Simbol kaligrafi geometris yang melambangkan keindahan Qasidah Burdah.

Mengupas Makna Qasidah Burdah

Qasidah Burdah, atau yang bernama asli "Al-Kawakib ad-Durriyah fi Madh Khair al-Bariyyah" (Bintang-bintang Gemerlapan dalam Pujian untuk Sebaik-baik Ciptaan), merupakan mahakarya sastra Islam yang tak lekang oleh waktu. Gubahan agung ini lahir dari pena seorang ulama besar, Imam Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Sa'id al-Bushiri.

Kisah di balik penciptaan qasidah ini penuh dengan keajaiban dan cinta yang mendalam. Diriwayatkan bahwa Imam Al-Busiri menderita penyakit lumpuh separuh badan yang membuatnya putus asa. Dalam kepasrahan dan kerinduan yang memuncak kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, beliau menyusun bait-bait pujian ini. Suatu malam, dalam tidurnya, beliau bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Sang Nabi dengan penuh kasih sayang mengusap tubuh Imam Al-Busiri dan menyelimutinya dengan mantel (Burdah) beliau. Ketika terbangun, atas izin Allah, penyakitnya sembuh total. Sebagai wujud syukur dan cinta, qasidah ini kemudian dikenal luas sebagai Qasidah Burdah.

Karya ini bukan sekadar rangkaian kata-kata indah, melainkan lautan makna yang berisi pujian, sejarah, hikmah, serta permohonan syafaat kepada Rasulullah SAW. Setiap fasalnya membawa kita menyelami berbagai aspek kehidupan dan kemuliaan Sang Nabi, dari kerinduan mendalam hingga keagungan mukjizatnya. Mari kita resapi bersama bait demi bait dari mahakarya abadi ini.


Fasal 1: Tentang Kerinduan dan Keluh Kesah Cinta

Bait 1

أَمِنْ تَذَكُّرِ جِيْرَانٍ بِذِيْ سَلَمِ ۰ مَزَجْتَ دَمْعًا جَرَى مِنْ مُقْلَةٍ بِدَمِ

Amin tadzakkuri jīrānin bidzī salami, mazajta dam‘an jarā min muqlatin bidami.

Apakah karena teringat tetangga di Dzi Salam, kau campurkan air mata yang mengalir dari pelupuk dengan darah?

Imam Al-Busiri memulai dengan pertanyaan retoris yang menyentuh. "Dzi Salam" adalah nama tempat dekat Madinah. Kenangan akan tempat yang dekat dengan Sang Kekasih (Nabi Muhammad SAW) begitu kuat hingga air mata yang tumpah terasa bercampur darah, sebuah kiasan sastra Arab untuk menggambarkan puncak kesedihan dan kerinduan.

Bait 2

أَمْ هَبَّتِ الرِّيْحُ مِنْ تِلْقَاءِ كَاظِمَةٍ ۰ وَأَوْمَضَ الْبَرْقُ فِي الظَّلْمَاءِ مِنْ إِضَمِ

Am habbatir-rīḥu min tilqā-i kāzhimatin, wa awmadhal barqu fīzh-zhalmā-i min idhami.

Ataukah karena angin berhembus dari arah Kazhimah? Ataukah karena kilat menyambar dalam gelap malam dari gunung Idham?

Kazhimah dan Idham juga merupakan nama-nama tempat di sekitar Hijaz. Angin dan kilat dari arah tempat-tempat tersebut diasosiasikan sebagai pembawa berita atau pengingat akan Sang Kekasih, yang semakin membangkitkan gelora rindu di dalam dada.

Bait 3

فَمَا لِعَيْنَيْكَ إِنْ قُلْتَ اكْفُفَا هَمَتَا ۰ وَمَا لِقَلْبِكَ إِنْ قُلْتَ اسْتَفِقْ يَهِمِ

Famā li‘ainayka in qultakfufā hamatā, wa mā liqalbika in qultastafiq yahimi.

Mengapa kedua matamu, jika kau katakan "berhentilah", justru semakin deras menangis? Dan mengapa hatimu, jika kau katakan "sadarlah", ia justru semakin gelisah?

Bait ini menggambarkan betapa cinta telah menguasai dirinya. Akal sehatnya memerintahkan untuk berhenti bersedih, namun mata dan hatinya tidak lagi patuh. Keduanya tenggelam dalam lautan cinta dan kerinduan yang tak terbendung.

Bait 4

أَيَحْسَبُ الصَّبُّ أَنَّ الْحُبَّ مُنْكَتِمٌ ۰ مَا بَيْنَ مُنْسَجِمٍ مِنْهُ وَمُضْطَرِمِ

Ayaḥsabus-shabbu annal-ḥubba munkatimun, mā baina munsajimin minhu wa mudhṭarimi.

Apakah sang pecinta mengira bahwa cintanya dapat disembunyikan, di antara air mata yang mengalir dan hati yang membara?

Cinta sejati tidak bisa ditutupi. Ia akan selalu memanifestasikan dirinya melalui tanda-tanda fisik, seperti air mata yang terus mengalir (munsajim) dan gejolak hati yang berapi-api (mudhtharim). Keduanya adalah saksi bisu atas api cinta yang menyala.

Bait 5

لَوْلَا الْهَوَى لَمْ تُرِقْ دَمْعًا عَلَى طَلَلِ ۰ وَلَا أَرِقْتَ لِذِكْرِ الْبَانِ وَالْعَلَمِ

Lawlal-hawā lam turiq dam‘an ‘alā ṭalali, wa lā ariqta lidzikril-bāni wal-‘alami.

Kalaulah bukan karena cinta, takkan kau teteskan air mata di atas puing-puing (kediaman kekasih), dan takkan kau terjaga semalaman karena teringat pohon Ban dan gunung 'Alam.

Penyair menegaskan bahwa sumber dari segala kegelisahan ini adalah cinta (al-hawa). Mengenang puing-puing rumah kekasih, pohon Ban, dan gunung 'Alam (simbol-simbol alam yang berhubungan dengan sang kekasih) adalah tradisi dalam puisi Arab untuk mengekspresikan kedalaman rindu.

Bait 6

فَكَيْفَ تُنْكِرُ حُبًّا بَعْدَ مَا شَهِدَتْ ۰ بِهِ عَلَيْكَ عُدُوْلُ الدَّمْعِ وَالسَّقَمِ

Fakaifa tunkiru ḥubban ba‘da mā syahidat, bihi ‘alayka ‘udūlud-dam‘i was-saqami.

Maka bagaimana bisa kau pungkiri cinta, setelah air mata dan tubuh yang kurus menjadi saksi yang adil atas dirimu?

Imam Al-Busiri seolah berdialog dengan dirinya sendiri. Ia tak bisa lagi mengingkari cintanya, karena sudah ada dua saksi yang tak terbantahkan: air mata yang terus menetes dan kondisi fisik yang melemah karena menanggung beban rindu. Keduanya adalah bukti nyata dari cinta yang mendalam.

Bait 7

وَأَثْبَتَ الْوَجْدُ خَطَّيْ عَبْرَةٍ وَضَنًى ۰ مِثْلَ الْبَهَارِ عَلَى خَدَّيْكَ وَالْعَنَمِ

Wa ats batal-wajdu khaṭṭay ‘abratin wa ḍanan, mitslal-bahāri ‘alā khaddayka wal-‘anami.

Dan gelora cinta telah meninggalkan dua garis (bekas air mata) dan kepucatan, seperti bunga kuning di kedua pipimu dan pohon 'Anam (yang kemerahan).

Gejolak cinta (al-wajd) telah melukiskan jejaknya di wajah sang penyair. Pipinya yang pucat karena sakit dan menahan rindu diibaratkan seperti bunga bahar (sejenis mawar kuning), sementara bekas aliran air mata yang kemerahan laksana buah dari pohon 'Anam.

Bait 8

نَعَمْ سَرَى طَيْفُ مَنْ أَهْوَى فَأَرَّقَنِيْ ۰ وَالْحُبُّ يَعْتَرِضُ اللَّذَّاتِ بِالْأَلَمِ

Na‘am sarā ṭaifu man ahwā fa arraqanī, wal-ḥubbu ya‘tariḍul-ladzdzāti bil-alami.

Benar, bayangan dia yang kucintai datang di malam hari dan membuatku tak bisa tidur. Dan cinta memang seringkali menghalangi kenikmatan dengan rasa sakit.

Penyair mengakui bahwa bayangan (khayalan) tentang kekasih yang datang di malam hari membuatnya terjaga. Ini adalah paradoks cinta: ia membawa kenikmatan dalam ingatan, namun sekaligus membawa penderitaan karena ketidakmampuan untuk bertemu secara nyata.

Bait 9

يَا لَائِمِيْ فِي الْهَوَى الْعُذْرِيِّ مَعْذِرَةً ۰ مِنِّيْ إِلَيْكَ وَلَوْ أَنْصَفْتَ لَمْ تَلُمِ

Yā lā-imī fil-hawal-‘udzriyyi ma‘dziratan, minnī ilaika wa law anshafta lam talumi.

Wahai kau yang mencelaku karena cinta suciku, kumohon maafkan aku. Andai kau berlaku adil, niscaya kau takkan mencela.

Di sini, beliau beralih kepada para pencela. "Cinta 'Udzri" adalah istilah untuk cinta yang suci, murni, dan tidak ternoda oleh hawa nafsu. Beliau menegaskan bahwa jika saja para pencela itu memahami hakikat cinta suci kepada Nabi, mereka tidak akan pernah menyalahkannya.

Bait 10

عَدَتْكَ حَالِيْ لَا سِرِّيْ بِمُسْتَتِرٍ ۰ عَنِ الْوُشَاةِ وَلَا دَائِيْ بِمُنْحَسِمِ

‘Adatka ḥālī lā sirrī bimustatarin, ‘anil-wusyāti wa lā dā-ī bimunḥasimi.

Keadaanku telah sampai kepadamu (wahai pencela). Rahasiaku tak lagi tersembunyi dari para pengadu, dan penyakit (rindu) ini tak kunjung sembuh.

Keadaan cintanya sudah begitu jelas dan tak bisa ditutupi lagi. Rahasianya telah tersebar, dan penyakit rindu yang dideritanya bukanlah sesuatu yang bisa disembuhkan dengan mudah. Ia pasrah pada keadaannya.

Bait 11

مَحَّضْتَنِي النُّصْحَ لَكِنْ لَسْتُ أَسْمَعُهُ ۰ إِنَّ الْمُحِبَّ عَنِ الْعُذَّالِ فِيْ صَمَمِ

Maḥḥaḍtanin-nushḥa lākin lastu asma‘uhu, innal-muḥibba ‘anil-‘udzdzāli fī shamami.

Engkau telah memberiku nasihat tulus, namun aku tak mendengarnya. Sungguh, seorang pecinta itu tuli terhadap celaan para pencela.

Beliau mengakui bahwa nasihat yang diberikan mungkin tulus, tetapi bagi orang yang sedang mabuk cinta, telinganya seakan tuli. Hatinya hanya terfokus pada sang kekasih, mengabaikan suara-suara lain di sekitarnya.

Bait 12

إِنِّي اتَّهَمْتُ نَصِيْحَ الشَّيْبِ فِيْ عَذَلِيْ ۰ وَالشَّيْبُ أَبْعَدُ فِيْ نُصْحٍ عَنِ التُّهَمِ

Innīt-tahamtu nashīḥasy-syaibi fī ‘adzalī, wasy-syaibu ab‘adu fī nushḥin ‘anit-tuhami.

Sungguh, aku telah menuduh nasihat uban di kepalaku yang mencelaku. Padahal uban adalah penasihat yang paling jauh dari tuduhan (dusta).

Bahkan uban, yang merupakan penasihat alami akan datangnya usia senja dan perlunya meninggalkan kesia-siaan, ia abaikan. Ini menunjukkan betapa kuatnya cinta kepada Nabi mengalahkan kesadaran akan usia tuanya sendiri. Uban adalah simbol kebijaksanaan, namun cinta mengalahkannya.


Fasal 2: Peringatan Terhadap Hawa Nafsu

Bait 13

فَإِنَّ أَمَّارَتِيْ بِالسُّوْءِ مَا اتَّعَظَتْ ۰ مِنْ جَهْلِهَا بِنَذِيْرِ الشَّيْبِ وَالْهَرَمِ

Fa inna ammāratī bis-sū-i mat-ta‘azhat, min jahlihā binadzīrisy-syaibi wal-harami.

Sungguh, nafsu amarahku (yang menyuruh pada keburukan) tidak mau menerima nasihat, karena kebodohannya terhadap peringatan uban dan usia tua.

Setelah berbicara tentang cinta, Imam Al-Busiri beralih pada introspeksi diri. Beliau menyadari bahwa nafsunya (Nafs al-Ammarah) masih liar dan bodoh. Ia mengabaikan tanda-tanda penuaan (uban dan kelemahan fisik) yang seharusnya menjadi pengingat untuk bertaubat dan memperbaiki diri.

Bait 14

وَلَا أَعَدَّتْ مِنَ الْفِعْلِ الْجَمِيْلِ قِرَى ۰ ضَيْفٍ أَلَمَّ بِرَأْسِيْ غَيْرَ مُحْتَشِمِ

Wa lā a‘addat minal-fi‘lil-jamīli qirā, ḍaifin alamma bira’sī ghaira muḥtasyimi.

Dan (nafsuku) tidak menyiapkan jamuan berupa amal-amal baik, untuk tamu (uban) yang telah singgah di kepalaku tanpa rasa malu.

Uban diibaratkan sebagai tamu yang datang tanpa diundang dan tanpa malu-malu, mengumumkan datangnya usia senja. Seharusnya, kedatangan tamu ini disambut dengan "jamuan" berupa amal saleh. Namun, nafsunya lalai dan tidak mempersiapkan apa-apa.

Bait 15

لَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ أَنِّيْ مَا أُوَقِّرُهُ ۰ كَتَمْتُ سِرًّا بَدَا لِيْ مِنْهُ بِالْكَتَمِ

Law kuntu a‘lamu annī mā uwaqqiruhu, katamtu sirran badā lī minhu bil-katami.

Andai aku tahu bahwa aku tidak akan menghormatinya (uban), niscaya akan kusembunyikan rahasia (uban) yang tampak darinya dengan semir (cat).

Ini adalah ungkapan penyesalan. Jika ia tahu bahwa ia akan mengabaikan peringatan dari uban, lebih baik ia menyembunyikannya (misalnya dengan mengecatnya) agar tidak menjadi saksi atas kelalaiannya. Tentu ini bukan anjuran harfiah, melainkan gaya bahasa untuk menunjukkan dalamnya penyesalan.

Bait 16

مَنْ لِيْ بِرَدِّ جِمَاحٍ مِنْ غِوَايَتِهَا ۰ كَمَا يُرَدُّ جِمَاحُ الْخَيْلِ بِاللُّجُمِ

Man lī biraddi jimāḥin min ghiwāyatihā, kamā yuraddu jimāḥul-khaili bil-lujumi.

Siapakah yang dapat menolongku mengekang nafsuku yang liar dari kesesatannya, sebagaimana kuda liar dikekang dengan tali kendali?

Beliau memohon pertolongan, menyadari kelemahannya dalam mengendalikan nafsu. Nafsu diibaratkan seperti kuda liar (jimah) yang hanya bisa dikendalikan dengan tali kekang (lujum) yang kuat, yaitu takwa dan bimbingan ilahi.

Bait 17

فَلَا تَرُمْ بِالْمَعَاصِيْ كَسْرَ شَهْوَتِهَا ۰ إِنَّ الطَّعَامَ يُقَوِّيْ شَهْوَةَ النَّهِمِ

Falā tarum bil-ma‘āshī kasra syahwatihā, innaṭh-ṭa‘āma yuqawwī syahwatan-nahimi.

Maka janganlah berharap dapat mematahkan syahwatnya dengan maksiat. Sungguh, makanan justru akan menguatkan nafsu orang yang rakus.

Ini adalah sebuah hikmah besar. Menuruti hawa nafsu tidak akan pernah memuaskannya, justru akan membuatnya semakin kuat dan tamak. Seperti orang rakus, semakin banyak ia makan, semakin besar nafsunya. Jalan untuk mengalahkannya adalah dengan menahannya, bukan menuruti kemauannya.

Bait 18

وَالنَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى ۰ حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ

Wan-nafsu kaṭ-ṭifli in tuhmilhu syabba ‘alā, ḥubbir-raḍā‘i wa in tafṭimhu yanfaṭimi.

Dan nafsu itu laksana bayi, jika kau biarkan, ia akan tumbuh dengan kegemaran menyusu. Namun jika kau menyapihnya, ia akan berhenti.

Ini adalah salah satu bait Burdah yang paling terkenal dan sering dikutip. Perumpamaannya sangat tepat. Nafsu, seperti bayi, memiliki kecenderungan alami pada kenikmatan (menyusu). Jika dibiarkan, ia akan terus menuntut. Namun, dengan disiplin dan kemauan keras (disapih), ia bisa dikendalikan dan diarahkan.

Bait 19

فَاصْرِفْ هَوَاهَا وَحَاذِرْ أَنْ تُوَلِّيَهُ ۰ إِنَّ الْهَوَى مَا تَوَلَّى يُصْمِ أَوْ يَصِمِ

Faṣrif hawāhā wa ḥādzir an tuwalliyahu, innal-hawā mā tawallā yushmi aw yashimi.

Maka palingkanlah hawa nafsunya dan waspadalah jangan sampai ia menguasaimu. Sungguh, hawa nafsu jika berkuasa, ia akan membunuh atau mencelakakan.

Nasihatnya sangat tegas: jangan biarkan hawa nafsu menjadi pemimpin. Ia harus dikendalikan dan diarahkan. Jika nafsu dibiarkan memegang kendali, ia akan membawa pada kehancuran spiritual (yushmi - mematikan hati) atau setidaknya aib dan cacat moral (yashimi).

Bait 20

وَرَاعِهَا وَهْيَ فِي الْأَعْمَالِ سَائِمَةٌ ۰ وَإِنْ هِيَ اسْتَحْلَتِ الْمَرْعَى فَلَا تُسِمِ

Wa rā‘ihā wahya fil-a‘māli sā-imatun, wa in hiyastaḥlatil-mar‘ā falā tusimi.

Dan gembalakanlah ia (nafsu) saat sedang beramal. Dan jika ia merasa nikmat dengan padang gembalaan (amal), jangan biarkan ia lepas kendali.

Nafsu harus diawasi bahkan ketika sedang melakukan kebaikan. Sebab, ia bisa tergelincir pada riya' (pamer) atau 'ujub (bangga diri), yang diibaratkan sebagai "menikmati padang gembalaan". Seorang hamba harus terus waspada dan menjaga niatnya agar tetap murni karena Allah.

Bait 21

كَمْ حَسَّنَتْ لَذَّةً لِلْمَرْءِ قَاتِلَةً ۰ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَدْرِ أَنَّ السُّمَّ فِي الدَّسَمِ

Kam ḥassanat ladzdzatan lil-mar-i qātilatan, min ḥaitsu lam yadri annas-summa fid-dasami.

Betapa sering ia (nafsu) menghiasi kenikmatan yang mematikan bagi seseorang, dari arah yang ia tak sadari bahwa racun ada di dalam lemak (makanan lezat).

Nafsu adalah penipu ulung. Ia pandai membungkus keburukan dengan kenikmatan. Maksiat seringkali tampak indah dan menyenangkan, padahal di baliknya terkandung racun yang mematikan iman dan spiritualitas, laksana racun yang tersembunyi dalam makanan yang paling gurih.

Bait 22

وَاخْشَ الدَّسَائِسَ مِنْ جُوْعٍ وَمِنْ شِبَعٍ ۰ فَرُبَّ مَخْمَصَةٍ شَرٌّ مِنَ التُّخَمِ

Wakhsyad-dasā-isa min jū‘in wa min syiba‘in, farubba makhmaṣatin syarrun minat-tukhami.

Dan waspadalah terhadap tipu daya dari rasa lapar maupun kenyang. Karena terkadang kelaparan (yang salah niat) lebih buruk daripada kekenyangan.

Tipu daya syaitan bisa datang dari dua ekstrem. Kekenyangan bisa membawa pada kemalasan dan syahwat. Namun, rasa lapar (misalnya dalam puasa) pun bisa menjadi pintu masuknya tipu daya, seperti riya' atau merasa lebih suci dari orang lain. Keseimbangan dan niat yang lurus adalah kuncinya.

Bait 23

وَاسْتَفْرِغِ الدَّمْعَ مِنْ عَيْنٍ قَدِ امْتَلَأَتْ ۰ مِنَ الْمَحَارِمِ وَالْزَمْ حِمْيَةَ النَّدَمِ

Wastafrighid-dam‘a min ‘ainin qad imtala-at, minal-maḥārimi walzam ḥimyatan-nadami.

Dan curahkanlah air mata dari mata yang telah penuh dengan (melihat) hal-hal yang haram. Dan berkomitmenlah untuk menjaga diet penyesalan.

Solusi untuk membersihkan diri dari dosa adalah dengan menangis karena penyesalan (taubat). Mata yang telah banyak digunakan untuk melihat yang haram harus dibersihkan dengan air mata taubat. Setelah itu, harus ada komitmen kuat untuk "berpantang" dari dosa, yang diibaratkan sebagai "diet penyesalan".

Bait 24

وَخَالِفِ النَّفْسَ وَالشَّيْطَانَ وَاعْصِهِمَا ۰ وَإِنْ هُمَا مَحَّضَاكَ النُّصْحَ فَاتَّهِمِ

Wa khālifin-nafsa wasy-syaiṭāna wa‘ṣihimā, wa in humā maḥḥaḍākan-nushḥa fat-tahimi.

Dan lawanlah nafsu dan syaitan, dan durhakailah keduanya. Dan jika keduanya memberimu nasihat tulus, maka curigailah.

Ini adalah prinsip dasar dalam perjuangan spiritual: selalulah menentang bisikan nafsu dan syaitan. Bahkan jika bisikan itu terdengar seperti nasihat yang baik, kita harus tetap waspada dan mencurigainya. Sebab, seringkali mereka membungkus keburukan dengan dalih kebaikan untuk menjerumuskan manusia.

Bait 25

وَلَا تُطِعْ مِنْهُمَا خَصْمًا وَلَا حَكَمًا ۰ فَأَنْتَ تَعْرِفُ كَيْدَ الْخَصْمِ وَالْحَكَمِ

Wa lā tuṭi‘ minhumā khaṣman wa lā ḥakaman, fa anta ta‘rifu kaidal-khaṣmi wal-ḥakami.

Dan jangan taati keduanya, baik sebagai lawan maupun sebagai hakim. Karena engkau tahu tipu daya sang lawan dan sang hakim (palsu).

Jangan pernah menjadikan nafsu dan syaitan sebagai pihak dalam perdebatan (lawan) atau sebagai penengah (hakim). Keduanya tidak akan pernah adil dan selalu punya agenda tersembunyi. Kita harus merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah sebagai hakim yang sejati.

Bait 26

أَسْتَغْفِرُ اللهَ مِنْ قَوْلٍ بِلَا عَمَلٍ ۰ لَقَدْ نَسَبْتُ بِهِ نَسْلًا لِذِيْ عُقُمِ

Astagfirullāha min qaulin bilā ‘amalin, laqad nasabtu bihi naslan lidzī ‘uqumi.

Aku memohon ampun kepada Allah dari ucapan tanpa perbuatan. Sungguh, dengan itu aku telah menisbatkan keturunan kepada orang yang mandul.

Imam Al-Busiri menunjukkan kerendahan hatinya yang luar biasa. Setelah memberikan nasihat-nasihat agung, beliau beristighfar, khawatir jika ucapannya tidak diiringi dengan amalan. Ucapan tanpa amal diibaratkan seperti mengharapkan anak dari orang yang mandul; sebuah hal yang mustahil dan sia-sia.

Bait 27

أَمَرْتُكَ الْخَيْرَ لَكِنْ مَا ائْتَمَرْتُ بِهِ ۰ وَمَا اسْتَقَمْتُ فَمَا قَوْلِيْ لَكَ اسْتَقِمِ

Amartukal-khaira lākin ma’tamartu bihi, wa mastaqamtu famā qaulī lakastaqim.

Aku menyuruhmu berbuat baik, tapi aku sendiri belum melaksanakannya. Dan aku belum lurus, maka apalah artinya ucapanku kepadamu "luruslah!".

Lanjutan dari kerendahan hati. Beliau merasa tidak pantas menasihati orang lain untuk istiqamah (konsisten di jalan kebenaran) sementara beliau merasa dirinya sendiri belum lurus. Ini adalah cerminan dari seorang 'arif (orang bijak) yang selalu melihat kekurangan diri sendiri.

Bait 28

وَلَا تَزَوَّدْتُ قَبْلَ الْمَوْتِ نَافِلَةً ۰ وَلَمْ أُصَلِّ سِوَى فَرْضٍ وَلَمْ أَصُمِ

Wa lā tazawwadtu qablal-mauti nāfilatan, wa lam uṣalli siwā farḍin wa lam aṣumi.

Dan aku tidak menyiapkan bekal sebelum mati dengan amalan sunnah. Dan aku tidak shalat kecuali yang fardhu dan tidak berpuasa (sunnah).

Ini adalah puncak dari tawadhu' (kerendahan hati). Tentu saja Imam Al-Busiri adalah seorang yang ahli ibadah. Namun, di hadapan keagungan Allah, beliau merasa semua amalannya tidak ada artinya. Beliau merasa seolah-olah hanya melakukan yang wajib saja, sebagai bentuk pengakuan atas segala kekurangannya.


Fasal 3: Pujian Kepada Nabi Muhammad SAW

Bait 29

ظَلَمْتُ سُنَّةَ مَنْ أَحْيَا الظَّلَامَ إِلَى ۰ أَنِ اشْتَكَتْ قَدَمَاهُ الضُّرَّ مِنْ وَرَمِ

Zhalamtu sunnata man aḥyāzh-zhalāma ilā, anisy-takat qadamāhuḍ-ḍurra min warami.

Aku telah menzalimi sunnah (ajaran) dari orang yang menghidupkan malam (dengan ibadah) hingga kedua telapak kakinya mengeluh sakit karena bengkak.

Setelah meratapi kekurangannya, beliau mulai membandingkan dirinya dengan subjek cintanya, Nabi Muhammad SAW. Beliau merasa telah mengabaikan sunnah Nabi, padahal Nabi adalah sosok yang shalat malam hingga kakinya bengkak, sebuah bukti ibadah dan pengabdian yang luar biasa.

Bait 30

وَشَدَّ مِنْ سَغَبٍ أَحْشَاءَهُ وَطَوَى ۰ تَحْتَ الْحِجَارَةِ كَشْحًا مُتْرَفَ الْأَدَمِ

Wa syadda min saghabin aḥsyā-ahu wa ṭawā, taḥtal-ḥijārati kasy-ḥan mutrafal-adami.

Dan beliau mengikat perutnya karena lapar, dan melilitkan batu di pinggangnya yang berkulit lembut dan indah.

Bait ini menggambarkan kezuhudan Nabi SAW. Meskipun memiliki kedudukan tertinggi, beliau sering menahan lapar hingga harus mengganjal perutnya dengan batu. Frasa "berkulit lembut dan indah" (mutrafal-adami) menunjukkan kontras antara kemuliaan fisiknya dan kesederhanaan hidup yang beliau pilih.

Bait 31

وَرَاوَدَتْهُ الْجِبَالُ الشُّمُّ مِنْ ذَهَبٍ ۰ عَنْ نَفْسِهِ فَأَرَاهَا أَيَّمَا شَمَمِ

Wa rāwadathul-jibālusy-syummu min dzahabin, ‘an nafsihi fa arāhā ayyamā syamami.

Dan gunung-gunung yang menjulang tinggi pernah menawarinya untuk menjadi emas, namun beliau menunjukkan kepada mereka ketinggian budi pekerti (dengan menolaknya).

Ini merujuk pada hadits di mana malaikat menawarkan untuk mengubah gunung-gunung di Mekkah menjadi emas untuk Rasulullah. Namun, beliau menolaknya dan memilih hidup sebagai hamba dan nabi yang sederhana. Ini menunjukkan betapa dunia tidak ada artinya di mata beliau.

Bait 32

وَأَكَّدَتْ زُهْدَهُ فِيْهَا ضَرُوْرَتُهُ ۰ إِنَّ الضَّرُوْرَةَ لَا تَعْدُوْ عَلَى الْعِصَمِ

Wa akkadat zuhdahu fīhā ḍarūratuhu, innaḍ-ḍarūrata lā ta‘dū ‘alal-‘iṣami.

Dan kebutuhannya (di dunia) semakin menegaskan kezuhudannya. Sungguh, keadaan darurat tidak akan mengalahkan orang yang terjaga (ma'shum).

Meskipun hidup dalam keterbatasan, hal itu tidak pernah menggoyahkan prinsip dan kezuhudan beliau. Keterjagaan (ishmah) beliau dari dosa membuat beliau mampu melewati segala kesulitan tanpa tergoda oleh dunia sedikit pun.

Bait 33

وَكَيْفَ تَدْعُوْ إِلَى الدُّنْيَا ضَرُوْرَةُ مَنْ ۰ لَوْلَاهُ لَمْ تَخْرُجِ الدُّنْيَا مِنَ الْعَدَمِ

Wa kaifa tad‘ū ilad-dun-yā ḍarūratu man, lawlāhu lam takhrujid-dun-yā minal-‘adami.

Dan bagaimana mungkin kebutuhan duniawi dapat memanggilnya, seseorang yang tanpanya dunia ini tidak akan keluar dari ketiadaan?

Ini adalah puncak pujian. Imam Al-Busiri merujuk pada konsep "Nur Muhammad" atau keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sebab diciptakannya alam semesta. Maka, mustahil jika dunia yang diciptakan karenanya, bisa menggodanya.


Qasidah Burdah adalah sebuah perjalanan spiritual yang membawa pembacanya dari pengakuan akan kelemahan diri, perjuangan melawan hawa nafsu, hingga tenggelam dalam lautan pujian dan cinta kepada Baginda Rasulullah SAW. Setiap baitnya adalah permata yang memancarkan cahaya hikmah, keindahan sastra, dan ketulusan cinta. Membaca, merenungkan, dan melantunkannya bukan sekadar aktivitas ritual, melainkan upaya untuk menyambungkan hati dengan sumber teladan termulia, menumbuhkan kerinduan, dan memohon syafaat di hari kemudian. Semoga kita dapat mengambil pelajaran berharga dari setiap untaian katanya.

🏠 Kembali ke Homepage