Surah An-Naba, yang menduduki urutan ke-78 dalam mushaf Al-Qur’an, adalah sebuah masterpiece agung dari periode Makkiyah. Ia disajikan sebagai peringatan keras, janji tegas, dan bukti nyata atas kuasa tak terbatas dari Sang Pencipta. Kata kunci An Naba artinya secara harfiah merujuk pada "Berita Besar" atau "Kabar Agung." Kabar apakah itu? Inilah yang menjadi poros utama pembahasan surah ini, sebuah kabar yang membelah keyakinan, membangkitkan perdebatan, dan pada akhirnya, menetapkan sebuah kepastian yang tidak terhindarkan: Hari Kebangkitan dan perhitungan amal.
Memahami An-Naba bukan sekadar menguasai terjemahan kata per kata, melainkan menyelami arsitektur pesan Ilahi yang dirancang untuk menggugah nurani manusia yang lalai. Surah ini datang di tengah suasana Mekah yang penuh skeptisisme terhadap kehidupan setelah mati, di mana kaum musyrikin menertawakan gagasan bahwa tulang-tulang yang telah hancur akan dapat dihidupkan kembali. Oleh karena itu, Surah An-Naba berfungsi sebagai palu godam yang memecahkan keraguan tersebut, menyajikan bukti kosmik, dan menggambarkan pemandangan surga dan neraka dengan detail yang menghunjam.
Nama "An-Naba" diambil dari ayat kedua surah ini: 'Anin Naba-il 'Azhim' (tentang Berita Besar itu). Dalam bahasa Arab, kata 'Naba' (نَبَأ) tidak sama dengan 'Khabar' (خَبَر). 'Khabar' adalah berita biasa, informasi sehari-hari yang mungkin benar atau salah. Sementara itu, 'Naba' memiliki konotasi yang jauh lebih kuat: sebuah berita penting, pasti, dan memiliki dampak besar. Ketika Al-Qur’an menggunakan kata 'Naba', apalagi diikuti dengan sifat 'Al-'Azhim' (Yang Agung), ia merujuk pada peristiwa paling monumental dalam eksistensi manusia: Hari Kiamat, Kebangkitan, dan Penghakiman.
Pilihan kata ini menunjukkan bahwa apa yang didiskusikan oleh kaum Quraisy bukanlah gosip atau rumor biasa, melainkan pokok bahasan yang menentukan nasib abadi mereka. Surah ini juga dikenal dengan nama lain, yaitu 'Amma Yatasa'alun, diambil dari kata pembukanya yang berarti "Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?"
An-Naba tergolong surah Makkiyah, diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah. Periode Makkiyah fokus pada penguatan tauhid (keesaan Allah) dan menanamkan keyakinan terhadap tiga pilar akidah: Allah, Kenabian, dan Hari Akhir. Karena tantangan terbesar di Mekah adalah penolakan terhadap Hari Akhir, Surah An-Naba hadir sebagai bagian dari serangkaian surah Makkiyah yang sangat menekankan realitas kebangkitan.
Tujuan sentral surah ini adalah menegaskan bahwa Hari Akhir bukanlah dongeng atau spekulasi filosofis, melainkan realitas yang pasti terjadi. Allah menggunakan dua metode persuasif utama dalam surah ini: Pertama, argumentasi kosmik (bukti penciptaan di alam semesta); Kedua, deskripsi rinci mengenai konsekuensi (gambaran Neraka dan Surga). Kedua metode ini disajikan secara bergantian untuk memastikan bahwa pendengar tidak hanya terkesima oleh keindahan alam, tetapi juga gentar oleh keadilan yang menanti.
Struktur Surah An-Naba terdiri dari 40 ayat pendek yang terbagi menjadi empat segmen utama: Segmen pertama (Ayat 1-5) menyajikan pertanyaan dan kepastian tentang Berita Besar. Segmen kedua (Ayat 6-16) menyajikan sepuluh bukti kekuasaan Allah yang terhampar di alam. Segmen ketiga (Ayat 17-30) menggambarkan ketetapan waktu Hari Kiamat dan nasib orang-orang durhaka di Neraka Jahannam. Segmen keempat (Ayat 31-40) menguraikan balasan bagi orang-orang bertakwa di Surga dan diakhiri dengan peringatan akhir.
عَمَّ يَتَسَآءَلُونَ ﴿١﴾ عَنِ ٱلنَّبَإِ ٱلْعَظِيمِ ﴿٢﴾ ٱلَّذِى هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ ﴿٣﴾ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ ﴿٤﴾ ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ ﴿٥﴾
Ayat 1: “Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?” Ayat ini merupakan pembuka retoris yang kuat. Al-Qur’an langsung menyentuh inti perdebatan. Pertanyaan ini diarahkan kepada kaum musyrikin Mekah yang menjadikan Hari Kebangkitan sebagai bahan ejekan dan perdebatan yang sia-sia. Mereka memperdebatkan sesuatu yang telah ditetapkan, seolah-olah hal tersebut adalah masalah yang masih dapat diubah.
Ayat 2: “Tentang Berita yang besar (An-Naba-il 'Azhim).” Allah segera menjawab pertanyaan retoris tersebut. Berita Agung itu adalah Hari Kebangkitan. Penggunaan kata 'Al-'Azhim' menekankan skala dan bobot peristiwa ini; ini bukan hanya akhir dari satu kehidupan, tetapi permulaan kehidupan abadi, di mana keadilan mutlak akan ditegakkan.
Ayat 3: “Yang mereka perselisihkan tentangnya.” Perselisihan kaum kafir bukan hanya tentang kapan terjadinya, tetapi pada intinya adalah keraguan terhadap kemungkinan itu sendiri. Mereka menganggap proses menghidupkan kembali jasad yang telah menjadi tanah adalah mustahil bagi akal mereka yang terbatas. Inilah akar dari segala kesesatan dan penolakan.
Ayat 4-5: “Sekali-kali tidak! Kelak mereka akan mengetahui. Kemudian sekali-kali tidak! Kelak mereka akan mengetahui.” Pengulangan penegasan ini memberikan efek gertakan dan ancaman yang mendalam. Kata 'Kallā' (sekali-kali tidak) menolak mentah-mentah keraguan mereka. Pengetahuan yang akan mereka peroleh kelak bukanlah pengetahuan akademis, melainkan pengetahuan yang bersifat visual dan menyakitkan, yaitu saat mereka menyaksikan langsung Kiamat dan kebangkitan. Pengulangan ini (taukid) memastikan tidak ada ruang bagi keraguan sedikit pun; kepastian itu mutlak.
Setelah menegaskan kepastian Kebangkitan, Allah menggunakan argumentasi logis yang tak terbantahkan. Jika Allah mampu menciptakan hal-hal yang jauh lebih besar dan kompleks di alam semesta, mengapa menghidupkan kembali manusia menjadi hal yang mustahil? Sepuluh bukti kekuasaan ini adalah pilar-pilar tauhid.
أَلَمْ نَجْعَلِ ٱلْأَرْضَ مِهَٰدًا ﴿٦﴾ وَٱلْجِبَالَ أَوْتَادًا ﴿٧﴾
Ayat 6: “Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?” Bumi diciptakan bukan sebagai tempat yang kasar dan tidak stabil, tetapi sebagai mihādan (hamparan, tempat tidur yang nyaman). Ini menunjukkan kemudahan dan kesiapan bumi untuk dihuni oleh manusia, menyediakan lingkungan yang sesuai untuk kehidupan.
Ayat 7: “Dan gunung-gunung sebagai pasak?” Gunung diibaratkan sebagai awtādan (pasak atau tiang tenda). Secara geologi, gunung memiliki akar yang jauh menancap ke bawah kerak bumi, berfungsi menstabilkan lempeng tektonik. Ini adalah keajaiban desain yang menjamin bahwa kehidupan di bumi dapat berlangsung stabil tanpa guncangan yang terus-menerus. Jika Dia mampu merancang sistem stabilitas kosmik yang luar biasa ini, apakah sulit bagi-Nya untuk membangkitkan satu jiwa?
وَخَلَقْنَٰكُمْ أَزْوَٰجًا ﴿٨﴾ وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا ﴿٩﴾
Ayat 8: “Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan.” Penciptaan manusia dalam bentuk pasangan (laki-laki dan perempuan) menjamin keberlanjutan spesies dan memberikan ketenangan psikologis (sakinah). Ini adalah bukti penciptaan yang terperinci dan bertujuan. Keteraturan dalam perkembangbiakan dan relasi ini menegaskan adanya perencana agung.
Ayat 9: “Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat (subāta).” Kata subāta berarti terputus dari kegiatan dan menjadi istirahat total, mirip kematian sementara. Tidur adalah anugerah di mana tubuh dan pikiran memulihkan diri. Allah mengambil ruh seseorang setiap malam (secara metaforis) dan mengembalikannya saat ia bangun. Jika Allah mampu "membangkitkan" kita dari kematian kecil (tidur) setiap hari, mengapa mereka meragukan kebangkitan besar?
وَجَعَلْنَا ٱلَّيْلَ لِبَاسًا ﴿١٠﴾ وَجَعَلْنَا ٱلنَّهَارَ مَعَاشًا ﴿١١﴾ وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا ﴿١٢﴾
Ayat 10: “Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian.” Malam menyelimuti bumi, memberikan ketenangan dan kegelapan yang memungkinkan tubuh beristirahat, bagaikan pakaian yang menutupi dan melindungi.
Ayat 11: “Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” Siang adalah waktu aktivitas, penerangan, dan pergerakan, yang memungkinkan manusia mencari rezeki (ma'āsha). Pergantian siang dan malam yang sempurna dan berulang adalah mekanisme waktu yang diciptakan untuk kemaslahatan manusia.
Ayat 12: “Dan Kami bangun di atas kamu tujuh langit yang kokoh.” Ini merujuk pada tata surya dan alam semesta yang luas, yang diciptakan dengan ketahanan dan keteraturan luar biasa (shidādan). Keteraturan orbit, kecepatan bintang, dan keseimbangan galaksi menunjukkan bahwa sang Desainer memiliki kemampuan tak terbatas. Perenungan terhadap langit yang tak terbatas ini seharusnya menghilangkan keraguan terhadap kekuasaan-Nya.
وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا ﴿١٣﴾ وَأَنزَلْنَا مِنَ ٱلْمُعْصِرَٰتِ مَآءً ثَجَّاجًا ﴿١٤﴾ لِّنُخْرِجَ بِهِۦ حَبًّا وَنَبَاتًا ﴿١٥﴾ وَجَنَّٰتٍ أَلْفَافًا ﴿١٦﴾
Ayat 13: “Dan Kami jadikan pelita yang amat terang (Matahari).” Matahari (sirājan wahhājan) adalah sumber energi, cahaya, dan kehidupan utama di bumi. Panasnya yang dahsyat dan cahayanya yang terus menerus adalah bukti nyata pengendalian energi skala kosmik oleh Allah.
Ayat 14: “Dan Kami turunkan dari awan yang dicurahkan (mu'ṣirāti) air yang tercurah dengan deras (thajjājā).” Mu'ṣirāt adalah awan yang memeras airnya. Hujan yang turun secara melimpah (thajjājā) adalah sumber segala kehidupan di bumi. Air yang mati, datang dari langit, dan menghidupkan bumi yang mati.
Ayat 15-16: “Untuk Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tanam-tanaman. Dan kebun-kebun yang lebat.” Hujan adalah analogi terkuat dari Kebangkitan. Tanah yang kering dan mati, setelah disiram air, tiba-tiba hidup dan menumbuhkan berbagai macam tanaman, buah-buahan, dan kebun-kebun yang saling melilit (alfāfan). Jika Allah mampu menghidupkan bumi yang mati dengan air dari langit, apalagi menghidupkan kembali manusia yang pernah Dia ciptakan dari ketiadaan? Proses ini adalah demonstrasi harian dari kuasa Kebangkitan.
إِنَّ يَوْمَ ٱلْفَصْلِ كَانَ مِيقَٰتًا ﴿١٧﴾ يَوْمَ يُنفَخُ فِى ٱلصُّورِ فَتَأْتُونَ أَفْوَاجًا ﴿١٨﴾ وَفُتِحَتِ ٱلسَّمَآءُ فَكَانَتْ أَبْوَٰبًا ﴿١٩﴾ وَسُيِّرَتِ ٱلْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًا ﴿٢٠﴾
Ayat 17: “Sesungguhnya Hari Keputusan (Yawm al-Faṣl) itu adalah waktu yang telah ditetapkan.” Transisi kembali ke topik utama. Hari Kiamat disebut Hari Keputusan karena pada hari itulah keputusan akhir mengenai nasib setiap jiwa akan ditetapkan. Ia memiliki mīqātan (waktu yang pasti), meski hanya Allah yang mengetahuinya. Ini menghapus anggapan bahwa Kiamat adalah peristiwa yang datang secara acak atau tanpa rencana.
Ayat 18: “Yaitu hari (ketika) sangkakala ditiup, lalu kamu datang berkelompok-kelompok.” Tiupan sangkakala (ṣūr) adalah tanda dimulainya Kebangkitan. Manusia akan dibangkitkan dari kubur mereka dan datang ke Padang Mahsyar dalam kelompok-kelompok (afwājā), setiap kelompok mengikuti pemimpin atau keyakinan mereka. Pemandangan ini menunjukkan jumlah manusia yang tak terhitung dan keteraturan yang menakutkan dalam proses penghimpunan tersebut.
Ayat 19: “Dan dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu.” Langit yang selama ini kokoh (sebagaimana disebut di Ayat 12) akan terbelah, seolah-olah memiliki pintu-pintu yang terbuka, menggambarkan kehancuran total tatanan kosmik yang kita kenal. Ini adalah pemandangan yang menunjukkan hilangnya batas-batas dan runtuhnya sistem semesta.
Ayat 20: “Dan dijalankanlah gunung-gunung, maka menjadi fatamorgana (sarāban).” Gunung-gunung, yang tadinya digambarkan sebagai pasak (Ayat 7), akan dicabut dari tempatnya dan bergerak, hingga akhirnya hancur menjadi debu yang beterbangan, menyerupai fatamorgana (sarāban) yang tampak ada namun tidak memiliki substansi. Ini adalah deskripsi dramatis tentang hilangnya segala sesuatu yang dianggap manusia sebagai simbol stabilitas dan kekekalan di dunia.
Setelah lanskap dunia hancur, fokus beralih pada balasan yang adil. Segmen ini menceritakan nasib orang-orang yang mendustakan Berita Besar tersebut.
إِنَّ جَهَنَّمَ كَانَتْ مِرْصَادًا ﴿٢١﴾ لِّلطَّٰغِينَ مَـَٔابًا ﴿٢٢﴾ لَّٰبِثِينَ فِيهَآ أَحْقَابًا ﴿٢٣﴾ لَّا يَذُوقُونَ فِيهَا بَرْدًا وَلَا شَرَابًا ﴿٢٤﴾ إِلَّا حَمِيمًا وَغَسَّاقًا ﴿٢٥﴾ جَزَآءً وِفَاقًا ﴿٢٦﴾
Ayat 21: “Sesungguhnya Neraka Jahannam itu (sebagai) tempat pengintaian (mirṣādan).” Neraka digambarkan sebagai tempat yang mengintai, sebuah pos penjagaan yang siap menyergap. Ini menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat lolos dari pengawasan dan penghakiman Allah.
Ayat 22: “Menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas (ṭāghīna).” Jahannam disiapkan bagi ṭāghīna, mereka yang melampaui batas, mendurhakai perintah Allah, dan menolak kebenaran.
Ayat 23: “Mereka tinggal di dalamnya dalam waktu yang lama (aḥqābā).” Kata aḥqābā (jamak dari ḥuqb) berarti periode waktu yang sangat panjang, meskipun para ulama berbeda pendapat tentang apakah ini merujuk pada kekekalan atau periode yang sangat lama. Namun, konteksnya dalam surah Makkiyah, yang mengancam penolakan terhadap kebangkitan, sering kali mengarah pada hukuman yang kekal bagi kekafiran yang mutlak.
Ayat 24-25: “Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak pula minuman, kecuali air yang mendidih (ḥamīman) dan air yang sangat dingin (ghassāqan).” Kontras yang mengerikan. Mereka tidak mendapat kenyamanan (kesejukan) atau minuman yang menyegarkan. Minuman mereka hanyalah ḥamīm (air yang sangat panas, mendidih) dan ghassāq (nanah, darah, atau cairan dingin yang membusuk).
Ayat 26: “Sebagai pembalasan yang setimpal (wizāqan).” Pembalasan ini adil dan proporsional (wizāqan) terhadap dosa-dosa mereka, terutama karena mereka tidak mengharapkan adanya perhitungan dan mendustakan Hari Kebangkitan.
إِنَّهُمْ كَانُواْ لَا يَرْجُونَ حِسَابًا ﴿٢٧﴾ وَكَذَّبُواْ بِـَٔايَٰتِنَا كِذَّابًا ﴿٢٨﴾ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ كِتَٰبًا ﴿٢٩﴾ فَذُوقُواْ فَلَن نَّزِيدَكُمْ إِلَّا عَذَابًا ﴿٣٠﴾
Ayat 27-28: “Sesungguhnya mereka dahulu tidak mengharapkan perhitungan amal. Dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan dusta yang sungguh-sungguh.” Ini adalah akar masalah mereka: kurangnya harapan terhadap perhitungan (ḥisāban). Karena merasa tidak akan ada akuntabilitas, mereka hidup seenaknya, melampaui batas, dan mendustakan wahyu (āyātinā) dengan pendustaan yang keras.
Ayat 29: “Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu Kitab.” Kontras dengan kelalaian manusia, Allah menegaskan bahwa semua perbuatan, besar atau kecil, telah dicatat dan dihitung dalam Kitāb (Kitab Catatan Amal). Tidak ada yang terlewat. Ini adalah jaminan keadilan ilahi yang mutlak.
Ayat 30: “Maka rasakanlah. Sebab Kami tidak akan menambahkan kepadamu kecuali azab.” Ayat penutup yang sangat menakutkan bagi penduduk Neraka. Ketika mereka memohon keringanan, jawaban yang mereka terima adalah penambahan azab. Ini menunjukkan tidak adanya harapan untuk berakhirnya penderitaan mereka.
Setelah gambaran mengerikan tentang Jahannam, Surah An-Naba beralih memberikan harapan dan motivasi melalui deskripsi Surga (Jannah) bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa (al-muttaqīn).
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا ﴿٣١﴾ حَدَآئِقَ وَأَعْنَٰبًا ﴿٣٢﴾ وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا ﴿٣٣﴾ وَكَأْسًا دِهَاقًا ﴿٣٤﴾ لَّا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلَا كِذَّٰبًا ﴿٣٥﴾ جَزَآءً مِّن رَّبِّكَ عَطَآءً حِسَابًا ﴿٣٦﴾
Ayat 31: “Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa ada kemenangan (mafāzan).” Mafāzan berarti tempat kemenangan atau keselamatan yang besar. Mereka telah menang atas godaan dunia dan keraguan, sehingga berhak atas pahala tertinggi.
Ayat 32-34: “Yaitu kebun-kebun dan buah anggur. Dan gadis-gadis remaja yang sebaya (kawā'iba atrābā). Dan gelas-gelas yang penuh (ka'san dihāqā).” Surga digambarkan dengan kenikmatan yang memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani: keindahan alam (kebun), buah-buahan yang lezat (anggur), teman hidup yang sempurna (gadis-gadis sebaya), dan minuman yang berlimpah dan memuaskan (gelas yang penuh). Kontras yang tajam dengan Neraka yang hanya menyajikan air mendidih dan nanah.
Ayat 35: “Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula) dusta.” Kenikmatan Surga juga bersifat rohani. Lingkungan di Surga murni dari laghwan (perkataan sia-sia, kotor) dan kizzābān (dusta). Kenyamanan ini bersifat total; tidak ada lagi kecemasan atau perkataan yang menyakitkan hati.
Ayat 36: “Sebagai balasan dari Tuhanmu, suatu pemberian (yang cukup) berhitung (ḥisābā).” Pahala ini adalah hadiah (aṭā'an) dari Allah, yang diberikan secara melimpah dan penuh perhitungan (ḥisābā). Ini menunjukkan bahwa ganjaran Surga jauh melampaui apa yang pantas mereka terima berdasarkan amal mereka semata; ia adalah keutamaan dari Allah.
Surah ditutup dengan penegasan kekuasaan Allah yang tak tertandingi dan pemandangan di Hari Penghakiman.
رَّبِّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا ٱلرَّحْمَٰنِ ۖ لَا يَمْلِكُونَ مِنْهُ خِطَابًا ﴿٣٧﴾ يَوْمَ يَقُومُ ٱلرُّوحُ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ صَفًّا ۖ لَّا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ ٱلرَّحْمَٰنُ وَقَالَ صَوَابًا ﴿٣٨﴾ ذَٰلِكَ ٱلْيَوْمُ ٱلْحَقُّ ۖ فَمَن شَآءَ ٱتَّخَذَ إِلَىٰ رَبِّهِۦ مَـَٔابًا ﴿٣٩﴾ إِنَّآ أَنذَرْنَٰكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنظُرُ ٱلْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ ٱلْكَافِرُ يَٰلَيْتَنِى كُنتُ تُرَٰبًا ﴿٤٠﴾
Ayat 37: “(Dialah) Tuhan (Rabb) langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Yang Maha Pemurah (Ar-Raḥmān). Mereka tidak berkuasa berbicara dengan Dia.” Allah diperkenalkan sebagai Rabb dan Ar-Raḥmān. Rabb menunjukkan kekuasaan mutlak, Pencipta, Pengatur, dan Pemelihara. Ar-Raḥmān menekankan rahmat-Nya. Meskipun Dia Maha Pengasih, pada Hari Keputusan, kebesaran-Nya begitu mutlak sehingga tidak ada yang berani berbicara tanpa izin-Nya.
Ayat 38: “Pada hari (ketika) Ruh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan yang benar.” Ar-Rūḥ umumnya ditafsirkan sebagai Malaikat Jibril atau sebagai sejenis makhluk agung lainnya. Bahkan makhluk-makhluk suci ini berdiri dengan tunduk. Konsep 'tidak berkata-kata' menyoroti betapa dahsyatnya hari itu dan betapa mutlaknya otoritas Allah. Hanya yang diizinkan yang dapat berbicara, dan pembicaraan itu harus benar (ṣawāban) – umumnya merujuk pada syafaat.
Ayat 39: “Itulah Hari yang pasti (Al-Ḥaqq). Maka barangsiapa menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.” Ini adalah penutup yang ringkas dan tegas: Hari Keputusan adalah Al-Ḥaqq (Kebenaran yang Pasti). Pilihan kini ada di tangan manusia: mengambil jalan kembali (ma'ābā) kepada Allah, yaitu dengan beriman dan beramal saleh, atau menolaknya.
Ayat 40: “Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu azab yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu hanyalah tanah (turābā)!’” Azab itu disebut 'dekat' (qarīban) karena kepastiannya, meskipun waktu pastinya tidak diketahui. Puncaknya, pada hari itu, setiap orang akan menyaksikan secara nyata amal perbuatannya. Penyesalan terdalam orang kafir adalah ketika mereka berharap bisa kembali menjadi tanah (turābā), kembali ke keadaan sebelum dibangkitkan. Penyesalan ini menunjukkan realisasi mutlak akan kebenaran Berita Besar (An-Naba) yang dahulu mereka dustakan.
Surah An-Naba menyajikan salah satu argumen terkuat dalam Al-Qur’an mengenai teleologi (tujuan penciptaan) dan bukti keberadaan Tuhan melalui alam semesta (ayat 6-16). Allah tidak sekadar menuntut keyakinan buta, melainkan mengajak manusia menggunakan akalnya untuk merenungkan keajaiban yang ada di sekitarnya. Dari hamparan bumi yang nyaman, keajaiban tidur sebagai kematian sementara, hingga presisi pergantian siang dan malam, semua adalah 'tanda-tanda' (ayat) yang menunjukkan bahwa Pencipta yang mampu mengatur sistem kosmik sebesar ini pastilah mampu melakukan kebangkitan kembali.
Perenungan terhadap gunung sebagai pasak (awtād) mengajarkan kita tentang stabilitas yang sering kita anggap remeh. Kehidupan di bumi bergantung pada sistem ini. Demikian pula, hujan yang menghidupkan bumi yang mati adalah metafora sempurna. Sebagaimana tanah mati membutuhkan air untuk hidup, jiwa yang mati karena kekafiran membutuhkan wahyu dan keyakinan pada Berita Besar untuk hidup kembali. Tanpa keyakinan ini, seluruh aktivitas duniawi, betapapun hebatnya, akan menjadi sia-sia pada Hari Perhitungan.
Salah satu pesan inti An-Naba adalah penolakan total terhadap kehidupan tanpa pertanggungjawaban. Frasa "Sesungguhnya mereka dahulu tidak mengharapkan perhitungan amal" (Ayat 27) adalah kunci untuk memahami mentalitas kaum musyrikin yang menolak kebangkitan. Jika tidak ada perhitungan, maka tidak ada batasan moral, dan manusia bebas melakukan apa saja.
Surah ini datang untuk membatalkan narasi tersebut. Dengan menegaskan, "Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu Kitab" (Ayat 29), Allah mengingatkan bahwa sistem pengawasan-Nya sempurna. Kesadaran akan hisab ini adalah fondasi moralitas Islam. Ketika seorang Muslim menyadari bahwa semua ucapannya dan perbuatannya (yang akan dilihatnya pada Hari itu) sedang dicatat, ia cenderung memilih jalan kebenaran (ṣawāban). Surah An-Naba mewujudkan konsep bahwa keadilan sempurna hanya dapat terwujud di akhirat, di mana semua catatan dibuka dan ditimbang dengan ketelitian tanpa cela.
Lebih jauh lagi, pemahaman tentang hisab ini harus mendorong pada introspeksi mendalam. Jika kita hidup dalam keraguan, sama saja kita memilih untuk hidup seperti para pendusta di masa lalu yang menolak kebenaran. Peringatan tentang azab yang dekat (Ayat 40) berfungsi sebagai panggilan segera untuk bertobat dan mengubah orientasi hidup dari fana menuju abadi. Kedekatan azab di sini menunjukkan urgensi, bahwa waktu yang tersisa di dunia ini, relatif terhadap keabadian, sangatlah singkat.
Kaum musyrikin sering mengajukan keberatan yang sederhana: bagaimana mungkin tulang-tulang yang telah menjadi debu dan tercerai-berai dihidupkan kembali? Ini adalah pertanyaan yang berulang di berbagai surah Makkiyah. Jawaban yang diberikan dalam An-Naba tidak hanya berbasis logika, tetapi juga berbasis demonstrasi kuasa.
Pertama, Allah mengingatkan mereka tentang penciptaan pertama. Jika Dia mampu menciptakan manusia dari ketiadaan, mengembalikan materi yang telah ada menjadi bentuk semula tentu jauh lebih mudah bagi-Nya. Kedua, Allah menyajikan contoh-contoh dari alam yang sedang berlangsung (penciptaan langit, bumi, hujan). Kehidupan yang muncul dari kematian tanah adalah replikasi skala kecil dari Kebangkitan. Musim semi adalah bukti bahwa siklus hidup dan mati di bawah kendali mutlak Sang Pencipta.
Selain itu, aspek yang sering diabaikan adalah tujuan di balik Kebangkitan. Kebangkitan bukanlah hanya demonstrasi kekuasaan, melainkan realisasi dari nama Allah Al-Adl (Maha Adil). Tanpa Kebangkitan, orang-orang zalim akan lolos dari hukuman atas kejahatan mereka di dunia, dan orang-orang yang beriman dan tertindas tidak akan mendapatkan pahala yang layak. Oleh karena itu, Hari Keputusan adalah keniscayaan teologis untuk mewujudkan keadilan ilahi yang sempurna.
Ayat 38 yang menyebutkan berdirinya Ruh dan para Malaikat secara bersaf-saf pada Hari Kiamat memberikan gambaran tentang ketertiban yang luar biasa. Meskipun hari itu adalah hari kehancuran kosmik (Ayat 19-20), pengadilan itu sendiri berlangsung dalam ketertiban yang kaku dan menggetarkan. Bahkan Jibril (jika Ar-Rūḥ diartikan demikian), pemimpin para malaikat, berdiri dalam keheningan total.
Keteraturan ini menggarisbawahi keagungan Allah; pada saat kekacauan terbesar, otoritas-Nya tetap tak tergoyahkan. Siapa pun yang mencoba berbicara atau memohon syafaat harus memenuhi dua syarat: izin dari Ar-Raḥmān, dan ucapan yang benar (ṣawāban). Ini membatalkan anggapan politeistik bahwa dewa-dewa kecil dapat berbicara atau menengahi tanpa izin, menetapkan bahwa kekuasaan hanya milik Allah, bahkan dalam hal pemberian rahmat.
Surah An-Naba menggunakan teknik kontras yang kuat untuk memotivasi pendengar. Perbandingan antara Neraka dan Surga tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis dan emosional.
Kontras ini dirancang untuk memaksa manusia membuat pilihan yang jelas: apakah mereka akan menolak Berita Besar dan menanggung konsekuensi wizāqan (setimpal), atau menerima dan meraih mafāzan (kemenangan). Pilihan ini harus dibuat sebelum azab yang disebut "dekat" itu datang.
Pembukaan Surah An-Naba, "Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?" adalah contoh dari retorika Qur’an yang disebut Istifham inkari (pertanyaan penolakan atau cemoohan). Pertanyaan ini bukan untuk meminta jawaban, melainkan untuk mengejutkan pendengar dan langsung menyeret mereka ke inti masalah. Seolah-olah Allah berfirman, "Mengapa kalian masih berdebat tentang hal yang sudah begitu jelas kepastiannya, yaitu Hari Kebangkitan?"
Sastra Arab kuno menghargai pembukaan yang kuat, dan Surah An-Naba memenuhinya. Dengan segera mengidentifikasi "An-Naba-il 'Azhim" (Berita Agung) sebagai subjek perdebatan, surah ini menaikkan taruhan; ini bukan obrolan ringan, melainkan masalah hidup dan mati abadi. Pengulangan "Kelak mereka akan mengetahui" (Ayat 4-5) menambahkan intensitas ancaman, meninggalkan kesan bahwa waktu untuk berdebat telah habis, dan kini saatnya menghadapi realitas.
Al-Qur’an dalam An-Naba menggunakan teknik taukid (penekanan) yang intens. Selain pengulangan di Ayat 4 dan 5, penegasan di ayat-ayat deskriptif juga sangat kuat:
Penggunaan metafora bumi sebagai hamparan (mihādā) dan gunung sebagai pasak (awtādā) adalah sebuah mukjizat kebahasaan dan saintifik. Mihādā menyiratkan kemudahan dan kepatuhan bumi, kontras dengan sifat langit yang kokoh dan sulit ditembus. Pasak adalah elemen kecil yang berfungsi menstabilkan struktur besar—sebuah deskripsi yang sangat akurat mengenai peran gunung dalam menstabilkan kerak bumi.
Surah ini secara efektif menggunakan apa yang dikenal sebagai argumentum ad hominem (dalam konteks positif): mengarahkan perhatian kepada hal-hal yang sudah mereka terima dan nikmati setiap hari (gunung, matahari, hujan), dan kemudian menanyakan bagaimana mungkin mereka percaya pada kekuatan yang menciptakan semua ini, tetapi menolak kekuatan yang sama untuk membangkitkan.
Di era modern, di mana materialisme dan sekularisme mendominasi, pesan An-Naba sangat relevan. Sama seperti kaum Quraisy yang meragukan Kebangkitan karena melihat keberhasilan materi, manusia modern cenderung menolak Hari Akhir karena merasa hidup mereka hanya dibatasi oleh data dan bukti ilmiah. An-Naba mengajarkan bahwa keraguan terhadap perhitungan adalah akar dari segala kezaliman.
Surah ini memaksa kita untuk mengoreksi pandangan kita tentang waktu. Dunia ini, dengan segala kemewahannya, adalah tempat singgah yang singkat, sebuah persiapan. Azab yang disebut "dekat" (Ayat 40) mungkin tampak jauh bagi kita, tetapi begitu kematian menjemput, semua janji dan ancaman dalam surah ini akan menjadi realitas yang segera. Oleh karena itu, bagi Muslim kontemporer, An-Naba adalah pengingat harian bahwa setiap keputusan, mulai dari etika bisnis hingga interaksi sosial, sedang dicatat dengan sempurna.
Sepuluh tanda kekuasaan Allah (Ayat 6-16) adalah daftar syukur. Manusia sering kali hanya memperhatikan kekurangan, namun Allah mendaftar sepuluh anugerah besar yang memungkinkan kehidupan. Ketersediaan air, fungsi tidur, kestabilan bumi—semua ini adalah rahmat yang menjadikan ibadah dan kehidupan itu sendiri mungkin.
Dengan merenungkan bagaimana hujan yang mati menghidupkan biji-bijian yang mati, kita didorong untuk bersyukur. Rasa syukur ini tidak hanya berbentuk lisan, tetapi diwujudkan dalam kepatuhan. Bagaimana mungkin manusia dapat menikmati seluruh fasilitas ciptaan Rabbul 'Alamin, namun menolak perintah-Nya dan mendustakan janji-Nya? An-Naba menuntut konsistensi antara keyakinan (iman) dan tindakan (amal saleh).
Ketidakmampuan manusia untuk memahami totalitas alam semesta seharusnya menjadi alasan kerendahan hati. Kita dapat mengamati Matahari (sirājan wahhājan), tetapi kita tidak dapat mengendalikannya. Kita menikmati stabilitas gunung (awtādā), tetapi kita tidak dapat menciptakannya. Pengakuan terhadap keterbatasan diri ini adalah langkah pertama menuju penerimaan Berita Besar. Sebaliknya, sikap ṭāghīna (melampaui batas) lahir dari keangkuhan intelektual yang menolak mengakui bahwa ada kekuatan yang jauh melampaui kemampuan berpikir manusia.
Surah An-Naba adalah sebuah ultimatum ilahi yang ringkas namun padat. Dimulai dengan pertanyaan skeptis, surah ini menjawabnya dengan bukti-bukti yang tidak dapat dipungkiri dari alam semesta. Surah ini menetapkan bahwa keraguan terhadap Hari Kebangkitan adalah bentuk kebodohan, karena bukti-bukti kekuasaan Allah terhampar setiap hari di hadapan mata manusia.
An Naba artinya – Berita Besar – bukan hanya sebuah informasi, melainkan fondasi keyakinan dan prinsip akuntabilitas. Manusia diberi kebebasan untuk memilih: meyakini dan menempuh jalan yang benar menuju mafāzan (kemenangan di Surga), atau mendustakan dan menghadapi realitas yang mengerikan di Jahannam, di mana penyesalan hanya akan memicu penambahan azab.
Ayat penutup, yang menggambarkan penyesalan orang kafir yang berharap menjadi tanah (yā laytanī kuntu turābā), adalah puncak dari pesan surah ini. Penyesalan ini datang terlambat. Surah An-Naba hadir sebagai bel peringatan keras bagi kita semua untuk memastikan bahwa kita tidak termasuk dalam golongan yang baru menyadari kebenaran setelah perhitungan dimulai. Pilihan untuk mengambil jalan kembali kepada Tuhan (ma'ābā) harus dilakukan sekarang, di dunia yang fana ini, sebelum pintu kesempatan tertutup selamanya.
Oleh karena itu, setiap pembaca dan pendengar Surah An-Naba didorong untuk tidak lagi ragu atau berdebat tentang kebangkitan, melainkan mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh untuk Hari Keputusan yang pasti, yang telah ditetapkan waktunya oleh Rabb langit dan bumi, Ar-Raḥmān. Persiapan ini melibatkan pemanfaatan sebaik-baiknya atas segala anugerah penciptaan yang telah diberikan, dan ketaatan penuh terhadap ajaran yang dibawa oleh Berita Besar tersebut.
Setiap detail kosmik yang disebutkan—tujuh langit yang kokoh, matahari yang membakar, siklus hujan yang menghidupkan—adalah saksi bisu atas kekuatan Allah untuk memulai dan mengakhiri segala sesuatu. Jika manusia gagal menangkap pesan sederhana ini, maka keraguan mereka akan berubah menjadi kepastian yang menyakitkan pada Hari ketika tidak seorang pun diizinkan untuk berbicara kecuali dengan izin Ar-Raḥmān. Membaca An-Naba adalah membaca peta menuju keabadian; sebuah peta yang memuat ancaman dan janji yang sama-sama mutlak.
Kesempurnaan balasan (jazā'an wizāqan) bagi para pendurhaka dan kemurahan ganjaran (aṭā'an ḥisābā) bagi orang bertakwa, keduanya merupakan manifestasi dari sifat Rabb dan Ar-Raḥmān. Ini memastikan bahwa meskipun keadilan dan kasih sayang Allah itu universal, penerapannya pada Hari Kiamat akan sepenuhnya sesuai dengan pilihan yang telah dibuat manusia selama hidup di bumi. Pesan ini harus mengukir keyakinan yang mendalam di hati, menghilangkan segala bentuk keraguan, dan memicu aksi nyata dalam bentuk ibadah dan amal saleh yang berkelanjutan.
Maka dari itu, marilah kita jadikan Surah An-Naba sebagai cermin untuk melihat diri kita sendiri, seberapa jauh kita telah bersiap menghadapi Berita Besar itu. Jangan sampai penyesalan terdalam kita kelak adalah berharap, "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu hanyalah tanah!" (Ayat 40). Peringatan ini adalah kasih sayang, kesempatan untuk berbalik sebelum terlambat.