqh Ibadah, khususnya terkait tata cara wudu (berwudu) dan tayammum (bersuci dengan debu). Ayat ini turun untuk mengatur dan memperjelas praktik bersuci yang sangat penting sebelum melaksanakan salat.

Tafsir Mendalam Rukun Wudu

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُوا۟ وُجُوهَكُمۡ وَأَیۡدِیَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَیۡنِۚ

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu, dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki..." (Q.S. Al Maidah: 6)

Ayat ini secara eksplisit menyebutkan empat rukun utama wudu (cuci muka, cuci tangan, usap kepala, cuci kaki), yang menjadi dasar perbedaan mazhab fiqh dalam menentukan kewajiban seperti niat, tertib (berurutan), dan muwalat (berturut-turut tanpa jeda lama). Analisis gramatikal kata sambung dalam ayat ini sangat penting, khususnya mengenai ‘mengusap’ kepala dan ‘mencuci’ kaki, yang memicu diskusi fiqh yang mendalam mengenai sejauh mana bagian kepala harus diusap dan metode pencucian kaki.

Rukhsah (Keringanan) Tayammum

Ayat yang sama melanjutkan dengan penetapan tayammum, memberikan solusi praktis dalam situasi darurat:

Jika seseorang dalam keadaan junub atau bepergian (musafir) atau sakit, atau tidak mendapatkan air, Allah menetapkan tayammum. Ketetapan ini adalah bentuk keringanan yang menunjukkan kemudahan dalam Islam. Tayammum dilakukan dengan menyentuh debu yang suci (sha'id) dan mengusapkannya ke wajah dan kedua tangan. Kondisi yang membolehkan tayammum diringkas menjadi dua: tidak adanya air (atau tidak cukup) atau adanya halangan untuk menggunakan air (sakit parah atau bahaya lainnya).

Penetapan hukum thaharah ini secara filosofis mengajarkan bahwa kebersihan spiritual harus didukung oleh kebersihan fisik. Ibadah tidak dapat dilaksanakan tanpa kesiapan diri, baik dari segi hati maupun raga yang suci.

Pilar III: Penegakan Keadilan Tanpa Pandang Bulu (Ayat 8-32)

Salah satu inti ajaran moral dalam Surah Al Maidah adalah perintah untuk menegakkan keadilan (al-adl) secara mutlak, bahkan ketika keadilan tersebut merugikan diri sendiri atau harus ditujukan kepada kaum yang dibenci. Ayat 8 menekankan prinsip ini sebagai manifestasi ketakwaan:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّ ٰمِینَ لِلَّهِ شُهَدَاۤءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا یَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَـَٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰۤ أَلَّا تَعۡدِلُوا۟ۚ ٱعۡدِلُوا۟ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. (Karena) keadilan itu lebih dekat kepada takwa..." (Q.S. Al Maidah: 8)

Ayat ini merupakan piagam etika yudisial dan moral dalam Islam. Keadilan (Al-Qisth) harus ditegakkan tanpa dipengaruhi oleh emosi, hubungan pribadi, atau permusuhan politik. Kebencian (Shan’aanu Qaumin) tidak boleh menjadi alasan untuk menyimpang dari standar kebenaran. Keadilan diposisikan sebagai "lebih dekat kepada takwa" (aqrabu lit-taqwa), menegaskan bahwa keadilan sosial adalah prasyarat spiritualitas.

Kisah Pertama Anak Adam (Qabil dan Habil)

Untuk mengilustrasikan betapa parahnya kejahatan dan betapa vitalnya keadilan dalam menjaga kehidupan, surah ini menyajikan kisah dua putra Nabi Adam (Qabil dan Habil) dalam ayat 27 hingga 32. Kisah ini berfungsi sebagai pelajaran abadi mengenai fitrah manusia yang cenderung hasad (dengki) dan akibat fatal dari pembunuhan tanpa hak.

Ayat 32, yang menyusul kisah pembunuhan pertama di bumi, memberikan deklarasi universal tentang nilai kehidupan:

مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَیۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادࣲ فِی ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِیعࣰا وَمَنۡ أَحۡیَاهَا فَكَأَنَّمَاۤ أَحۡیَا ٱلنَّاسَ جَمِیعࣰا

"Barang siapa membunuh seseorang bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia." (Q.S. Al Maidah: 32)

Deklarasi ini menekankan kesakralan hidup dan menjadi landasan bagi etika sosial Islam, menempatkan pembunuhan yang tidak sah (tanpa qishash atau hukuman) sebagai kejahatan universal yang melukai seluruh kemanusiaan. Kontras antara kisah pembunuhan dan perintah keadilan menyoroti urgensi hukum pidana Islam untuk menjaga lima kebutuhan pokok (Maqashid Syariah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Pilar IV: Hukum Pidana (Jinayah) dan Ketegasan Syariat (Ayat 33-40)

Setelah menetapkan pentingnya keadilan universal, Surah Al Maidah merinci hukum-hukum pidana yang keras untuk kejahatan tertentu, yang bertujuan menciptakan keamanan dan ketertiban sosial yang maksimal. Dua kategori utama yang dibahas adalah kejahatan teror dan perampokan (Hirabah) serta kejahatan pencurian (Sariqah).

Hukuman Hirabah (Perampokan dan Teror)

Ayat 33 menetapkan hukuman bagi mereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta membuat kerusakan di muka bumi. Kejahatan *Hirabah* didefinisikan secara luas, mencakup perampokan di jalan, terorisme, atau pemberontakan bersenjata yang mengganggu stabilitas negara. Hukuman yang ditetapkan sangat tegas:

Mereka dapat dihukum mati, disalib, dipotong tangan dan kaki secara bersilang, atau diusir dari negeri. Pilihan hukuman ini diserahkan kepada penguasa (ulil amri) berdasarkan jenis kejahatan dan tingkat kerusakannya. Tafsir klasik menekankan bahwa kebrutalan hukuman ini sebanding dengan tingkat kerusakan yang ditimbulkan—kerusakan yang tidak hanya bersifat fisik tetapi juga psikologis terhadap masyarakat.

Hukuman Sariqah (Pencurian)

Ayat 38 menetapkan hukum *Hadd* (hukuman yang telah ditentukan Allah) untuk pencurian:

وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوۤا۟ أَیۡدِیَهُمَا جَزَاۤءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَـٰلࣰا مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِیزٌ حَكِیمࣱ

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan, dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana." (Q.S. Al Maidah: 38)

Meskipun hukuman ini tampak keras, Fiqh Islam menetapkan persyaratan yang sangat ketat untuk penerapannya (misalnya, nilai curian mencapai *nishab*, barang curian diambil dari tempat penyimpanan yang aman, tidak adanya kondisi kelaparan ekstrem, dan pembuktian yang tidak diragukan). Kekerasan hukuman ini berfungsi sebagai pencegahan yang kuat (Nakal), memastikan bahwa harta benda masyarakat terlindungi secara absolut.

Penting untuk dicatat bahwa ayat 39 segera memberikan jalan keluar: bagi mereka yang bertobat setelah melakukan kejahatan ini dan memperbaiki diri, Allah akan menerima tobatnya. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan utama hukum adalah reformasi, bukan semata-mata pembalasan.

Simbol Timbangan Keadilan (Mizan)
Ilustrasi: Timbangan Keadilan, melambangkan perintah adil dalam Al Maidah (Ayat 8).

Pilar V: Kedudukan Taurat, Injil, dan Al-Qur'an (Ayat 41-50)

Bagian sentral Surah Al Maidah membahas secara ekstensif interaksi dengan Ahli Kitab, khususnya orang Yahudi di Madinah, yang datang kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk meminta keputusan hukum (hukum Qishash atau pelemparan dalam kasus zina), meskipun mereka sudah memiliki Taurat.

Kewajiban Berhukum dengan Syariat Allah

Ayat-ayat ini secara berulang dan sangat keras mengecam mereka yang mengetahui kebenaran namun menyembunyikannya atau menolak berhukum dengan apa yang telah diturunkan Allah. Tiga kali Allah berfirman dalam nada ancaman tentang konsekuensi menolak syariat:

  1. وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ (Ayat 44): "...Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir."
  2. وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ (Ayat 45): "...Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang zalim."
  3. وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ (Ayat 47): "...Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik."

Para ulama tafsir bersepakat bahwa tiga label ini (Kafir, Zalim, Fasiq) merujuk pada motivasi penolakan. Seseorang bisa menjadi kafir jika menolak hukum Allah karena meyakini hukum manusia lebih baik (penolakan aqidah), zalim jika menolak karena kesombongan atau mencari keuntungan pribadi (penolakan moral), atau fasiq jika menolak karena mengikuti hawa nafsu atau melemahnya iman (penolakan praktis).

Al-Qur'an sebagai Muhaymin (Penjaga dan Penguji)

Ayat 48 menegaskan kedudukan Al-Qur'an dalam kaitannya dengan kitab-kitab suci sebelumnya (Taurat dan Injil):

وَأَنزَلۡنَاۤ إِلَیۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقࣰا لِّمَا بَیۡنَ یَدَیۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَـٰبِ وَمُهَیۡمِنًا عَلَیۡهِ

"Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan) dan batu ujian terhadapnya (Muhayminan 'alaihi)..." (Q.S. Al Maidah: 48)

Kata Muhaymin memiliki makna ganda: sebagai penjaga keotentikan ajaran Tuhan yang asli yang mungkin telah diubah dalam kitab sebelumnya, dan sebagai penentu hukum tertinggi yang mengoreksi serta menasakh (mengganti) beberapa hukum Taurat dan Injil yang spesifik. Oleh karena itu, bagi umat Nabi Muhammad ﷺ, hanya Al-Qur'an dan Sunnah yang merupakan sumber hukum final.

Pilar VI: Batasan Loyalitas (Al-Wala') dan Kepemimpinan (Ayat 51-66)

Surah Al Maidah memberikan pedoman yang sangat tegas mengenai batas-batas loyalitas (al-wala') dan kepemimpinan dalam konteks negara Islam yang baru. Ayat-ayat ini diturunkan pada saat komunitas Muslim berada di bawah tekanan dan terdapat keraguan di antara sebagian orang Mukmin, terutama kaum munafik, mengenai siapa yang harus diandalkan sebagai sekutu.

Larangan Mengambil Ahli Kitab sebagai Awliya

Ayat 51 melarang keras mengambil Yahudi dan Nasrani sebagai Awliya (pemimpin, pelindung, atau sekutu yang loyal):

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلۡیَهُودَ وَٱلنَّصَـٰرَىٰۤ أَوۡلِیَاۤءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِیَاۤءُ بَعۡضࣲۚ وَمَن یَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai Awliya (pemimpin/pelindung); sebagian mereka adalah Awliya bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka Awliya, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka..." (Q.S. Al Maidah: 51)

Konsep *Awliya* di sini merujuk pada aliansi politik, militer, dan loyalitas penuh yang bertentangan dengan kepentingan umat Islam dan agama. Hal ini bukan larangan mutlak terhadap interaksi atau perlakuan adil kepada non-Muslim (sebagaimana ditegaskan di surah lain), tetapi larangan terhadap transfer loyalitas utama (wala') dan penyerahan urusan kepemimpinan atau keamanan kepada mereka yang secara ideologis berlawanan dengan Islam.

Kecaman terhadap Munafik dan Karakteristik Ahli Kitab

Ayat 52 hingga 57 menggambarkan sikap orang-orang munafik yang terburu-buru mencari perlindungan dan sekutu dari Ahli Kitab, khawatir bahwa kekalahan akan menimpa Muslim. Allah memperingatkan bahwa tindakan ini—menjual loyalitas demi keuntungan duniawi atau rasa aman—adalah tanda kelemahan iman.

Selanjutnya, surah ini menjelaskan beberapa sifat Ahli Kitab yang menyimpang, seperti kecenderungan untuk memprovokasi permusuhan (Ayat 64), mendustakan Rasulullah ﷺ, dan praktik riba serta memakan harta haram (Ayat 62-63). Ini berfungsi sebagai peringatan agar Muslim tidak terjerumus pada perilaku yang sama dan memastikan bahwa loyalitas spiritual dan praktis tetap teguh kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman.

Penjelasan mengenai sikap Ahli Kitab ini sangat rinci, mencakup penyimpangan teologis dan praktik. Misalnya, dalam ayat 64, dinyatakan bahwa orang Yahudi mengatakan, "Tangan Allah terbelenggu," sebuah ungkapan penghinaan yang menunjukkan pandangan materialistis terhadap rezeki Allah, dan dibalas dengan penegasan bahwa tangan Allah terulur dan Dia memberikan rezeki sesuai kehendak-Nya. Detil-detil ini menunjukkan konflik fundamental antara pandangan dunia Islam yang berserah diri dan pandangan yang cenderung meragukan kekuasaan ilahi ketika menghadapi kesulitan ekonomi atau politik.

Pilar VII: Batasan Toleransi dan Sifat Manusia (Ayat 78-86)

Bagian ini beralih dari kritik terhadap penyimpangan Ahli Kitab kepada perbandingan sikap antara kelompok-kelompok non-Muslim terhadap umat Islam, sekaligus menetapkan pedoman tentang siapa yang pantas menjadi teman dan siapa yang cenderung menjadi musuh.

Kutukan atas Bani Israil

Ayat 78 mencatat bahwa sebagian Bani Israil dikutuk oleh lisan Daud (David) dan Isa (Jesus) karena pembangkangan mereka dan melampaui batas (melakukan maksiat dan tidak saling melarang kejahatan). Kutukan ini berfungsi sebagai pengingat historis tentang bahaya meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan melarang kemungkaran).

Pelajaran terpenting dari sejarah Bani Israil adalah kegagalan kolektif mereka dalam mencegah kemungkaran. Masyarakat yang berhenti menegur kesalahan di antara mereka sendiri akan menerima hukuman ilahi, baik di dunia maupun di akhirat. Ini adalah peringatan kuat bagi umat Islam agar tidak meniru kelalaian spiritual dan sosial tersebut.

Perbandingan Yahudi, Musyrikin, dan Nasrani

Ayat 82 memberikan klasifikasi yang menarik mengenai siapa yang paling keras permusuhannya terhadap Muslim dan siapa yang paling dekat persahabatannya:

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ ٱلنَّاسِ عَدَ ٰوَةࣰ لِّلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱلۡیَهُودَ وَٱلَّذِینَ أَشۡرَكُوا۟ۖ وَلَتَجِدَنَّ أَقۡرَبَهُم مَّوَدَّةࣰ لِّلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱلَّذِینَ قَالُوۤا۟ إِنَّا نَصَـٰرَىٰۚ

"Pasti akan kamu dapati orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan pasti akan kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata, 'Kami ini orang Nasrani'." (Q.S. Al Maidah: 82)

Al-Qur'an menjelaskan bahwa kedekatan emosional Nasrani disebabkan karena adanya pendeta dan rahib di antara mereka, yang cenderung rendah hati dan tidak sombong. Ayat ini menunjukkan bahwa sikap umat lain terhadap Islam tidaklah homogen; ada gradasi dalam permusuhan dan persahabatan, yang harus dipahami oleh Muslim dalam konteks interaksi internasional dan sosial.

Ayat ini tidak meniadakan larangan *Awliya* dalam urusan politik (Ayat 51), tetapi merujuk pada potensi hubungan sosial yang lebih ramah berdasarkan sifat kerendahan hati dan kesediaan mereka mendengarkan kebenaran, sebagaimana ditunjukkan oleh contoh delegasi Nasrani yang datang ke Madinah dan terharu oleh pembacaan Al-Qur'an (Ayat 83).

Pilar VIII: Hukum Sumpah, Penebusan, dan Larangan Khamr (Ayat 87-108)

Bagian akhir dari surah ini kembali ke masalah-masalah hukum praktis yang mengatur kehidupan sehari-hari umat Muslim, khususnya mengenai janji, sumpah, dan larangan hal-hal yang dapat merusak akal.

Larangan Melampaui Batas dalam Kehidupan

Allah membuka bagian ini dengan peringatan untuk tidak mengharamkan hal-hal baik (At-Tayyibat) yang telah dihalalkan (Ayat 87). Ini adalah peringatan terhadap ekstremisme dan asketisme yang berlebihan, yang tidak dianjurkan dalam Islam. Islam adalah agama pertengahan, yang menyeimbangkan kebutuhan duniawi dan ukhrawi.

Hukum Kaffarah Yamin (Penebusan Sumpah)

Ayat 89 merinci hukum sumpah yang dilanggar secara sengaja (Al-Yaminul Mun’aqidah). Sumpah yang tidak disengaja atau spontan tidak dihitung (Al-Laghwu). Jika seseorang melanggar sumpah yang sah, dia wajib membayar kaffarah (penebusan), yang urutannya ditetapkan:

  1. Memberi makan sepuluh orang miskin (dengan makanan standar keluarga).
  2. Memberi pakaian sepuluh orang miskin.
  3. Memerdekakan seorang budak.

Jika ketiganya tidak mampu dilakukan, maka sebagai alternatif, dia wajib berpuasa tiga hari. Ketentuan ini menunjukkan bagaimana syariat memberikan solusi yang adil dan berorientasi sosial untuk kesalahan individu.

Pengharaman Khamr (Minuman Keras) dan Maisir (Judi)

Ayat 90-91 adalah penetapan pengharaman minuman keras dan judi secara final dan mutlak. Sebelumnya, larangan mengenai khamr diturunkan secara bertahap, namun Al Maidah menempatkan larangan ini pada tingkat yang paling tegas, mengaitkannya dengan kekejian (Rijs) dan perbuatan setan:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَیۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱٱلۡأَزۡلَـٰمُ رِجۡسࣱ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّیۡطَـٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu mendapat keberuntungan." (Q.S. Al Maidah: 90)

Alasan pengharaman ini sangat jelas (Ayat 91): khamr dan judi menimbulkan permusuhan dan kebencian antar sesama manusia serta menghalangi mengingat Allah dan melaksanakan salat. Pengharaman ini adalah bagian vital dari *Maqashid Syariah* untuk menjaga akal (Hifzhul Aql) dan harta (Hifzhul Mal).

Larangan ini memicu revolusi sosial di Madinah. Para Sahabat yang mendengar ayat ini segera menghancurkan persediaan khamr mereka. Detail pelarangan ini mencakup semua zat yang memabukkan, tidak peduli apa namanya atau bahan pembuatnya, menunjukkan universalitas hukum Islam dalam menjaga kesehatan mental dan stabilitas masyarakat. Fiqh yang muncul dari ayat ini tidak hanya melarang minum, tetapi juga memproduksi, menjual, membeli, dan menyajikan khamr.

Simbol Hidangan (Al Maidah)
Ilustrasi: Meja Hidangan (Al Maidah), merujuk pada mukjizat Nabi Isa AS (Ayat 112).

Pilar IX: Mukjizat Al Maidah dan Dialog Ilahi (Ayat 109-120)

Surah ini ditutup dengan puncak tematiknya, yaitu kisah mengenai permintaan Hawariyyin (pengikut setia) Nabi Isa AS agar Allah menurunkan hidangan (Al Maidah) dari langit. Bagian ini berfungsi sebagai penutup yang menegaskan kekuasaan Allah dan menyingkap ketauhidan Nabi Isa AS yang sesungguhnya.

Permintaan Hidangan dan Peringatan Keras

Hawariyyin meminta mukjizat visual berupa hidangan yang turun dari langit untuk menguatkan iman mereka dan menjadi bukti nyata kenabian Isa. Nabi Isa AS mengabulkan permohonan tersebut dengan doa:

قَالَ عِیسَى ٱبۡنُ مَرۡیَمَ ٱللَّهُمَّ رَبَّنَاۤ أَنزِلۡ عَلَیۡنَا مَآئِدَةࣰ مِّنَ ٱلسَّمَاۤءِ تَكُونُ لَنَا عِیدࣰا لِّأَوَّلِنَا وَءَاخِرِنَا وَءَایَةࣰ مِّنكَۖ وَٱرۡزُقۡنَا وَأَنتَ خَیۡرُ ٱلرَّ ٰزِقِینَ

"Isa putra Maryam berdoa, 'Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit (Al Maidah), yang akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang sekarang bersama kami maupun yang datang setelah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu. Berilah kami rezeki, Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki'." (Q.S. Al Maidah: 114)

Allah memperingatkan bahwa siapa pun yang kafir setelah melihat mukjizat tersebut akan diazab dengan azab yang belum pernah ditimpakan kepada siapa pun di alam semesta. Hal ini menunjukkan bahwa mukjizat yang kasat mata membawa tanggung jawab yang sangat besar bagi penerimanya.

Dialog antara Allah dan Isa di Hari Kiamat

Ayat 116 hingga 118 menghadirkan dialog dramatis yang terjadi di Hari Kiamat, di mana Allah menanyai Isa AS:

وَإِذۡ قَالَ ٱللَّهُ یَـٰعِیسَى ٱبۡنَ مَرۡیَمَ ءَأَنتَ قُلۡتَ لِلنَّاسِ ٱتَّخِذُونِی وَأُمِّیَ إِلَـٰهَیۡنِ مِن دُونِ ٱللَّهِۖ

"Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, 'Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, Jadikanlah aku dan ibuku dua tuhan selain Allah?'" (Q.S. Al Maidah: 116)

Nabi Isa AS menjawab dengan menyangkal tuduhan tersebut secara mutlak, menegaskan bahwa dia hanya mengajarkan apa yang diperintahkan Allah—untuk menyembah Allah, Tuhannya dan Tuhan mereka. Isa AS berlepas diri dari praktik penyembahan yang berkembang setelah ketiadaannya. Kisah penutup ini berfungsi sebagai koreksi teologis terakhir (khususnya bagi umat Kristiani), menegaskan doktrin tauhid yang murni dan menutup semua pintu menuju kesyirikan.

Kesimpulan dan Implikasi Surah Al Maidah

Surah Al Maidah, sebagai surah yang merangkum kesempurnaan syariat, berdiri sebagai fondasi yang kokoh bagi komunitas Muslim. Ayat-ayatnya, yang diturunkan dalam periode kekuatan Islam, menegaskan bahwa komunitas ini harus memiliki identitas hukum dan spiritual yang unik, tidak terombang-ambing oleh pengaruh eksternal atau kelemahan internal.

Tiga Tema Sentral

Secara keseluruhan, Surah Al Maidah dapat diringkas dalam tiga tema utama yang saling terkait dan dieksplorasi secara sangat mendalam, memberikan dasar teologis dan praktis bagi kehidupan Muslim:

  1. Penegakan Hukum dan Keadilan (Hifzhud Din wal Nafs wal Mal): Penetapan hukum pidana (Hirabah, Sariqah), hukum ibadah (Wudu, Tayammum), dan prinsip universal keadilan yang tidak boleh ditinggalkan meskipun kepada musuh.
  2. Batasan Hubungan dengan Ahli Kitab: Penetapan kedudukan Al-Qur'an sebagai penentu hukum tertinggi (Muhaymin) dan peringatan keras terhadap mengambil loyalitas penuh (Awliya) dari mereka yang secara fundamental tidak mendukung agama Islam, sambil tetap mempertahankan toleransi sosial dan komitmen terhadap keadilan dalam interaksi sehari-hari.
  3. Kesempurnaan Agama (Ikmalud Din): Pengumuman bahwa agama Islam telah sempurna dan ditutup dengan pembersihan tauhid melalui kisah Nabi Isa AS dan hidangan Al Maidah, memastikan bahwa umat Islam memiliki syariat yang lengkap dan tidak memerlukan tambahan atau pengurangan dari sumber manapun.

Intensitas dan kerincian Surah Al Maidah menjadikannya salah satu surah yang paling banyak dirujuk dalam literatur fiqh dan ushul fiqh. Ia menuntut kejujuran internal dari setiap Muslim—kesediaan untuk berhukum dengan syariat Allah sepenuhnya dan memegang teguh perjanjian, yang merupakan inti dari ketaatan (taqwa).

Pentingnya Makanan Halal dan Thayyib

Meskipun dikenal sebagai surah hukum, aspek makanan (halal dan thayyib) yang disebutkan di awal dan tengah surah (Ayat 1-5, 87-97) merupakan metafora penting. Makanan yang dikonsumsi memengaruhi spiritualitas dan ketaatan seseorang. Dengan demikian, menjaga kehalalan makanan adalah langkah pertama untuk memastikan hati dan pikiran siap menerima dan menerapkan hukum-hukum Allah yang lebih berat.

Kajian mendalam Surah Al Maidah mengajarkan bahwa kehidupan yang diatur oleh syariat adalah kehidupan yang tertib, adil, dan paling dekat dengan keridaan Ilahi, sebagaimana difirmankan dalam ayat penutup surah ini, mengukuhkan janji pahala bagi mereka yang berbuat baik dan ketaatan penuh kepada Allah.

Setiap Muslim diwajibkan untuk mendalami surah yang agung ini, tidak hanya untuk mengetahui hukum-hukumnya, tetapi juga untuk memahami filosofi di balik hukum-hukum tersebut: bahwa syariat Allah adalah rahmat, meski terkadang menuntut pengorbanan dan ketegasan, demi menjaga kemaslahatan umat manusia secara menyeluruh.

Kewajiban untuk berpegang teguh pada janji-janji yang termaktub dalam surah ini tidak hanya berhenti pada tataran individu, melainkan meluas hingga membentuk kerangka etika kolektif. Penegasan terhadap keadilan sebagai inti takwa (Ayat 8) mengajarkan bahwa iman yang sejati harus tercermin dalam praktik sosial dan politik. Tidak cukup hanya beribadah secara ritual; masyarakat Muslim harus menjadi pelopor keadilan di dunia, menegakkan kebenaran tanpa gentar terhadap cemoohan atau tekanan dari pihak manapun.

Surah Al Maidah menyingkap pula sifat-sifat hipokrit orang-orang yang mengaku beriman tetapi mencari perlindungan atau aliansi dari musuh-musuh agama (Ayat 52). Ini adalah pelajaran abadi bagi umat Islam di setiap zaman, mengingatkan bahwa loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya harus menjadi prioritas absolut. Keraguan dalam loyalitas, yang didorong oleh rasa takut akan kehilangan kekuasaan atau kekayaan dunia, adalah penyakit yang dapat merusak fondasi komunitas.

Selain itu, elaborasi detail mengenai hukum air dan bersuci (Ayat 6) menunjukkan pentingnya detail dalam ibadah. Islam tidak hanya memperhatikan substansi (niat) tetapi juga bentuk (tata cara). Kedetilan ini memastikan disiplin spiritual dan fisik, yang menjadi cerminan dari komitmen total kepada perintah ilahi. Bahkan dalam keadaan darurat, seperti tidak adanya air, Islam memberikan solusi yang bermartabat melalui tayammum, menegaskan bahwa ibadah tidak pernah terhalang oleh kesulitan fisik.

Dalam konteks makanan, kebolehan sembelihan Ahli Kitab (Ayat 5) merupakan pengecualian unik yang mencerminkan sejarah hubungan monoteistik. Namun, pengecualian ini dikontraskan dengan larangan keras terhadap minuman keras dan judi (Ayat 90), yang dianggap sebagai sumber utama perpecahan dan kerusakan spiritual. Keseimbangan antara toleransi dalam muamalah dan ketegasan dalam menjaga akidah dan moral menunjukkan kebijaksanaan sempurna dari syariat Islam.

Pada akhirnya, kisah Al Maidah sendiri dan dialog kenabian dengan Isa AS menutup surah dengan pesan tauhid yang tak terpisahkan: semua nabi, dari awal hingga akhir, menyampaikan pesan yang sama—penyembahan mutlak hanya kepada Allah. Surah Al Maidah adalah penutup yang sempurna untuk masa wahyu, memuat hukum, sejarah, teologi, dan etika yang dibutuhkan umat manusia hingga akhir zaman.

Kajian yang berlanjut dan mendalam terhadap Surah Al Maidah membuka wawasan tentang kompleksitas dan kekayaan hukum Islam. Para fuqaha (ahli fiqh) telah menghabiskan waktu berabad-abad untuk mengekstrak hukum-hukum terperinci dari surah ini. Contohnya, mengenai hukum sumpah (Ayat 89), perbedaan pendapat muncul tentang apakah puasa tiga hari harus dilakukan berturut-turut atau boleh terpisah, dengan mayoritas ulama menganjurkan berturut-turut berdasarkan konteks dan Sunnah Nabi ﷺ, menegaskan bahwa detail pelaksanaan adalah bagian dari ketaatan.

Fokus pada hukum pidana, khususnya *Hirabah* (Ayat 33), memberikan landasan filosofis bagi negara Islam untuk melindungi infrastruktur sosial dan fisik dari terorisme dan perampokan berskala besar. Hukuman yang berat bertujuan bukan untuk balas dendam, tetapi untuk melindungi kepentingan umum (hifzh an-nas) dan mencegah kekacauan (fasad fil ard). Dalam penerapannya, Surah Al Maidah menuntut pengadilan yang paling adil dan teliti, memastikan bahwa hukuman tidak diterapkan tanpa pembuktian yang tidak diragukan lagi dan tanpa mempertimbangkan semua keadaan yang meringankan.

Pentingnya perlakuan terhadap para saksi juga ditekankan (Ayat 106). Surah ini membahas prosedur kesaksian untuk wasiat saat bepergian, yang menunjukkan perhatian Islam terhadap perlindungan hak individu bahkan dalam situasi yang paling sulit atau terpencil. Ini adalah bukti bahwa syariat dirancang untuk menjaga setiap hak dan kewajiban dalam masyarakat, dari yang terbesar hingga yang terkecil.

Secara teologis, peringatan yang berulang mengenai penyimpangan Ahli Kitab (Ayat 60-66) berfungsi ganda: sebagai penjelasan historis mengapa komunitas terdahulu gagal (karena melanggar perjanjian dan tidak mencegah kemungkaran) dan sebagai cermin bagi umat Islam saat ini. Umat Muslim diajarkan untuk tidak meniru kecenderungan mereka yang mengubah wahyu, memakan harta haram, atau menolak berhukum dengan syariat Allah yang jelas. Konsistensi dalam memegang teguh syariat adalah kunci untuk menghindari nasib yang sama.

Kisah Nabi Isa AS di bagian penutup juga berfungsi sebagai penutup profetik yang elegan. Dengan menanyakan Isa AS tentang klaim ketuhanan, Allah secara definitif menutup polemik teologis yang memecah-belah umat. Jawaban Isa AS mengukuhkan keilahian tunggal Allah dan kemurnian tauhid. Dalam konteks ini, Al Maidah menjadi benteng teologis yang melarang Muslim terlibat dalam praktik atau keyakinan yang mengarah pada politeisme atau pengkultusan individu.

Dengan demikian, Surah Al Maidah bukan sekadar kumpulan hukum, melainkan sebuah konstitusi spiritual dan sosial. Surah ini menetapkan norma tertinggi untuk perilaku pribadi (thaharah, makanan), etika sosial (keadilan, sumpah), dan kebijakan negara (hukum pidana, loyalitas). Penerapan ajaran Surah Al Maidah secara komprehensif adalah manifestasi dari kesempurnaan agama yang diumumkan dalam ayat ketiganya, menjadikan surah ini rujukan abadi bagi setiap generasi Muslim yang berusaha menegakkan agama Allah di muka bumi.

Kekuatan Surah Al Maidah terletak pada kemampuannya untuk menyatukan berbagai aspek kehidupan di bawah satu payung hukum yang kohesif. Dari ritual pribadi seperti wudu hingga kebijakan luar negeri yang menentukan batas loyalitas, surah ini menawarkan cetak biru (blueprint) untuk komunitas yang ideal. Ketaatan terhadap surah ini menuntut integritas moral, terutama dalam hal kesaksian yang adil (Ayat 8). Menjadi saksi keadilan adalah tugas yang berat, karena seringkali menuntut seseorang untuk melawan prasangka atau kepentingan pribadi. Surah Al Maidah menempatkan tugas ini sebagai keharusan spiritual yang mendahului semua pertimbangan duniawi lainnya.

Dalam ranah muamalah, penetapan sanksi yang tegas terhadap pencurian dan perampokan (Ayat 33-40) menunjukkan bahwa Islam serius dalam melindungi hak milik dan keamanan publik. Diskusi fiqh seputar hukuman *hadd* ini selalu menekankan pentingnya faktor preventif (pencegahan) dari hukuman tersebut. Hukuman yang terlihat berat diterapkan untuk memastikan bahwa masyarakat dapat berfungsi tanpa rasa takut akan pelanggaran serius terhadap harta dan jiwa mereka. Keamanan masyarakat adalah prioritas syariat.

Di samping ketegasan, surah ini juga menyajikan rahmat yang luar biasa, terutama dalam bentuk kaffarah (penebusan) untuk pelanggaran sumpah (Ayat 89). Jika seorang Muslim melanggar janji serius, ia tidak ditinggalkan tanpa harapan. Pilihan penebusan yang bersifat sosial (memberi makan, memberi pakaian, atau memerdekakan budak) mengarahkan kesalahan individu menjadi manfaat kolektif, menekankan dimensi sosial dari setiap tindakan penebusan dosa dalam Islam.

Surah ini juga melestarikan beberapa hukum yang berkaitan dengan berburu (Ayat 94-96), yang diturunkan pada saat Muslim berada dalam keadaan ihram (berpakaian ihram) saat menunaikan haji atau umrah. Larangan berburu hewan darat pada saat ihram, serta sanksi denda yang diatur jika larangan tersebut dilanggar, menunjukkan kerincian syariat bahkan dalam hal-hal kecil, dan berfungsi untuk meningkatkan kesadaran spiritual dan disiplin diri selama periode ibadah haji.

Secara keseluruhan, Surah Al Maidah menanamkan pemahaman bahwa kesempurnaan agama (Ayat 3) berarti tidak ada aspek kehidupan—dari politik hingga pangan, dari ibadah hingga interaksi sosial—yang luput dari bimbingan ilahi. Mengkaji dan mengamalkan Al Maidah adalah wujud nyata dari pengakuan umat Muslim bahwa mereka adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, asalkan mereka konsisten dalam menjalankan kewajiban dan menjaga batas-batas yang telah ditetapkan Allah.

🏠 Kembali ke Homepage