Shalat adalah tiang agama, sebuah interaksi sakral antara seorang hamba dengan Tuhannya. Setiap gerakan dan bacaan di dalamnya bukanlah sekadar formalitas, melainkan mengandung makna filosofis dan spiritual yang mendalam. Salah satu rukun fi'li (perbuatan) dalam shalat yang seringkali terlewatkan perenungannya adalah duduk diantara dua sujud. Gerakan ini, yang menjadi jeda antara dua puncak ketundukan (sujud), justru menjadi momen emas untuk memanjatkan sebuah doa yang luar biasa komprehensif, sebuah permohonan yang merangkum segala kebutuhan esensial manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Doa ini begitu istimewa karena dilantunkan dalam sebuah posisi yang penuh adab, setelah kita meletakkan bagian tubuh termulia (wajah) di tempat terendah sebagai simbol pengakuan atas keagungan Allah SWT. Saat bangkit dari sujud pertama, kita tidak langsung sujud kembali, melainkan mengambil jeda sejenak. Jeda ini mengajarkan kita tentang ritme dan keseimbangan dalam ibadah. Dalam jeda inilah, lisan dan hati kita bersatu untuk melafalkan doa yang agung ini.
Kedudukan dan Hukum Duduk Diantara Dua Sujud
Sebelum menyelami lautan makna dari doanya, penting untuk memahami kedudukan gerakan ini dalam struktur shalat. Menurut jumhur (mayoritas) ulama dari mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali, duduk diantara dua sujud merupakan salah satu rukun shalat. Artinya, jika gerakan ini ditinggalkan dengan sengaja, maka shalatnya menjadi tidak sah. Jika terlupakan, maka wajib untuk mengulanginya dan melakukan sujud sahwi di akhir shalat.
Dalil yang menjadi landasan adalah hadits yang dikenal sebagai "hadits orang yang shalatnya buruk" (al-musii' shalatuhu), di mana Rasulullah SAW mengajarkan seorang sahabat tata cara shalat yang benar. Beliau bersabda:
"...kemudian sujudlah hingga engkau thuma'ninah dalam keadaan sujud. Lalu angkatlah kepalamu hingga engkau thuma'ninah dalam keadaan duduk. Kemudian sujudlah hingga engkau thuma'ninah dalam keadaan sujud..."
Kata kunci dalam hadits ini adalah thuma'ninah, yaitu berhenti sejenak hingga seluruh anggota badan tenang pada posisinya. Ini menunjukkan bahwa duduk diantara dua sujud bukan sekadar gerakan transisi, melainkan sebuah rukun yang harus dilaksanakan dengan sempurna dan tenang, minimal selama waktu yang cukup untuk membaca "Subhanallah". Ketenangan inilah yang memberikan ruang bagi hati dan pikiran untuk fokus melantunkan dan meresapi doa yang dibaca.
Bacaan Doa Duduk Diantara Dua Sujud
Terdapat beberapa riwayat mengenai bacaan doa ini, namun yang paling masyhur dan umum diamalkan di Indonesia adalah versi yang mencakup delapan permohonan agung. Mari kita bedah satu per satu, mulai dari lafaz Arab, transliterasi, hingga terjemahannya.
Versi Paling Populer dan Komprehensif
Ini adalah bacaan yang paling sering kita dengar dan pelajari, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Abu Dawud.
رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاجْبُرْنِي، وَارْفَعْنِي، وَارْزُقْنِي، وَاهْدِنِي، وَعَافِنِي، وَاعْفُ عَنِّي
Rabbighfirlii, warhamnii, wajburnii, warfa'nii, warzuqnii, wahdinii, wa 'aafinii, wa'fu 'annii.
"Ya Tuhanku, ampunilah aku, kasihanilah aku, perbaikilah/tutuplah aibku, angkatlah derajatku, berilah aku rezeki, berilah aku petunjuk, sehatkanlah aku, dan maafkanlah aku."
Versi Lebih Ringkas
Ada juga riwayat lain yang lebih singkat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, di mana Nabi SAW membaca:
رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاجْبُرْنِي، وَارْزُقْنِي، وَارْفَعْنِي
Rabbighfirlii, warhamnii, wajburnii, warzuqnii, warfa'nii.
"Ya Tuhanku, ampunilah aku, kasihanilah aku, perbaikilah aku, berilah aku rezeki, dan angkatlah derajatku."
Versi Paling Singkat
Bahkan, terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW terkadang hanya mengulang-ulang permohonan ampunan. Diriwayatkan oleh An-Nasa'i dan Ibnu Majah:
رَبِّ اغْفِرْ لِي، رَبِّ اغْفِرْ لِي
Rabbighfirlii, Rabbighfirlii.
"Ya Tuhanku, ampunilah aku. Ya Tuhanku, ampunilah aku."
Meskipun terdapat beberapa versi, semuanya sahih dan berasal dari tuntunan Nabi Muhammad SAW. Versi yang panjang dan komprehensif adalah yang akan kita bedah maknanya lebih dalam, karena setiap frasa di dalamnya adalah sebuah samudra hikmah dan kebutuhan hakiki seorang hamba.
Menyelami Samudra Makna: Tafsir Setiap Permohonan
Mari kita lakukan perjalanan spiritual untuk memahami kedalaman makna dari setiap kata dalam doa agung ini. Doa ini adalah sebuah paket lengkap, sebuah "sapu jagat" permohonan yang mencakup aspek spiritual, emosional, sosial, dan fisik.
1. رَبِّ اغْفِرْ لِي (Rabbighfirlii) - Ya Tuhanku, Ampunilah Aku
Permohonan ini diletakkan di urutan pertama, dan ini bukanlah suatu kebetulan. Permohonan ampunan (maghfirah) adalah fondasi dari segala kebaikan. Dosa adalah penghalang utama antara seorang hamba dengan Tuhannya. Ia adalah noda yang mengotori hati, pemberat langkah menuju kebaikan, dan penyebab terhalangnya rahmat serta rezeki.
Dengan mengucapkan "Rabbighfirlii", kita mengakui posisi kita sebagai makhluk yang lemah, pelupa, dan tidak luput dari kesalahan. Kita menanggalkan jubah kesombongan dan keangkuhan, seraya mengakui bahwa tidak ada hari yang kita lalui tanpa berbuat dosa, baik yang disengaja maupun tidak, yang besar maupun kecil, yang terlihat maupun tersembunyi. Ini adalah pengakuan total akan kebutuhan kita terhadap ampunan Allah.
Kata "ghafara" dalam bahasa Arab memiliki makna asal "menutupi". Ketika kita memohon maghfirah, kita tidak hanya meminta agar dosa kita dimaafkan, tetapi juga memohon agar aib dan keburukan akibat dosa tersebut ditutupi oleh Allah SWT, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kita memohon agar Allah tidak membuka aib kita di hadapan manusia lain, dan yang lebih penting, tidak mempermalukan kita pada Hari Perhitungan.
2. وَارْحَمْنِي (Warhamnii) - Dan Kasihanilah Aku
Setelah memohon ampunan, kita menyambungnya dengan permohonan kasih sayang (rahmat). Ini adalah sebuah urutan yang logis. Setelah hati dibersihkan dari noda dosa, ia menjadi wadah yang siap untuk menerima curahan rahmat dari Allah Yang Maha Penyayang.
Rahmat Allah adalah segalanya. Kita bisa masuk surga bukan semata-mata karena amal ibadah kita, tetapi karena rahmat-Nya. Kita bisa merasakan nikmat iman, kesehatan, keluarga, dan ketenangan, semua itu adalah manifestasi dari rahmat-Nya. Tanpa rahmat Allah, hidup akan terasa gersang, penuh kesulitan, dan tanpa arah.
Meminta "Warhamnii" adalah pengakuan bahwa segala kebaikan yang kita alami dan harapkan bersumber dari kasih sayang-Nya. Kita memohon agar Allah tidak hanya mengampuni kesalahan kita di masa lalu, tetapi juga melimpahkan kebaikan dan kasih sayang-Nya untuk masa depan kita. Kita meminta agar Allah membimbing setiap langkah kita, memudahkan urusan kita, dan melindungi kita dari segala marabahaya dengan selimut kasih sayang-Nya yang tak terbatas.
3. وَاجْبُرْنِي (Wajburnii) - Dan Perbaikilah/Tutuplah Aibku
Kata "Wajburnii" berasal dari akar kata "jabr", yang memiliki makna yang sangat kaya. Secara harfiah, jabr berarti "memperbaiki sesuatu yang patah atau rusak", seperti halnya menambal atau menyambung tulang yang patah. Dalam konteks doa ini, maknanya menjadi sangat mendalam.
Ketika kita mengucapkan "Wajburnii", kita sedang memohon kepada Allah, Sang Al-Jabbar (Yang Maha Memperbaiki), untuk:
- Memperbaiki Keterpurukan Kita: Setiap manusia pasti pernah merasakan "patah"—patah hati karena kehilangan, patah semangat karena kegagalan, "patah" secara finansial karena kesulitan ekonomi, atau "patah" secara fisik karena sakit. Doa ini adalah permintaan agar Allah menyembuhkan dan memulihkan segala "kepatuhan" dalam hidup kita.
- Menutupi Kekurangan Kita: Kita memohon agar Allah menutupi segala aib dan kekurangan kita, baik dalam hal ibadah, akhlak, maupun ilmu. Kita meminta agar Allah menyempurnakan segala yang kurang dalam diri kita.
- Mencukupkan Kebutuhan Kita: Permohonan ini juga mengandung makna meminta kecukupan. Kita memohon agar Allah mencukupi segala kebutuhan hidup kita sehingga kita tidak bergantung pada selain-Nya.
4. وَارْفَعْنِي (Warfa'nii) - Dan Angkatlah Derajatku
Setelah memohon perbaikan, kita meminta untuk diangkat. Permohonan "Warfa'nii" bukanlah permintaan untuk diangkat derajatnya dalam pandangan manusia, seperti jabatan, popularitas, atau kekayaan duniawi semata. Meskipun itu bisa menjadi bagian darinya, makna utamanya jauh lebih luhur.
Kita memohon agar Allah mengangkat derajat kita di sisi-Nya. Ini adalah permohonan untuk peningkatan kualitas iman dan takwa. Kita ingin diangkat dari lembah kemaksiatan menuju puncak ketaatan. Kita ingin diangkat dari kebodohan menuju cahaya ilmu. Kita ingin diangkat dari sifat-sifat tercela (hasad, sombong, riya') menuju akhlak yang mulia (ikhlas, tawadhu', sabar).
Mengangkat derajat di dunia berarti Allah memberikan kita kemuliaan yang hakiki, yaitu kemuliaan yang didasari oleh ketakwaan. Kita akan dihormati bukan karena materi, tetapi karena akhlak dan keimanan kita. Sementara itu, mengangkat derajat di akhirat adalah puncaknya, yaitu ditempatkan di surga yang tinggi bersama para nabi, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh.
5. وَارْزُقْنِي (Warzuqnii) - Dan Berilah Aku Rezeki
Permohonan rezeki seringkali disalahartikan sebatas materi atau uang. Padahal, konsep rezeki (rizq) dalam Islam sangatlah luas. Ketika kita memohon "Warzuqnii", kita sedang meminta paket rezeki yang komplit dari Allah, Sang Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki).
Rezeki tersebut mencakup:
- Rezeki Jasmani: Makanan yang halal dan baik, pakaian yang menutup aurat, tempat tinggal yang layak, dan kesehatan fisik.
- Rezeki Rohani: Iman yang kokoh, ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyuk, lisan yang senantiasa berdzikir, dan kenikmatan dalam beribadah.
- Rezeki Sosial: Pasangan yang saleh/salehah, anak-anak yang menjadi penyejuk mata, sahabat yang baik, tetangga yang rukun, dan lingkungan yang mendukung ketaatan.
- Rezeki Mental: Ketenangan jiwa, pikiran yang positif, kesabaran dalam menghadapi ujian, dan rasa syukur atas segala nikmat.
6. وَاهْدِنِي (Wahdinii) - Dan Berilah Aku Petunjuk
Inilah permohonan yang paling krusial. Hidayah atau petunjuk adalah nikmat terbesar yang bisa diterima oleh seorang manusia. Tanpa hidayah, apalah arti dari semua nikmat lainnya? Harta, tahta, dan kesehatan bisa menjadi bencana jika tidak dibimbing oleh petunjuk Allah.
Permohonan "Wahdinii" adalah pengakuan bahwa kita senantiasa membutuhkan bimbingan Allah dalam setiap detik kehidupan kita. Kita memohon:
- Hidayah Al-Irsyad: Petunjuk berupa ilmu dan pemahaman yang benar tentang agama. Kita meminta agar ditunjukkan mana yang haq (benar) dan mana yang batil (salah).
- Hidayah At-Taufiq: Petunjuk berupa kekuatan dan kemauan untuk mengamalkan kebenaran yang telah kita ketahui. Sebab, banyak orang yang tahu kebenaran tetapi tidak mampu atau tidak mau mengamalkannya.
7. وَعَافِنِي (Wa 'aafinii) - Dan Sehatkanlah Aku
Kata 'afiyah yang menjadi akar dari "Wa 'aafinii" memiliki makna yang lebih luas dari sekadar "sehat". 'Afiyah adalah kondisi di mana seseorang diselamatkan dan dilindungi oleh Allah dari segala macam keburukan, musibah, penyakit, dan fitnah, baik yang berkaitan dengan urusan agama maupun dunia.
Meminta 'afiyah berarti kita memohon:
- Kesehatan Fisik: Terhindar dari berbagai macam penyakit dan diberikan kekuatan untuk beribadah dan beraktivitas.
- Kesehatan Mental: Terhindar dari stres, depresi, kegelisahan, dan diberikan ketenangan serta kedamaian jiwa.
- Kesehatan Spiritual: Ini yang terpenting. Kita memohon agar agama kita diselamatkan dari berbagai keraguan, syubhat, bid'ah, dan kemaksiatan. Kita meminta agar iman kita senantiasa sehat dan terjaga.
- Keselamatan dari Musibah: Dilindungi dari bencana, kecelakaan, dan segala bentuk kejahatan makhluk.
8. وَاعْفُ عَنِّي (Wa'fu 'annii) - Dan Maafkanlah Aku
Di awal kita meminta maghfirah (ampunan), dan di akhir kita meminta 'afwun (maaf). Apakah keduanya sama? Para ulama menjelaskan ada perbedaan subtil namun signifikan. Maghfirah berasal dari kata ghafara (menutupi), yang berarti dosa ditutupi dan tidak dihukum. Sedangkan 'afwun berasal dari kata 'afa yang berarti "menghapus" atau "memadamkan".
Maka, memohon "Wa'fu 'annii" adalah permohonan tingkat tinggi. Kita tidak hanya meminta agar dosa kita ditutupi, tetapi kita memohon agar catatan dosa itu dihapus seluruhnya dari buku catatan amal, seolah-olah kita tidak pernah melakukannya. Ini adalah bentuk pemaafan yang paling sempurna, di mana tidak ada lagi jejak dan sisa dari kesalahan tersebut.
Dengan menutup doa menggunakan permohonan 'afwun, kita menunjukkan puncak harapan dan kerendahan diri kita kepada Allah, berharap Dia akan membersihkan kita secara total dari segala noda dan dosa.
Sebuah Refleksi: Jeda Penuh Makna
Duduk diantara dua sujud adalah momen kontemplasi. Ia adalah jeda singkat yang memisahkan dua puncak ketundukan. Dalam jeda inilah, kita diingatkan tentang hakikat diri kita sebagai hamba yang sarat dengan kekurangan dan kebutuhan. Doa yang kita panjatkan adalah pengakuan komprehensif atas kelemahan kita dan keperkasaan Allah.
Coba kita renungkan kembali delapan permohonan tersebut. Ia membentuk sebuah siklus yang sempurna:
- Dimulai dengan membersihkan diri (ampunan dan maaf).
- Kemudian memohon anugerah (rahmat dan rezeki).
- Lalu meminta perbaikan dan peningkatan kualitas diri (perbaiki dan angkat derajat).
- Serta memohon proteksi dan bimbingan (sehatkan/selamatkan dan beri petunjuk).
Oleh karena itu, janganlah kita melewati momen duduk diantara dua sujud ini dengan tergesa-gesa. Lakukanlah dengan thuma'ninah. Rasakan setiap kata yang terucap. Hayati setiap permohonan yang kita panjatkan. Sadarilah bahwa pada momen singkat itu, kita sedang meminta delapan hal paling fundamental yang akan menentukan kualitas hidup kita di hadapan Allah SWT. Semoga setiap kali kita duduk di posisi ini, hati kita bergetar karena memahami agungnya permintaan yang sedang kita sampaikan kepada Rabb semesta alam.