Perayaan Maulid Nabi, peringatan atas kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, adalah momen sakral yang diwarnai dengan ekspresi kecintaan mendalam umat Islam terhadap teladan utama mereka. Meskipun ritual perayaannya merupakan tradisi yang berkembang kemudian, landasan teologis dan spiritualnya berakar kuat dalam kalamullah, Al-Qur’an Al-Karim. Ayat-ayat suci tidak hanya menyingkap kisah kenabian atau hukum syariat, tetapi juga secara eksplisit menegaskan kedudukan istimewa Rasulullah, yang pada hakikatnya merupakan alasan utama mengapa kelahirannya patut dihormati dan diingat sepanjang masa.
Menggali ayat maulid nabi berarti menelusuri firman-firman Allah yang secara langsung maupun tidak langsung merujuk kepada kemuliaan, tujuan penciptaan, serta peran universal Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi semesta alam. Studi mendalam ini akan mengupas beberapa fondasi Qur’ani utama yang menjadi dalil pengagungan beliau, sekaligus menyingkap bagaimana kelahiran beliau merupakan puncak dari janji-janji ilahi yang telah terbentang sejak zaman nabi-nabi terdahulu.
Cahaya dan Keutamaan (Nur Muhammad)
Ayat yang paling sering dikutip dan menjadi inti filosofi perayaan Maulid Nabi adalah penegasan Allah bahwa Nabi Muhammad diutus bukan hanya untuk umat manusia, melainkan untuk seluruh ciptaan. Ayat ini menempatkan beliau sebagai poros kasih sayang ilahi, sebuah peran yang menjadikan momen kelahirannya sebagai manifestasi teragung dari Rahmat Allah di bumi.
Kata kunci dalam ayat ini adalah Rahmatan lil 'Alamin (Rahmat bagi semesta alam). Analisis tafsir terhadap ayat ini menuntut pemahaman yang luas mengenai cakupan 'Alamīn (semesta alam), yang tidak terbatas pada dimensi kemanusiaan saja, melainkan mencakup setiap entitas yang diciptakan.
Rahmat yang dibawa Rasulullah kepada manusia terbagi menjadi dua kelompok utama: orang beriman dan orang kafir. Bagi orang beriman, rahmat ini jelas berupa petunjuk (hidayah), syariat yang membebaskan, serta jalan menuju kebahagiaan abadi (surga). Kelahiran beliau mengakhiri zaman kebodohan (jahiliyah) dan membawa peradaban yang didasarkan pada tauhid dan keadilan.
Namun, yang menarik dari tafsir klasik adalah bahwa rahmat beliau juga dirasakan oleh orang-orang kafir. Sebelum kedatangan beliau, umat-umat terdahulu yang menentang nabinya sering kali dihancurkan total (seperti kaum Tsamud atau Ad). Berkat kehadiran Nabi Muhammad, azab pemusnahan massal diangkat dari umat beliau. Kehadiran beliau menangguhkan bencana kolektif. Ini adalah bentuk rahmat yang bersifat universal dan melindungi, meskipun mereka menolak ajarannya.
Konsep ‘Alamīn juga mencakup jinn, hewan, tumbuhan, dan benda mati. Ajaran Nabi Muhammad membawa etika yang meninggikan hak-hak hewan, melarang penyiksaan, dan mengajarkan pengelolaan lingkungan yang bijak. Bagi para malaikat, rahmat beliau terwujud dalam penyempurnaan risalah yang mereka sampaikan, serta pengagungan status beliau di hadapan Allah. Bahkan bagi para nabi terdahulu, rahmat beliau adalah penutup dan penyempurna dari seluruh risalah mereka, memberikan validitas abadi atas ajaran yang pernah mereka sampaikan.
Para ulama tafsir menegaskan bahwa makna ‘Alamīn menunjukkan bahwa keberadaan Nabi Muhammad adalah alasan (illah) di balik keberlanjutan eksistensi. Jika Allah SWT menghendaki, Dia bisa saja mengakhiri dunia setelah setiap risalah nabi ditolak. Namun, karena Nur Muhammad (Cahaya Muhammad) telah diciptakan sebelum segala sesuatu dan dikirim sebagai rahmat pamungkas, dunia ini terus diizinkan eksis hingga batas waktu yang ditentukan.
Kelahiran beliau, oleh karena itu, merupakan rahmat kosmik. Ini bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan manifestasi fisik dari janji abadi Allah untuk menyediakan panduan dan kasih sayang tertinggi bagi seluruh ciptaan. Merayakan Maulid adalah merayakan puncak dari rahmat ilahi yang meresap ke setiap sudut semesta.
***
Maulid Nabi adalah waktu untuk merenungkan kualitas pribadi Rasulullah. Al-Qur'an secara eksplisit mengarahkan umat Islam untuk menjadikan beliau sebagai panutan utama, menekankan bahwa di dalam diri beliau terdapat karakter yang sempurna yang harus diikuti.
Ayat ini diturunkan dalam konteks Perang Khandaq, saat umat Islam menghadapi kesulitan luar biasa. Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk melihat kepada Nabi Muhammad sebagai contoh kesabaran, kepemimpinan, dan tawakal. Dalam konteks Maulid, ayat ini mengingatkan kita bahwa peringatan kelahiran bukanlah sekadar upacara, melainkan pengingat wajib untuk meneladani seluruh aspek kehidupan beliau—dari cara beliau makan, berbicara, memimpin, hingga cara beliau beribadah.
Kata Uswatun Hasanah (Teladan yang Baik) menunjukkan bahwa beliau adalah prototipe kesempurnaan etika dan moral. Meneladani beliau adalah prasyarat untuk mendapatkan rahmat Allah dan meraih kebahagiaan akhirat. Analisis linguistik menunjukkan bahwa "Uswah" berarti model yang diikuti, sementara "Hasanah" (baik) menjadikannya model yang sempurna tanpa cacat.
Merayakan Maulid tanpa menghidupkan Uswatun Hasanah dalam kehidupan sehari-hari dianggap tidak memenuhi hakikat ayat ini. Oleh karena itu, acara Maulid selalu diisi dengan pembacaan sirah (sejarah hidup) sebagai sarana untuk memahami dan menginternalisasi teladan tersebut.
Ayat ini adalah sumpah dari Allah yang memuji akhlak Nabi Muhammad. Ini merupakan pengakuan tertinggi yang bisa diberikan kepada makhluk. Istilah Khuluqin 'Adzim (akhlak yang agung) menandakan bahwa akhlak beliau mencapai tingkat yang tidak terjangkau oleh manusia biasa.
Ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah, beliau menjawab: "Akhlak beliau adalah Al-Qur'an." Ini berarti seluruh perintah, larangan, dan etika yang termuat dalam Al-Qur'an terwujud secara sempurna dalam perilaku beliau. Kelahiran beliau adalah kelahiran akhlak yang menjadi pedoman etis universal bagi seluruh umat manusia.
Para penafsir menekankan bahwa keagungan akhlak ini adalah prasyarat bagi misi Rahmatan lil 'Alamin. Rahmat tidak akan efektif jika disampaikan oleh pribadi yang cacat moral. Keilahian risalah ditegaskan melalui kesucian pribadi pembawanya. Oleh karena itu, Maulid adalah refleksi atas kesempurnaan moral yang dianugerahkan Allah kepada Nabi-Nya.
***
Jika ayat-ayat sebelumnya menjelaskan status beliau, maka ayat-ayat berikut menuntut respon emosional dan praktis dari umat. Maulid adalah salah satu bentuk ekspresi nyata dari tuntutan ilahi untuk mencintai dan memuliakan Rasulullah.
Ayat ini dikenal sebagai Ayat Ujian Cinta. Kecintaan kepada Allah bukan hanya klaim lisan, tetapi harus dibuktikan dengan ketaatan mutlak kepada Rasulullah. Mengikuti sunnah beliau adalah jembatan untuk meraih cinta Allah (mahabbahtullah). Maulid menjadi pendorong kolektif untuk memperbaharui janji ketaatan ini.
Para sufi dan ahli hadis menjadikan ayat ini sebagai fondasi utama setiap praktik ibadah. Peringatan Maulid, dengan segala bentuk kegembiraan dan penghormatan, dipandang sebagai manifestasi dari upaya mengikuti beliau. Perayaan Maulid tanpa diiringi niat untuk memperbaiki ketaatan dan mencontoh beliau adalah perayaan yang kehilangan ruhnya.
Ketaatan ini mencakup segala hal yang beliau ajarkan, baik yang tertulis dalam Al-Qur’an maupun yang diturunkan melalui sunnahnya. Keutamaan yang dijanjikan—cinta dan ampunan dari Allah—menjadi motivasi tertinggi bagi umat Islam untuk terus mengenang dan mengkaji sirah beliau.
Ayat ini merupakan perintah eksplisit dan unik. Allah tidak pernah memerintahkan umat Islam untuk bershalawat kepada nabi atau rasul lain dengan tingkatan penekanan seperti ini. Ayat dimulai dengan penegasan bahwa Allah sendiri dan para malaikat-Nya telah bershalawat (memberikan pujian, rahmat, dan pengagungan) kepada Nabi.
Shalawat dari Allah (Yusallūna): Diartikan sebagai rahmat, pujian, dan ampunan. Ini adalah manifestasi keagungan ilahi terhadap kekasih-Nya.
Shalawat dari Malaikat: Diartikan sebagai permohonan ampunan dan doa pengagungan kepada Nabi.
Perintah kepada Orang Beriman (Shallū 'Alayhi): Diartikan sebagai doa memohon tambahan rahmat, pujian, dan kemuliaan bagi beliau. Shalawat adalah bentuk cinta yang paling murni dan terstruktur.
Dalam konteks Maulid, majelis-majelis shalawat (Diba'i, Barzanji, Simtud Durar) adalah realisasi langsung dari perintah ayat ini. Perayaan Maulid menjadi momentum tahunan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas shalawat sebagai bentuk penghormatan atas karunia kelahiran beliau yang membawa risalah. Ayat ini menjadi dalil utama bagi tradisi lisan (qira’ah) dan muzakarah (perbincangan) mengenai keutamaan Nabi di hari kelahirannya.
Al-Qur'an sebagai Pedoman Kehidupan
Meskipun Rasulullah memiliki kedudukan agung, Al-Qur'an juga menggambarkan beliau dengan sifat kemanusiaan yang mendalam, terutama kasih sayang beliau yang luar biasa terhadap umatnya. Sifat-sifat ini menegaskan bahwa beliau adalah pemimpin yang dekat dengan umatnya.
Ayat ini adalah salah satu penggambaran paling menyentuh tentang karakter beliau. Tiga kata kunci yang menggambarkan kasih sayang beliau adalah:
Kelahiran beliau, oleh karenanya, adalah anugerah terbesar dari segi kepemimpinan yang peduli. Perayaan Maulid adalah penghormatan terhadap seorang pemimpin yang tidak pernah lelah mendoakan keselamatan umatnya, baik di dunia maupun di akhirat.
Surat Ad-Duha, yang turun pada masa-masa sulit kenabian, memberikan jaminan dan penghiburan langsung dari Allah. Ayat ini menjanjikan pemberian yang begitu besar di masa depan (baik di dunia maupun di akhirat) hingga Nabi Muhammad merasa puas. Para mufassir sepakat bahwa salah satu manifestasi terbesar dari kepuasan beliau adalah syafaat yang akan beliau berikan kepada umatnya di Hari Kiamat.
Janji kepuasan ini adalah bukti kasih sayang tak terbatas Allah kepada Nabi-Nya. Ketika kita merayakan Maulid, kita merayakan seorang nabi yang nasibnya dijamin oleh Tuhan, dan yang kepuasannya terkait erat dengan keselamatan umatnya. Ayat ini memperkuat status beliau sebagai Sayyidul Kawnayn (Pemimpin Dua Dunia).
***
Tradisi Maulid sering kali berpusat pada konsep Nur Muhammad (Cahaya Muhammad), meskipun konsep ini lebih banyak bersumber dari Hadis Qudsi dan tafsir Isyari (simbolik) dibandingkan dalil tekstual eksplisit. Namun, Al-Qur’an memberikan dasar bagi pemahaman ini melalui ayat-ayat yang menggambarkan beliau sebagai ‘cahaya’ dan ‘pelita yang menerangi’.
Mufassir klasik memiliki dua pandangan mengenai interpretasi kata Nūr (cahaya) dalam ayat ini:
Jika Nūr merujuk kepada Nabi Muhammad, maka kelahiran beliau adalah terbitnya cahaya ilahi ke dunia. Beliau adalah sumber pencerahan spiritual yang menghilangkan kegelapan syirik dan kebodohan. Konsep Nūr Muhammad dalam konteks Maulid menekankan bahwa beliau diciptakan dari cahaya dan merupakan makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah, jauh sebelum penciptaan kosmos fisik.
Ayat ini secara jelas menyebut beliau sebagai Sirājan Munīran (Pelita yang Menerangi). Ini adalah metafora yang luar biasa. Pelita (siraj) menghasilkan cahaya dari dirinya sendiri, berbeda dengan bulan (Qamar) yang hanya memantulkan cahaya. Ini menunjukkan bahwa cahaya petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad adalah cahaya yang otentik, bersumber dari wahyu ilahi, dan berfungsi menghilangkan kegelapan di sekitarnya.
Peristiwa Maulid, hari kelahiran pelita agung ini, adalah waktu untuk menyalakan kembali cahaya tersebut dalam hati umat Islam. Tanpa cahaya beliau, jalan menuju Allah akan gelap dan penuh keraguan. Oleh karena itu, pengagungan Maulid adalah pengagungan terhadap sumber penerangan spiritual umat.
***
Untuk memahami sepenuhnya mengapa Maulid Nabi memiliki tempat yang begitu agung, kita harus kembali dan memperluas analisis mengenai QS. Al-Anbiya [21]: 107. Kedalaman makna rahmat ini mencakup setiap dimensi kehidupan dan eksistensi, menjadikannya pokok bahasan yang tiada habisnya dalam literatur teologi Islam.
Kelahiran Nabi Muhammad menandai transisi peradaban dari era jahiliyah (kebodohan) menuju era pencerahan berbasis tauhid. Rahmat beliau bukan hanya bersifat teologis, tetapi juga sosiologis dan yuridis:
Tanpa kelahiran beliau, dunia akan tetap terperangkap dalam kegelapan moral dan hukum yang tidak adil. Oleh karena itu, mengenang Maulid adalah mengenang lahirnya peradaban yang didasarkan pada nilai-nilai ilahi.
Para ulama hakikat (sufi) seringkali mengulas bahwa rahmat beliau telah ada bahkan sebelum beliau lahir di Makkah. Ini terkait dengan konsep primordial Nur Muhammad. Beberapa hadis mengindikasikan bahwa Nabi Adam pun bertawassul (memohon) melalui nama Muhammad sebelum taubatnya diterima. Jika demikian, maka Nabi Muhammad adalah rahmat yang mendahului waktu.
Setiap nabi dan rasul terdahulu telah diberi tahu tentang kedatangan beliau dan diperintahkan untuk mendukungnya jika mereka hidup di zamannya (QS. Ali Imran [3]: 81). Keberadaan beliau, meskipun belum lahir secara fisik, merupakan sumber harapan dan penggenapan janji bagi semua utusan Allah sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa hakikat beliau adalah rahmat yang abadi dan melintasi sejarah.
Rahmat terbesar yang akan dirasakan umat adalah di Hari Kiamat. Ketika manusia dilanda ketakutan dan keputusasaan, Nabi Muhammad adalah satu-satunya yang diizinkan oleh Allah untuk memberikan Syafa'at 'Uzma (Syafaat Agung).
Dalam konteks Maulid, kita merayakan seorang nabi yang tidak hanya menyelamatkan kita di dunia, tetapi juga di akhirat. Seluruh amalan dan shalawat yang kita panjatkan selama perayaan Maulid adalah investasi untuk mendapatkan rahmat syafaat beliau kelak. Syafaat ini adalah puncak dari janji Rahmatan lil 'Alamin, yang memastikan bahwa kasih sayang beliau tidak berakhir dengan kematian fisik.
Kehadiran fisik beliau adalah permulaan dari rahmat tersebut, dan perpisahan beliau di dunia hanyalah perpindahan dimensi. Rahmat tersebut terus mengalir melalui sunnah, Al-Qur'an, dan terutama melalui permohonan syafaat beliau di Yaumul Mahsyar.
***
Al-Qur'an menekankan pentingnya menghormati Nabi Muhammad, suatu tindakan yang melampaui sekadar ketaatan; ini adalah bagian dari tauhid itu sendiri. Maulid adalah sarana kultural yang dianjurkan untuk mengekspresikan penghormatan ini.
Meskipun ayat ini diturunkan saat Nabi masih hidup, maknanya tetap relevan. Ulama tafsir menafsirkan larangan meninggikan suara ini sebagai larangan untuk bersikap tidak sopan atau kurang ajar terhadap ajaran dan sunnah beliau setelah beliau wafat. Penghormatan terhadap Nabi setelah kematian beliau terwujud dalam penghormatan terhadap apa yang beliau tinggalkan (sunnah, hadis, dan makam beliau).
Peringatan Maulid, dengan segala ketertiban, adab, dan pembacaan sirah yang penuh hormat, adalah perwujudan dari ketaatan terhadap ayat ini. Penghormatan lahiriah yang ditampilkan dalam majelis Maulid mencerminkan penghormatan batin terhadap risalahnya. Ayat ini menunjukkan betapa krusialnya adab (etika) dalam interaksi dengan sosok Rasulullah, di mana kurangnya adab dapat menghapus seluruh amal kebaikan.
Peran Nabi Muhammad sebagai Syāhidan (saksi) atas umatnya adalah peran sentral di Hari Kiamat. Beliau akan bersaksi atas amal perbuatan umatnya. Ini menunjukkan bahwa hubungan antara Nabi dan umatnya bersifat abadi dan mengikat.
Peran sebagai saksi ini semakin membenarkan pengagungan Maulid. Kita merayakan kelahiran saksi kita. Kita memperbaharui ketaatan kita agar kesaksian beliau di akhirat adalah kesaksian yang menguntungkan kita. Jika kita tidak mencintai beliau, meneladani beliau, dan merayakan keberadaan beliau, bagaimana kita berharap beliau memberikan kesaksian yang baik bagi kita?
***
Keseluruhan ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas kedudukan, akhlak, dan peran universal Nabi Muhammad SAW memberikan legitimasi teologis yang kuat terhadap praktik penghormatan dan kecintaan yang diekspresikan dalam Maulid Nabi. Maulid bukan hanya tentang tanggal dan waktu, tetapi tentang penegasan kembali bahwa kelahiran beliau adalah titik balik kosmik yang membawa rahmat dan petunjuk abadi.
Dari QS. Al-Anbiya [21]: 107 yang mengukuhkan beliau sebagai rahmat semesta alam, hingga QS. Ali Imran [3]: 31 yang menjadikan beliau tolok ukur cinta kepada Allah, setiap ritual dan tradisi dalam perayaan Maulid adalah upaya kolektif umat Islam untuk merespons perintah-perintah ilahi yang tertera dalam Al-Qur'an. Ini adalah manifestasi syukur atas karunia terbesar yang pernah diberikan kepada umat manusia.
Dengan merenungkan kembali kedalaman tafsir dari ayat-ayat maulid nabi, umat Islam diharapkan tidak hanya sekadar mengingat peristiwa masa lalu, melainkan termotivasi untuk mengamalkan sunnah, meningkatkan shalawat, dan menghidupkan kembali etika agung (al-khuluq al-'adzīm) beliau dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari. Hanya dengan demikian, perayaan Maulid akan benar-benar mencapai tujuannya sebagai ibadah dan pengabdian yang diterima di sisi Allah SWT.
Keseluruhan kerangka Al-Qur'an memperlihatkan bahwa keberadaan Rasulullah adalah sebuah anugerah tak ternilai. Memperingati kelahirannya adalah sebuah ibadah syukur yang menggabungkan dimensi historis, spiritual, dan etis, menegaskan bahwa tidak ada jalan menuju keridhaan Allah selain melalui pintu kasih sayang dan teladan dari Nabi Muhammad ﷺ.
Kajian mendalam terhadap teks-teks suci memastikan bahwa kecintaan kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah inti dari keimanan. Proses mendalami ayat-ayat ini harus terus menerus dilakukan, agar apresiasi kita terhadap sosok beliau tidak berhenti pada ritual tahunan, tetapi menjadi semangat yang menyertai setiap tarikan napas dan langkah kehidupan kita. Rahmat yang beliau bawa adalah rahmat yang berkelanjutan, dan kita wajib menjadi penerima rahmat yang senantiasa bersyukur dan meneladani sumber cahaya tersebut. Dengan demikian, setiap majelis Maulid menjadi madrasah spiritual yang mencetak generasi yang lebih dekat dan lebih menyerupai akhlak Rasulullah SAW.
Penting untuk dipahami bahwa setiap ayat yang mengisahkan perjuangan, keutamaan, atau bahkan teguran lembut kepada Rasulullah adalah bagian integral dari narasi Maulid. Ayat-ayat tersebut secara kolektif melukiskan potret utuh dari seorang manusia sempurna yang diutus Allah untuk mengemban misi terbesar sepanjang masa. Kegembiraan atas kelahirannya adalah kegembiraan atas tersingkapnya jalan terang menuju surga.
Kehadiran beliau di dunia ini, sebagai mana disiratkan dalam berbagai ayat, bukanlah sebuah kebetulan historis, melainkan sebuah kebutuhan eksistensial bagi semesta. Sebelum beliau lahir, dunia terhuyung-huyung dalam kekacauan moral, sosial, dan spiritual. Ayat-ayat Qur'an tentang 'Uswatun Hasanah dan 'Khuluqin Adzim' menegaskan bahwa Allah telah mempersiapkan pribadi yang paling layak untuk memimpin revolusi spiritual ini. Perayaan Maulid adalah penghormatan kepada takdir ilahi yang sempurna.
Selanjutnya, mari kita renungkan lebih jauh implikasi dari dua sifat ilahi yang dilekatkan kepada beliau dalam Surat At-Taubah: Ra'uf (Sangat Penyantun) dan Rahim (Penyayang). Ini adalah sebuah kehormatan luar biasa yang menunjukkan kedekatan karakter Nabi dengan sifat-sifat Allah yang Maha Kasih. Dengan merenungkan sifat Ra'uf dan Rahim beliau, kita diingatkan bahwa ajaran Islam yang dibawanya adalah ajaran yang memudahkan, bukan menyulitkan. Beliau tidak pernah membebani umatnya di luar batas kemampuan mereka, dan inilah inti dari rahmat beliau. Mengenang Maulid berarti mengamalkan kemudahan dan kasih sayang dalam beragama.
Jika kita melihat kembali pada Surat Al-Ahzab [33]: 56 tentang perintah shalawat, penekanan bahwa Allah dan malaikat-Nya telah bershalawat lebih dahulu memberikan dimensi transendental pada perayaan Maulid. Ini berarti bahwa umat Islam, ketika bershalawat dalam majelis-majelis Maulid, sedang mengikuti sebuah praktik kosmik yang telah dimulai oleh Pencipta dan para penghuni langit. Ini bukanlah praktik baru, melainkan resonansi dari pujian abadi yang mengelilingi nama agung beliau. Maulid menjadi pintu gerbang bagi setiap mukmin untuk berpartisipasi dalam keagungan spiritual ini.
Ketekunan dalam memahami dan mengamalkan ayat-ayat maulid nabi inilah yang menjadi pembeda antara sekadar tradisi budaya dan ibadah yang mendalam. Seluruh kegiatan yang menyertai Maulid—dari pembacaan kisah kelahiran, ceramah tentang akhlak, hingga penyantunan yatim—seharusnya bermuara pada peningkatan kesadaran akan kedudukan beliau sebagai poros risalah ilahi. Semangat Maulid adalah semangat untuk menjadi penerus yang setia dan penuh adab, sebagaimana dituntut oleh QS. Al-Hujurat [49]: 2.
Kelahiran beliau adalah janji yang terpenuhi, dan setiap ayat Al-Qur'an adalah saksi atas kebenaran janji tersebut. Oleh karena itu, mari kita jadikan momentum Maulid ini sebagai waktu untuk introspeksi mendalam, sejauh mana kita telah mengamalkan 'Uswah Hasanah' dalam kehidupan kita. Apakah cinta kita kepada beliau telah teruji melalui ketaatan pada syariat, ataukah masih sebatas ungkapan lisan tanpa implementasi nyata? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan kualitas penghormatan kita terhadap ayat-ayat maulid nabi dan keberkahan yang kita raih dari perayaan tersebut.