Kewajiban Universal Menuntut Ilmu: Telaah Ayat-Ayat Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW

Cahaya Pengetahuan

Simbol Ilmu dan Cahaya yang Memancar

Islam, sebagai agama yang sempurna, menempatkan ilmu pengetahuan pada posisi yang sangat mulia dan fundamental. Perintah pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah tentang ibadah ritual seperti shalat atau puasa, melainkan sebuah perintah yang berkaitan erat dengan aktivitas intelektual dan literasi: membaca. Hal ini secara tegas menunjukkan bahwa fondasi pembangunan peradaban Islam adalah melalui penguasaan ilmu pengetahuan, atau yang dalam bahasa Arab disebut sebagai ilmu.

Kewajiban menuntut ilmu ini bersifat universal, tidak terbatas pada jenis kelamin, usia, status sosial, maupun batas geografis. Ilmu adalah bekal utama bagi seorang muslim untuk dapat memahami penciptaannya, menjalankan syariat dengan benar, dan memberikan manfaat bagi seluruh alam. Artikel ini akan mengupas tuntas ayat-ayat suci Al-Qur'an dan hadis-hadis sahih yang secara eksplisit maupun implisit menuntut umat untuk aktif mencari, memahami, dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

I. Ayat Pertama Wahyu: Pilar Literasi dan Eksistensi

Fondasi utama dari perintah menuntut ilmu ditemukan dalam lima ayat pertama Surah Al-Alaq. Ayat-ayat ini tidak hanya mengajarkan pentingnya membaca, tetapi juga menegaskan bahwa segala pengetahuan bersumber dari Allah SWT, dan bahwa alat utama untuk meraih ilmu adalah pena (simbolisasi menulis dan mencatat).

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq: 1-5)

A. Analisis Mendalam Perintah "Iqra" (Bacalah)

Kata "Iqra" (Bacalah) disebutkan sebanyak dua kali dalam rangkaian wahyu pertama ini, menunjukkan penekanan yang luar biasa. Perintah ini memiliki cakupan makna yang sangat luas, melampaui sekadar membaca teks tertulis:

Penghubungan perintah membaca dengan nama Tuhan ("Bismirabbika") mengajarkan bahwa setiap proses pencarian ilmu harus dimulai dan diarahkan oleh kesadaran tauhid. Ilmu yang dicari tanpa landasan spiritual dan ketuhanan akan cenderung menyesatkan atau hanya menghasilkan kesombongan. Oleh karena itu, ilmu adalah sarana mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, bukan tujuan akhir yang terpisah dari agama.

B. Signifikansi Pena (Al-Qalam)

Ayat keempat menyatakan, "Yang mengajar (manusia) dengan pena." Pena adalah simbol peradaban, dokumentasi, dan transmisi pengetahuan lintas generasi. Dengan pena, manusia mampu melestarikan ilmu yang didapatkan dari proses membaca dan penelitian. Ini menekankan pentingnya:

  1. Dokumentasi Ilmiah: Ilmu harus dicatat agar tidak hilang bersamaan dengan usia penuntutnya.
  2. Sistem Pendidikan: Pena menjadi alat utama dalam sistem pembelajaran formal, mentransfer warisan intelektual.
  3. Akuntabilitas: Semua catatan dan perbuatan manusia dicatat, menanamkan kesadaran akan tanggung jawab.

Melalui ayat ini, Islam mengukuhkan dirinya sebagai agama yang sangat menghargai kegiatan intelektual, penelitian, dan literasi sebagai prasyarat peradaban yang maju dan berkeadilan.

II. Ayat-Ayat Mengenai Derajat dan Keunggulan Ilmuwan

Selain perintah eksplisit untuk membaca, Al-Qur'an juga memberikan janji kemuliaan dan derajat yang tinggi bagi mereka yang memiliki ilmu dan iman. Ilmu pengetahuan di sini berfungsi sebagai kriteria pembeda antara orang yang berakal dengan orang yang lalai.

يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadalah: 11)

A. Pengangkatan Derajat (Darajat)

Ayat Al-Mujadalah 11 ini adalah salah satu penegasan paling kuat mengenai keutamaan ilmu dalam Islam. Frasa kunci di sini adalah "darajat" (beberapa derajat), yang menunjukkan peningkatan kemuliaan, baik di dunia maupun di akhirat.

Para mufassir (ahli tafsir) menjelaskan bahwa derajat tersebut dibagi menjadi dua kategori:

Penting untuk dicatat bahwa ayat ini menyebutkan dua kelompok yang diangkat derajatnya: 'Alladzīna āmanū (orang-orang yang beriman) dan 'Alladzīna ūtul-'ilma (orang-orang yang diberi ilmu). Penggabungan keduanya menunjukkan bahwa ilmu tanpa iman tidaklah sempurna, dan iman tanpa ilmu rentan terhadap penyimpangan (bid’ah) atau taklid buta.

B. Ilmu sebagai Bukti Kebesaran Allah (Surah Fathir)

Ilmu yang sejati akan menumbuhkan rasa takut dan kekaguman (khauf) kepada Allah SWT. Ilmu pengetahuan berfungsi sebagai jembatan untuk memahami kompleksitas dan kesempurnaan ciptaan, yang pada akhirnya menuntun pada pengakuan atas keagungan Pencipta.

اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang-orang yang berilmu). Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun. (QS. Fathir: 28)

Ayat ini membatasi sifat takut yang sebenarnya (khashya) hanya pada ulama (orang-orang berilmu). Ini bukan berarti orang awam tidak takut kepada Allah, tetapi bahwa rasa takut yang dimiliki oleh ulama adalah rasa takut yang didasarkan pada pengetahuan yang mendalam (ma’rifah) tentang sifat-sifat Allah, hukum-hukum-Nya, dan akibat dari melanggarnya. Ketakutan ini bukan rasa panik, melainkan rasa hormat dan kesadaran total akan tanggung jawab.

Seorang ilmuwan yang mempelajari struktur atom, galaksi, atau sel terkecil, ketika ia mencapai batas pengetahuannya, ia akan mengakui adanya kekuatan yang Maha Mengatur, yang memunculkan kekhusyukan dan ketakutan yang mendalam. Dengan demikian, ilmu pengetahuan, baik agama maupun sains, harus berujung pada peningkatan keimanan dan ketakwaan.

III. Penegasan Kewajiban Menuntut Ilmu dalam Hadis Nabi

Sunnah Nabi Muhammad SAW memberikan penjelasan praktis dan penekanan yang lebih tajam mengenai kewajiban menuntut ilmu. Hadis-hadis tersebut seringkali menekankan bahwa pencarian ilmu adalah bentuk ibadah tertinggi.

A. Kewajiban Mutlak (Fardhu Ain)

Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda: "Menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap muslim." (HR. Ibnu Majah)

Hadis ini menggunakan kata farīdhah (kewajiban), yang menunjukkan bahwa ini adalah perintah yang tidak bisa ditawar. Para ulama fiqih dan ushuluddin sepakat bahwa kewajiban menuntut ilmu terbagi dua:

  1. Ilmu Fardhu Ain (Wajib Individual): Ilmu yang harus diketahui oleh setiap muslim untuk sahnya ibadah dan muamalah dasar, seperti pengetahuan tentang tauhid (keesaan Allah), tata cara shalat, puasa, zakat, haji, serta pengetahuan tentang halal dan haram dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Ilmu Fardhu Kifayah (Wajib Komunal): Ilmu yang wajib dikuasai oleh sebagian umat Islam, seperti ilmu kedokteran, arsitektur, fisika, atau ilmu agama spesialis (Tafsir, Hadis, Fiqih Muamalat yang kompleks). Jika sudah ada sebagian umat yang menguasai, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain.

Penekanan pada kewajiban (fardhu) menghilangkan alasan bagi siapapun untuk hidup dalam kebodohan, terutama dalam hal-hal yang berkaitan langsung dengan agamanya.

B. Ilmu sebagai Jalan Menuju Surga

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)

Hadis ini memberikan motivasi spiritual yang sangat besar. Proses pencarian ilmu seringkali melibatkan kesulitan, pengorbanan waktu, harta, dan tenaga (misalnya, bepergian jauh, begadang untuk belajar). Nabi SAW menjamin bahwa setiap langkah, setiap usaha, yang dilakukan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat akan diganjar langsung dengan kemudahan meraih ridha Allah dan Surga-Nya.

Konsep "jalan menuju surga" ini tidak hanya bermakna metaforis, tetapi juga praktis. Ilmu pengetahuan yang benar akan membimbing individu untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan syariat, menjauhi maksiat, dan beramal saleh, yang secara otomatis adalah jalan menuju kebahagiaan abadi.

Alat Tulis dan Dokumentasi

Pena: Simbol Dokumentasi Ilmu

C. Keutamaan Orang Berilmu Dibanding Ahli Ibadah

Seringkali, Nabi SAW membandingkan keutamaan orang yang berilmu (ulama) dengan orang yang hanya giat beribadah (abid) tanpa dasar ilmu yang kuat, menekankan bahwa ilmu lebih utama karena dampaknya yang lebih luas.

Rasulullah SAW bersabda: "Keutamaan orang yang berilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara kalian." Kemudian beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya, penduduk langit dan bumi, bahkan semut di sarangnya, hingga ikan-ikan di lautan, mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia." (HR. Tirmidzi)

Pernyataan ini menunjukkan bahwa manfaat ilmu bersifat transenden (melampaui diri sendiri). Ibadah seorang ahli ibadah hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, sedangkan ilmu seorang alim (orang berilmu) bermanfaat bagi seluruh komunitas. Ulama adalah pewaris para Nabi, yang tugas utamanya adalah menyampaikan kebenikan (ilmu dan hidayah). Pahala yang ia peroleh terus berlipat ganda karena setiap orang yang mengamalkan ilmunya, ia mendapat bagian pahalanya.

IV. Ilmu sebagai Pembeda dan Pencerah

Al-Qur'an menggunakan metafora yang kuat untuk membedakan antara orang yang berilmu dan orang yang bodoh, antara mereka yang menggunakan akal dan yang tidak. Ilmu sering disimbolkan sebagai cahaya, sementara kebodohan adalah kegelapan.

A. Penggunaan Akal dan Refleksi (Tadabbur)

Banyak ayat yang diawali atau diakhiri dengan pertanyaan retoris seperti: 'Afalaa ta'qilūn? (Tidakkah kamu menggunakan akal?) atau 'Afalaa yatadabbarūn? (Tidakkah mereka merenungkan?). Ini adalah seruan untuk menggunakan daya nalar, yang merupakan alat fundamental dalam mencari ilmu.

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (QS. Ali Imran: 190)

Orang yang berakal (ulul albab) adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk menghubungkan observasi fisik (penciptaan langit dan bumi) dengan kesimpulan metafisik (kebesaran dan kekuasaan Pencipta). Ilmu dalam konteks ini adalah proses menghubungkan fenomena alam dengan realitas spiritual, menunjukkan bahwa Islam menolak pemisahan antara sains dan agama.

Tadabbur (perenungan mendalam) merupakan metodologi belajar yang penting. Ilmu yang hanya dihafal tanpa perenungan akan mudah hilang dan tidak menghasilkan perubahan perilaku. Ilmu yang sejati menuntut perenungan yang membawa pada kekhusyukan dan peningkatan kualitas ibadah.

B. Perbandingan antara Tahu dan Tidak Tahu

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ

Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar: 9)

Pertanyaan retoris ini menegaskan ketidaksamaan mutlak antara orang yang berilmu dan yang tidak berilmu. Ilmu bukan hanya memberikan keuntungan fungsional, tetapi juga membedakan kualitas eksistensi dan cara pandang seseorang terhadap dunia. Seseorang yang berilmu mampu membuat keputusan yang lebih bijak, memahami konsekuensi dari tindakannya, dan menghindari kesesatan yang disebabkan oleh kebodohan.

Ayat ini berfungsi sebagai dorongan keras untuk meninggalkan kebodohan, karena kebodohan ditempatkan dalam posisi yang rendah, kontras dengan kemuliaan ilmu. Hanya mereka yang menggunakan akal (ulul albab) yang mampu menyadari perbedaan mendasar ini dan termotivasi untuk belajar.

V. Adab dan Etika dalam Menuntut Ilmu (Thalab al-Ilmu)

Kewajiban menuntut ilmu dalam Islam tidak hanya berhenti pada seberapa banyak yang dipelajari, tetapi juga mencakup bagaimana ilmu itu dicari, yaitu melalui etika dan adab yang mulia. Ilmu tanpa adab bisa menjadi bumerang.

A. Pentingnya Tawadhu' (Rendah Hati)

Kisah Nabi Musa dan Khidir dalam Surah Al-Kahf memberikan pelajaran mendalam tentang adab seorang murid. Nabi Musa, meski seorang Nabi dan Rasul, diperintahkan untuk mencari ilmu kepada Khidir dan harus bersikap sabar serta merendahkan diri.

قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Musa berkata kepadanya (Khidir), “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu) petunjuk yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahf: 66)

Sikap Nabi Musa yang meminta izin untuk mengikuti dan belajar, meskipun ia adalah pemimpin Bani Israel, menunjukkan pentingnya tawadhu' (kerendahan hati) di hadapan guru. Seorang penuntut ilmu harus mengakui bahwa ia tidak tahu (Lā adrī) dan siap menerima ilmu, bahkan jika itu bertentangan dengan asumsi awalnya.

B. Kesabaran dan Ketekunan

Ilmu adalah harta yang mahal, dan untuk mendapatkannya dibutuhkan ketekunan yang luar biasa. Banyak hadis yang menekankan perlunya kesabaran dalam menghadapi kesulitan belajar, khususnya dalam memahami teks-teks sulit atau menghadapi para pengajar yang keras.

Hadis tentang ilmu yang diberkahi seringkali dikaitkan dengan konsistensi, bukan kecepatan. Nabi bersabda, "Amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten meskipun sedikit." Prinsip ini berlaku juga dalam menuntut ilmu; konsistensi dalam membaca, merenung, dan mengulang pelajaran jauh lebih bermanfaat daripada belajar secara sporadis dalam jumlah besar.

VI. Tanggung Jawab Mengajarkan dan Menyebarkan Ilmu

Setelah mendapatkan ilmu, tanggung jawab seorang muslim belum selesai. Justru, ilmu pengetahuan yang telah diperoleh harus diamalkan dan disebarkan kepada orang lain. Ilmu yang tersembunyi tanpa diamalkan adalah celaan yang keras dalam Islam.

A. Peringatan bagi yang Menyembunyikan Ilmu

Al-Qur'an memberikan peringatan keras kepada Ahli Kitab (dan umat Islam) yang menyembunyikan kebenaran atau ilmu yang mereka miliki demi keuntungan duniawi.

اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَآ اَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنٰتِ وَالْهُدٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا بَيَّنّٰهُ لِلنَّاسِ فِى الْكِتٰبِۙ اُولٰۤىِٕكَ يَلْعَنُهُمُ اللّٰهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللّٰعِنُوْنَۙ

Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur'an), mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat. (QS. Al-Baqarah: 159)

Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu, terutama ilmu syar'i (agama), bukanlah hak milik pribadi, tetapi amanah yang harus disampaikan. Menyembunyikan ilmu adalah dosa besar karena menghalangi hidayah sampai kepada manusia lain, yang pada gilirannya dapat menjerumuskan mereka pada kesesatan. Kewajiban dakwah dan pengajaran adalah kelanjutan dari kewajiban menuntut ilmu.

B. Ilmu yang Bermanfaat (Ilmu Naafi')

Nabi SAW mengajarkan bahwa ilmu yang harus dicari dan disebarkan adalah ilmu yang bermanfaat (ilmu naafi'). Ilmu yang tidak bermanfaat (atau ilmu yang merugikan, seperti sihir atau ilmu yang hanya menimbulkan debat kusir tanpa substansi) adalah sesuatu yang harus dihindari.

Rasulullah SAW berdoa: "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari nafsu yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan." (HR. Muslim)

Definisi ilmu yang bermanfaat sangat luas:

  1. Ilmu yang meningkatkan Taqwa: Ilmu yang membuat seseorang semakin takut dan patuh kepada Allah.
  2. Ilmu yang memperbaiki Akhlak: Ilmu yang menuntun pada perbaikan diri dan interaksi sosial yang lebih baik.
  3. Ilmu yang memajukan Umat: Ilmu yang menghasilkan inovasi, solusi, dan kemajuan peradaban (kedokteran, teknik, pertanian, dll.).

VII. Pengamalan dan Manifestasi Ilmu dalam Kehidupan

Dalam pandangan Islam, ilmu dan amal (perbuatan) tidak dapat dipisahkan. Ilmu adalah peta, dan amal adalah perjalanan. Seseorang yang memiliki peta namun enggan berjalan tidak akan pernah sampai pada tujuannya. Inilah yang membedakan ilmu yang diberkahi dengan ilmu yang sekadar koleksi informasi.

A. Hubungan Timbal Balik antara Ilmu dan Amal

Ilmu yang sejati akan termanifestasi dalam tindakan nyata. Para ulama salaf sering berkata, "Ilmu itu memanggil amal; jika amal menjawab panggilannya, ia tetap ada, jika tidak, ia akan pergi."

Jika seseorang mengetahui bahwa riba (bunga) itu haram (ilmu), maka ia wajib meninggalkannya (amal). Jika ia mengetahui bahwa shalat itu wajib (ilmu), maka ia wajib mendirikannya (amal). Jika ia mengetahui tata cara berinteraksi yang baik dengan tetangga (ilmu), maka ia wajib mempraktikkannya (amal).

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. As-Saff: 3)

Meskipun ayat ini secara umum berbicara tentang janji yang tidak ditepati, ia juga secara kuat berlaku pada konteks ilmu. Orang yang mengajarkan kebaikan tetapi tidak melaksanakannya sendiri mendapat celaan besar. Hal ini menegaskan bahwa integritas seorang penuntut ilmu dinilai dari konsistensi antara lisan dan perbuatan.

B. Ilmu sebagai Warisan dan Sedekah Jariah

Menuntut ilmu adalah investasi jangka panjang, bukan hanya untuk kehidupan di dunia, tetapi juga untuk akhirat. Ketika seseorang meninggal dunia, sebagian besar amalnya terputus, kecuali tiga hal, salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: "Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim)

Ilmu yang bermanfaat (disebarkan melalui buku, pengajaran, atau inovasi yang memberikan manfaat kepada manusia) menjadi sumber pahala yang tidak pernah kering. Hal ini memotivasi muslim untuk tidak hanya menuntut ilmu bagi dirinya sendiri, tetapi juga memastikan ilmu tersebut dapat diwariskan dan terus memberikan manfaat bagi generasi selanjutnya. Ini adalah landasan mengapa tradisi keilmuan Islam sangat kuat dalam hal penulisan kitab, pendirian madrasah, dan sistem wakaf untuk mendukung pendidikan.

VIII. Elaborasi Ekstensif: Cakupan Ilmu dan Kewajiban Kolektif (Fardhu Kifayah)

Pencapaian peradaban Islam di masa lalu tidak hanya didasarkan pada penguasaan ilmu agama (syar'i), tetapi juga ilmu terapan (kauniyyah). Kewajiban menuntut ilmu mencakup spektrum pengetahuan yang sangat luas yang diperlukan untuk keberlanjutan dan kemandirian umat.

A. Keharusan Menguasai Ilmu Duniawi

Jika semua muslim hanya fokus pada Fardhu Ain (ilmu agama dasar) dan mengabaikan Fardhu Kifayah (ilmu terapan), umat akan menjadi lemah dan bergantung pada peradaban lain. Kebutuhan akan dokter, insinyur, ahli pertanian, dan ekonom yang berbasis pada nilai-nilai Islam adalah kewajiban komunal.

Contohnya, jika sebuah komunitas muslim tidak memiliki dokter, dan terdapat orang sakit yang memerlukan penanganan medis, maka seluruh komunitas berdosa karena tidak ada yang memenuhi kewajiban Fardhu Kifayah tersebut. Ilmu kedokteran yang menyelamatkan nyawa adalah ibadah yang mulia, asalkan diniatkan lillahi ta'ala.

Ilmu terapan seperti matematika, fisika, dan kimia, yang dikenal sebagai 'ulum al-aṣnaf (ilmu-ilmu kategori) oleh para ulama klasik seperti Al-Ghazali, adalah alat yang vital untuk menjaga kemuliaan umat. Penguasaan ilmu ini memampukan umat untuk mandiri dalam urusan pertahanan, pangan, dan kesehatan. Ini adalah bentuk implementasi dari perintah untuk menjadi umat yang terbaik (khaira ummah).

B. Integrasi Ilmu dan Nilai

Dalam pandangan Islam, tidak ada dikotomi permanen antara ilmu agama dan ilmu umum. Semua ilmu berasal dari Allah. Ilmuwan yang meneliti alam semesta sedang meneliti ayat-ayat Allah (kawniyyah). Ilmu pengetahuan modern harus diintegrasikan dengan nilai-nilai etika Islam.

Sebagai contoh, pengembangan teknologi (ilmu pengetahuan) harus diiringi dengan kesadaran moral (ilmu agama) agar teknologi tersebut digunakan untuk kemaslahatan umat manusia, bukan untuk menciptakan senjata pemusnah massal atau memicu kerusakan lingkungan. Ilmu yang tidak terintegrasi dengan moralitas seringkali menjadi penyebab kesombongan dan kerusakan.

Para ulama seperti Ibn Sina (Avicenna) dalam kedokteran, Al-Khawarizmi dalam matematika, dan Al-Biruni dalam astronomi, menunjukkan bagaimana integrasi ini dilakukan. Mereka melihat penemuan ilmiah sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, karena melalui ilmu tersebut, mereka dapat memahami lebih dalam tentang aturan dan kesempurnaan ciptaan-Nya. Inilah puncak dari menuntut ilmu: menggunakan akal dan hati secara seimbang.

IX. Peringatan tentang Kebodohan dan Kebutaan Hati

Kontras dengan kemuliaan ilmu, Al-Qur'an memberikan peringatan keras terhadap sikap yang memilih untuk tetap dalam kebodohan dan menutup mata terhadap tanda-tanda kebenaran.

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS. Taha: 124)

Meskipun ayat ini berbicara tentang berpaling dari peringatan (dzikr), hal ini seringkali diinterpretasikan sebagai akibat dari kebodohan yang disengaja. Kebodohan bukan hanya ketiadaan informasi, tetapi penolakan aktif untuk mencari kebenaran. Orang yang bodoh dalam urusan agama (Fardhu Ain) hidup dalam "kesempitan penghidupan" karena ia tidak tahu bagaimana cara mengelola urusannya sesuai tuntunan Ilahi, sehingga hidupnya penuh kekhawatiran dan ketidakpastian.

Kebutaan pada hari kiamat adalah manifestasi fisik dari kebutaan hati dan pikiran di dunia. Mereka yang tidak mau melihat tanda-tanda Allah (baik dalam Al-Qur'an maupun di alam semesta) akan menuai akibat dari kebutaan intelektual mereka.

X. Peran Guru dan Masyarakat dalam Ekosistem Ilmu

Menuntut ilmu adalah tugas individu, tetapi mewujudkan peradaban ilmu adalah tugas kolektif. Masyarakat dan guru memegang peran vital dalam menopang kewajiban ini.

A. Keutamaan Mengajar

Orang yang memiliki ilmu dan menyebarkannya (guru, pendidik, ulama) adalah orang yang paling utama setelah para Nabi. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya aku diutus sebagai pengajar." (HR. Muslim).

Guru adalah penyambung lidah kenabian. Mereka memiliki peran sentral dalam memastikan bahwa generasi mendatang tidak terputus dari warisan ilmu. Mengajar adalah bentuk sedekah yang paling mulia, karena ia memberikan cahaya spiritual dan intelektual kepada penerimanya.

B. Membangun Institusi Ilmu

Kewajiban menuntut ilmu menuntut adanya sarana dan prasarana. Ini mencakup pendirian perpustakaan, madrasah, universitas, dan pusat penelitian. Para khalifah dan sultan di masa lalu sangat menyadari hal ini, yang dibuktikan dengan berdirinya Baitul Hikmah di Baghdad dan Al-Azhar di Kairo. Pendanaan untuk institusi ini seringkali berasal dari sistem wakaf (sedekah jariyah) yang ditujukan khusus untuk keberlanjutan ilmu.

Tanggung jawab kolektif masyarakat adalah memastikan bahwa setiap anggota memiliki akses yang adil dan merata terhadap pendidikan berkualitas. Ilmu harus menjadi hak dasar yang tidak dibatasi oleh kemiskinan atau status sosial.

XI. Pengejaran Ilmu Sepanjang Hayat

Islam memandang menuntut ilmu sebagai sebuah proses yang tidak mengenal kata akhir. Perintah ini berlaku sejak lahir hingga liang lahat (Minal Mahdi ilal Lahdi).

Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat. (Diriwayatkan secara luas, walaupun sanadnya diperdebatkan, namun maknanya sejalan dengan semangat Islam)

Prinsip belajar seumur hidup (lifelong learning) ini sangat relevan. Dunia terus berubah, dan ilmu terus berkembang. Seorang muslim diwajibkan untuk terus memperbarui pengetahuannya, baik dalam hal pemahaman agama (misalnya, isu fiqih kontemporer seperti perbankan syariah atau bioteknologi) maupun ilmu-ilmu umum yang relevan dengan zamannya (teknologi informasi, AI, dll.).

Ilmu adalah sebuah perjalanan tanpa akhir menuju kesempurnaan dan ketaatan kepada Allah SWT. Proses ini memerlukan motivasi yang berkelanjutan dan kesediaan untuk selalu berada dalam posisi murid, mengakui keterbatasan pengetahuan diri sendiri. Semangat inilah yang memastikan umat Islam tetap relevan dan berkontribusi terhadap peradaban global.

XII. Penutup: Ilmu sebagai Inti Eksistensi Muslim

Dari Surah Al-Alaq yang memerintahkan membaca hingga hadis yang menjadikan ilmu sebagai warisan abadi, jelaslah bahwa menuntut ilmu bukanlah pilihan dalam Islam, melainkan inti dari keberadaan seorang muslim yang beriman. Ilmu adalah alat untuk membedakan yang haq dari yang batil, panduan untuk beramal saleh, dan bekal utama menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kewajiban ini mencakup aspek spiritual, sosial, dan intelektual. Muslim yang sejati adalah mereka yang tidak pernah berhenti mencari, merenung, dan mengamalkan ilmu pengetahuan. Ilmu yang dicari dengan niat yang benar, kesabaran, dan tawadhu', niscaya akan menjadi cahaya yang mengangkat derajat pelakunya di sisi Allah SWT dan menjadikannya sumber keberkahan bagi seluruh alam.

🏠 Kembali ke Homepage