Refleksi Mendalam Atas Surah Ar-Rahman dan Pengulangan Nikmat Sang Pencipta
Keseimbangan Semesta dalam Surah Ar-Rahman
Surah Ar-Rahman, yang secara harfiah berarti Yang Maha Pengasih, adalah salah satu mahakarya linguistik dan spiritual yang termuat dalam kitab suci. Surah ini diletakkan pada posisi istimewa, memancarkan kelembutan dan kekuasaan Ilahi secara bersamaan. Ia dikenal sebagai ‘Arus Al-Qur’an’ atau Pengantin Al-Qur’an, sebuah gelar yang menunjukkan keindahan dan kemewahan isinya. Tema sentral surah ini bukanlah perintah atau larangan yang keras, melainkan sebuah inventarisasi mendalam mengenai nikmat-nikmat yang tak terhingga, disajikan sebagai pengingat yang menyentuh hati bagi seluruh makhluk berakal, yaitu manusia dan jin.
Keunikan terbesar dan yang menjadi pusat perhatian dari Surah Ar-Rahman terletak pada struktur ritmisnya yang tak tertandingi. Dalam 78 ayat yang dimilikinya, terdapat satu pertanyaan retoris yang diulang sebanyak 33 kali: “Fabi Ayyi Ala’i Rabbikuma Tukazziban?” yang diterjemahkan sebagai: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Pengulangan ini bukan sekadar gaya sastra, melainkan sebuah strategi pedagogis dan psikologis yang dirancang untuk menggetarkan jiwa, memaksa pendengar untuk berhenti sejenak, merenung, dan mengakui setiap karunia yang telah dilimpahkan.
Angka 33 itu sendiri bukanlah kebetulan. Ia membagi surah menjadi segmen-segmen tematik yang jelas, di mana setiap segmen diawali dengan penyebutan nikmat spesifik, dan diakhiri dengan tantangan pengakuan. Pengulangan ini menciptakan irama yang berkesinambungan, seperti tetesan air yang terus menerus memahat batu, atau dentuman gong yang secara periodik mengingatkan pendengar agar tidak lalai dalam syukur. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun nikmat, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, yang luput dari pandangan dan pengakuan makhluk-Nya.
Pengulangan yang konsisten ini memiliki fungsi yang jauh melampaui sekadar retorika. Dalam konteks psikologi spiritual, repetisi adalah alat yang ampuh untuk penanaman nilai. Tiga puluh tiga kali pertanyaan tersebut bertindak sebagai palu godam yang memecahkan lapisan kesombongan dan kelalaian yang mungkin menyelimuti hati manusia dan jin. Ini adalah sebuah sistem akuntabilitas instan, yang menuntut jawaban segera setelah setiap karunia disorot.
Pertanyaan "Tukazziban" (yang kamu dustakan) mengarah pada beberapa bentuk pengingkaran. Pengingkaran tidak hanya berarti menolak keberadaan nikmat, tetapi juga melupakan sumber nikmat tersebut, atau bahkan menggunakan nikmat itu untuk berbuat maksiat. Surah ini menantang segala bentuk pengingkaran tersebut, mulai dari pengingkaran terhadap keesaan Tuhan, pengingkaran terhadap Hari Akhir, hingga pengingkaran terhadap detail-detail kecil dari tatanan kosmik yang sempurna.
Setiap pengulangan dari ayat ini secara efektif membersihkan keraguan dan memperkuat keimanan. Ia memaksa pendengar untuk melihat dunia bukan sebagai serangkaian peristiwa acak, melainkan sebagai sebuah sistem yang terencana dengan sempurna, di mana setiap elemen, dari atom terkecil hingga galaksi terbesar, adalah manifestasi dari rahmat Ilahi yang terorganisir.
33 pengulangan tersebut didistribusikan secara strategis di sepanjang Surah, mengikuti alur naratif yang logis, yang dapat dibagi menjadi empat atau lima tema besar, mencakup seluruh eksistensi: Penciptaan, Hukum Alam, Kehidupan Manusia, Hari Perhitungan, dan Balasan Abadi.
Bagian awal Surah ini berfokus pada nikmat-nikmat fundamental yang mendefinisikan keberadaan. Dimulai dengan Tuhan sendiri, Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), sebagai sumber utama segala rahmat. Kemudian dilanjutkan dengan karunia terbesar setelah eksistensi itu sendiri: Al-Qur’an (Firman Ilahi) dan pengajaran. Tanpa kemampuan komunikasi ini, manusia tidak akan dapat memahami tujuan penciptaannya. Nikmat-nikmat dalam fase ini adalah prasyarat untuk kehidupan berakal.
Penciptaan manusia dari tanah liat (Salsal) dan jin dari api murni (Marij) dibahas. Di sini, pertanyaan 'Fabi Ayyi Ala’i Rabbikuma Tukazziban?' mulai bergema, pertama kali muncul setelah penyebutan kemampuan berbicara dan berhitung. Ini menandakan bahwa akal dan komunikasi adalah nikmat pertama yang harus dipertanggungjawabkan.
Pengulangan kemudian berlanjut saat Surah membahas Matahari, Bulan, pepohonan yang tunduk, dan yang terpenting, Al-Mizan (Keseimbangan dan Keadilan). Nikmat keseimbangan kosmik ini, yang memastikan bahwa langit tidak runtuh dan hukum fisika tetap stabil, adalah pondasi kehidupan.
Fase ini beralih ke nikmat yang kita temui sehari-hari: lautan yang terbelah namun tidak bercampur, tempat perahu-perahu besar berlayar, dan bumi yang subur. Ayat-ayat ini menantang manusia untuk melihat keindahan dan kekayaan alam, menanyakan mengapa kita masih memilih untuk mendustakan sumber dari kemakmuran ini. Kehadiran air tawar dan air asin yang bertemu tetapi tidak melampaui batas adalah contoh nyata ketelitian manajemen Ilahi.
Di bagian ini pula, fokus beralih ke nasib mereka yang mendustakan. Ancaman Hari Kiamat dan Hari Pembalasan diperkenalkan. Kekuatan dan nikmat alam dipertentangkan dengan kelemahan makhluk di hadapan kekuatan Allah. Ini adalah titik balik, di mana pengakuan nikmat harus berujung pada rasa takut akan pertanggungjawaban.
Surah ini dengan tegas menyatakan bahwa bahkan di Hari Kiamat, ketika api neraka Jahannam mengintai, tidak ada cara bagi manusia dan jin untuk melarikan diri dari takdir mereka kecuali dengan izin-Nya. Setelah gambaran kengerian dan perhitungan, pertanyaan berulang tersebut menjadi lebih tajam, menantang para pendusta untuk mencari perlindungan di tempat lain.
Setelah ancaman, Surah memberikan janji yang menenangkan. Bagi mereka yang takut akan kehadiran Tuhan dan menghormati batasan-Nya, Surga dijanjikan. Ini adalah bagian yang paling deskriptif dan kaya. Surah Ar-Rahman memberikan gambaran tentang dua tingkatan Surga (dua pasang Surga), yang menunjukkan rahmat yang berlipat ganda.
Surga pertama (Jannatain) digambarkan memiliki mata air yang mengalir deras, buah-buahan berpasangan (berbagai varietas), dan tempat tidur yang dilapisi kain sutra tebal. Di dalamnya terdapat bidadari yang pandangan matanya terbatas hanya pada pasangan mereka, tidak pernah disentuh oleh manusia atau jin sebelumnya. Deskripsi kekayaan dan keindahan yang luar biasa ini diikuti lagi oleh pengulangan pertanyaan tersebut.
Setiap detail kemewahan yang diberikan—dari warna hijau yang menawan hingga keindahan pasangan yang disucikan—bertujuan untuk meningkatkan rasa syukur. Bagaimana mungkin, setelah diberikan gambaran kemuliaan ini, seseorang masih dapat mendustakan rahmat Tuhan? Surga pertama ini berfungsi sebagai bukti nyata dari janji yang disampaikan sebelumnya di dunia.
Surah ini kemudian memperkenalkan dua Surga lagi, "di bawah" yang pertama, namun tetap menakjubkan. Hal ini menunjukkan spektrum rahmat dan tingkatan ganjaran. Surga kedua (Jannatain Min Dunihima) ini digambarkan lebih gelap dan hijau (Mujdhammatan), memiliki dua mata air yang memancar (Nadhdakhataan), bukan mengalir deras seperti yang pertama. Meskipun deskripsinya sedikit berbeda, kualitas nikmatnya tetap jauh melampaui imajinasi duniawi.
Di Surga kedua ini, disebutkan bidadari-bidadari yang baik dan cantik, yang juga tidak pernah disentuh sebelumnya. Mereka adalah Hur Maqshuurat fil Khiyaam (bidadari-bidadari yang dijaga di dalam kemah). Bagian penutup ini berfungsi sebagai penegasan akhir, bahwa rahmat Allah itu berlapis, luas, dan memenuhi setiap kebutuhan dan keinginan yang paling mendalam. Seluruh Surah ditutup dengan pemuliaan nama Tuhan, Dzul Jalali Wal Ikram (Pemilik Keagungan dan Kemuliaan).
Kata kunci dalam pengulangan 33 kali ini adalah Ala’ (آلاء). Meskipun sering diterjemahkan sebagai 'nikmat' atau 'karunia', makna Ala’ sesungguhnya lebih kaya dan komprehensif. Ia mencakup tiga dimensi utama:
Setiap kali pertanyaan itu diajukan, ia mencakup semua dimensi ini. Ketika Allah menyebut Matahari dan Bulan, Ia menanyakan: apakah kamu mendustakan tatanan fisika yang menjaga planetmu? Ketika Ia menyebut Al-Qur’an, Ia menanyakan: apakah kamu mendustakan petunjuk yang menyelamatkan jiwamu?
Konsep Al-Mizan (Keseimbangan) yang disinggung di awal Surah adalah contoh sempurna dari Ala’ yang bersifat universal. Allah menciptakan langit dan meninggikannya, serta menetapkan Mizan agar manusia tidak melampaui batas dalam menimbang. Keseimbangan ini bukan hanya berlaku di pasar atau pengadilan, tetapi juga dalam etika sosial, ekologi, dan bahkan keseimbangan internal manusia itu sendiri. Mendustakan Mizan berarti merusak tatanan yang telah ditetapkan oleh Rahmat-Nya.
Dalam konteks modern, tantangan Ar-Rahman 33 ini relevan ketika manusia modern, dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang pesat, cenderung mengaitkan semua pencapaian pada kecerdasan kolektif mereka, melupakan fondasi dasar hukum alam yang memungkinkan penemuan tersebut terjadi. Surah ini mengingatkan bahwa bahkan hukum gravitasi, energi kinetik, atau komposisi kimia air adalah bagian dari Ala’ yang telah ditetapkan, yang memungkinkan peradaban untuk berkembang.
Untuk memahami kedalaman pengulangan 33 kali ini, kita harus merenungkan betapa telitinya Allah menggambarkan balasan bagi orang-orang yang bersyukur. Surah Ar-Rahman mendedikasikan lebih dari sepertiga bagiannya untuk deskripsi Surga, memastikan bahwa janji ini begitu nyata, sehingga menolak janji ini sama dengan menolak nikmat yang paling agung.
Ayat-ayat mengenai Surga pertama (Ayat 46-61) menonjolkan kekayaan dan kelimpahan. Dua Surga ini memiliki buah-buahan yang berpasangan, sebuah simbol dari variasi dan kesempurnaan. Tidak ada satu pun kekurangan atau cacat. Pohon-pohonnya rindang dan penuh dengan hasil yang mudah dijangkau. Tempat tidur mereka (Furusy) dilapisi dengan sutra tebal, memberikan gambaran kemewahan yang tak terbayangkan di dunia fana.
Perhatikanlah bagaimana setiap deskripsi diselingi oleh pertanyaan retoris tersebut. Setelah menyebutkan bahwa Surga dipenuhi dengan dua jenis buah, pertanyaan "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" muncul. Ini menanamkan konsep bahwa keragaman dan kelimpahan itu sendiri adalah nikmat yang menuntut pengakuan. Jika di dunia kita hanya menemukan varietas terbatas yang rentan busuk, di Surga, varietasnya tak terbatas dan kekal.
Kemudian, perhatian beralih kepada penghuni Surga. Hur (bidadari) yang digambarkan sebagai Qasiratut Tharf, wanita-wanita yang menahan pandangan mereka hanya untuk pasangan mereka. Ini melambangkan kesucian dan kesetiaan yang mutlak. Sebuah janji yang mengatasi kegelisahan dan ketidaksetiaan dunia. Setelah janji kesetiaan abadi ini, pertanyaan itu kembali muncul, menuntut pengakuan atas nikmat ikatan yang suci dan abadi. Nikmat yang mana lagi yang akan kita tolak?
Pengulangan yang konsisten ini memastikan bahwa kenikmatan Surga tidak dianggap sebagai hak yang diperoleh secara otomatis, melainkan sebagai anugerah terbesar dari Ar-Rahman. Surga adalah puncak dari Ala’, manifestasi pamungkas dari kemurahan hati yang tak terbatas.
Surga kedua (Ayat 62-77) menunjukkan bahwa bahkan tingkatan Surga yang 'lebih rendah' tetap merupakan keindahan yang luar biasa. Deskripsi Mujdhammatan (sangat hijau, cenderung gelap karena saking rindangnya) menciptakan citra ketenangan dan kesegaran yang mendalam. Mereka memiliki dua mata air yang memancar (Nadhdakhataan), bukan mengalir deras, menunjukkan perbedaan dalam intensitas, tetapi bukan dalam kualitas spiritual.
Di sini, terdapat buah-buahan, kurma, dan delima. Ini adalah detail yang sangat spesifik, mengingatkan pada buah-buahan yang dikenal manusia, namun dengan kualitas keabadian dan kesempurnaan. Di bagian ini, pertanyaan "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" berulang lima kali lagi, memastikan bahwa meskipun ada perbedaan tingkatan, rahmat yang diberikan tetap tak terbantahkan dan menakjubkan.
Fokus kemudian kembali pada bidadari yang khayran hisaan (baik dan cantik), yang dilindungi di dalam kemah, menunjukkan kehormatan dan kemuliaan mereka. Nikmat kehormatan, keindahan, dan kebaikan ini, diberikan kepada hamba yang takut kepada Tuhannya, adalah hal yang melampaui imajinasi. Dengan setiap deskripsi ini, Surah Ar-Rahman secara sistematis menyingkirkan setiap alasan yang mungkin digunakan manusia atau jin untuk mendustakan janji tersebut.
Surah Ar-Rahman adalah unik karena secara eksplisit ditujukan kepada tsaqalayn (dua golongan berakal), yaitu manusia dan jin. Pengulangan kata Rabbikuma (Tuhan kalian berdua) sebanyak 33 kali menekankan bahwa pesan ini bersifat universal di antara makhluk-makhluk yang memiliki kehendak bebas dan kemampuan untuk memilih antara syukur dan pengingkaran.
Manusia dan jin memiliki tanggung jawab yang sama terhadap Mizan dan terhadap nikmat Ilahi. Mereka berdua diciptakan untuk beribadah dan diberikan petunjuk (Al-Qur’an). Namun, latar belakang penciptaan mereka berbeda (tanah liat versus api), yang menunjukkan keragaman manifestasi rahmat Allah.
Fakta bahwa Allah menantang kedua golongan secara bersamaan menunjukkan keseriusan pengingkaran. Jika manusia cenderung mendustakan melalui kesombongan materi atau sains, jin mungkin mendustakan melalui kesombongan kekuatan ghaib atau pengaruh. Baik kesombongan fisik maupun metafisik, keduanya diredam oleh satu pertanyaan yang sama: "Apakah kalian dapat menolak bahwa semua ini berasal dari Ar-Rahman?"
Pengulangan ini berfungsi sebagai pengikat moral bagi masyarakat manusia dan jin. Ia memperingatkan bahwa tidak ada satu pun kekuatan, kecerdasan, atau sihir yang dapat menyelamatkan mereka dari perhitungan akhir. Semua akan tunduk pada sistem keadilan Ilahi yang sempurna, yang ditunjukkan oleh janji Neraka bagi yang ingkar dan janji Surga bagi yang bersyukur.
Konsep Mizan (Keseimbangan) yang disoroti dalam Surah ini tidak hanya mengatur hukum moral, tetapi juga hukum kosmik. Ketika Allah berfirman: “Dan Dia telah meninggikan langit dan Dia meletakkan mizan (keseimbangan). Agar kamu jangan melampaui batas tentang mizan itu.” (Ayat 7-8), ini adalah perintah untuk menjaga keseimbangan. Keseimbangan ekologis, keseimbangan sosial, dan bahkan keseimbangan personal. Ketika manusia mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan, mereka melanggar mizan. Surah Ar-Rahman 33 kali mengingatkan bahwa pelanggaran mizan ini adalah bentuk pengingkaran nikmat yang paling serius.
Setiap pengulangan pertanyaan tersebut menjadi seruan untuk koreksi diri. Setelah mengetahui bahwa bumi terhampar, menghasilkan buah-buahan, dan memiliki segala kebutuhan hidup, manusia dipertanyakan: jika alam semesta ini begitu seimbang, mengapa kamu, makhluk berakal, memilih untuk menjadi sumber ketidakseimbangan?
Untuk memahami mengapa pengulangan 33 kali ini memiliki resonansi yang begitu kuat, kita perlu menggali lebih dalam detail-detail spesifik dari nikmat yang disebutkan sebelum setiap pertanyaan. Ini adalah cara Surah Ar-Rahman membangun argumen yang tak terbantahkan.
Pertama, nikmat berbicara. Surah ini menyebutkan bahwa Allah mengajarkan Al-Qur’an, menciptakan manusia, dan mengajarnya Al-Bayan (kemampuan menjelaskan/berkomunikasi). Ini adalah nikmat dasar yang membedakan manusia. Jika manusia dapat berkomunikasi dan memahami konsep abstrak, bagaimana mungkin ia gagal memahami konsep syukur?
Kedua, nikmat alam semesta yang diatur secara presisi. Lihatlah bagaimana Matahari dan Bulan bergerak dengan perhitungan yang cermat. Mereka adalah jam kosmik yang sempurna, memungkinkan manusia untuk mengukur waktu, musim, dan navigasi. Ketidakhadiran perhitungan ini akan menyebabkan kekacauan total. Pengulangan di titik ini menuntut pengakuan atas tatanan yang stabil ini.
Ketiga, nikmat laut dan air. Dua lautan bertemu, namun tetap menjaga identitasnya (air tawar dan air asin), fenomena yang luar biasa. Kemudian kapal-kapal besar berlayar di atasnya, yang merupakan sumber perdagangan dan rezeki. Surah ini menggarisbawahi kebergantungan manusia pada sistem hidrologi dan navigasi yang ditetapkan Ilahi.
Setiap kali mata manusia melihat kapal di cakrawala, setiap kali ia menikmati buah dari pohon, setiap kali ia menggunakan akalnya untuk memecahkan masalah, ia sebenarnya sedang menikmati Ala’. Pertanyaan "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" berfungsi sebagai pengingat bahwa semua ini adalah utang abadi kepada Yang Maha Pengasih.
Surah Ar-Rahman mengajarkan bahwa kesyukuran adalah pengakuan, bukan sekadar kata-kata. Pengakuan ini harus termanifestasi dalam tindakan menjaga Mizan di bumi dan mempersiapkan diri untuk pertanggungjawaban di Akhirat. Pengulangan 33 kali ini adalah melodi tak henti yang memanggil manusia kembali kepada tujuan penciptaannya: pengakuan dan ibadah kepada Ar-Rahman.
Surah Ar-Rahman, dengan irama pengulangan yang unik dan tak tertandingi, berdiri sebagai monumen Rahmat Ilahi. Tiga puluh tiga kali pertanyaan retorisnya bukan bertujuan mencari jawaban, melainkan untuk membangkitkan kesadaran yang tertidur. Ia adalah cerminan dari kesabaran Tuhan yang luar biasa, yang terus menerus mengingatkan makhluk-Nya sebelum waktu habis.
Surah ini mengajarkan bahwa hidup adalah rangkaian nikmat yang disajikan secara berurutan, dari karunia akal hingga janji Surga yang abadi. Tugas manusia dan jin adalah untuk tidak mendustakan satupun dari karunia tersebut, baik yang bersifat materi, spiritual, maupun eksistensial. Kegagalan untuk bersyukur pada tingkatan ini berarti menolak seluruh sistem kosmik dan moral yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta.
Pesan akhir Surah Ar-Rahman adalah tentang harapan dan keadilan. Bagi mereka yang mengakui nikmat-nikmat ini dan menjalani hidup sesuai dengan Mizan, balasan mereka adalah kebahagiaan abadi di taman-taman Surga. Bagi mereka yang ingkar, peringatan yang diulang 33 kali menjadi bukti tak terbantahkan di hadapan pengadilan Ilahi.
Maka, renungan atas Ar-Rahman 33 adalah refleksi atas keseluruhan eksistensi kita—sebuah panggilan untuk tunduk dan mengakui:
Pengulangan ini akan terus bergema melintasi waktu, menuntut pengakuan universal dari setiap jiwa yang berakal.
Mari kita telaah lebih jauh bagaimana setiap pengulangan ke-33 tersebut diletakkan dengan presisi yang sempurna, menyoroti kekayaan linguistik dan teologis Surah Ar-Rahman. Struktur Surah ini menunjukkan bahwa Allah tidak hanya memberi tahu kita tentang nikmat, tetapi juga menempatkannya dalam sebuah kerangka perbandingan dan kontras yang mendalam.
Dalam segmen yang membahas Matahari dan Bulan (ayat 5), diikuti oleh pepohonan yang sujud (ayat 6), dan kemudian penegasan Mizan (keseimbangan, ayat 7-8), pengulangan pertanyaan ini memastikan bahwa manusia menghubungkan fenomena fisik yang menakjubkan ini dengan sumber Rahmat. Surah ini tidak memisahkan ilmu pengetahuan (pergerakan kosmik) dari spiritualitas (kewajiban bersyukur). Keteraturan alam semesta adalah argumen terkuat bagi keberadaan dan kemurahan hati Tuhan.
Setiap pengulangan adalah jeda. Bayangkan pendengar yang khusyuk, mendengar daftar karunia yang tak habis-habisnya. Jeda ini memaksa refleksi pribadi: "Apakah aku benar-benar bersyukur atas kemampuanku berbicara? Apakah aku menghargai keseimbangan yang menjaga bumi ini?"
Ketika Surah bergerak ke penciptaan manusia dari tanah liat dan jin dari api murni (ayat 14-15), pertanyaan itu muncul lagi. Ini adalah pertanyaan tentang asal-usul. Mendustakan nikmat di sini berarti mendustakan fakta penciptaan diri sendiri. Ini adalah pengingkaran terhadap identitas dan asal-muasal yang ditetapkan Ilahi. Jika seseorang mengakui diciptakan dari materi yang sederhana, bukankah mengakui Sang Pencipta adalah keniscayaan?
Surah ini dengan cermat menyusun serangkaian nikmat yang terus bertambah kompleks:
Pola ini menunjukkan eskalasi, dari nikmat yang paling dekat (kemampuan bicara) hingga nikmat yang paling agung (keabadian Wajah Allah). Dengan setiap langkah naik dalam intensitas nikmat, tantangan untuk mendustakannya menjadi semakin berat. Mengingkari keabadian Allah adalah pengingkaran yang lebih besar daripada mengingkari sebatang pohon, namun keduanya adalah bagian dari spektrum rahmat yang sama.
Ketika Surah membahas Hari Kiamat, pengulangan itu berfungsi sebagai penegasan keadilan. Ayat-ayat tentang azab (Neraka Jahannam, ayat 43-45) juga diapit oleh pertanyaan retoris. Mengapa harus ada pertanyaan syukur setelah deskripsi azab? Karena ancaman azab itu sendiri adalah nikmat! Peringatan adalah bentuk rahmat. Allah yang Maha Pengasih memberikan petunjuk yang jelas tentang konsekuensi pengingkaran, sehingga manusia memiliki kesempatan untuk bertaubat. Jika manusia mendustakan peringatan ini, mereka mendustakan salah satu bentuk rahmat terbesar—kesempatan untuk diselamatkan.
Dalam konteks neraka, api yang membakar dan air panas yang memuncak dipertentangkan dengan karunia air kehidupan dan kesejukan dunia. Mereka yang di Neraka, meskipun telah merasakan kengerian, masih dihadapkan pada pertanyaan yang sama: "Setelah semua bukti dan peringatan, apakah kamu masih akan mendustakan nikmat Tuhanmu?"
Surah Ar-Rahman adalah Surah yang penuh dengan kontras yang tajam, dan 33 pengulangan tersebut berfungsi sebagai garis pemisah yang konstan antara kedua ujung spektrum: Rahmat dan Azab. Kontras ini memaksa pilihan.
Di satu sisi, kita memiliki air tawar, buah-buahan, sutra tebal, dan wanita-wanita suci di Surga. Di sisi lain, kita memiliki api yang menjilat, air mendidih, dan belenggu. Dengan setiap perbandingan, pertanyaan retoris itu berfungsi sebagai referendum spiritual. Pilihan untuk bersyukur mengarah pada yang pertama; pilihan untuk mendustakan mengarah pada yang kedua.
Bahkan deskripsi Surga dibagi dua (dua pasang Surga) untuk menunjukkan gradasi rahmat. Ini menunjukkan bahwa meskipun semua Surga adalah puncak kenikmatan, ada tingkatan bagi mereka yang ketakutan dan ketaatannya lebih mendalam. Keberadaan tingkatan ini adalah nikmat, karena memberikan motivasi bagi hamba untuk terus meningkatkan kualitas ibadahnya. Jika seseorang mendustakan janji Surga yang tertinggi, bukankah ia mendustakan motivasi utama untuk berbuat baik?
Kesimpulannya, pengulangan "Fabi Ayyi Ala’i Rabbikuma Tukazziban?" adalah denyut jantung Surah Ar-Rahman. Ia adalah sebuah mekanisme pengingat yang tak kenal lelah, memastikan bahwa setiap aspek kehidupan, setiap ciptaan, setiap janji, dan setiap peringatan, diakui sebagai manifestasi tak terbatas dari Rahmat Tuhan Yang Maha Pengasih. Tiga puluh tiga kali seruan ini adalah tantangan abadi bagi kesadaran seluruh makhluk berakal.
Kekuatan Surah ini terletak pada ritme dan repetisinya. Dalam setiap pengulangan, terdapat undangan baru untuk rekonsiliasi dengan Pencipta, sebuah kesempatan untuk menyatakan syukur dan mengakhiri pengingkaran. Tidak ada satupun surah lain yang menggunakan teknik linguistik yang begitu dominan dan mendalam untuk mencapai tujuan spiritual ini.
Renungan kita harus berakhir pada pengakuan total atas Rahmat-Nya, yang termanifestasi dalam tatanan yang sempurna, kekayaan yang melimpah, dan janji balasan yang tak terhingga. Karena, setelah semua bukti ini, memang nikmat Tuhan kita yang manakah yang masih dapat kita dustakan?
Oleh karena itu, Surah Ar-Rahman adalah pelajaran tentang Kesadaran. Kesadaran bahwa segala sesuatu berasal dari satu sumber, dan bahwa pengingkaran adalah kebodohan terbesar dalam menghadapi keagungan yang tak terbatas ini. Tiga puluh tiga kali, kita diajak kembali ke titik nol, ke akar dari segala karunia, dan diminta untuk menanggapi dengan hati yang tulus dan lidah yang basah akan syukur.
Pesan yang terkandung dalam setiap pengulangan tersebut bersifat konsisten dan tegas, sebuah pengingat bahwa keindahan dan keteraturan kosmos hanyalah permulaan dari daftar panjang kebaikan Ilahi. Kemampuan untuk belajar, kemampuan untuk mencintai, kemampuan untuk merasakan kedamaian, semua ini adalah Ala’ yang menuntut pengakuan. Jika manusia dan jin gagal mengakui hal-hal fundamental ini, maka pengingkaran mereka akan semakin besar ketika dihadapkan pada misteri kehidupan setelah mati dan keindahan abadi Surga.
Kita kembali ditarik kepada keajaiban lautan, di mana air tawar dan air asin bertemu tanpa melampaui batas yang telah ditentukan. Fenomena alam ini, yang sering kita anggap remeh, adalah bukti dari kekuatan regulasi Ilahi. Jika Allah mampu mengatur batas-batas lautan yang masif, tentu Ia mampu mengatur batas-batas moral dan etika bagi makhluk-Nya. Mendustakan nikmat lautan berarti mendustakan kekuatan yang mengatur batasan-batasan tersebut.
Surah Ar-Rahman mengajak kita untuk merenungkan kelemahan absolut kita. Di hari Kiamat, ketika langit terbelah dan planet-planet berguncang, manusia dan jin tidak akan mampu menembus batas-batas langit dan bumi kecuali dengan kekuatan yang datang dari Allah. Pertanyaan berulang yang muncul setelah ancaman ini adalah: Jika kalian begitu lemah dan tidak berdaya, mengapa kalian mendustakan Dia yang memiliki kekuatan dan rahmat untuk menyelamatkan kalian?
Kesempurnaan deskripsi Surga, yang meliputi detail visual (warna hijau gelap yang menawan), detail indrawi (buah-buahan berlimpah), dan detail emosional (pasangan yang setia dan suci), membangun kasus yang tak terhindarkan: Rahmat ini nyata dan dapat dicapai. Menolak kebenaran ini adalah penolakan terhadap kebahagiaan tertinggi.
Tiga puluh tiga adalah jumlah yang melambangkan kelengkapan dan penekanan. Setiap pengulangan bertindak sebagai penyegel terhadap segmen rahmat sebelumnya. Setiap kali pertanyaan itu muncul, ia seolah mengatakan: "Apakah kamu yakin dengan pengingkaranmu? Lihatlah sekali lagi! Ini adalah bukti yang tidak dapat dipungkiri." Surah Ar-Rahman adalah surat cinta yang tak henti-hentinya menuntut perhatian penuh dan balasan berupa syukur yang murni.
Penyebutan detail seperti mutiara dan marjan yang keluar dari lautan juga berfungsi sebagai pengingat akan kekayaan bumi. Perhiasan dan kemewahan yang dikejar manusia di dunia ini berasal dari alam yang diciptakan oleh Ar-Rahman. Ketika perhiasan ini digunakan tanpa rasa syukur, itu adalah bentuk pengingkaran. Surah ini membalikkan narasi, mengingatkan bahwa sumber kekayaan material pun harus diakui sebagai nikmat, bukan hasil semata-mata dari kecerdasan finansial manusia.
Pada akhirnya, Surah Ar-Rahman adalah sebuah simfoni spiritual di mana setiap not, setiap kata, dan setiap jeda (yang diwakili oleh 33 pengulangan) dirancang untuk memimpin pendengar menuju satu kesimpulan tak terhindarkan: Bahwa Allah adalah sumber segala rahmat, dan bahwa menolak kebenaran ini adalah kesesatan terbesar yang pernah dilakukan oleh makhluk berakal.