Al Maidah 38: Analisis Komprehensif Fiqih dan Maqasid Syariah

Simbol Keadilan dan Hukum

Ilustrasi Keadilan dan Ketertiban Hukum

Pendahuluan: Ketentuan Hadd dan Kompleksitasnya

Ayat ke-38 dari Surah Al-Maidah merupakan salah satu fondasi utama dalam sistem hukum pidana Islam (Jinayah), khususnya yang berkaitan dengan kategori hukuman yang disebut Hadd. Ayat ini secara eksplisit membahas hukuman bagi pelaku pencurian, yang diterjemahkan secara harfiah sebagai pemotongan tangan. Namun, sebagaimana semua teks suci yang memiliki implikasi hukum dan sosial yang masif, pemahaman terhadap Al Maidah 38 tidak boleh berhenti pada penerjemahan leksikal semata.

Kajian mendalam memerlukan penelusuran terhadap konteks historis pewahyuan (*Asbabun Nuzul*), kerangka interpretasi yurisprudensi klasik dari berbagai mazhab fiqih, serta relevansinya dalam kerangka filosofi hukum Islam (*Maqasid al-Sharia*). Sejak masa Rasulullah ﷺ hingga era kontemporer, penegakan dan interpretasi ayat ini telah menjadi subjek diskusi yang intens dan seringkali disalahpahami oleh kalangan non-muslim maupun sebagian umat Islam sendiri.

Hukuman Hadd, yang ditetapkan oleh teks al-Qur'an atau Sunnah secara definitif, dicirikan oleh sifatnya yang tetap dan tidak dapat diubah (non-discretionary) oleh hakim atau penguasa. Namun, justru karena sifatnya yang sangat tegas ini, sistem fiqih Islam menetapkan serangkaian syarat pembuktian dan kondisi pengecualian yang begitu ketat, sedemikian rupa sehingga penerapan hukuman tersebut menjadi sangat jarang dan hanya terjadi di bawah kondisi sosial-ekonomi yang ideal dan tanpa adanya keraguan (*syubhat*).

Teks Suci dan Terjemahan

Ayat yang menjadi fokus kajian ini adalah:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah: 38)

Tiga elemen kunci muncul dalam ayat ini: pelaku (laki-laki dan perempuan), tindakan (mencuri - *sariqah*), dan hukuman (memotong tangan - *faqtahu aidiyahuma*), serta tujuan ganda hukuman tersebut: pembalasan (*jazaa'*) dan pencegahan/pelajaran (*nakalan*).

Konteks Historis dan Asbabun Nuzul

Penting untuk memahami kondisi sosial di mana ayat ini diturunkan. Di Jazirah Arab pra-Islam, hukum suku mendominasi. Tindakan pencurian seringkali dibalas dengan pembalasan kesukuan yang tidak proporsional atau didominasi oleh kekerasan. Ketika Islam datang dan mulai membangun masyarakat yang terstruktur di Madinah, salah satu kebutuhan mendasar adalah menetapkan ketertiban sosial, melindungi harta benda, dan menjamin keamanan publik di tengah masyarakat yang masih rentan terhadap kekacauan.

Beberapa riwayat mengaitkan ayat ini dengan insiden spesifik, seperti kasus seorang wanita dari Bani Makhzum yang terkenal mencuri di masa Nabi Muhammad ﷺ. Ketika orang-orang terkemuka mencoba memohon keringanan melalui Usamah bin Zaid, Nabi menolak permohonan tersebut dengan tegas, menekankan prinsip kesamaan di depan hukum, tanpa memandang status sosial. Kejadian ini menegaskan bahwa tujuan utama penerapan hukum Hadd adalah menghilangkan diskriminasi dan memastikan supremasi hukum yang adil bagi semua, kaya maupun miskin.

Namun, konteks historis juga mencakup realitas ekonomi. Penerapan hukuman ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat yang baru berkembang dari perampasan sumber daya yang minim. Hukuman yang sangat keras ini berfungsi sebagai jaminan psikologis bagi masyarakat bahwa hak milik mereka akan dihormati, sebuah prasyarat bagi stabilitas ekonomi dan perdagangan.

Analisis Fiqih Klasik: Mendefinisikan Pencurian dan Nishab

Para ulama empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) menghabiskan volume-volume tebal untuk membahas prasyarat dan batasan yang harus dipenuhi sebelum hukuman potong tangan dapat diterapkan. Kesepakatan umum di antara mereka adalah bahwa istilah *sariqah* (pencurian) dalam konteks ayat 5:38 merujuk pada definisi teknis fiqih, bukan sekadar mengambil barang orang lain.

1. Definisi Sariqah (Pencurian yang Memenuhi Hadd)

Menurut fiqih, *sariqah* yang dikenai Hadd harus memenuhi unsur-unsur berikut secara kumulatif:

2. Batasan Minimal (Nishab)

Ini adalah syarat yang paling krusial. Para ulama sepakat bahwa hukuman potong tangan tidak berlaku kecuali barang yang dicuri mencapai nilai minimum tertentu, yang disebut Nishab. Nishab mencegah penerapan hukuman ekstrem pada pencurian kecil atau remeh. Ini mencerminkan prinsip proporsionalitas dalam Syariah.

Perbedaan nilai nishab ini menunjukkan upaya ijtihad yang serius untuk menafsirkan Sunnah Nabi ﷺ, yang memberikan isyarat tentang batas nilai harta yang dicuri. Nishab memastikan bahwa hanya pencurian yang signifikan secara ekonomi dan merusak stabilitas sosial yang dikenai hukuman Hadd.

3. Pengecualian dan Syubhat (Keraguan)

Prinsip fiqih yang sangat mendasar adalah: “Hukuman Hadd dihindari karena adanya keraguan (*Ad-Hudud Tudra'u Bish-Shubuhat*).” Prinsip ini menjadi benteng utama yang membatasi penerapan ayat 5:38 secara sembarangan. Jika ada keraguan sedikit pun mengenai niat, kepemilikan, atau keadaan pelaku, hukuman Hadd dibatalkan dan diganti dengan hukuman *ta’zir*.

Contoh-contoh Syubhat yang membatalkan Hadd:

Mekanisme Pelaksanaan: Bukti dan Prosedur

Prosedur pembuktian untuk Hadd sangatlah ketat, jauh melebihi standar pembuktian dalam kasus perdata. Pencurian yang dikenai Hadd harus dibuktikan melalui salah satu dari dua cara: pengakuan sukarela dari pelaku, atau kesaksian dua orang saksi laki-laki yang adil dan terpercaya, yang melihat secara langsung tindakan pencurian tersebut dari *hirz* (tempat penyimpanan).

1. Pengakuan (*Iqrar*)

Pengakuan harus dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan, dan seringkali harus diulang beberapa kali di hadapan hakim. Jika pelaku menarik kembali pengakuannya sebelum eksekusi, hukuman Hadd gugur.

2. Kesaksian (*Syuhud*)

Dua saksi harus memenuhi standar keadilan (*adalah*) yang sangat tinggi. Kesaksian mereka harus konsisten dalam detail lokasi, waktu, dan nilai barang yang dicuri. Kegagalan sekecil apa pun dalam rantai pembuktian akan membatalkan hukuman Hadd.

3. Lokasi Pemotongan Tangan

Meskipun ayat tersebut hanya menyebut "potonglah tangan keduanya" (*faqtahu aidiyahuma*), Sunnah dan interpretasi fiqih menentukan batas pemotongan. Tangan dipotong pada pergelangan tangan. Jika seseorang mencuri untuk kedua kalinya dan semua syarat Hadd terpenuhi lagi (sebuah skenario yang sangat langka), maka kaki kirinya yang dipotong. Ulama sepakat bahwa jika pencurian dilakukan untuk ketiga kalinya, hukuman diserahkan kepada *ta'zir* (hukuman penjara) dan bukan pemotongan lebih lanjut, untuk menjaga sisa anggota tubuh pelaku.

Maqasid al-Sharia: Tujuan Filosofis di Balik Hukuman

Para sarjana *Maqasid al-Sharia* (Tujuan Syariah) melihat hukuman Hadd bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu perlindungan terhadap lima kebutuhan esensial manusia (*Dharuriyat*).

1. Hifz al-Mal (Perlindungan Harta)

Tujuan utama dari Al Maidah 38 adalah menjamin perlindungan terhadap kepemilikan pribadi. Di mata Syariah, harta adalah salah satu sumber daya yang vital bagi kelangsungan hidup dan kemaslahatan individu serta masyarakat. Hukuman yang sangat keras ini berfungsi sebagai pencegahan yang sangat kuat (*nakal*).

Pencegahan ini beroperasi pada dua tingkat: pencegahan khusus (terhadap pelaku agar tidak mengulangi) dan pencegahan umum (kepada masyarakat luas agar tidak berani melakukan kejahatan serupa). Efek jera yang ditimbulkan oleh hukuman fisik berfungsi sebagai sinyal yang jelas bahwa negara Islam tidak akan menoleransi perampasan hak milik.

2. Hifz an-Nafs (Perlindungan Jiwa) dan Hifz al-Aql (Perlindungan Akal)

Meskipun fokus langsung ayat ini adalah harta, ketertiban sosial yang dicapai melalui perlindungan properti secara tidak langsung melindungi jiwa dan akal. Ketika keamanan properti runtuh, kekerasan, kerusuhan, dan kekacauan (yang mengancam jiwa dan akal) akan meningkat. Oleh karena itu, hukum ini adalah bagian dari sistem terpadu yang bertujuan menciptakan masyarakat yang aman dan damai.

3. Syarat Prasyarat Ideal: Keadilan Sosial

Para ulama kontemporer dan klasik menegaskan bahwa hukum Hadd seperti Al Maidah 38 seharusnya hanya diterapkan dalam sistem yang memenuhi prasyarat keadilan sosial. Jika negara gagal menjamin kebutuhan dasar rakyatnya (sandang, pangan, papan, pekerjaan), maka penerapan Hadd menjadi tidak sah secara moral dan fiqih. Kegagalan negara dalam menjalankan fungsinya menyediakan jaminan sosial otomatis menciptakan Syubhat (keraguan) atas tindakan pencurian yang mungkin didorong oleh kebutuhan survival.

Inilah yang menjadi alasan utama mengapa Khalifah Umar menangguhkan Hadd. Filosofi di baliknya adalah: Hukum Tuhan tidak dimaksudkan untuk menghukum manusia yang didorong oleh kegagalan sistem manusia. Hukuman Hadd adalah untuk kejahatan yang dilakukan dengan niat buruk dan keserakahan, bukan karena keputusasaan.

Tantangan dan Interpretasi Kontemporer

Di era modern, di mana sistem hukum global didominasi oleh konsep rehabilitasi, hak asasi manusia, dan negara bangsa (nation-state), penerapan hukum Hadd memunculkan tantangan signifikan. Sarjana hukum Islam kontemporer terbagi dalam tiga pendekatan utama terhadap Al Maidah 38:

1. Pendekatan Literalis Konservatif

Kelompok ini berargumen bahwa karena ayat tersebut merupakan teks yang definitif (*Qat'i ad-Dalalah*), maka pelaksanaannya harus dilakukan di setiap waktu dan tempat di mana Syariah diyakini diterapkan. Mereka menekankan bahwa hukum Tuhan tidak boleh diubah hanya karena alasan modernitas atau tekanan internasional. Bagi mereka, hikmah sejati hukuman itu terletak pada kepatuhan total dan efek jera yang tak tertandingi.

2. Pendekatan Kritis Fungsional

Para ulama moderat mengakui sifat definitif ayat tersebut, namun mereka secara ketat menerapkan semua persyaratan dan pengecualian fiqih yang dikembangkan oleh mazhab-mazhab. Mereka berpendapat bahwa Hadd hanya berlaku di lingkungan yang sepenuhnya Islami, di mana keadilan sosial dan ekonomi telah ditegakkan sempurna. Dalam konteks negara modern dengan birokrasi yang rentan korupsi dan ketidaksetaraan ekonomi yang akut, sangat sulit—bahkan tidak mungkin—untuk memenuhi syarat Syubhat-bebas. Akibatnya, mereka cenderung mengganti Hadd dengan *ta’zir* (hukuman penjara, denda, atau kerja sosial) yang lebih sesuai dengan prinsip rehabilitasi, sambil tetap menjaga tujuan hukum (perlindungan harta).

Mereka menegaskan bahwa fokus sejati Syariah terletak pada pencapaian tujuan hukum (*Maqasid*), bukan pada pelestarian bentuk hukuman itu sendiri. Jika tujuan perlindungan harta (*hifz al-mal*) dapat dicapai melalui mekanisme yang lebih manusiawi dan rehabilitatif, maka opsi tersebut harus diprioritaskan, sesuai dengan prinsip *Taysir* (kemudahan) dan *Istislah* (kemaslahatan umum).

3. Pendekatan Reinterpretasi Kontekstual

Kelompok ini, yang lebih minoritas, berargumen bahwa ayat 5:38 harus dipahami dalam konteks budaya dan sosiologi abad ke-7. Mereka melihat hukuman tersebut sebagai solusi maksimal yang relevan saat itu, di mana penjara dan sistem penegakan hukum modern belum tersedia. Dalam konteks modern, metode yang sama-sama tegas, namun lebih menghormati integritas fisik, harus digunakan untuk mencapai tujuan pencegahan yang sama. Ini melibatkan pembacaan ulang ayat yang sangat memperhatikan keseluruhan prinsip Syariah tentang rahmat dan keadilan.

Penegasan Syarat-Syarat Implementasi yang Ekstra Ketat

Diskusi mengenai Al Maidah 38 sering kali terlalu berfokus pada hasil (pemotongan tangan) tanpa mendalami proses yang hampir mustahil untuk dipenuhi. Keindahan dan kompleksitas sistem fiqih justru terletak pada detailnya yang menghalangi eksekusi hukuman Hadd kecuali dalam kasus-kasus kejahatan yang tidak dapat ditawar lagi dan dilakukan oleh individu yang sadar penuh tanpa tekanan sosial atau ekonomi.

1. Keharusan Bukti Non-Sirkumstansial

Berbeda dengan hukum pidana modern di banyak yurisdiksi yang menerima bukti sirkumstansial (tidak langsung), Hadd memerlukan bukti visual langsung dan pengakuan yang tidak ambigu. Misalnya, jika seorang pencuri ditangkap dengan barang curian di tangannya, namun tidak ada dua saksi yang melihatnya mengambil barang tersebut dari tempat penyimpanan yang aman (*hirz*), hukuman Hadd dibatalkan, dan digantikan dengan Ta'zir. Ini menunjukkan bahwa hukum dirancang untuk melindungi terdakwa dari keraguan.

2. Penekanan pada Taubat dan Pengampunan

Ayat berikutnya, Al Maidah 39, memberikan jalan keluar yang signifikan:

فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah: 39)

Ayat ini menunjukkan bahwa Syariah sangat mendorong rehabilitasi dan taubat. Meskipun taubat tidak secara otomatis menghapus hak korban untuk mendapatkan kembali propertinya, ia menciptakan ruang bagi pengampunan sosial dan ilahi, dan dalam konteks tertentu, dapat menjadi faktor penangguhan hukuman Hadd.

3. Peran Ulil Amri (Otoritas Pemerintahan)

Penerapan Hadd bukan berada di tangan individu, melainkan otoritas negara (Ulil Amri). Otoritas ini bertanggung jawab penuh atas penegakan keadilan sosial. Jika Ulil Amri gagal menyediakan jaring pengaman sosial, maka keabsahan moral mereka untuk menerapkan Hadd menjadi dipertanyakan. Ini adalah prinsip mendasar yang digunakan para ahli hukum untuk menangguhkan Hadd di masa krisis ekonomi atau kelaparan.

Dalam sejarah Islam, bahkan ketika Hadd diterapkan, ia dilakukan dalam kerangka yang menjamin hak-hak pelaku kejahatan, termasuk pengadilan yang adil, proses banding yang jelas, dan upaya maksimal untuk menemukan alasan pembenar (syubhat) untuk menghindari hukuman paling keras.

Kontras dengan Hirabah (Perampokan Bersenjata)

Penting untuk membedakan antara *sariqah* (pencurian tersembunyi) yang dibahas dalam Al Maidah 38 dan *Hirabah* (perampokan bersenjata atau terorisme) yang dibahas pada ayat sebelumnya (Al Maidah 33-34). Hukum untuk *hirabah* jauh lebih keras (dapat berupa eksekusi, penyaliban, atau potong tangan dan kaki bersilang), karena *hirabah* adalah kejahatan terhadap masyarakat dan negara, yang melibatkan kekerasan dan mengancam keamanan umum, bukan hanya kejahatan terhadap properti pribadi.

Perbedaan ini menegaskan presisi hukum Islam: hukuman harus proporsional dengan tingkat kerusakan sosial yang ditimbulkan. *Sariqah* adalah kejahatan properti; *Hirabah* adalah kejahatan publik dan teror. Hukuman yang lebih ringan untuk *sariqah* (potong tangan tunggal) dibandingkan *hirabah* menunjukkan adanya gradasi sanksi yang diatur oleh Syariah.

Implikasi Sosial dan Pencegahan

Tujuan utama dari Al Maidah 38 bukanlah hukuman itu sendiri, melainkan pembangunan masyarakat yang aman. Di lingkungan di mana hukuman Hadd dapat diterapkan (yaitu, di mana keadilan sosial terpenuhi), tingkat kejahatan properti cenderung sangat rendah. Efek pencegahan yang dihasilkan melampaui rasa takut terhadap hukuman fisik; ia menanamkan penghormatan yang mendalam terhadap hak-hak individu, termasuk hak kepemilikan.

Jika kita melihat ayat ini hanya sebagai tindakan barbar, kita telah mengabaikan seluruh sistem hukum pencegahan dan jaminan sosial yang menjadi prasyaratnya. Sistem ini menuntut negara untuk terlebih dahulu memastikan tidak ada warga negara yang mencuri karena kebutuhan dasar, baru kemudian negara memiliki otoritas moral untuk menghukum pencurian yang didorong oleh keserakahan atau kriminalitas terorganisir.

Sistem Komplementer Fiqih

Hukuman potong tangan tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi solusi tunggal. Ia bekerja dalam sistem yang didukung oleh:

  1. Sistem Zakat dan Sedekah (distribusi kekayaan).
  2. Jaminan pekerjaan dan perlindungan sosial (*Kifayah*).
  3. Hukum Ta'zir yang fleksibel untuk pelanggaran ringan.
Ketika elemen-elemen komplementer ini berfungsi, Hadd Al Maidah 38 berfungsi sebagai katup pengaman terakhir, memastikan integritas sistem. Tanpa prasyarat sosial ini, Hadd kehilangan basis legitimasinya dalam kerangka Syariah.

Perbandingan dengan Sistem Hukum Lain

Dibandingkan dengan sistem hukum pidana modern yang berbasis penjara, hukuman Hadd menawarkan perspektif yang berbeda. Penjara modern seringkali menghadapi masalah rehabilitasi yang buruk, tingginya tingkat residivisme (pengulangan kejahatan), dan biaya sosial yang besar.

Hukuman Hadd, sementara sangat berat, bersifat cepat, publik, dan definitif, dengan tujuan pencegahan total dan segera. Hukuman ini tidak membebani masyarakat dengan biaya jangka panjang untuk pemenjaraan. Namun, kritik modern menekankan bahwa hukuman fisik yang permanen melanggar prinsip martabat manusia dan menghambat potensi rehabilitasi, sebuah nilai yang dijunjung tinggi dalam hukum kontemporer.

Analisis yang adil harus mengakui bahwa baik sistem Hadd maupun sistem rehabilitatif modern memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam konteks Islam kontemporer, upaya ijtihad saat ini berfokus pada bagaimana mengintegrasikan tujuan pencegahan dan keadilan Al Maidah 38 (perlindungan harta) menggunakan metode yang sesuai dengan perkembangan etika hukum global, seringkali dengan memperluas cakupan Ta'zir dan memperketat syarat Hadd hingga hampir tidak dapat dipenuhi.

Ijtihad dalam Menetapkan Nishab Kontemporer

Salah satu tantangan terbesar adalah menetapkan nilai nishab (seperempat dinar atau 10 dirham) di mata uang modern. Nilai ini harus dinilai bukan hanya berdasarkan harga logam, tetapi berdasarkan daya beli pada masa Nabi Muhammad ﷺ. Jika nishab dihitung terlalu rendah, hukuman akan menjadi tidak proporsional; jika terlalu tinggi, hukum tersebut kehilangan efek jera yang dimaksudkan. Mayoritas ahli fiqih kontemporer cenderung menetapkan nilai yang cukup tinggi untuk memastikan bahwa hanya pencurian yang benar-benar besar yang dapat memenuhi Hadd, sekali lagi mempersempit area penerapannya.

Kesimpulan: Keadilan di Balik Ketegasan

Ayat Al Maidah 38 adalah manifestasi dari keadilan ilahi dalam rangka perlindungan hak milik, salah satu pilar utama *Maqasid al-Sharia*. Namun, hukum ini tidak berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari sebuah struktur fiqih yang sangat kompleks dan bertingkat, yang dirancang untuk mencegah penerapannya melalui penetapan nishab yang ketat, syarat pembuktian yang hampir sempurna, dan prinsip universal penghapusan Hadd karena keraguan (*syubhat*).

Analisis komprehensif mengungkapkan bahwa ayat ini menuntut lebih dari sekadar pemotongan tangan; ia menuntut terwujudnya masyarakat yang adil, stabil secara ekonomi, dan bertanggung jawab secara sosial. Ketika semua prasyarat sosial dan hukum ini terpenuhi, barulah hukuman Hadd bagi pencuri dapat dilaksanakan sebagai penegasan akhir otoritas hukum dan pencegahan kejahatan yang paling serius.

Pemahaman yang dangkal terhadap Al Maidah 38 akan mengarah pada simplifikasi yang menyesatkan. Pemahaman yang mendalam, melalui lensa fiqih dan *maqasid*, membawa kita pada kesimpulan bahwa ayat ini adalah cerminan dari prinsip supremasi hukum yang menolak diskriminasi dan menuntut keadilan paripurna sebagai prasyarat utama sebelum sanksi terberat diterapkan. Implementasi sejati dari Al Maidah 38 adalah menciptakan sistem yang membuat pencurian berskala Hadd menjadi kejahatan yang hampir punah, baik melalui pencegahan sosial maupun melalui ketegasan hukum bagi mereka yang melanggar di tengah kondisi keadilan dan kelayakan hidup yang terjamin.

Diskusi mengenai hukuman ini akan terus berlanjut seiring perkembangan zaman, tetapi prinsip dasar bahwa Islam mengutamakan perlindungan harta dan jiwa melalui keadilan sosial harus tetap menjadi inti dari setiap interpretasi. Ayat 38 dari Surah Al-Maidah, dengan segala ketegasannya, adalah undangan untuk membangun sebuah negara yang menjunjung tinggi hukum, keadilan, dan kesejahteraan bagi setiap warganya.

Inti dari hukum ini adalah bahwa kedaulatan hukum harus dilindungi dan kejahatan harus dicegah dengan cara yang paling efektif, sambil selalu membuka ruang lebar bagi rahmat dan pengampunan. Kontradiksi antara ketegasan Hadd dan keluasan Syubhat adalah mekanisme cerdas Syariah untuk memastikan bahwa hukuman tertinggi hanya dikenakan pada kejahatan tertinggi yang dilakukan tanpa adanya tekanan keadaan.

🏠 Kembali ke Homepage