Tafsir Mendalam atas Konsep *Muhaimin* dan Hikmah Perbedaan Syariat
Surah Al-Maidah merupakan salah satu surah Madaniyyah yang paling penting, banyak membahas tatanan hukum, perjanjian, dan hubungan antarumat beragama. Di dalamnya terdapat panduan fundamental mengenai kewajiban kaum Muslimin, baik dalam konteks ritual maupun sosial. Salah satu pilar sentral dalam surah ini adalah ayat ke-48, yang secara tegas mendefinisikan kedudukan Al-Qur'an di antara wahyu-wahyu Allah yang telah diturunkan sebelumnya. Ayat ini bukan sekadar pernyataan doktrinal, melainkan fondasi teologis yang menetapkan supremasi syariat Islam dan menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah barometer kebenaran abadi yang mengatasi perbedaan zaman dan tempat.
Ayat 48 ini berfungsi sebagai titik persimpangan teologis, yang menghubungkan tradisi kenabian masa lalu—yang diwakili oleh Taurat dan Injil—dengan wahyu terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Pemahaman yang komprehensif atas ayat ini memerlukan kajian yang mendalam, tidak hanya pada terjemah harfiahnya, tetapi juga pada implikasi historis, linguistik, dan filosofis dari setiap frasa kuncinya, terutama istilah *Muhaimin* dan konsep *Shir'atan wa Minhajan*. Ayat ini merupakan cetak biru Ilahi yang menjelaskan mengapa berbagai umat memiliki hukum dan jalan yang berbeda, namun tetap diarahkan menuju tujuan spiritual yang tunggal: berlomba-lomba dalam kebaikan.
"Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Qur'an) dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan), dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang selama ini kamu perselisihkan." (QS. Al-Maidah [5]: 48)
Gambar 1: Al-Qur'an sebagai Timbangan Kebenaran (Muhaimin)
Ayat ini dapat dipecah menjadi empat komponen utama yang masing-masing membawa makna teologis dan praktis yang mendalam, membentuk kerangka dasar bagi pemahaman Islam tentang hubungan antaragama dan kewajiban syariat.
Frasa ini adalah inti dari ayat tersebut, menetapkan dualitas peran Al-Qur'an. Ia adalah wahyu yang membenarkan kebenaran yang masih tersisa dalam kitab-kitab sebelumnya (Taurat dan Injil), sekaligus berfungsi sebagai pengawas tertinggi (Muhaimin) yang menguji, melindungi, dan menjadi otoritas final atas semua wahyu terdahulu. Peran *Mushaddiq* menunjukkan kesinambungan risalah kenabian dari Adam hingga Muhammad, sementara peran *Muhaimin* menunjukkan superioritas dan keunikan wahyu terakhir ini.
Bagian kedua ini memberikan perintah langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya untuk memutuskan perkara (terutama yang melibatkan Ahli Kitab, yang dibahas di ayat-ayat sebelumnya) semata-mata berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah (Al-Qur'an), dan melarang keras mengikuti hawa nafsu atau keinginan pihak lain yang bertentangan dengan kebenaran hakiki (*al-haqq*) yang telah diwahyukan.
Ayat ini menjelaskan mengapa Allah menetapkan hukum yang berbeda-beda (*syir'ah*) dan metodologi yang berbeda-beda (*minhaj*) bagi umat yang berbeda. Ini adalah pengakuan akan pluralitas syariat seiring perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, sambil menekankan bahwa semua umat berasal dari sumber Ilahi yang sama. Perbedaan ini adalah ujian.
Bagian penutup memberikan tujuan universal: jika syariatnya berbeda, tujuannya tetap tunggal. Perbedaan itu adalah arena ujian, dan respons yang dituntut adalah berlomba-lomba dalam kebaikan. Akhirnya, semua perselisihan akan diadili dan dijelaskan oleh Allah di hari kiamat, ketika semua umat kembali kepada-Nya.
Konsep *Muhaimin* (مُهَيْمِنًا) adalah pusat gravitasi dari ayat ini dan memerlukan telaah linguistik yang ekstensif. Secara umum, para ulama tafsir klasik dan modern memberikan tiga interpretasi utama terhadap makna *Muhaimin* dalam konteks Al-Qur'an:
Mayoritas ulama klasik, termasuk Ibnu Abbas, Mujahid, dan As-Suddi, menafsirkan *Muhaimin* sebagai *Shahid* (saksi) atau *Amin* (terpercaya/penjaga). Dalam pandangan ini, Al-Qur'an menjadi saksi atas keaslian ajaran pokok yang dibawa oleh Taurat dan Injil. Al-Qur'an menjaga prinsip tauhid yang sama yang ada dalam kitab-kitab tersebut, sekaligus menjadi penjaga yang mengumumkan mana bagian dari kitab terdahulu yang masih murni dari campur tangan manusia.
Jika Taurat atau Injil dibacakan, Al-Qur'an berfungsi sebagai stempel kebenaran. Jika bagian itu sesuai dengan tauhid dan tuntunan moral universal yang diajarkan Al-Qur'an, maka ia dibenarkan. Jika bertentangan dengan prinsip-prinsip Ilahi, maka ia dianggap telah diubah atau dihapuskan. Ini adalah peran perlindungan yang sangat vital: Al-Qur'an memastikan bahwa benang merah risalah kenabian tidak terputus, meski teks-teks sebelumnya telah mengalami distorsi atau perubahan historis.
Pendapat kedua yang sangat kuat, sering dikaitkan dengan makna linguistik asalnya, adalah bahwa *Muhaimin* berarti Pengawas atau Pengadil. Dalam konteks ini, Al-Qur'an memiliki otoritas superior yang menetapkan hukum (syariat) yang tertinggi dan mengoreksi setiap penyimpangan dalam syariat terdahulu. Ini menekankan aspek *naskh* (penghapusan atau penggantian hukum). Ketika hukum Al-Qur'an bertentangan dengan hukum Taurat atau Injil (misalnya dalam masalah makanan, ritual, atau peradilan), maka hukum Al-Qur'anlah yang berlaku.
Imam Ar-Razi, dalam tafsirnya, sangat menekankan aspek ini. Al-Qur'an bukan hanya membenarkan bagian kebenaran, tetapi juga menghapuskan (menggantikan) hukum-hukum lama yang bersifat temporal dan menyempurnakan syariat menjadi bentuknya yang universal dan final. Dengan demikian, Al-Qur'an adalah *hujjah* (argumentasi) terakhir yang memutuskan segala perselisihan di antara umat, termasuk perselisihan yang muncul dari penafsiran kitab-kitab mereka sendiri.
Dalam terjemahan modern, *Muhaimin* sering diterjemahkan sebagai "batu ujian". Ini menyatukan dua makna sebelumnya. Al-Qur'an adalah kriteria yang dengannya kebenaran universal diukur. Ia adalah timbangan yang membedakan antara ajaran Ilahi murni dan interpretasi atau tambahan manusia. Segala sesuatu yang ada dalam Taurat, Injil, atau tradisi agama lain harus lulus ujian Al-Qur'an untuk dianggap sah secara Ilahi dalam konteks syariat akhir zaman.
Kedudukan ini memberikan kekuatan tak tertandingi kepada Al-Qur'an. Ia tidak tunduk pada teks lain; sebaliknya, teks lain tunduk pada penilaiannya. Ini adalah pernyataan tegas tentang status Islam sebagai agama yang membawa risalah terakhir dan terlengkap, mencakup semua hikmah dari wahyu sebelumnya, sambil menawarkan solusi hukum yang bersifat abadi dan global. Penerimaan terhadap Al-Qur'an adalah pengakuan terhadap kesatuan pesan para nabi, yang puncaknya dicapai melalui Muhammad ﷺ.
Setelah menegaskan kedudukan Al-Qur'an sebagai *Muhaimin*, ayat ini bergeser untuk menjelaskan mengapa umat manusia—meski semua mendapatkan wahyu dari sumber yang sama—memiliki aturan dan jalan yang berbeda: "Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang (syir'atan wa minhajan)."
Frasa ini adalah kunci untuk memahami konsep pluralitas dalam Islam (bukan pluralisme agama, tetapi pluralitas hukum dalam sejarah kenabian):
Meskipun syariat (hukum praktik) mungkin berbeda antara umat Nabi Musa (Taurat) dan umat Nabi Isa (Injil), dan kemudian umat Nabi Muhammad (Al-Qur'an), inti ajarannya (tauhid, keadilan, dan kebajikan) selalu konsisten. Perbedaan dalam *syir'ah* dan *minhaj* diakibatkan oleh faktor-faktor historis, sosial, dan tingkat kesiapan umat pada masa tertentu.
Ayat ini mengajarkan pemisahan antara ajaran inti agama dan ketentuan hukum. Ajaran inti, yang oleh para ulama disebut sebagai *ushul ad-din* (dasar-dasar agama), seperti keimanan kepada Allah, hari akhir, dan kenabian, bersifat universal dan abadi (diwarisi dari satu nabi ke nabi berikutnya). Namun, *furu' ad-din* (cabang-cabang agama), yaitu hukum-hukum praktis, bersifat temporal dan disesuaikan dengan kapasitas umat dan kondisi zaman.
Taurat memiliki hukum yang keras karena umat saat itu (Bani Israil) memerlukan disiplin ketat. Injil datang dengan keringanan (rahmat) dan fokus pada spiritualitas. Al-Qur'an datang sebagai syariat yang seimbang, menggabungkan hukum dan spiritualitas dalam kerangka yang paling sempurna, berlaku universal hingga akhir zaman. Ini adalah hikmah Ilahi; Allah tidak pernah membebani suatu umat melebihi batas kemampuannya, dan Ia selalu memberikan syariat yang paling relevan dengan kondisi mereka.
Gambar 2: Perbedaan Syariat Menuju Satu Tujuan
Ayat ini secara eksplisit memberikan alasan filosofis di balik perbedaan syariat: "Walakin liyabluwakum fi ma atakum" (Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu). Jika Allah menghendaki, Dia bisa saja menjadikan semua umat satu (*ummatan wahidah*), dengan hukum yang sama persis. Tetapi keragaman adalah bagian dari rencana Ilahi.
Ujian ini mencakup beberapa dimensi:
Perbedaan syariat bukanlah sumber perpecahan spiritual, melainkan pendorong spiritual. Karena syariat yang berbeda diberikan sebagai ujian, fokus energi umat tidak seharusnya pada perdebatan hukum (yang telah ditentukan oleh Allah), tetapi pada respons moral terhadap ketentuan tersebut.
Tepat setelah menjelaskan bahwa Allah menjadikan syariat yang berbeda untuk menguji manusia, ayat 48 memberikan solusi dan perintah universal yang melampaui segala perbedaan: "Fastabiqul khairat" (Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan).
Ini adalah titik temu semua ajaran agama samawi. Meskipun umat memiliki hukum shalat, puasa, atau warisan yang berbeda, mereka semua memiliki tujuan yang sama: mendekatkan diri kepada Allah melalui perbuatan baik. Perlombaan (Istibaq) menyiratkan kecepatan, keunggulan, dan ketulusan dalam melakukan amal saleh.
Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa kebajikan (*al-khairat*) di sini mencakup segala bentuk kebaikan, baik yang wajib (fardhu) maupun yang sunnah, baik yang bersifat ritual maupun sosial. Dalam menghadapi perbedaan pandangan atau hukum dengan umat lain, energi seharusnya disalurkan bukan untuk mencela syariat mereka, melainkan untuk membuktikan kualitas moral dan etika syariat Islam melalui amal perbuatan.
Perintah ini merupakan antidot terhadap fanatisme sempit yang hanya berfokus pada detail hukum (*furu'*) tanpa melihat esensi tujuan Ilahi (*maqasid as-syari'ah*). Jika seorang Muslim dan seorang non-Muslim hidup dalam satu komunitas, Al-Qur'an memerintahkan Muslim untuk menunjukkan keunggulan etika mereka, bukan melalui perdebatan hukum, tetapi melalui ketulusan dalam berbuat baik kepada sesama, keadilan, dan kasih sayang, yang merupakan inti universal dari semua wahyu.
Meski ajakan universal adalah berlomba dalam kebaikan, ayat ini sebelumnya memberikan perintah tegas kepada Nabi Muhammad ﷺ: "Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka."
Perintah ini relevan ketika Nabi (atau penguasa Muslim setelahnya) dihadapkan pada perselisihan hukum antara Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani) yang tinggal di bawah kekuasaan Islam. Ayat-ayat sebelumnya (Al-Maidah 42-47) membahas bagaimana Ahli Kitab sering datang kepada Nabi untuk meminta keputusan, bahkan ketika mereka memiliki kitab suci mereka sendiri.
Allah memerintahkan Nabi untuk berhukum dengan Al-Qur'an karena ia adalah *Muhaimin*. Berhukum dengan wahyu Allah adalah prinsip keadilan tertinggi. Mengabaikan hukum Allah demi mengikuti keinginan (*ahwa'*) pihak yang bersengketa, demi menyenangkan hati mereka, atau karena tekanan sosial, adalah tindakan meninggalkan kebenaran (*al-haqq*) yang telah diwahyukan. Dalam konteks Negara Islam, hukum tertinggi yang harus ditegakkan untuk semua warga, termasuk minoritas, adalah hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur'an sebagai syariat terakhir.
Penutup ayat ini membawa kita kembali ke tujuan akhir penciptaan dan menegaskan perspektif eskatologis Islam: "Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang selama ini kamu perselisihkan."
Frasa ini mengingatkan bahwa, terlepas dari perbedaan syariat, jalan, dan praktik keagamaan, semua umat manusia memiliki takdir yang sama: kembali kepada Sang Pencipta. Kesatuan dalam takdir ini harus meredam konflik yang muncul dari perbedaan duniawi.
Allah menegaskan bahwa Dialah yang akan memutuskan semua perselisihan teologis, doktrinal, dan hukum yang terjadi di dunia. Tugas manusia di dunia adalah berusaha keras mengikuti syariat yang diberikan kepada mereka (Islam) dan berbuat kebaikan, tetapi bukan untuk memaksa orang lain menerima kebenaran yang tidak mereka yakini, kecuali melalui dakwah yang bijaksana. Resolusi final, pengungkapan kebenaran mutlak, dan penghakiman akan terjadi di hadapan Allah.
Pernyataan ini memberikan kepastian kepada kaum Muslimin bahwa Al-Qur'an adalah kebenaran, dan pada saat yang sama memberikan janji bahwa Allah Maha Adil. Dia akan memberikan ganjaran kepada setiap umat sesuai dengan niat dan tingkat ketaatan mereka terhadap wahyu yang mereka terima, serta sejauh mana mereka berlomba dalam kebaikan, sebelum syariat Islam yang final tiba. Hal ini menggarisbawahi keadilan Allah yang tidak akan mengabaikan amal baik siapa pun, di masa mana pun, atau di bawah syariat mana pun.
Al-Qur'an menyebutkan bahwa ia diturunkan 'bil-haqq' (dengan membawa kebenaran). Kebenaran (Al-Haqq) dalam konteks ini memiliki makna yang sangat berlapis dan fundamental, yang menegaskan karakter wahyu terakhir ini sebagai sumber kebenaran ontologis dan praktis yang tak tergoyahkan.
Al-Qur'an adalah kebenaran karena ia berasal langsung dari Allah, sumber segala kebenaran. Frasa *'anzalna ilayka al-kitaba bil-haqq'* berarti proses penurunannya (wahyu) adalah benar, tanpa keraguan, tanpa intervensi, dan tanpa kesalahan. Ini kontras dengan kitab-kitab sebelumnya yang, menurut pandangan Islam, mengalami perubahan dan revisi oleh tangan manusia (*tahrif*). Al-Qur'an, sebagai Kitab yang dijaga, menjamin bahwa kebenaran yang terkandung di dalamnya murni dan tidak tercemar sejak diwahyukan hingga hari kiamat.
Al-Qur'an membawa kebenaran dalam ajaran akidahnya, terutama mengenai tauhid (keesaan Allah), kenabian, dan hari akhir. Secara syariat, hukum-hukumnya (yang disempurnakan dari hukum sebelumnya) juga adalah kebenaran absolut yang membawa keadilan dan kemaslahatan (*mashlahah*) bagi umat manusia secara universal. Setiap hukum yang ditetapkan Al-Qur'an mengandung keadilan yang sempurna, meskipun akal manusia terkadang sulit memahaminya secara parsial.
Al-Qur'an sering disebut sebagai *Al-Furqan* (Pembeda). Ia membedakan antara yang hak dan yang batil. Dalam konteks Al-Maidah 48, Al-Qur'an adalah *Muhaimin* karena ia adalah *Al-Haqq*. Sebagai kebenaran, ia otomatis memiliki hak dan otoritas untuk menilai kebenaran yang lain. Tanpa fondasi kebenaran mutlak ini, ia tidak mungkin bisa berfungsi sebagai batu ujian bagi kitab-kitab suci terdahulu.
Surah Al-Maidah secara keseluruhan sangat berfokus pada interaksi antara komunitas Muslim yang baru terbentuk di Madinah dengan komunitas Yahudi dan Nasrani (Ahli Kitab). Ayat 48 ini harus dipahami dalam konteks dinamika historis tersebut.
Pada masa awal Madinah, komunitas Yahudi kadang-kadang meminta Nabi Muhammad ﷺ untuk memutuskan perselisihan internal mereka (terutama masalah pidana atau pernikahan), berharap mendapatkan keputusan yang lebih ringan daripada hukum Taurat yang ketat. Ayat 48, bersama dengan ayat-ayat sebelumnya, secara tegas memerintahkan Nabi untuk tidak terpengaruh oleh permainan politik atau keinginan mereka.
Perintah untuk berhukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah penolakan terhadap relativisme hukum dan penegasan bahwa jika Ahli Kitab memilih untuk tunduk pada pengadilan Nabi, Nabi harus memutuskan berdasarkan syariat yang tertinggi, yaitu syariat Islam. Namun, Al-Qur'an juga memberikan pilihan kepada Nabi (di ayat 42) untuk mengabaikan mereka jika Dia mau, menunjukkan otonomi hukum bagi komunitas non-Muslim, selama mereka tidak meminta penghakiman dari penguasa Muslim.
Dalam memahami peran *Muhaimin* yang membenarkan (*mushaddiq*) sekaligus menguji, kita harus memahami konsep *Naskh* (abrogasi). Para ulama sepakat bahwa Al-Qur'an menghapus (menggantikan) sebagian hukum praktis (furu') yang terdapat dalam Taurat dan Injil, seperti pengharaman beberapa jenis makanan tertentu bagi Bani Israil atau keringanan syariat dalam Injil yang tidak lagi relevan dengan syariat Islam yang komprehensif. Ini bukan berarti Al-Qur'an menolak semua isi kitab terdahulu; ia hanya menetapkan bahwa dalam hal perselisihan atau perbedaan hukum, otoritas terakhir berada pada wahyu yang terakhir dan paling sempurna.
Kajian mendalam tentang *naskh* menunjukkan bahwa Al-Qur'an tidak menghapus inti keimanan dan prinsip moral universal yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya. Ia hanya menyempurnakan dan menggantikan ketentuan-ketentuan yang bersifat temporal atau spesifik bagi komunitas tertentu di masa lalu. Inilah manifestasi dari peran Al-Qur'an sebagai *Muhaimin* yang mengatur dan menyempurnakan risalah.
Pesan dari Al-Maidah 48 tetap sangat relevan dalam dunia modern yang ditandai dengan pluralitas budaya dan agama yang tak terhindarkan. Ayat ini menyediakan kerangka kerja untuk dialog antaragama dan pengelolaan masyarakat majemuk.
Ayat 48 memberikan garis pemisah yang jelas. Sementara kita harus mengakui bahwa umat lain memiliki "jalan" (*syir'ah*) dan "aturan" (*minhaj*) mereka sendiri yang diakui Ilahi di masa lalu atau dalam konteks non-Muslim saat ini, bagi seorang Muslim, *syir'ah* dan *minhaj* yang wajib diikuti adalah Al-Qur'an dan Sunnah.
Pengakuan akan adanya *syir'atan wa minhajan* bagi umat lain bukanlah justifikasi untuk mencampuradukkan syariat (*sinkretisme*), melainkan basis untuk hidup berdampingan. Muslim diwajibkan untuk berhukum dengan apa yang Allah turunkan kepada mereka (Al-Qur'an), tanpa mengikuti keinginan (hawa nafsu) kelompok lain yang bertentangan dengan Al-Haqq. Ini adalah prinsip ketegasan dalam identitas keimanan.
Perintah *Fastabiqul Khairat* menjadi seruan global. Di tengah persaingan ekonomi, politik, dan ideologi, umat Islam diarahkan untuk menjadikan kebaikan dan kebajikan sebagai arena kompetisi utama. Kebaikan harus dipahami secara luas, meliputi kontribusi pada kemanusiaan, penegakan keadilan sosial, pelestarian lingkungan, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Ketika Al-Qur'an memproklamasikan supremasi, ia tidak menuntut dominasi fisik, melainkan dominasi moral dan etika yang ditunjukkan melalui amal saleh yang unggul.
Dalam interaksi dengan agama atau budaya lain, Muslim harus memimpin dalam hal etika profesional, kejujuran dalam berbisnis, dan kepedulian terhadap yang lemah. Inilah cara syariat Islam membuktikan diri sebagai *Muhaimin* yang membawa keadilan dan kemaslahatan, bahkan tanpa harus memaksa orang lain menerima hukum-hukum ritualnya.
Penutup ayat ini mengingatkan para aktivis dakwah dan teolog untuk memiliki kerendahan hati. Walaupun kita yakin bahwa Al-Qur'an adalah *Muhaimin* dan kebenaran, keputusan akhir tentang siapa yang benar secara mutlak dalam perselisihan doktrinal hanya berada di tangan Allah. Hal ini menuntut adanya toleransi teologis dan menghindari pengkafiran yang sembarangan, karena banyak hal yang diperselisihkan akan dijelaskan secara definitif hanya pada Hari Kiamat. Fokus harus tetap pada implementasi hukum Allah yang telah jelas (*muhkamat*) dan melaksanakan amal kebajikan.
Al-Maidah 48 secara langsung berkaitan dengan ayat-ayat lain dalam Surah Al-Maidah, khususnya ayat 3, yang menyatakan kesempurnaan agama: "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu."
Ayat 3 mengumumkan bahwa Islam (sebagai syariat yang dibawa Al-Qur'an) telah sempurna. Ayat 48 menjelaskan bagaimana kesempurnaan itu terjadi: melalui perannya sebagai *Muhaimin*.
Al-Qur'an menyempurnakan risalah kenabian dengan melakukan tiga hal:
Oleh karena itu, ketika umat Islam berhukum dengan Al-Qur'an, mereka berhukum dengan syariat yang paling sempurna dan paling adil, yang telah melalui proses penyaringan dan penyempurnaan Ilahi atas semua syariat sebelumnya.
Meskipun ayat ini mengakui *syir'atan wa minhajan* bagi umat sebelumnya, sejak kedatangan Nabi Muhammad ﷺ dan penurunan Al-Qur'an, syariat Islam telah menjadi syariat yang mengikat bagi seluruh umat manusia, termasuk Ahli Kitab. Hadis Nabi yang terkenal menegaskan bahwa siapa pun dari kalangan Yahudi atau Nasrani yang mendengar tentang ajaran beliau, namun tidak beriman kepadanya, akan menjadi penghuni neraka.
Oleh karena itu, pengakuan terhadap perbedaan syariat dalam ayat 48 lebih bersifat historis dan pengakuan atas hikmah Allah di masa lalu. Dalam realitas pasca-kenabian Muhammad, semua umat diwajibkan untuk merespons ajakan *fastabiqul khairat* melalui jalan (syir'ah dan minhaj) yang telah disempurnakan oleh Al-Qur'an.
Setiap Muslim harus memahami bahwa peran Al-Qur'an sebagai *Muhaimin* menuntut komitmen penuh. Ia bukan sekadar buku sejarah, melainkan konstitusi abadi yang mengikat setiap individu dan setiap komunitas yang mengklaim beriman kepada Allah. Kewajiban untuk 'berlomba-lomba dalam kebaikan' harus diimplementasikan dalam batas-batas *syir'ah* Islam yang adil dan terang. Ini adalah panggilan untuk keunggulan moral dan hukum, bukan untuk pembiaran perbedaan.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk membedah lebih lanjut kedalaman konseptual antara *Shir'ah* dan *Minhaj*, yang sering diterjemahkan secara bergantian namun memiliki nuansa makna yang berbeda.
Istilah *Shir'ah* sering dikaitkan dengan sumber air (syariah), yang merupakan jalan menuju sumber kehidupan. Dalam hukum, *Shir'ah* merujuk pada ketetapan formal, seperti ritual peribadatan (tata cara shalat atau puasa), ketentuan makanan halal/haram, dan hukum pidana/perdata. Bagian ini rentan terhadap *naskh* (penggantian) karena sangat terikat pada kondisi sosiologis dan psikologis umat tertentu pada masanya.
Contoh perbedaan *Shir'ah* terlihat jelas: dalam syariat Musa, hukuman bagi beberapa dosa sangatlah keras; dalam syariat Isa, ditekankan aspek pengampunan dan spiritualitas yang lebih lunak; syariat Muhammad datang sebagai keseimbangan, menawarkan rahmat sekaligus keadilan yang harus ditegakkan.
Sementara *Shir'ah* adalah isi hukum, *Minhaj* adalah cara hukum itu diterapkan, jalan yang ditempuh umat, atau metodologi moral dan sosial mereka. *Minhaj* mencakup bagaimana suatu umat berinteraksi dengan komunitas lain, bagaimana mereka mengatur keluarga, dan nilai-nilai etika yang mereka junjung tinggi.
Meskipun hukum Taurat (Shir'ah) berbeda dari hukum Al-Qur'an (Shir'ah), metode dakwah Nabi Musa dan Nabi Muhammad mungkin memiliki beberapa kesamaan (Minhaj), misalnya dalam hal kesabaran dan ketegasan dalam tauhid. Namun, secara umum, setiap umat menerima *Minhaj* yang unik sesuai dengan kondisi mereka. Umat Islam menerima *Minhaj* yang paling komprehensif, yang mencakup dakwah, jihad, sistem negara, dan etika interaksi global, menjadikannya metodologi yang universal.
Terlepas dari perbedaan *Shir'ah* dan *Minhaj*, yang menyatukan semua wahyu Ilahi adalah *Maqasid as-Syari’ah* (Tujuan Syariat). Tujuan ini selalu sama: memelihara agama (*din*), memelihara jiwa (*nafs*), memelihara akal (*aql*), memelihara keturunan (*nasl*), dan memelihara harta (*mal*). Karena tujuan universal ini sama, meskipun bentuk hukumnya berbeda, semua umat diperintahkan untuk *fastabiqul khairat*—berlomba menuju perwujudan tujuan-tujuan Ilahi yang mulia ini.
Karya-karya tafsir kontemporer, seperti yang diutarakan oleh ulama seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, sering kali menggunakan ayat 48 ini untuk membingkai argumen tentang fleksibilitas Islam dalam menghadapi perubahan zaman. Mereka berpendapat bahwa selama Muslim berpegang pada *Al-Haqq* (kebenaran inti) dan *Muhaimin* (otoritas Al-Qur'an), *Minhaj* tertentu dalam pemerintahan atau teknologi dapat disesuaikan tanpa melanggar prinsip dasar syariat.
Demikianlah, Al-Maidah ayat 48 berdiri tegak sebagai salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur'an, yang tidak hanya mendefinisikan hubungan internal antara wahyu-wahyu Allah tetapi juga menetapkan prinsip interaksi antara umat-umat beragama, semuanya di bawah naungan perintah agung untuk bersaing dalam kebajikan, menanti keadilan tertinggi dari Sang Pencipta.
***
Al-Qur'an adalah cahaya dan panduan yang abadi.