Ayat Al Kursi, yang merupakan bagian dari Surah Al-Baqarah ayat 255, adalah permata spiritual yang diakui sebagai ayat paling agung dalam Al-Qur'an. Keagungannya tidak hanya terletak pada keindahan bahasanya, tetapi juga pada kedalaman makna tauhid murni yang terkandung di dalamnya. Ayat ini merangkum seluruh prinsip dasar keimanan Islam tentang hakikat Allah Subhanahu Wa Ta'ala—sifat-sifat-Nya yang sempurna, kekuasaan-Nya yang mutlak, dan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu.
Bagi seorang Muslim, memahami dan merenungkan Ayat Al Kursi adalah pintu gerbang menuju peningkatan ma’rifat (pengenalan) terhadap Pencipta. Ayat ini adalah benteng perlindungan, sumber ketenangan, dan pengingat abadi bahwa segala sesuatu di alam semesta berada dalam kendali Sang Maha Pengatur. Artikel ini akan menyelami makna hakiki dari setiap frasa dalam Ayat Al Kursi, menelusuri keutamaannya yang luar biasa, serta menganalisis implikasi teologisnya yang mendalam.
Terjemahan Makna (Kementerian Agama RI):
Kedudukan Ayat Al Kursi sebagai "penghulu ayat-ayat Al-Qur'an" (Sayyidatul Ayat) diakui berdasarkan hadis-hadis sahih. Rasulullah ﷺ memberikan penekanan khusus pada ayat ini, menjadikannya kunci bagi banyak keberkahan dan perlindungan dalam kehidupan sehari-hari Muslim.
Ubay bin Ka'ab pernah ditanya oleh Rasulullah ﷺ, "Ayat manakah dalam Kitabullah yang paling agung?" Ubay menjawab, "Ayat Al Kursi." Maka Rasulullah menepuk dada Ubay seraya bersabda, "Selamat atasmu, wahai Abu Mundzir, dengan ilmu yang engkau miliki." Keagungan ini bersumber dari fakta bahwa seluruh isi ayat ini hanya membahas tentang sifat-sifat keesaan, kekuasaan, dan kesempurnaan Allah tanpa menyebutkan hukum, kisah, atau perintah lainnya.
Salah satu manfaat paling terkenal dari Ayat Al Kursi adalah fungsinya sebagai benteng perlindungan. Diriwayatkan bahwa barangsiapa membacanya sebelum tidur, ia akan terus dijaga oleh seorang malaikat penjaga, dan setan tidak akan mendekatinya hingga pagi hari. Perlindungan ini bersifat menyeluruh, mencakup perlindungan dari godaan, bisikan jahat, maupun gangguan fisik dari jin.
Keutamaan yang sangat besar adalah janji surga bagi yang rutin membacanya setelah shalat fardhu. Rasulullah ﷺ bersabda, "Barangsiapa yang membaca Ayat Al Kursi setiap selesai shalat fardhu, tidak ada yang menghalanginya masuk surga kecuali kematian." Hal ini menekankan bahwa konsistensi dalam membaca ayat ini merupakan indikasi keimanan yang kuat dan pengakuan tulus atas keagungan Allah.
Membaca Ayat Al Kursi saat keluar rumah, saat berada dalam perjalanan, atau saat menjaga harta benda diyakini membawa berkah penjagaan dari Allah. Keyakinan ini didasarkan pada frasa ayat itu sendiri: "Wa la ya-uduhu hifzhuhuma" (Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya), yang menegaskan bahwa penjagaan Allah adalah mudah dan sempurna.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus memecah Ayat Al Kursi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, karena setiap kata mengandung samudera hikmah dan tauhid. Total terdapat sembilan klausa utama yang menyusun mahakarya ini, setiap klausa memperkuat klausa sebelumnya.
ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ
Ini adalah pondasi Tauhid Uluhiyyah (keesaan dalam peribadatan). Klausa ini menafikan (menolak) semua bentuk ketuhanan selain Allah dan menetapkan (itsbat) bahwa hanya Dia lah satu-satunya Dzat yang berhak disembah, dicintai, dan ditaati. Penegasan ini adalah inti dari seluruh risalah kenabian. Sifat ‘Uluhiyyah’ mensyaratkan bahwa Dzat yang disembah harus memiliki sifat-sifat kesempurnaan mutlak dan bebas dari segala cacat, yang hanya dimiliki oleh Allah.
Pernyataan ini menentang semua bentuk politeisme dan penyekutuan, baik penyekutuan dalam bentuk menyembah berhala, mengagungkan makhluk, atau bergantung kepada selain-Nya. Ia menuntut keikhlasan total (ikhlas al-ibadah) hanya kepada Allah.
ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ
Dua nama agung (Ism Azham) ini adalah pusat dari segala sifat Allah. Para ulama sering menafsirkannya sebagai gabungan dari sifat-sifat Dzat dan sifat-sifat Af’al (Perbuatan).
Jika kita memahami bahwa Dia adalah Al-Hayy, kita tahu bahwa Dia tidak pernah mati; dan jika kita memahami bahwa Dia adalah Al-Qayyum, kita tahu bahwa Dia tidak pernah lalai atau terlewatkan dalam urusan makhluk-Nya, walau sehelai daun jatuh.
لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ
Klausa ini merupakan penolakan terhadap segala sifat kekurangan yang melekat pada makhluk. Baik rasa kantuk (sinatun) yang merupakan awal dari kelelahan, maupun tidur (nawm) yang merupakan ketidakaktifan total. Allah sempurna dalam sifat Al-Hayy (Hidup) dan Al-Qayyum (Mengurus).
Tidur dan kantuk adalah kebutuhan biologis bagi makhluk, tanda kelemahan, dan batas kemampuan. Dengan menafikan dua sifat ini dari Diri-Nya, Ayat Al Kursi menekankan bahwa perhatian Allah terhadap alam semesta adalah abadi, konstan, dan sempurna tanpa jeda sedikitpun. Bagaimana mungkin Dzat yang mengatur miliaran galaksi dan triliunan makhluk bisa tertidur? Keyakinan ini memberikan kedamaian luar biasa bagi orang beriman bahwa Penguasa mereka senantiasa terjaga dan mengurus segala hajat mereka.
لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ
Ini adalah penegasan Tauhid Rububiyyah (keesaan dalam kekuasaan dan kepemilikan). Klausa ini menegaskan bahwa kepemilikan Allah bersifat mutlak (Mulk). Semua yang eksis, dari yang terkecil hingga yang terbesar, dari yang paling atas (langit) hingga yang paling bawah (bumi), adalah milik-Nya dan berada di bawah kekuasaan-Nya.
Kepemilikan ini tidak terbatas pada penciptaan saja, melainkan juga pada penguasaan, pengelolaan, dan pengembalian. Artinya, manusia tidak memiliki kekuasaan mutlak atas dirinya sendiri atau apa yang ia miliki, karena segala sesuatu hanyalah pinjaman dari Sang Pemilik Hakiki. Klausa ini mengajarkan kerendahan hati dan menghilangkan kesombongan, karena tidak ada entitas di alam semesta yang dapat mengklaim kepemilikan independen.
مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ
Klausa ini menghubungkan Kepemilikan (Mulk) dengan Kekuasaan (Qudrah). Bahkan dalam masalah syafa’at (perantaraan atau pembelaan), yang seringkali menjadi harapan terakhir bagi manusia di Hari Kiamat, tidak ada satu pun makhluk yang dapat maju kecuali setelah mendapatkan izin eksplisit dari Allah.
Ayat ini berfungsi sebagai klarifikasi dan koreksi terhadap pemahaman syafa'at yang keliru, yang sering dipraktikkan oleh kaum musyrik yang menyembah berhala atau makhluk suci karena keyakinan bahwa mereka dapat "memaksa" atau "mempengaruhi" Allah. Islam mengajarkan bahwa syafa'at hanya diberikan kepada orang-orang yang berhak (dengan izin dan ridha Allah) dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang diizinkan (para nabi, syuhada, atau malaikat).
Makna mendalamnya adalah: Jika makhluk yang paling mulia pun tidak bisa berbicara tanpa izin-Nya, bagaimana mungkin makhluk lain (yang lemah dan fana) dapat menuntut atau mendikte kehendak Allah? Ini memperkuat sifat kemahakuasaan-Nya yang tak tertandingi.
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ
Ini adalah bukti Tauhid Ilmiyyah (keesaan dalam Ilmu). Allah memiliki pengetahuan yang meliputi segala sesuatu. Frasa "di hadapan mereka" (ma baina aidihim) ditafsirkan sebagai segala sesuatu yang akan datang (masa depan), sedangkan "di belakang mereka" (ma khalfahum) ditafsirkan sebagai segala sesuatu yang telah berlalu (masa lalu).
Secara lebih luas, ini berarti Allah mengetahui semua perkara dunia dan akhirat, yang nyata dan yang tersembunyi, yang terjadi dalam momen ini dan yang akan terjadi di masa mendatang. Ilmu-Nya tidak terbatas oleh dimensi waktu atau ruang. Pengetahuan manusia selalu bersifat parsial dan terbatas, namun Ilmu Allah bersifat sempurna, mutlak, dan tanpa celah.
وَلَا يُحِيطُونَ بِشَىْءٍ مِّنْ عِلْمِهِۦٓ إِلَّا بِمَا شَآءَ
Klausa ini berfungsi sebagai batasan terhadap klausa sebelumnya. Meskipun Allah Maha Mengetahui segalanya, pengetahuan yang dimiliki oleh makhluk (jin, manusia, malaikat) hanyalah tetesan kecil yang diberikan berdasarkan kehendak (masyi’ah) Allah semata. Ilmu yang kita peroleh, baik ilmu agama, ilmu alam, maupun ilmu teknologi, seluruhnya adalah karunia dan porsi yang diberikan oleh Allah.
Ini mengajarkan kerendahan hati ilmiah. Semakin banyak manusia belajar, seharusnya ia semakin menyadari luasnya lautan ilmu Allah yang belum terjangkau. Tidak ada makhluk yang dapat mengklaim bahwa ia telah menguasai segala sesuatu. Klausa ini melindungi dari arogansi intelektual dan mengarahkan manusia untuk selalu mencari Ilmu dari sumber utamanya, yaitu Allah.
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ
Ini adalah bagian yang memberikan nama pada ayat ini ('Ayat Al Kursi' - Ayat Kursi). Kursi di sini dipahami oleh ulama Ahlus Sunnah sebagai suatu entitas ciptaan Allah yang sangat besar, berbeda dengan 'Arsy (Singgasana) yang lebih besar dan merupakan batas tertinggi alam semesta.
Menurut Ibn Abbas, Kursi adalah tempat pijakan kaki Allah, dan ia meliputi tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi. Keagungan Kursi ini menunjukkan betapa kecilnya seluruh alam semesta—termasuk galaksi, bintang, dan bumi—di hadapan ciptaan Allah. Tujuan dari menyebutkan Kursi adalah untuk menggambarkan kebesaran, kemuliaan, dan keluasan kekuasaan Allah yang tidak terbayangkan oleh akal manusia, serta betapa remehnya kekuasaan makhluk.
وَلَا يَـُٔودُهُۥ حِفْظُهُمَا
Setelah menjelaskan betapa luasnya Kursi Allah yang mencakup langit dan bumi, klausa ini menutup keraguan manusia tentang kemampuan Allah untuk memelihara semua ciptaan-Nya. Frasa 'la ya-uduhu' berarti tidak memberatkan, tidak membebani, dan tidak membuat-Nya letih.
Memelihara dan mengurus seluruh alam semesta, yang mencakup miliaran detail—dari pergerakan atom hingga orbit planet—adalah hal yang sangat mudah bagi-Nya. Perawatan ini tidak mengurangi kekuasaan-Nya, tidak menimbulkan keletihan, dan tidak memerlukan bantuan. Klausa ini merupakan penegasan ulang yang luar biasa atas sifat Al-Qayyum, memperkuat bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Sempurna dalam pemeliharaan.
وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ
Ayat Al Kursi ditutup dengan dua nama agung yang merangkum keseluruhan makna yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu Al-'Aliyy dan Al-'Azhim.
Penutup ini menekankan bahwa setelah menyingkap semua sifat kekuasaan, ilmu, dan pemeliharaan, Allah adalah Dzat yang Maha Tinggi dan Maha Besar, yang pantas menerima segala bentuk ibadah dan pengagungan.
Ayat Al Kursi sering disebut sebagai intisari Tauhid karena ia secara eksplisit mencakup tiga kategori utama Tauhid Islam:
Ayat ini menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Penguasa, dan Pengatur. Ini termuat dalam frasa: "Lahu ma fis samawati wa ma fil ard" (Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi) dan "Wasi'a kursiyyuhus samawati wal ard". Tidak ada satupun makhluk yang bisa menciptakan atau mengatur alam semesta bersama-Nya. Bahkan pemeliharaan yang luar biasa luasnya pun tidak memberatkan-Nya ("Wa la ya-uduhu hifzhuhuma").
Pengakuan terhadap Tauhid Rububiyyah ini seharusnya membawa konsekuensi kepasrahan total dan keyakinan bahwa segala rezeki, takdir, dan musibah datang dari Dzat Yang Maha Mengatur, yang selalu terjaga (Al-Qayyum) dan tidak pernah tidur ("La ta’khudhuhu sinatun wa la nawm").
Inti dari Ayat Al Kursi ada pada klausa pembuka: "Allahu la ilaha illa Huwa" (Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia). Ini adalah deklarasi bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Semua ritual ibadah, doa, harapan, dan ketakutan harus diarahkan hanya kepada-Nya. Ayat ini menegaskan bahwa menyekutukan Allah dalam ibadah adalah kesesatan terbesar, karena Dzat yang tidak pernah tidur dan mengurus segalanya adalah Dzat yang paling pantas untuk diibadahi.
Ayat Al Kursi adalah madrasah Asmaul Husna. Di dalamnya disebutkan empat nama Allah secara eksplisit: Al-Hayy (Yang Maha Hidup), Al-Qayyum (Yang Maha Berdiri Sendiri dan Mengurus), Al-'Aliyy (Yang Maha Tinggi), dan Al-'Azhim (Yang Maha Besar). Selain itu, ayat ini menafikan sifat-sifat kekurangan (kantuk dan tidur) dan menetapkan sifat-sifat kesempurnaan (Ilmu, Kekuasaan, dan Kehendak).
Pemahaman yang benar terhadap sifat-sifat ini mengharuskan Muslim untuk meyakini nama dan sifat Allah sebagaimana yang Dia tetapkan untuk Diri-Nya tanpa tahrif (mengubah), ta'til (menolak), takyif (menggambarkan cara), atau tamsil (menyerupakan dengan makhluk).
Keagungan ayat ini terletak pada cara ia menempatkan nama-nama Allah dalam konteks kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Mari kita ulas lebih lanjut implikasi teologis dari empat nama utama yang disebut secara eksplisit:
Kehidupan Allah adalah sumber dari semua kehidupan. Dalam teologi Islam, sifat Al-Hayy ini membawa makna bahwa Allah adalah Dzat yang kekal, tidak dapat dimusnahkan, dan tidak mengalami perubahan. Konsekuensi dari keimanan pada Al-Hayy adalah:
Sifat Al-Qayyum adalah pasangan tak terpisahkan dari Al-Hayy. Jika Al-Hayy menjelaskan eksistensi Dzat, Al-Qayyum menjelaskan fungsi Dzat tersebut terhadap ciptaan-Nya. Sifat ini memberikan ketenangan:
Seorang Muslim yang yakin pada Al-Qayyum tahu bahwa seluruh beban dan urusan hidupnya, besar maupun kecil, diurus oleh Dzat yang tidak pernah lalai. Ini adalah penawar bagi kecemasan dan keputusasaan, karena sistem alam semesta berjalan sempurna di bawah pengawasan-Nya yang tanpa henti. Jika Allah yang menopang alam semesta, tentu Dia akan menopang hamba-Nya yang berserah diri.
Sifat Al-'Aliyy menjabarkan ketinggian Dzat dan kekuasaan-Nya. Ketinggian Dzat berarti Dia secara fisik berada di atas 'Arsy (Singgasana), terpisah dari makhluk-Nya. Ketinggian kekuasaan berarti tidak ada yang dapat menandingi atau melemahkan otoritas-Nya.
Pengakuan terhadap Al-'Aliyy menghasilkan sikap tunduk dan hormat yang mendalam. Ketinggian-Nya juga menunjukkan kemustahilan bagi manusia untuk mencapai tingkat Dzat-Nya. Kita hanya bisa mendekat kepada-Nya melalui ketaatan dan ibadah, sambil mengakui ketidakmampuan kita untuk memahami hakekat Dzat-Nya secara sempurna.
Al-'Azhim merangkum semua sifat keagungan dan kemuliaan. Kebesaran Allah tidak bisa diukur, dibayangkan, atau dibandingkan. Segala entitas besar yang kita kagumi di dunia—gunung, lautan, matahari, planet—semuanya hanyalah bukti kecil dari kebesaran Al-'Azhim.
Ketika Ayat Al Kursi diakhiri dengan Al-'Aliyyul 'Azhim, ia memberikan klimaks yang luar biasa. Setelah merinci kekuasaan-Nya di langit dan bumi, Ilmu-Nya yang tak terbatas, dan Kursi-Nya yang luas, kita diarahkan pada kesimpulan bahwa Dzat di balik semua itu adalah Dzat yang Paling Tinggi dan Paling Agung.
Ayat Al Kursi bukan sekadar teks spiritual yang dibaca, melainkan manual hidup yang sarat dengan panduan praktis bagi seorang mukmin. Pengaplikasiannya mencerminkan penyerahan diri total kepada keagungan Allah.
Setelah Shalat Fardhu: Sebagaimana dijelaskan dalam keutamaannya, membacanya setelah setiap shalat wajib adalah amalan yang sangat dianjurkan. Ini berfungsi sebagai pembaruan tauhid dan penguatan perlindungan rohani saat seorang hamba beralih dari satu ibadah ke ibadah lainnya.
Sebelum Tidur: Ini adalah praktik perlindungan diri yang paling terkenal. Pembacaannya adalah kontrak spiritual dengan Allah untuk dijaga dari gangguan syaitan, mimpi buruk, dan bahaya fisik selama masa tidur.
Saat Pagi dan Sore: Membacanya pada waktu pagi dan sore (setelah Subuh dan setelah Ashar/Maghrib) termasuk dalam dzikir ma’tsurat (dzikir yang dicontohkan). Tujuannya adalah memohon penjagaan Allah sepanjang hari dan malam.
Salah satu aspek paling menggetarkan dalam Ayat Al Kursi adalah deskripsi mengenai Ilmu dan Kekuasaan Allah. Ayat ini secara simultan merendahkan pengetahuan manusia sambil mengagungkan cakupan pengetahuan Ilahi.
Frasa "Wa la yuhithuna bi syai-in min 'ilmihi illa bi ma syaa'" adalah pengingat konstan bahwa manusia tidak dapat menjangkau pengetahuan Allah kecuali sesuai porsi yang Dia izinkan. Ini relevan dalam era modern di mana ilmu pengetahuan berkembang pesat.
Setiap penemuan ilmiah, dari struktur DNA hingga hukum gravitasi, bukanlah penemuan yang menciptakan hukum, melainkan penemuan akan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah sejak awal. Oleh karena itu, ilmu harus selalu dibarengi dengan iman; semakin besar pengetahuan yang dimiliki seseorang, semakin besar pula pengakuannya terhadap keagungan sumber Ilmu itu sendiri, yaitu Allah Al-'Azhim.
Pikirkan kembali pada penafian tidur dan kantuk. Ini bukan sekadar penegasan sifat, tetapi jaminan keadilan. Seorang raja manusia bisa tidur dan keadilan bisa terlewatkan. Seorang hakim bisa lalai dan kebenaran bisa tertutupi. Namun, bagi Allah Al-Qayyum, yang selalu terjaga dan mengurus, tidak ada satu pun ketidakadilan yang luput, tidak ada satu pun tangisan yang tidak terdengar, dan tidak ada satu pun dosa atau kebaikan yang tidak tercatat.
Keyakinan ini memotivasi Muslim untuk berbuat baik secara rahasia dan menghindari kejahatan secara tersembunyi, karena pengetahuan Allah meliputi "ma baina aidihim wa ma khalfahum" —semua yang ada di depan dan di belakang mereka.
Meskipun Ayat ini dinamakan Ayat Al Kursi, seringkali terjadi kebingungan antara Kursi dan Arsy (Singgasana) Allah. Memahami perbedaan ini sangat penting untuk mengapresiasi besarnya ciptaan Allah.
Sebagaimana telah disebutkan, Kursi adalah entitas yang sangat besar, melingkupi langit dan bumi. Ibn Abbas RA, seorang ahli tafsir terkemuka dari kalangan Sahabat, menjelaskan bahwa Kursi adalah tempat pijakan kaki Allah. Ini adalah ciptaan yang menunjukkan kekuasaan (qudrah) dan keluasan wilayah kekuasaan-Nya.
Arsy (Singgasana) adalah ciptaan yang jauh lebih besar dan lebih mulia daripada Kursi. Arsy disebutkan dalam banyak ayat lain sebagai Singgasana Keagungan. Rasulullah ﷺ bersabda, perbandingan antara tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi dibandingkan dengan Kursi seperti cincin yang dilemparkan di padang pasir yang luas. Dan perbandingan antara Kursi dengan Arsy juga sama besarnya.
Arsy adalah atap tertinggi dari seluruh alam semesta yang diciptakan, dan di atas Arsy inilah Allah bersemayam (istiwa') dengan cara yang sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa menyerupai makhluk. Ayat Al Kursi mempersiapkan pikiran manusia untuk menerima kebesaran ini dengan terlebih dahulu menggambarkan kebesaran Kursi.
Membaca Ayat Al Kursi tidak hanya terbatas pada pelafalan di lidah, namun harus mencapai kekhusyukan hati. Ketika seorang Muslim membaca ayat ini, seharusnya ia merasakan dan merenungkan:
Setiap kali mengucapkan frasa ini, ia harus menguatkan kembali janji tauhid yang telah diikrarkan. Artinya, melepaskan segala bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah.
Merasakan bahwa hidup kita, rezeki kita, dan segala urusan kita dijamin oleh Dzat yang tidak pernah lelah dan selalu hidup. Ini menimbulkan ketenangan mendalam, mengetahui bahwa kita berada di bawah pemeliharaan Yang Maha Sempurna.
Mengakui bahwa tidak ada kekuatan di alam semesta yang dapat membela kita di hadapan Allah kecuali dengan izin-Nya. Hal ini menumbuhkan rasa takut yang sehat (khauf), yang memotivasi kita untuk beramal saleh demi mendapatkan ridha dan izin-Nya di Hari Kiamat.
Membayangkan betapa luasnya Kursi Allah dibandingkan dengan bumi yang kita pijak, menumbuhkan kekaguman (ta’zhim) terhadap kebesaran-Nya. Semua masalah duniawi terasa kecil di hadapan keagungan ini.
Ayat Al Kursi adalah ringkasan teologis yang paling komprehensif tentang sifat-sifat Allah yang sempurna. Dalam dua belas baris frasa yang ringkas, ayat ini berhasil menafikan segala kekurangan (seperti tidur, kantuk, kelemahan, dan keterbatasan ilmu) dan menetapkan segala sifat kesempurnaan (seperti hidup kekal, pengaturan mutlak, kekuasaan tak terbatas, dan ilmu yang meliputi).
Ketika seorang hamba merutinkan pembacaan dan perenungan Ayat Al Kursi, ia tidak hanya mencari perlindungan fisik, tetapi ia sedang menanamkan Tauhid yang kokoh di dalam jiwanya. Ia sedang mendeklarasikan setiap saat bahwa Allah adalah Yang Maha Hidup, Maha Mengurus, Maha Tinggi, dan Maha Besar. Dengan pengakuan ini, benteng pertahanan spiritualnya menjadi tak tertembus, dan hatinya akan dipenuhi dengan cahaya keimanan yang sejati.
Keagungan Ayat Al Kursi adalah pengingat abadi bagi umat manusia untuk kembali kepada Fitrah, mengakui Sang Pencipta yang melampaui segala batasan imajinasi manusia, dan mengarahkan segala harapan, ketakutan, dan ibadah hanya kepada-Nya, Dzat Yang Maha Tunggal.
Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa menjaga keutamaan Ayat Al Kursi dalam setiap episode kehidupan kita, baik saat senang maupun susah, siang maupun malam, hingga akhir hayat kita.