Mengungkap Bahasa Asli di Balik Kitab Suci

Pertanyaan fundamental yang sering muncul dalam studi teologi dan sejarah adalah: kitab injil pada awalnya ditulis dengan bahasa apa? Jawaban atas pertanyaan ini tidak sesederhana menyebut satu nama bahasa. Kitab Suci, atau Alkitab, bukanlah sebuah buku tunggal yang ditulis oleh satu orang pada satu waktu, melainkan sebuah perpustakaan agung yang terdiri dari puluhan kitab. Kitab-kitab ini ditulis oleh berbagai penulis dari latar belakang yang berbeda, dalam rentang waktu lebih dari seribu tahun, dan di berbagai lokasi geografis. Perjalanan panjang ini secara alami melibatkan beberapa bahasa yang berbeda, masing-masing dengan kekayaan nuansa, sejarah, dan budayanya sendiri.

Secara umum, Alkitab ditulis dalam tiga bahasa kuno utama: Ibrani Klasik, Aram, dan Yunani Koine. Masing-masing bahasa ini memainkan peran penting dalam narasi besar yang terkandung di dalamnya. Memahami peran setiap bahasa bukan hanya sekadar latihan akademis, tetapi juga membuka jendela untuk mengapresiasi kedalaman makna, keindahan sastra, dan konteks historis dari teks-teks yang telah membentuk peradaban dunia selama ribuan tahun. Penelusuran ini akan membawa kita kembali ke dunia kuno, menjelajahi lanskap linguistik tempat firman-firman ini pertama kali dituliskan.

Tiga Bahasa Asli Alkitab Sebuah gulungan papirus terbuka dengan tiga huruf yang mewakili bahasa Ibrani (Aleph), Aramaik (Aleph dalam aksara persegi), dan Yunani (Alpha). א A Α Ilustrasi gulungan kuno dengan huruf Ibrani, Aram, dan Yunani, melambangkan bahasa asli Kitab Suci.
Tiga pilar linguistik Alkitab: Ibrani, Aram, dan Yunani Koine.

Perjanjian Lama: Bahasa Bangsa Israel dan Kerajaan Kuno

Bagian terbesar dari Alkitab, yang dikenal oleh umat Kristen sebagai Perjanjian Lama dan oleh umat Yahudi sebagai Tanakh, mayoritas ditulis dalam bahasa Ibrani Klasik. Bahasa ini adalah jantung dari identitas, budaya, dan teologi Israel kuno. Namun, ada bagian-bagian kecil tetapi signifikan yang ditulis dalam bahasa serumpunnya, yaitu bahasa Aram.

Ibrani Klasik: Bahasa Perjanjian dan Puisi

Bahasa Ibrani adalah bahasa Semit Barat Laut, satu rumpun dengan bahasa Aram, Ugarit, dan Fenisia. Ibrani yang kita temukan dalam kitab-kitab seperti Kejadian, Keluaran, Yesaya, dan Mazmur adalah bentuk kuno yang sekarang disebut Ibrani Klasik atau Ibrani Alkitabiah. Bahasa ini memiliki karakteristik yang unik yang sangat memengaruhi cara penyampaian pesan-pesan teologisnya.

Salah satu ciri utamanya adalah aksaranya yang bersifat abjad, atau konsonantal. Teks aslinya hanya terdiri dari huruf-huruf konsonan. Para pembaca kuno, yang fasih berbahasa Ibrani, akan secara otomatis menyisipkan bunyi vokal yang tepat berdasarkan konteks kalimat. Bayangkan membaca kalimat "ktb njl pd wlny d tls dngn bhs" dalam bahasa Indonesia; kita bisa menebaknya sebagai "kitab injil pada awalnya ditulis dengan bahasa". Proses serupa terjadi pada pembaca Ibrani kuno. Baru berabad-abad kemudian, sekelompok ahli kitab Yahudi yang dikenal sebagai kaum Masoret menambahkan sistem titik dan tanda (disebut niqqud) di atas dan di bawah huruf-huruf konsonan untuk membakukan pelafalan dan memastikan tradisi lisan tidak hilang.

Keindahan bahasa Ibrani terletak pada kekuatannya dalam narasi dan puisi. Bahasa ini sangat konkret dan dinamis, sering kali menggunakan kata kerja untuk melukiskan gambaran yang hidup. Struktur kalimatnya cenderung langsung dan lugas. Namun, dalam puisi, seperti yang ditemukan dalam Kitab Mazmur, Amsal, atau Kidung Agung, bahasa Ibrani mencapai puncak ekspresi sastranya. Puisi Ibrani tidak bergantung pada rima atau irama seperti puisi Barat, melainkan pada struktur yang disebut paralelisme. Dalam paralelisme, baris kedua dari sebuah bait akan menggemakan, memperluas, atau mengontraskan gagasan dari baris pertama. Contohnya dalam Mazmur 19:1:

"Langit menceritakan kemuliaan Allah,
dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya."

Di sini, "cakrawala memberitakan" adalah gema puitis dari "langit menceritakan," memperkuat gagasan utama dengan cara yang indah dan meditatif. Gaya ini meresap dalam sebagian besar Perjanjian Lama dan merupakan kunci untuk menafsirkan teks-teks puitisnya dengan benar.

Lebih jauh lagi, banyak kata dalam bahasa Ibrani memiliki kedalaman makna yang sulit ditangkap oleh satu kata terjemahan. Ambil contoh kata chesed (חסד). Kata ini sering diterjemahkan sebagai "kasih setia," "kebaikan," "kemurahan," atau "belas kasihan." Namun, tidak ada satu pun dari terjemahan tersebut yang sepenuhnya menangkap maknanya. Chesed adalah kasih yang didasarkan pada komitmen perjanjian, sebuah kesetiaan yang tak tergoyahkan yang terjalin dalam hubungan. Ketika Tuhan menunjukkan chesed kepada Israel, itu bukan sekadar emosi sesaat, melainkan perwujudan dari janji-Nya yang abadi. Contoh lain adalah shalom (שלום), yang sering diterjemahkan sebagai "damai." Namun, shalom lebih dari sekadar tidak adanya konflik. Ia merujuk pada keutuhan, kesejahteraan, kelengkapan, dan harmoni dalam segala aspek kehidupan. Memahami konsep-konsep inti seperti ini dalam bahasa aslinya memberikan dimensi baru pada pemahaman kita tentang teologi Perjanjian Lama.

Bahasa Aram: Lingua Franca di Tengah Pembuangan

Meskipun Ibrani adalah bahasa dominan, ada beberapa bagian dari Perjanjian Lama yang ditulis dalam bahasa Aram. Bahasa Aram juga merupakan bahasa Semit yang sangat mirip dengan bahasa Ibrani. Seiring waktu, terutama selama periode Kekaisaran Asyur, Babilonia, dan Persia, bahasa Aram menjadi lingua franca atau bahasa pergaulan internasional di seluruh Timur Dekat Kuno. Ia digunakan untuk diplomasi, perdagangan, dan administrasi pemerintahan.

Tidak mengherankan, bagian-bagian Alkitab yang ditulis dalam bahasa Aram berhubungan langsung dengan konteks internasional atau periode pembuangan Israel di Babilonia. Bagian-bagian tersebut meliputi:

Peralihan dari bahasa Ibrani ke Aram dan kembali lagi dalam kitab-kitab seperti Daniel dan Ezra bukanlah sebuah kesalahan penyalinan, melainkan pilihan sadar dari penulis untuk menggunakan bahasa yang paling sesuai dengan konteks narasinya. Ini menunjukkan bahwa Alkitab adalah sebuah teks yang hidup dan berakar dalam realitas sejarah pada masanya. Pengaruh bahasa Aram terus tumbuh, dan pada masa Yesus, bahasa ini telah menjadi bahasa sehari-hari bagi orang-orang Yahudi di Yudea dan Galilea.

Perjanjian Baru: Bahasa di Persimpangan Dunia

Ketika kita beralih ke Perjanjian Baru, lanskap linguistiknya berubah secara dramatis. Seluruh kitab dalam Perjanjian Baru—mulai dari Injil Matius hingga Kitab Wahyu—ditulis dalam satu bahasa: Yunani Koine. Pilihan bahasa ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan hasil dari pergeseran besar dalam sejarah dunia yang terjadi berabad-abad sebelum kelahiran Kristus.

Yunani Koine: Bahasa Umum untuk Kabar Baik

Kata Koine (κοινή) dalam bahasa Yunani berarti "umum." Yunani Koine bukanlah bahasa Yunani Klasik yang digunakan oleh para filsuf besar seperti Plato dan Aristoteles. Sebaliknya, ini adalah bentuk bahasa Yunani yang lebih sederhana dan menjadi bahasa internasional di seluruh wilayah Mediterania dan Timur Dekat setelah penaklukan oleh Aleksander Agung pada abad ke-4 SM. Fenomena penyebaran budaya Yunani ini dikenal sebagai Helenisasi.

Ketika Kekaisaran Romawi menguasai wilayah Mediterania, mereka memang membawa bahasa Latin sebagai bahasa hukum dan militer. Namun, di provinsi-provinsi bagian timur, termasuk Yudea, Yunani Koine tetap menjadi bahasa utama untuk perdagangan, pendidikan, dan komunikasi lintas budaya. Ini adalah bahasa yang dipahami oleh orang Yahudi dan non-Yahudi (atau Gentiles) di seluruh kekaisaran. Oleh karena itu, ketika para penulis Perjanjian Baru ingin menyebarkan pesan tentang Yesus seluas mungkin, Yunani Koine adalah pilihan yang paling strategis dan efektif. Pesan yang dimulai di sebuah sudut kecil kekaisaran dapat dengan cepat dipahami dari Roma hingga Mesir, dari Yunani hingga Asia Kecil.

Yunani Koine adalah bahasa yang luar biasa presisi. Ia memiliki sistem tata bahasa yang kompleks dengan kasus kata benda, konjugasi kata kerja yang kaya, dan penggunaan partisip yang canggih. Hal ini memungkinkan para penulis seperti Paulus untuk menyusun argumen teologis yang sangat rumit dan bernuansa dalam surat-suratnya. Bahasa ini mampu mengungkapkan konsep-konsep abstrak seperti anugerah (charis), penebusan (apolutrosis), dan pembenaran (dikaiosis) dengan sangat jelas. Fleksibilitasnya juga memungkinkan berbagai gaya penulisan, mulai dari narasi yang sederhana dalam Injil Markus hingga prosa yang sangat puitis dan simbolis dalam Injil Yohanes dan Kitab Wahyu.

Lapisan Bahasa Aram di Bawah Teks Yunani

Meskipun Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani, penting untuk diingat bahwa Yesus dan para murid-Nya kemungkinan besar berbicara dalam bahasa Aram dalam percakapan sehari-hari mereka. Ini menciptakan sebuah fenomena menarik yang oleh para ahli disebut sebagai "substratum Semit" dalam teks Yunani. Artinya, di balik kata-kata Yunani, kita sering kali dapat merasakan irama, idiom, dan cara berpikir yang berasal dari bahasa Aram atau Ibrani.

Bukti paling jelas dari hal ini adalah adanya beberapa kata dan frasa Aram yang dibiarkan tidak diterjemahkan dalam teks Yunani Perjanjian Baru, seolah-olah untuk menjaga keaslian ucapan aslinya. Beberapa contoh yang terkenal antara lain:

Kehadiran frasa-frasa ini memberikan warna otentik pada narasi Injil dan mengingatkan kita bahwa peristiwa-peristiwa ini terjadi dalam konteks Yahudi di abad pertama. Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa beberapa kitab Injil, terutama Matius, mungkin pada awalnya memiliki versi prototipe atau kumpulan pengajaran Yesus yang ditulis dalam bahasa Ibrani atau Aram, yang kemudian diterjemahkan dan diperluas ke dalam bahasa Yunani. Meskipun tidak ada bukti manuskrip yang bertahan untuk teori ini, pengaruh Semit pada gaya dan kosakata Perjanjian Baru tidak dapat disangkal.

Peran Septuaginta: Jembatan Antar Perjanjian

Diskusi tentang bahasa Perjanjian Baru tidak akan lengkap tanpa menyebutkan Septuaginta. Septuaginta (sering disingkat LXX) adalah nama untuk terjemahan Alkitab Ibrani ke dalam bahasa Yunani Koine, yang dibuat oleh para sarjana Yahudi di Alexandria, Mesir, mulai sekitar abad ke-3 SM.

Pada saat itu, banyak orang Yahudi yang tinggal di luar Yudea (dikenal sebagai Diaspora) tidak lagi fasih berbahasa Ibrani. Mereka berbicara bahasa Yunani dalam kehidupan sehari-hari mereka. Septuaginta dibuat untuk memenuhi kebutuhan rohani mereka, memungkinkan mereka untuk membaca dan mempelajari kitab suci leluhur mereka. Terjemahan ini menjadi sangat berpengaruh.

Bagi para penulis Perjanjian Baru, Septuaginta sering kali menjadi "Alkitab" utama mereka. Ketika mereka mengutip dari Perjanjian Lama—dan mereka melakukannya ratusan kali—mereka paling sering mengutip dari versi Yunani Septuaginta, bukan menerjemahkannya langsung dari bahasa Ibrani. Hal ini memiliki beberapa implikasi penting. Terkadang, terjemahan Yunani dalam Septuaginta memiliki nuansa yang sedikit berbeda dari teks Ibrani Masoretik yang kita miliki saat ini. Para penulis Perjanjian Baru kemudian membangun argumen teologis mereka di atas nuansa dari terjemahan Yunani ini. Contoh paling terkenal adalah Yesaya 7:14. Teks Ibrani menggunakan kata 'almah', yang berarti "perempuan muda." Septuaginta menerjemahkannya dengan kata Yunani 'parthenos', yang secara spesifik berarti "perawan." Penulis Injil Matius (Matius 1:23) mengutip versi Septuaginta ini untuk menunjukkan penggenapan nubuat dalam kelahiran Yesus dari perawan Maria.

Dengan demikian, Septuaginta berfungsi sebagai jembatan linguistik dan teologis yang vital antara dunia Perjanjian Lama yang berbahasa Ibrani dan dunia Perjanjian Baru yang berbahasa Yunani. Ia mempersiapkan kosakata teologis dalam bahasa Yunani yang kemudian digunakan oleh para rasul untuk menjelaskan pribadi dan karya Yesus Kristus.

Dari Gulungan Kuno Hingga Terjemahan Modern

Teks-teks Alkitab pada awalnya ditulis di atas bahan-bahan yang rapuh seperti papirus (dibuat dari tanaman alang-alang) dan kemudian perkamen (dibuat dari kulit binatang). Tidak ada satu pun dari naskah asli tulisan tangan para penulis (yang disebut autograf) yang bertahan hingga hari ini. Apa yang kita miliki adalah salinan dari salinan, yang dibuat dengan susah payah oleh para juru tulis selama berabad-abad.

Proses penyalinan dengan tangan ini, meskipun dilakukan dengan sangat hati-hati, tidak luput dari kesalahan. Terkadang juru tulis bisa salah membaca satu huruf, melewatkan satu baris, atau bahkan menambahkan catatan pinggir ke dalam teks utama. Ilmu yang mempelajari perbandingan ribuan manuskrip kuno yang ada untuk merekonstruksi teks asli sedekat mungkin disebut kritik teks. Penemuan-penemuan arkeologis seperti Gulungan Laut Mati pada pertengahan abad ke-20 telah memberikan wawasan yang luar biasa, menyediakan manuskrip-manuskrip Ibrani yang seribu tahun lebih tua dari yang ada sebelumnya dan mengonfirmasi keandalan transmisi teks Perjanjian Lama secara keseluruhan.

Perjalanan bahasa Alkitab tidak berhenti pada bahasa aslinya. Sejak awal, ada dorongan untuk menerjemahkan pesan ini ke dalam bahasa umat. Setelah bahasa Yunani, terjemahan penting berikutnya adalah ke dalam bahasa Latin, terutama Vulgata Latin karya Hieronimus (Jerome) pada akhir abad ke-4 M, yang menjadi Alkitab standar di Eropa Barat selama lebih dari seribu tahun. Era Reformasi Protestan pada abad ke-16 memicu gelombang baru penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa rakyat, seperti bahasa Jerman oleh Martin Luther dan bahasa Inggris oleh William Tyndale. Misi mereka adalah agar setiap orang biasa dapat membaca Kitab Suci dalam bahasanya sendiri.

Hingga hari ini, upaya penerjemahan terus berlanjut. Alkitab telah diterjemahkan, setidaknya sebagian, ke dalam ribuan bahasa di seluruh dunia. Setiap terjemahan adalah sebuah upaya untuk menjembatani kesenjangan waktu, budaya, dan bahasa, membawa pesan dari dunia kuno yang berbahasa Ibrani, Aram, dan Yunani ke dalam konteks pembaca modern.

Kesimpulan: Mengapa Bahasa Asli Tetap Penting?

Jadi, untuk menjawab pertanyaan awal, kitab injil pada awalnya ditulis dengan bahasa Ibrani Klasik, Aram, dan Yunani Koine. Perjalanan linguistik ini mencerminkan sejarah umat Allah, dari sebuah bangsa kecil di Timur Tengah hingga sebuah gerakan global yang melintasi batas-batas etnis dan geografis.

Meskipun kita memiliki banyak terjemahan yang andal dalam bahasa Indonesia, mempelajari atau setidaknya menyadari bahasa asli Alkitab membuka tingkat pemahaman yang lebih dalam. Hal ini memungkinkan kita untuk:

Pada akhirnya, perjalanan menelusuri bahasa asli Alkitab bukan hanya tentang kata-kata dan tata bahasa. Ini adalah tentang terhubung lebih dekat dengan dunia tempat teks-teks ini lahir dan mendengar gema suara para nabi, penyair, penulis injil, dan rasul dengan lebih jelas. Ini adalah sebuah pengingat bahwa di balik halaman-halaman terjemahan kita, terdapat sebuah kekayaan linguistik dan sejarah yang mendalam, yang terus mengundang kita untuk menggali lebih dalam dan menemukan harta karun yang tak ternilai.

🏠 Kembali ke Homepage