Surah An-Nahl Ayat 90: Fondasi Etika dan Pembangunan Masyarakat Beradab
Pengantar: Ayat Komprehensif dalam Surah An-Nahl
Surah An-Nahl, yang berarti Lebah, adalah surah ke-16 dalam Al-Qur'an. Surah ini kaya akan pelajaran mengenai tanda-tanda kebesaran Allah (Ayatullah al-Kawniyyah) di alam semesta, mulai dari lebah, air hujan, hingga gunung-gunung. Namun, di antara ayat-ayat yang menekankan bukti-bukti penciptaan tersebut, terdapat satu ayat yang berfungsi sebagai ringkasan pedoman etika dan hukum Islam yang paling fundamental: Ayat 90.
Ayat ini sering disebut sebagai ayat yang paling agung dalam menetapkan pilar-pilar moralitas dan sosial. Ia menyajikan prinsip-prinsip universal yang mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan manusia dengan masyarakatnya secara keseluruhan. Para ulama bahkan menyatakan bahwa seolah-olah seluruh ajaran syariat termaktub dalam enam frasa singkat namun padat makna dalam ayat ini.
Teks dan Terjemahan An-Nahl Ayat 90
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ وَإِيتَآئِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ وَٱلْبَغْىِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (perbuatan) keji, kemungkaran, dan permusuhan (kezaliman). Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (QS. An-Nahl [16]: 90)
Struktur ayat ini sangat sistematis, membagi perintah menjadi tiga pilar positif yang harus diwujudkan, dan tiga larangan negatif yang wajib ditinggalkan. Pembahasan mendalam atas keenam pilar ini merupakan kunci untuk memahami bagaimana Islam membangun peradaban yang seimbang dan berkeadilan.
I. Tiga Pilar Perintah Positif: Fondasi Pembangunan Moral
Tiga perintah utama dalam ayat ini—Al-'Adl (Keadilan), Al-Ihsan (Kebajikan/Kesempurnaan), dan Ītā'ī Dhil Qurbā (Memberi kepada Kerabat)—merupakan tangga spiritual dan sosial yang harus dipijak oleh setiap individu dan negara.
A. Al-'Adl (Keadilan Mutlak dan Universal)
Keadilan (Al-'Adl) diletakkan pada urutan pertama karena ia adalah pondasi utama dalam setiap aspek kehidupan. Keadilan berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya yang semestinya, memberikan hak kepada yang berhak tanpa memandang status, kekayaan, atau ikatan kekerabatan. Konsep Al-'Adl dalam Islam bersifat menyeluruh, mencakup dimensi:
1. Keadilan terhadap Allah (Tawhid)
Keadilan tertinggi adalah Tawhid, yaitu mengesakan Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Syirik (menyekutukan Allah) adalah kezaliman yang paling besar (kezaliman terhadap hak Allah), karena ia menempatkan ibadah dan pengabdian pada selain Dzat yang mencipta dan memberi rezeki. Keadilan spiritual ini harus menjadi dasar bagi keadilan dalam interaksi sosial.
Mewujudkan keadilan kepada Allah berarti menunaikan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan penuh kesadaran dan ketaatan. Ini juga mencakup keadilan dalam berhukum, di mana hukum Allah dijadikan pijakan tertinggi, bukan hawa nafsu atau kepentingan pribadi. Ketika manusia adil terhadap Tuhannya, maka hatinya akan damai dan siap untuk berlaku adil terhadap sesama.
2. Keadilan terhadap Diri Sendiri (Nafs)
Keadilan terhadap diri sendiri berarti menjaga jiwa, raga, dan akal dari segala sesuatu yang merusak. Ini termasuk menghindari dosa, menjaga kesehatan, dan memberikan hak istirahat. Menganiaya diri sendiri, baik melalui maksiat, gaya hidup destruktif, atau mengabaikan potensi diri, adalah bentuk ketidakadilan. Keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani adalah esensi dari keadilan diri.
Individu yang gagal menegakkan keadilan atas dirinya sendiri—misalnya, dengan membiarkan hawa nafsu menguasai akal sehat atau menzalimi tubuhnya dengan bekerja berlebihan tanpa istirahat—akan sulit untuk menjadi pilar keadilan di tengah masyarakat. Pengendalian diri dan penempatan prioritas yang benar adalah manifestasi dari keadilan terhadap nafs.
3. Keadilan Sosial dan Hukum
Ini adalah dimensi yang paling nyata. Keadilan sosial menuntut perlakuan setara di depan hukum (equality before the law), baik bagi yang kuat maupun yang lemah, kaya maupun miskin. Islam secara tegas melarang diskriminasi berdasarkan suku, ras, atau kedudukan. Kewajiban berlaku adil bahkan ditekankan ketika berhadapan dengan musuh atau pihak yang dibenci.
Penerapan keadilan ini mencakup keadilan ekonomi, di mana kekayaan tidak boleh berputar hanya di antara segelintir orang kaya (sebagaimana ditegaskan dalam surah lain). Ia juga menuntut keadilan politik, yaitu amanah dalam kepemimpinan dan penegakan hukum yang transparan. Sebuah negara atau komunitas tidak akan bertahan lama tanpa fondasi keadilan yang kokoh.
Keadilan dalam berhukum (judicial justice) mensyaratkan saksi yang jujur, hakim yang tidak memihak, dan keputusan yang didasarkan pada bukti, bukan spekulasi atau tekanan massa. Jika keadilan diabaikan, masyarakat akan runtuh karena kehilangan rasa aman dan kepercayaan.
B. Al-Ihsan (Kebajikan dan Kesempurnaan)
Ihsan adalah tingkat moralitas yang lebih tinggi daripada ‘Adl. Jika ‘Adl adalah kewajiban (memberi sesuai hak), maka Ihsan adalah keutamaan (memberi lebih dari kewajiban). Ihsan berarti melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, seolah-olah Allah melihat kita, atau setidaknya kita yakin bahwa Allah Maha Melihat. Ihsan adalah ruh yang menghidupkan keadilan, menjadikannya bukan sekadar kewajiban hukum yang dingin, tetapi tindakan yang dijiwai oleh cinta kasih.
1. Ihsan dalam Ibadah
Definisi Ihsan yang paling dikenal adalah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW: “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Ini menuntut fokus, ketulusan (ikhlas), dan upaya maksimal dalam menunaikan ibadah, jauh dari sekadar formalitas. Ihsan dalam ibadah berarti shalat tidak hanya menggugurkan kewajiban, tetapi mencapai kualitas khusyu’ yang mendalam.
Pengejaran kualitas dan kesempurnaan dalam setiap ritual keagamaan adalah inti dari Ihsan. Seseorang yang mencapai derajat Ihsan akan melakukan yang terbaik bukan karena takut hukuman atau berharap pujian manusia, melainkan karena kesadaran akan pengawasan Ilahi.
2. Ihsan dalam Muamalah (Interaksi Sosial)
Dalam interaksi sosial, Ihsan termanifestasi sebagai perlakuan baik yang melampaui standar minimal keadilan. Contohnya: memaafkan kesalahan orang lain meskipun kita berhak menuntut balas (keadilan), memberikan sedekah sunnah di luar zakat wajib, atau bersikap ramah dan lemah lembut kepada mereka yang berperilaku buruk terhadap kita. Ihsan adalah kemurahan hati yang mencegah kita untuk membalas keburukan dengan keburukan yang setara.
Ihsan juga mencakup profesionalisme. Dalam pekerjaan, Ihsan berarti melakukan tugas dengan kualitas terbaik, tepat waktu, dan penuh amanah, melampaui tuntutan kontrak kerja. Seorang pedagang yang ber-Ihsan tidak hanya menghindari kecurangan (keadilan) tetapi juga memberikan kemudahan dan keridhaan kepada pembeli, misalnya dengan mengurangi harga sedikit atau menoleransi keterlambatan pembayaran.
3. Hubungan antara 'Adl dan Ihsan
'Adl adalah fondasi, sedangkan Ihsan adalah atap yang memperindah dan melindungi. Masyarakat yang hanya menerapkan 'Adl akan menjadi masyarakat yang kaku dan rentan konflik karena setiap orang hanya menuntut hak minimalnya. Sebaliknya, masyarakat yang dihiasi Ihsan menjadi penuh kasih sayang dan solid karena setiap individu berusaha memberikan yang terbaik dan berlapang dada dalam menerima. Ayat 90 memerintahkan keduanya secara bersamaan, menunjukkan bahwa hukum dan etika harus berjalan beriringan.
Tanpa Ihsan, 'Adl dapat terasa dingin dan tanpa belas kasihan. Tanpa 'Adl, Ihsan bisa disalahgunakan. Keduanya adalah sayap yang harus digunakan secara seimbang untuk terbang menuju kesempurnaan moral.
C. Ītā'ī Dhil Qurbā (Memberi Bantuan kepada Kerabat)
Perintah ketiga ini mengalihkan fokus dari universalitas (‘Adl dan Ihsan) kepada kewajiban spesifik yang paling dekat, yaitu kerabat. Ini menunjukkan pentingnya membangun soliditas sosial dari unit terkecil: keluarga dan kerabat dekat.
1. Prioritas Kebutuhan dan Silaturahim
Ayat ini mengajarkan bahwa bakti sosial harus dimulai dari lingkaran terdekat. Sebelum menyalurkan bantuan kepada orang asing atau lembaga yang jauh, kita memiliki kewajiban utama untuk memastikan bahwa kerabat dekat—orang tua, anak-anak, saudara, paman, bibi, dan lainnya—terpenuhi kebutuhannya, terutama jika mereka dalam keadaan sulit. Memberi kepada kerabat memiliki nilai ganda: sedekah dan silaturahim.
Kewajiban ini tidak hanya bersifat materi, tetapi juga non-materi. Menjaga hubungan baik, mengunjungi, memberi nasihat, dan membantu menyelesaikan masalah adalah bagian dari Ītā'ī Dhil Qurbā. Ini adalah strategi Allah untuk mencegah munculnya kemiskinan dan keterasingan dalam struktur keluarga besar.
2. Menguatkan Jaringan Sosial Ekonomi
Dalam konteks sosial, perintah ini berfungsi sebagai sistem jaring pengaman (social safety net) alami yang paling efektif. Ketika setiap individu bertanggung jawab terhadap jaringan kerabatnya, beban negara atau masyarakat luas menjadi berkurang. Ini menciptakan ikatan kekerabatan yang kuat yang sulit dihancurkan oleh tekanan ekonomi atau sosial.
Pelaksanaan Ītā'ī Dhil Qurbā secara konsisten akan menghilangkan jurang pemisah dan rasa iri antar anggota keluarga, karena mereka tahu bahwa mereka adalah bagian dari satu kesatuan yang saling menanggung. Ini merupakan implementasi praktis dari Ihsan di ranah kekeluargaan.
II. Tiga Pilar Larangan Negatif: Benteng Pencegahan Kerusakan
Setelah menetapkan tiga hal yang harus dilakukan, ayat 90 kemudian menegaskan tiga hal yang wajib ditinggalkan, yang jika dibiarkan akan merusak fondasi keadilan dan kebajikan yang telah dibangun.
A. Al-Fahsyā' (Perbuatan Keji atau Immoralitas Terbuka)
Al-Fahsyā' merujuk pada segala bentuk dosa besar yang sangat keji dan dilakukan secara terbuka atau yang terkait dengan pelanggaran seksual dan syahwat yang terang-terangan (misalnya zina, homoseksualitas, atau pornografi). Fahsyā’ dilarang keras karena ia merusak martabat individu dan integritas moral masyarakat secara keseluruhan.
1. Dampak Penghancuran Martabat
Perbuatan keji, terutama yang berkaitan dengan kehormatan, memiliki dampak sosial yang menghancurkan, bukan hanya bagi pelakunya, tetapi juga bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya. Fahsyā’ merusak keturunan, menghancurkan pernikahan, dan menghilangkan rasa malu (al-haya’), yang merupakan benteng moralitas utama. Hilangnya rasa malu membuka pintu bagi segala macam keburukan lainnya.
Larangan terhadap Fahsyā’ bertujuan untuk menjaga kesucian masyarakat dan menjamin perlindungan bagi setiap individu, terutama perempuan dan anak-anak, dari eksploitasi dan pelecehan. Dalam konteks modern, ini mencakup larangan terhadap segala bentuk promosi immoralitas yang dapat meracuni pikiran dan perilaku publik.
2. Melawan Budaya Pembenaran Dosa
Ayat ini mewajibkan umat untuk menolak segala bentuk Fahsyā’, bahkan jika perbuatan tersebut mulai dinormalisasi atau dibungkus dengan argumen kebebasan. Kekejian adalah kekejian, terlepas dari label yang diberikan masyarakat. Penolakan ini adalah bagian dari menegakkan keadilan Ilahi di bumi.
Penting untuk dipahami bahwa Fahsyā’ dilarang karena merusak sistem alamiah manusia (fitrah) dan merusak ketahanan psikologis serta sosial. Masyarakat yang tenggelam dalam Fahsyā’ adalah masyarakat yang rapuh dan mudah hancur dari dalam, kehilangan fokus dari tujuan hidup yang lebih mulia.
B. Al-Munkar (Kemungkaran atau Perbuatan yang Diingkari Akal dan Syariat)
Al-Munkar adalah istilah yang lebih luas daripada Fahsyā'. Munkar mencakup segala perbuatan yang diingkari oleh akal sehat yang lurus (fitrah), bertentangan dengan norma agama (syariat), atau bertentangan dengan tradisi baik (urf) yang tidak melanggar syariat. Munkar adalah keburukan yang secara umum dikenali sebagai salah oleh masyarakat yang sehat.
1. Dimensi Hukum dan Sosial
Munkar meliputi segala dosa yang bukan Fahsyā', seperti pencurian, riba, penipuan, minum khamr, fitnah, ghibah (menggunjing), atau sumpah palsu. Larangan terhadap Munkar menuntut umat Islam untuk aktif dalam mencegah dan melawan keburukan. Inilah yang dikenal sebagai kewajiban *amar ma’ruf nahi munkar* (memerintah yang baik dan melarang yang mungkar).
Munkar sering kali merupakan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain yang lebih umum sifatnya, seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau menciptakan kekacauan publik. Jika Fahsyā’ sering bersifat personal dan seksual, Munkar lebih sering terkait dengan pelanggaran hak dan ketertiban umum.
Pencegahan Munkar harus dilakukan secara bertahap, dimulai dari hati, lisan, hingga tindakan fisik, sesuai dengan kemampuan dan wewenang. Kewajiban ini adalah bentuk kolektif dari menjaga Ihsan dan 'Adl dalam masyarakat.
C. Al-Baghy (Kezaliman, Permusuhan, atau Melampaui Batas)
Al-Baghy adalah kezaliman dalam bentuk agresi, tirani, atau melampaui batas yang dibenarkan. Ia merupakan pelanggaran langsung terhadap prinsip Al-'Adl. Jika 'Adl adalah menetapkan sesuatu pada tempatnya, Baghy adalah mengeluarkan sesuatu dari tempatnya, khususnya dengan menggunakan kekuatan untuk menindas atau melanggar hak orang lain.
1. Baghy dalam Pemerintahan dan Kekuasaan
Dalam konteks politik, Baghy diartikan sebagai tirani, penindasan, atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Ketika pemimpin berlaku Baghy, mereka merampas hak rakyat, memenjarakan tanpa sebab, atau memaksakan kehendak yang melanggar syariat dan keadilan. Baghy adalah antitesis dari kepemimpinan yang berlandaskan amanah dan keadilan.
Ayat ini secara implisit menuntut para penguasa untuk menjauhi Baghy, karena kezaliman politik akan memicu perpecahan dan revolusi sosial. Tidak ada dosa yang lebih cepat mendatangkan azab di dunia selain kezaliman terhadap manusia.
2. Baghy dalam Hubungan Antar Individu
Dalam skala individu, Baghy dapat berupa agresi fisik, fitnah yang merusak reputasi, atau eksploitasi ekonomi. Setiap tindakan yang melanggar batasan hak orang lain, bahkan dalam perkataan, dapat dikategorikan sebagai Baghy. Misalnya, bersikap sombong dan menindas orang yang lebih lemah, atau memanfaatkan kekurangan orang lain untuk keuntungan pribadi.
Larangan Baghy berfungsi sebagai pagar yang melindungi hak-hak dasar manusia (seperti nyawa, harta, kehormatan, dan agama). Dengan melarang Baghy, Al-Qur'an memastikan bahwa tatanan sosial tidak didasarkan pada hukum rimba, melainkan pada keadilan yang terstruktur.
III. Integrasi dan Penerapan Keenam Pilar
Surah An-Nahl ayat 90 bukan sekadar daftar perintah dan larangan, melainkan sebuah kurikulum etika komprehensif. Keenam komponen ini saling terkait dan bekerja secara sinergis untuk mencapai keseimbangan (mīzān) dalam kehidupan pribadi dan kolektif.
A. Keseimbangan Antara Hukum dan Moralitas
Perpaduan antara 'Adl dan Ihsan menunjukkan bahwa Islam menuntut ketaatan yang sempurna: ketaatan lahiriah (hukum, 'Adl) dan ketaatan batiniah (moralitas, Ihsan). Masyarakat yang hanya fokus pada hukum formal tanpa etika akan menjadi masyarakat legalistik tanpa jiwa. Sebaliknya, masyarakat yang hanya fokus pada moralitas tanpa penegakan hukum ('Adl) akan menjadi anarkis.
Penerapan 'Adl dan Ihsan diperkuat dengan kewajiban kekeluargaan (Ītā'ī Dhil Qurbā), yang memastikan bahwa nilai-nilai mulia ini ditanamkan dari akar paling dasar masyarakat. Jika keluarga adalah pilar yang kuat, maka masyarakat secara keseluruhan akan menjadi kuat.
B. Mekanisme Pencegahan Kejahatan
Tiga larangan (Fahsyā', Munkar, dan Baghy) berfungsi sebagai mekanisme pencegahan kejahatan yang bertingkat:
- Fahsyā’: Pencegahan kejahatan yang merusak moral individu dan keluarga.
- Munkar: Pencegahan kejahatan yang merusak norma dan ketertiban umum (sosial).
- Baghy: Pencegahan kejahatan yang merusak struktur kekuasaan dan hak asasi (politik/hukum).
Keberhasilan sebuah masyarakat diukur dari seberapa efektif ia menegakkan tiga perintah positif sekaligus menghapuskan tiga larangan negatif tersebut. Ketika masyarakat membiarkan Fahsyā’ (immoralitas) merajalela, Munkar (kejahatan umum) akan meningkat. Ketika Munkar dan Fahsyā’ diterima, maka Baghy (tirani dan penindasan) akan mengambil alih kekuasaan.
C. Relevansi Kontemporer: An-Nahl 90 di Abad Modern
Prinsip An-Nahl 90 tetap relevan di tengah kompleksitas dunia modern, bahkan dalam isu-isu global:
1. Keadilan Ekonomi Global (Al-'Adl)
Ayat ini menuntut keadilan dalam sistem ekonomi, menolak eksploitasi negara miskin oleh negara kaya, dan mengharuskan distribusi sumber daya yang lebih merata. Keadilan dalam perdagangan, penetapan harga yang wajar, dan larangan praktik monopoli adalah implementasi dari Al-'Adl.
Dalam dunia bisnis, Ihsan menuntut transparansi, kualitas produk yang tinggi, dan perlakuan yang baik terhadap karyawan (melampaui upah minimum). Pemilik usaha yang menerapkan Ihsan akan memastikan kesejahteraan pekerjanya karena kesadaran bahwa Allah mengawasi perlakuan mereka.
2. Krisis Moral dan Media (Fahsyā' dan Munkar)
Di era digital, Fahsyā’ (immoralitas) menyebar dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya melalui internet. Larangan Fahsyā’ menjadi panggilan bagi komunitas untuk melindungi diri dari konten yang merusak moral dan bagi media untuk bertanggung jawab atas materi yang mereka sajikan. Munkar dalam konteks ini juga mencakup penyebaran hoaks (berita palsu) dan fitnah, yang merusak tatanan sosial dan politik.
3. Penolakan terhadap Otoritarianisme (Al-Baghy)
Baghy modern terlihat dalam bentuk pengawasan massal yang melanggar privasi, kebijakan yang menindas minoritas, dan pelanggaran hak asasi manusia atas nama keamanan. Ayat 90 adalah pengingat abadi bahwa kekuatan politik harus selalu dibatasi oleh prinsip Keadilan Ilahi. Baghy juga mencakup semua bentuk rasisme, xenofobia, dan diskriminasi yang mengagresi hak kelompok tertentu.
D. Kewajiban Kolektif dan Individu
Pilar-pilar An-Nahl 90 tidak hanya ditujukan kepada individu sebagai pedoman personal, tetapi juga kepada negara dan lembaga sebagai konstitusi moral. Negara memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan di mana 'Adl dan Ihsan dapat tumbuh subur, serta menjamin bahwa Fahsyā', Munkar, dan Baghy dihukum secara tegas dan dicegah secara sistematis.
Di sisi lain, individu tidak boleh pasif. Setiap Muslim, sesuai kapasitasnya, wajib menjadi agen Keadilan, agen Ihsan, dan penolak aktif terhadap keburukan. Keterlibatan aktif dalam menegakkan kebaikan adalah perwujudan ketaatan terhadap perintah universal ini.
IV. Tujuan Akhir: Tazkirah (Pengajaran dan Pengingat)
Ayat 90 diakhiri dengan frasa penutup yang sangat penting: "Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (tazakkurun)."
A. Fungsi Ayat sebagai Pengingat Abadi
Penggunaan kata *tazakkurun* (mengingat) menunjukkan bahwa perintah ini bukanlah hal baru yang asing bagi manusia, melainkan sesuatu yang secara fitrah telah dikenali. Tugas agama adalah mengingatkan kembali fitrah yang terkadang tertutupi oleh hawa nafsu dan lingkungan yang buruk. Ayat ini adalah pengingat terus-menerus bahwa jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat adalah jalan Keadilan dan Kebajikan, bukan jalan kezaliman dan hawa nafsu.
B. Kesempurnaan Syariat
Ayat An-Nahl 90 sering dipandang sebagai ayat yang merangkum keseluruhan tujuan syariat (Maqasid Syariah). Jika dirangkum, syariat bertujuan untuk mewujudkan kebaikan (yang termuat dalam ‘Adl, Ihsan, dan Ītā'ī Dhil Qurbā) dan menghilangkan kerusakan (yang termuat dalam larangan Fahsyā’, Munkar, dan Baghy).
Ringkasan Nilai Kunci An-Nahl 90:
- Keadilan ('Adl): Prinsip Dasar Hukum dan Etika.
- Kebajikan (Ihsan): Peningkatan Kualitas Moral dan Spiritual.
- Kekeluargaan (Ītā'ī Dhil Qurbā): Penguatan Jaringan Sosial Primer.
- Immoralitas (Fahsyā'): Dilarang, merusak kehormatan.
- Kejahatan Umum (Munkar): Dilarang, merusak ketertiban.
- Kezaliman (Baghy): Dilarang, merusak kekuasaan dan hak asasi.
Setiap kali seorang individu ragu dalam mengambil keputusan etis atau moral, ia dapat kembali kepada enam kriteria ini. Apakah tindakan ini adil? Apakah ia dilakukan dengan Ihsan? Apakah ia membantu kerabat? Apakah ia termasuk Fahsyā’, Munkar, atau Baghy? Ayat ini memberikan matriks keputusan yang jelas dan tidak ambigu.
C. Janji dan Konsekuensi
Walaupun ayat ini fokus pada perintah dan larangan, ia mengandung janji implisit: Barang siapa yang menegakkan enam pilar ini, ia akan meraih kejayaan dan kedamaian. Sebaliknya, masyarakat yang melalaikan 'Adl, mengabaikan Ihsan, dan tenggelam dalam Fahsyā', Munkar, dan Baghy, pasti akan mengalami kehancuran, baik secara moral maupun struktural.
Oleh karena itu, Surah An-Nahl Ayat 90 adalah cetak biru abadi yang mendefinisikan apa artinya menjadi manusia yang beradab dan masyarakat yang berkeadilan, sebuah pesan yang kekal dan universal untuk semua zaman dan tempat.