Islam, sebagai agama yang sempurna, menempatkan ilmu pengetahuan pada posisi yang sangat fundamental, menjadikannya pilar utama dalam membangun peradaban, memperbaiki individu, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Berbeda dengan pandangan yang sering mengkotakkan antara urusan duniawi dan ukhrawi, Al-Quran secara eksplisit menyatukan keduanya melalui perintah menuntut ilmu. Perintah ini tidak hanya bersifat anjuran, melainkan sebuah kewajiban mendasar yang ditujukan kepada seluruh umat manusia yang beriman.
Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai ayat Al-Quran yang menjadi landasan teologis bagi kewajiban menuntut ilmu, menganalisis kedalaman maknanya (tafsir), serta memahami implikasi praktis dari perintah Ilahi ini dalam kehidupan sehari-hari dan pembangunan masyarakat yang berlandaskan kearifan (hikmah). Kita akan menyelami mengapa pengetahuan dianggap sebagai sarana utama untuk mencapai takwa, dan bagaimana Al-Quran membedakan secara tegas antara mereka yang berilmu dan mereka yang tidak.
Tidak ada landasan yang lebih kuat mengenai pentingnya ilmu selain fakta bahwa wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ bukanlah mengenai salat, puasa, atau zakat, melainkan perintah untuk membaca dan belajar. Lima ayat pertama dari Surah Al-Alaq (Ayat 1-5) menjadi deklarasi agung mengenai peran sentral pengetahuan dalam agama ini.
(١) ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ (٢) خَلَقَ ٱلْإِنسَـٰنَ مِنْ عَلَقٍ (٣) ٱقْرَأْ وَرَبُّكَ ٱلْأَكْرَمُ (٤) ٱلَّذِى عَلَّمَ بِٱلْقَلَمِ (٥) عَلَّمَ ٱلْإِنسَـٰنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam (pena). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq: 1-5)
Kata kunci dalam ayat pertama adalah ‘Iqra’. Kata ini memiliki makna yang jauh lebih luas daripada sekadar membaca buku atau teks. Dalam konteks linguistik Arab, ‘Iqra’ dapat berarti membaca, meneliti, menyampaikan, mendalami, atau bahkan menghimpun. Perintah ini adalah instruksi universal untuk memulai proses kognitif, untuk berinteraksi dengan realitas, baik realitas tertulis (kitab) maupun realitas kosmik (alam semesta).
Perintah ‘Iqra’ diiringi dengan frasa “Bismirabbikal ladzi khalaq” (dengan nama Tuhanmu yang menciptakan). Ini mengajarkan bahwa proses pencarian ilmu harus selalu diletakkan dalam kerangka tauhid. Ilmu pengetahuan, baik ilmu alam, sosial, maupun agama, tidak boleh menjadi tujuan akhir yang terpisah dari Tuhan. Sebaliknya, setiap penemuan dan pemahaman harus berfungsi sebagai bukti nyata akan keagungan dan kekuasaan Sang Pencipta. Ilmu yang terlepas dari ketuhanan hanya akan melahirkan kesombongan, namun ilmu yang dibimbing oleh ‘Bismirabbik’ akan melahirkan kerendahan hati dan ketakwaan.
Keterhubungan antara penciptaan manusia (dari segumpal darah/‘alaq) dan perintah membaca menunjukkan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan lemah dan tidak berpengetahuan, namun diberi potensi luar biasa untuk belajar. Proses belajar adalah proses penyempurnaan fitrah insani. Ini adalah pembedaan utama antara manusia dan makhluk lainnya; manusia dibekali akal dan kemampuan untuk merekam serta mentransfer pengetahuan.
Ayat keempat secara spesifik menyebutkan alat transfer pengetahuan: “Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam (pena).” Pena (atau alat tulis) di sini melambangkan dokumentasi, peradaban, dan transmisi ilmu antar generasi. Islam mendorong umatnya tidak hanya untuk memperoleh ilmu, tetapi juga untuk mencatatnya agar ilmu tersebut abadi dan dapat diakses oleh generasi berikutnya. Tanpa pena, ilmu akan hilang seiring berjalannya waktu dan peradaban tidak akan mampu berkembang melampaui batas lisan.
Pena adalah simbol kebudayaan dan intelektualitas. Penggunaan pena dalam wahyu pertama adalah pengakuan ilahi terhadap pentingnya literasi dan pembukuan sebagai prasyarat bagi kemajuan masyarakat. Hal ini sekaligus menetapkan bahwa warisan Nabi Muhammad ﷺ tidak hanya melalui ingatan (hafalan), tetapi juga melalui tulisan, yang kelak akan termanifestasi dalam pengumpulan dan pembukuan Al-Quran serta Hadis.
Jika kita memperluas tafsir mengenai ‘qalam,’ ia dapat diartikan sebagai segala sarana yang digunakan manusia untuk merekam dan menyebarkan data dan informasi—dari tablet tanah liat, kertas, hingga teknologi digital modern. Intinya adalah bahwa ilmu harus diinstitusionalisasikan dan distrukturkan melalui sistem perekaman yang canggih.
Al-Quran berulang kali menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah sekadar hiasan, melainkan kriteria utama pembeda derajat manusia di sisi Allah SWT. Ilmu pengetahuan (al-Ilm) adalah prasyarat untuk mencapai takwa yang sejati dan merupakan satu-satunya jalan untuk memahami ayat-ayat Allah, baik yang tersurat (wahyu) maupun yang tersirat (alam).
Ayat yang paling sering dikutip untuk menjelaskan keutamaan ini terdapat dalam Surah Az-Zumar, yang mengajukan pertanyaan retoris yang mendasar:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ
“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)
Pertanyaan “Hal yastawil ladzina ya’lamun wa ladzina la ya’lamun?” (Adakah sama orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui?) adalah penegasan negatif yang sangat kuat. Jawabannya, yang tersirat, adalah mutlak: tidak, mereka tidak sama. Allah SWT sendiri menegaskan perbedaan kualitatif antara kedua golongan ini. Orang yang berilmu memiliki akses kepada kebenaran, kearifan, dan pemahaman yang mendalam tentang tujuan eksistensi mereka, sementara orang yang bodoh hidup dalam kegelapan ketidaktahuan.
Perbedaan ini bukan hanya tentang jumlah informasi yang dimiliki, tetapi tentang kualitas pengambilan keputusan dan kemampuan untuk membedakan yang haq dan yang bathil (al-furqan). Orang berilmu memahami hukum sebab-akibat (sunnatullah) di alam semesta, sehingga ia mampu bertindak dengan penuh perhitungan dan hikmah. Mereka adalah ‘Ulul Albab’—orang-orang yang memiliki akal yang murni dan lurus, yang mampu menerima pelajaran dan peringatan (tadzkir).
Keunggulan ini bersifat komprehensif. Ilmuwan yang memahami fisika dan astronomi akan melihat tanda-tanda kebesaran Tuhan dalam tata surya, dan ahli fikih akan memahami kedalaman hukum syariat. Kedua jenis pengetahuan ini, jika dibingkai dalam tauhid, menaikkan derajat pelakunya. Perbedaan derajat ini mendorong setiap mukmin untuk meninggalkan kondisi ketidaktahuan dan beranjak menuju martabat ilmu.
Dalam konteks kemuliaan di mata Allah, Surah Al-Mujadilah secara spesifik menyebutkan bahwa iman dan ilmu adalah dua sayap yang mengangkat manusia:
يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَـٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ayat ini menyebutkan dua kelompok yang ditinggikan: “alladzīna āmanū minkum” (orang-orang yang beriman) dan “alladzīna ūtū al-’ilma darajāt” (orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan, beberapa derajat). Penyebutan ilmu secara terpisah setelah iman menunjukkan betapa pentingnya peran pengetahuan. Ilmu menjadi prasyarat untuk kualitas iman yang lebih tinggi dan lebih teruji. Iman tanpa ilmu rentan terhadap syubhat (keraguan) dan bid’ah (inovasi yang menyimpang), sementara ilmu tanpa iman dapat berujung pada nihilisme atau penyalahgunaan kekuasaan.
Peningkatan derajat (darajat) yang dijanjikan di sini bersifat ganda: di dunia dan di akhirat. Di dunia, para ulama dihormati karena kearifan dan kemampuan mereka memimpin masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran. Di akhirat, derajat mereka setara dengan para nabi dan syuhada karena mereka adalah pewaris para Nabi dalam menyampaikan risalah. Derajat ini bukan diperoleh secara otomatis, melainkan sebagai hasil dari amal (ma’ tamalūna khabīr), yang berarti ilmu harus diiringi dengan tindakan nyata dan ketulusan (ikhlas).
Para mufasir menekankan bahwa peningkatan derajat ini hanya berlaku bagi ilmu yang bermanfaat (ilmun nāfi’un)—ilmu yang digunakan untuk kebaikan, untuk melayani Allah, dan untuk meringankan beban sesama manusia. Ilmu yang hanya disimpan tanpa diamalkan atau ilmu yang digunakan untuk menyebarkan kerusakan justru akan memberatkan pemiliknya.
Tujuan akhir dari menuntut ilmu dalam Islam adalah mencapai Ma’rifatullah (mengenal Allah) dan meningkatkan Taqwa (rasa takut dan ketaatan kepada-Nya). Ilmu, oleh karena itu, berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan manusia dengan realitas spiritual dan etika.
Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa ketakutan sejati (khashyah) kepada Allah hanya dimiliki oleh orang-orang yang mendalam ilmunya:
إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَـٰٓؤُا۟ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang-orang yang berilmu). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28)
Ayat ini menggunakan struktur bahasa Arab yang menunjukkan pembatasan (Innamā), yang berarti bahwa rasa takut yang autentik dan mendalam hanya dimiliki oleh al-’Ulama’. Rasa takut di sini bukanlah ketakutan fisik, tetapi rasa hormat, kagum, dan kesadaran penuh terhadap kebesaran dan kekuasaan Allah yang tiada batas.
Bagaimana ilmu melahirkan ketakutan? Seseorang yang mempelajari kompleksitas kosmos (astronomi, fisika), struktur biologi (kedokteran), atau keindahan syariat (fikih, ushul), akan semakin menyadari betapa kecilnya dirinya di hadapan penciptaan. Pengetahuan yang mendalam menghilangkan ilusi kontrol diri dan memicu pengakuan akan ketergantungan total kepada Allah. Misalnya, ketika seorang ahli geologi mempelajari gempa bumi atau seorang ahli biologi mempelajari sel yang bekerja dengan akurasi miliaran kali per detik, ia tidak bisa tidak merasa takjub. Ketakjuban inilah yang berubah menjadi Khauf (rasa takut) dan Raja’ (harapan).
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan tidak bertujuan untuk menggantikan iman, melainkan untuk memperkuat dan memvalidasi iman. Ilmuwan yang sejati, menurut Al-Quran, adalah seorang hamba yang semakin berilmu, semakin bertakwa.
Kemuliaan ilmu mencapai puncaknya ketika Allah menempatkan kesaksian orang-orang berilmu setara dengan kesaksian-Nya sendiri dan para malaikat, menegaskan keesaan-Nya:
شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلْعِلْمِ قَآئِمًۢا بِٱلْقِسْطِ ۚ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. (Demikian pula) para malaikat dan orang-orang yang berilmu. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)
Ayat ini adalah pujian tertinggi yang diberikan kepada ulama (pemilik ilmu). Ketika Allah bersaksi tentang tauhid, Dia menyertakan para malaikat dan kemudian ‘Ulul Ilmi’ (orang-orang yang memiliki ilmu). Ini menunjukkan otoritas spiritual dan intelektual yang sangat tinggi. Kesaksian mereka tentang Tauhid didasarkan pada bukti, penelitian, dan penalaran yang mendalam, bukan sekadar warisan buta (taqlid).
Keterkaitan antara ilmu dan penegakan keadilan (qā’iman bil-qisth) juga sangat penting. Ilmu yang sejati harus selalu digunakan untuk menegakkan keadilan, baik dalam hukum, ekonomi, maupun interaksi sosial. Ulama adalah penyeimbang masyarakat, menggunakan pengetahuan mereka untuk memastikan bahwa masyarakat beroperasi dalam kerangka etika Ilahi. Apabila ilmu digunakan untuk menindas atau memanipulasi, maka ilmu tersebut telah kehilangan esensi teologisnya, dan pemiliknya telah gagal dalam menjalankan amanah kesaksian ini.
Ilmu dalam pandangan Al-Quran bukanlah suatu pencapaian statis; ia adalah perjalanan abadi yang membutuhkan kerendahan hati, ketekunan, dan doa yang tiada henti. Muslim diperintahkan untuk tidak pernah puas dengan tingkat pengetahuan yang sudah dicapai.
Salah satu perintah yang paling eksplisit mengenai kebutuhan konstan akan ilmu terdapat dalam Surah Taha. Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk memohon penambahan ilmu:
وَقُل رَّبِّ زِدْنِى عِلْمًۭا
“Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.” (QS. Taha: 114)
Perintah ini, “Rabbi zidni ilma”, adalah satu-satunya perintah dalam Al-Quran yang secara eksplisit meminta penambahan sesuatu secara absolut—yaitu ilmu. Ini mengajarkan umat Islam bahwa ilmu adalah kekayaan spiritual yang tidak pernah bisa habis dan selalu diperlukan. Tidak peduli seberapa tinggi tingkat keilmuan seseorang, selalu ada dimensi baru untuk dipelajari, baik itu mengenai alam semesta, syariat, atau hakikat diri.
Bahkan Nabi Muhammad ﷺ, yang merupakan penerima wahyu, tetap diperintahkan untuk memohon penambahan ilmu. Ini menegaskan bahwa sifat manusiawi selalu membutuhkan peningkatan pengetahuan untuk menghadapi tantangan zaman dan untuk terus meningkatkan kualitas ibadah serta pemahaman terhadap misi kerasulan.
Selain itu, kisah Nabi Musa dan Khidir (Surah Al-Kahf) adalah narasi yang kaya tentang adab menuntut ilmu. Musa, meskipun seorang Nabi dan Rasul yang hebat, diperintahkan untuk mencari ilmu dari seorang hamba yang lebih berpengetahuan (Khidir). Kisah ini mengajarkan beberapa pelajaran penting:
Dalam mencari jawaban atas persoalan yang rumit, Al-Quran mengarahkan manusia kepada spesialis yang memiliki otoritas dan keahlian:
فَاسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (Ahl Adz-Dzikr) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43 dan QS. Al-Anbiya: 7)
Perintah ini adalah landasan bagi sistem keahlian (spesialisasi) dalam Islam. Ahl Adz-Dzikr (secara harfiah: pemilik peringatan atau ingatan) merujuk pada mereka yang mendalami dan memelihara ilmu, baik ilmu syariat maupun ilmu lain yang dibutuhkan masyarakat. Ayat ini memerintahkan umat awam untuk mengikuti petunjuk para ahli. Ini sangat relevan dalam masyarakat modern di mana kompleksitas pengetahuan semakin meningkat; ia menolak gagasan bahwa setiap orang bisa menjadi ahli dalam segala bidang tanpa belajar formal.
Di masa lalu, Ahl Adz-Dzikr merujuk pada ahli Kitab (Taurat dan Injil) dalam konteks dakwah, atau ulama pewaris ilmu kenabian. Hari ini, konsepnya meluas mencakup pakar di berbagai bidang. Jika seseorang sakit, ia bertanya pada ahli medis. Jika ada masalah fikih, ia bertanya pada ahli fikih. Jika ada masalah ekonomi, ia bertanya pada ekonom. Syaratnya, para ahli ini harus bertindak berdasarkan integritas, akal sehat, dan panduan etika Ilahi.
Oleh karena itu, kewajiban menuntut ilmu mencakup dua hal: pertama, upaya individu untuk belajar; dan kedua, tanggung jawab masyarakat untuk menciptakan dan memelihara institusi yang menghasilkan Ahl Adz-Dzikr yang kompeten dan berintegritas.
Al-Quran tidak hanya memerintahkan kajian terhadap teks suci (wahyu), tetapi juga kajian mendalam terhadap alam semesta. Al-Quran penuh dengan ayat-ayat yang mendorong manusia untuk mengamati fenomena alam, yang dikenal sebagai Ayat Kawniyyah (tanda-tanda di alam semesta).
Banyak ayat yang menghubungkan antara pengamatan alam dengan kesimpulan teologis yang mendalam. Pengamatan ini harus diakhiri dengan proses berpikir (Tafakkur) dan penalaran (Tadabbur).
إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَـٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَـَٔايَـٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَـٰبِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulul Albab).” (QS. Ali Imran: 190)
Ayat ini menempatkan penciptaan (khalaq) dan keteraturan (ikhtilaf) sebagai subjek penelitian. Ilmuwan yang meneliti gerak bintang, siklus air, atau dinamika cuaca, sedang melakukan ibadah yang luar biasa jika penelitiannya didasarkan pada kesadaran akan kebesaran Tuhan. Al-Quran memberikan legitimasi penuh terhadap ilmu pengetahuan empiris dan sains alam.
Orang-orang yang disebut Ulul Albab (pemilik akal murni) adalah mereka yang mampu mengamati fenomena fisik dan menarik kesimpulan metafisik. Mereka tidak melihat hujan hanya sebagai air yang turun, tetapi sebagai bukti kasih sayang dan perencanaan Ilahi. Mereka tidak melihat gunung hanya sebagai batuan, tetapi sebagai pasak yang menstabilkan bumi (Naba: 7). Ini adalah integrasi sempurna antara sains dan spiritualitas.
Al-Quran bahkan mendorong penelitian terhadap keberagaman manusia dan fenomena sosial-budaya:
وَمِنْ ءَايَـٰتِهِۦ خَلْقُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَـٰفُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَٰنِكُمْ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَـَٔايَـٰتٍ لِّلْعَـٰلِمِينَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah penciptaan langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui (lil-‘ālimīn).” (QS. Ar-Rum: 22)
Ayat ini menegaskan bahwa studi linguistik, antropologi, dan etnografi—yang meneliti keragaman bahasa (alsinatukum) dan warna kulit (alwanikum)—juga merupakan ilmu yang mengantarkan pada pengenalan Tuhan. Variasi ini bukanlah sumber konflik, melainkan ayat (tanda) yang harus dipelajari. Ini memberikan landasan teologis yang kuat bagi pluralisme dan studi perbandingan budaya.
Penelitian terhadap bahasa, misalnya, mengungkapkan bagaimana manusia berkomunikasi dan membangun peradaban. Penelitian terhadap warna kulit dan genetik menunjukkan mekanisme penciptaan yang luar biasa. Semuanya adalah tanda bagi al-‘ālimīn (orang-orang yang memiliki ilmu). Di sini, ilmuwan sosial dan humaniora juga diberi tempat terhormat dalam hierarki pengetahuan Islam.
Sebagaimana Al-Quran memuji mereka yang berilmu, ia juga memperingatkan dengan keras terhadap bahaya kebodohan, penyangkalan terhadap kebenaran yang berbasis ilmu, dan penyalahgunaan akal yang telah diberikan oleh Allah SWT.
Al-Quran sering mengaitkan ketiadaan ilmu dengan kegagalan menggunakan akal (aqal) dan hati (fu’ad). Orang-orang yang tidak menuntut ilmu disamakan dengan makhluk yang tidak memiliki kemampuan kognitif:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًۭا مِّنَ ٱلْجِنِّ وَٱلْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَآ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ كَٱلْأَنْعَـٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْغَـٰفِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka) Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami, dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179)
Ayat ini adalah celaan yang paling tajam terhadap mereka yang menolak ilmu dan kebenaran. Peringatan ini ditujukan kepada orang-orang yang memiliki potensi kognitif (hati, mata, telinga) tetapi secara sengaja menolak menggunakannya untuk memahami kebenaran (la yafqahun). Mereka memilih untuk menutup diri dari tanda-tanda (ayat) Allah, baik yang termaktub dalam wahyu maupun yang terhampar di alam. Konsekuensinya, mereka berada pada tingkatan yang lebih rendah dari binatang ternak, karena binatang bertindak berdasarkan insting, sementara manusia yang lalai (ghafilun) menyia-nyiakan anugerah akalnya.
Ilmu juga digambarkan sebagai cahaya (nur) yang menyelamatkan manusia dari kegelapan (zhulumat). Allah SWT berfirman:
ٱللَّهُ وَلِىُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ يُخْرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَـٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ ۖ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).” (QS. Al-Baqarah: 257)
Dalam tafsirnya, kegelapan (zhulumat) seringkali diartikan sebagai kebodohan, syirik, dan kesesatan. Sementara cahaya (nur) adalah ilmu pengetahuan, tauhid, dan petunjuk. Proses hijrah dari kegelapan menuju cahaya inilah yang diupayakan melalui penuntut ilmu yang gigih. Ilmu menjadi alat spiritual yang membersihkan hati dari keraguan dan membersihkan masyarakat dari praktik-praktik yang menyesatkan.
Jika ilmu agama membersihkan hati dari syirik, maka ilmu duniawi (seperti ilmu kedokteran, teknik, dan pertanian) membersihkan masyarakat dari kemiskinan, penyakit, dan kelemahan infrastruktur. Keduanya adalah wujud dari nur yang sama, yang tujuannya adalah memelihara kemaslahatan manusia (mashlahah mursalah).
Ayat-ayat Al-Quran tentang ilmu melahirkan konsekuensi yang mendalam terhadap struktur sosial dan kebijakan pendidikan dalam peradaban Islam. Ilmu bukan hanya urusan individu, melainkan proyek kolektif untuk membangun peradaban yang berdiri tegak di atas kebenaran.
Meskipun Al-Quran memerintahkan setiap individu untuk belajar (fardhu ain), ia juga mendorong spesialisasi yang menjadi kewajiban kolektif (fardhu kifayah) dalam suatu komunitas:
وَمَا كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama (liyatafaqqahū fiddīn) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)
Ayat ini menunjukkan bahwa tidak semua orang harus terlibat dalam satu tugas (misalnya, perang atau dakwah lapangan), melainkan harus ada pembagian peran. Harus ada sekelompok orang (thā'ifah) yang mendedikasikan diri sepenuhnya untuk tinjauan mendalam terhadap agama (tafaquh fiddin). Tafaquh tidak hanya berarti memahami permukaan, tetapi menggali akar dan prinsip-prinsip syariat.
Konsep ini melahirkan institusi pendidikan tinggi (seperti madrasah dan universitas) di mana spesialisasi dan penelitian mendalam dapat dilakukan. Masyarakat Islam diwajibkan untuk menyediakan sumber daya, waktu, dan dukungan bagi kelompok ini agar mereka dapat berfungsi sebagai lentera ilmu bagi seluruh umat. Ilmu yang mereka hasilkan kemudian diwajibkan untuk disebarkan (liyunziru qawmahum), menunjukkan bahwa ilmu harus memiliki dampak sosial dan tidak boleh menjadi milik eksklusif segelintir orang.
Ilmu yang sejati selalu menghasilkan hikmah (kearifan) dalam bertindak dan berbicara. Hikmah adalah penggunaan ilmu yang tepat pada tempat dan waktu yang tepat. Allah berfirman:
ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَـٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang paling baik.” (QS. An-Nahl: 125)
Hikmah di sini merupakan manifestasi tertinggi dari ilmu. Ia adalah kebijaksanaan yang diperoleh setelah melalui proses belajar dan pengalaman yang mendalam. Seorang yang berilmu tetapi tidak memiliki hikmah mungkin menyampaikan kebenaran, tetapi dengan cara yang menyakitkan atau tidak efektif. Sebaliknya, orang yang berhikmah mampu melihat konteks, psikologi audiens, dan menyampaikan pesan dengan cara yang paling persuasif dan penuh kasih.
Ayat ini menetapkan bahwa metode dakwah (penyebaran ilmu) harus bersifat ilmiah dan etis. Penggunaan akal (hikmah), emosi (mau’izhah hasanah/pelajaran yang baik), dan dialog (jidal bil-lati hiya ahsan/perdebatan dengan cara terbaik) harus diterapkan secara seimbang. Ini menolak metode penyampaian ilmu yang kasar, emosional tak terkendali, atau dogmatis tanpa dasar argumentasi yang kuat.
Dalam pandangan Islam, ilmu pengetahuan tidak pernah dipisahkan dari adab (etika) dan amal (praktik). Ilmu yang tidak menghasilkan perilaku yang lebih baik dianggap ilmu yang tandus atau tidak bermanfaat (ilmun ghairu nafi’).
Al-Quran mengecam keras mereka yang berbicara tentang kebenaran tetapi gagal mempraktikkannya dalam kehidupan mereka:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ ۛ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2-3)
Meskipun ayat ini ditujukan dalam konteks janji militer, para ulama tafsir mengaplikasikannya secara luas pada janji keilmuan dan ajaran moral. Ulama atau cendekiawan yang mengajarkan kejujuran tetapi berbuat curang, atau mengajarkan kesederhanaan tetapi hidup dalam kemewahan berlebihan, akan mendapat kebencian yang besar di sisi Allah. Ilmu harus terwujud dalam integritas pribadi.
Oleh karena itu, kewajiban menuntut ilmu mencakup kewajiban untuk menundukkan hawa nafsu dan menerapkan ilmu tersebut secara konsisten. Ilmu adalah amanah, dan pengkhianatan terhadap amanah ini adalah salah satu dosa terbesar bagi seorang alim.
Kisah Iblis dan Qarun adalah contoh dalam Al-Quran yang menunjukkan bahwa pengetahuan tanpa kerendahan hati akan membawa pada kehancuran. Iblis menolak sujud kepada Adam karena kesombongan berbasis pengetahuan bahwa ia diciptakan dari api, sementara Adam dari tanah. Qarun, yang memiliki ilmu ekonomi dan harta yang melimpah, dihancurkan karena kesombongannya. Ilmu, dalam konteks ini, menjadi bencana ketika ia mendorong rasa superioritas dan keangkuhan.
Seorang pencari ilmu harus senantiasa mengingat doa Nabi Musa, ‘Rabbi zidni ilma’, yang sekaligus mengandung pengakuan bahwa ilmu yang ia miliki hanyalah setetes dibandingkan samudra ilmu Allah. Kerendahan hati (tawadhu') adalah adab utama pencari ilmu, memastikan bahwa ilmu tersebut tetap bermanfaat dan tidak menjadi sumber kerusakan moral.
Perintah menuntut ilmu dalam Al-Quran meliputi spektrum yang luas, yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga pilar utama, yang semuanya merupakan kewajiban baik secara individu maupun kolektif:
Ketiga jenis ilmu ini harus dijalankan secara terintegrasi. Sains tanpa etika menjadi berbahaya, sementara etika tanpa pemahaman ilmiah seringkali menjadi tidak relevan di dunia modern.
Mencermati seluruh ayat Al-Quran mengenai ilmu, jelas bahwa umat Islam diperintahkan untuk menjadi umat yang berbasis pengetahuan, yang menempatkan cendekiawan sebagai pemimpin moral dan intelektual. Kegagalan umat Islam saat ini untuk memimpin dalam ilmu pengetahuan seringkali dilihat sebagai kegagalan dalam mematuhi perintah Ilahi yang termaktub dalam Surah Al-Alaq dan Az-Zumar.
Budaya ilmu yang dibangun berdasarkan ajaran Al-Quran memerlukan beberapa langkah praktis yang berkelanjutan. Pertama, Penghormatan terhadap Guru (Mu'allim). Al-Quran secara implisit menuntut penghargaan tinggi kepada para pengajar. Guru adalah pewaris para Nabi dalam menyampaikan ilmu, dan tanpa penghormatan ini, rantai transmisi ilmu akan terputus. Penghormatan ini harus termanifestasi dalam dukungan finansial dan moral yang kuat dari masyarakat terhadap institusi pendidikan dan para pendidik.
Kedua, Kritik dan Penelitian (Tahqiq). Menuntut ilmu bukan berarti menerima segala sesuatu tanpa filter. Al-Quran menuntut adanya verifikasi, penelitian, dan penggunaan akal secara kritis. Tradisi keilmuan Islam didirikan di atas prinsip sanad (rantai periwayatan) dan kritik matan (isi), yang merupakan cikal bakal metodologi ilmiah modern. Ini menolak dogmatisme buta dan mendorong dialog yang sehat dan berbasis bukti.
Ketiga, Penyebarluasan Akses (Tawzi' Al-'Ilm). Ilmu pengetahuan harus dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau gender. Perintah ‘Iqra’ ditujukan kepada setiap individu mukmin. Peradaban Islam mencapai puncaknya ketika perpustakaan dan pusat-pusat studi terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar, menjamin bahwa ilmu tidak hanya beredar di kalangan elite tertentu.
Perintah-perintah menuntut ilmu dalam Al-Quran adalah cetak biru untuk masyarakat yang ideal: masyarakat yang adil karena dipimpin oleh kearifan (hikmah), masyarakat yang stabil karena didasarkan pada pengetahuan empiris (al-Kawniyyah), dan masyarakat yang bertakwa karena berpegang teguh pada wahyu (al-Naqliyyah). Semua ini berhulu pada satu kata yang agung: Iqra.