Tindakan mempertikaikan merupakan inti dari dinamika sosial, sebuah manifestasi fundamental dari perbedaan persepsi, kepentingan, atau ideologi. Secara leksikal, mempertikaikan berarti memperdebatkan sesuatu, menjadikan sesuatu sebagai bahan perselisihan, atau mengajukan keberatan terhadap klaim yang ada. Ini melampaui sekadar perbedaan pendapat; ia melibatkan upaya aktif untuk menantang, mendiskreditkan, atau merevisi status quo yang dipegang oleh pihak lain.
Dalam konteks yang luas, mempertikaikan adalah mesin penggerak yang mendorong evolusi pemikiran, hukum, dan politik. Jika tidak ada yang diperbolehkan untuk dipertikaikan, maka stagnasi akan menjadi norma. Namun, jika segala sesuatu dipertikaikan tanpa batas atau kerangka kerja, maka kekacauan adalah hasilnya. Oleh karena itu, peradaban manusia telah menghabiskan waktu yang tak terhingga untuk menciptakan sistem—baik itu sistem hukum, dialog filosofis, atau prosedur diplomatik—yang memungkinkan pertikaian dilakukan secara konstruktif, atau setidaknya, tidak destruktif.
Fenomena ini hadir di setiap skala kehidupan. Di tingkat mikro, kita mempertikaikan tagihan yang salah atau penugasan kerja yang tidak adil. Di tingkat meso, perusahaan mempertikaikan paten atau kontrak dagang. Di tingkat makro, negara-negara mempertikaikan batas wilayah, hak asasi manusia, atau supremasi ideologi. Memahami struktur dari setiap pertikaian adalah langkah awal untuk merumuskan resolusi yang efektif, atau sekadar memahami mengapa beberapa konflik tidak pernah mencapai penyelesaian definitif.
Ilustrasi Pertikaian: Tarik-menarik Kepentingan.
Pada dasarnya, mempertikaikan berhubungan erat dengan proses pencarian kebenaran. Filsafat, sejak era Sokrates, dibangun di atas fondasi kontestasi. Dialog Sokratik adalah pertikaian terstruktur di mana satu premis diuji, dibantah, dan dipertikaikan hingga mencapai pemahaman yang lebih dalam. Tanpa skeptisisme dan keinginan untuk mempertikaikan dogma yang diterima, kemajuan intelektual mustahil terjadi. Inilah yang membedakan ilmu pengetahuan dari keyakinan; ilmu selalu terbuka untuk dipertikaikan melalui metode ilmiah, observasi, dan pengujian hipotesis.
Pertikaian epistemologis (bagaimana kita tahu apa yang kita tahu) menjadi sangat penting di era informasi ini. Ketika fakta dan narasi berlimpah, kemampuan untuk mempertikaikan validitas sumber, metodologi penelitian, dan interpretasi data menjadi kemampuan kritis. Kesediaan untuk terlibat dalam pertikaian ini, meskipun tidak nyaman, adalah perlindungan terhadap kebodohan yang disengaja atau pengabaian rasionalitas.
Mengapa manusia dan kelompok merasa perlu untuk mempertikaikan? Jawabannya terletak pada kombinasi faktor psikologis individu dan dinamika sosiologis kelompok. Pertikaian sering kali berakar pada kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi atau ancaman terhadap identitas yang terancam.
Teori-teori konflik menunjukkan bahwa pertikaian muncul ketika sumber daya dianggap langka. Sumber daya ini tidak selalu bersifat fisik (uang atau tanah), tetapi bisa juga berupa kekuasaan, status, atau pengakuan. Ketika dua pihak memiliki klaim atas sumber daya yang sama, mereka akan mempertikaikan hak mereka secara agresif. Selain kelangkaan, perbedaan persepsi adalah pemicu utama. Dua pihak dapat menyaksikan peristiwa yang sama namun menginterpretasikannya secara berbeda berdasarkan bias kognitif, pengalaman masa lalu, atau kerangka moral mereka.
Ego dan identitas memainkan peran yang dominan. Bagi individu, mempertikaikan klaim pihak lain adalah cara untuk mempertahankan citra diri, otoritas, atau rasa benar mereka. Psikologi sosial menjelaskan fenomena ini melalui teori disonansi kognitif: ketika keyakinan kita dipertikaikan, kita cenderung memperkuat keyakinan awal kita, bahkan di hadapan bukti yang bertentangan, hanya untuk mengurangi ketidaknyamanan mental.
Pada skala sosiologis, mempertikaikan sering kali merupakan fungsi dari batas kelompok. Ketika identitas sosial (ras, agama, kebangsaan) menjadi jelas, kelompok internal (in-group) cenderung melihat kelompok eksternal (out-group) dengan kecurigaan. Setiap tindakan atau klaim dari out-group dapat dipertikaikan sebagai ancaman, terlepas dari substansi klaim tersebut. Ini menciptakan siklus pertikaian yang berbasis pada loyalitas, bukan pada rasionalitas. Polaritas dalam politik modern adalah contoh nyata dari bagaimana identitas kelompok mendominasi analisis logis, menyebabkan pertikaian yang tampaknya tidak dapat diselesaikan karena resolusi akan berarti hilangnya identitas kelompok.
Sistem hukum adalah institusi yang dirancang secara eksplisit untuk menampung, memproses, dan menyelesaikan tindakan mempertikaikan. Pengadilan, arbitrase, dan mediasi semuanya merupakan mekanisme yang dilembagakan untuk mengubah konflik liar menjadi kontestasi yang terstruktur dan terikat aturan. Dalam hukum, pertikaian dibagi menjadi dua kategori besar: substantif dan prosedural.
Pertikaian substantif berpusat pada inti masalah: apakah hak yang diklaim itu ada, apakah kewajiban telah dilanggar, atau apakah kerugian telah terjadi. Dalam kasus perdata (sipil), pihak-pihak mempertikaikan kepemilikan aset, validitas kontrak, atau ganti rugi atas kelalaian. Setiap elemen klaim penggugat harus dipertikaikan oleh tergugat, seringkali melalui penyajian bukti tandingan atau interpretasi hukum yang berbeda.
Salah satu alasan utama pertikaian substantif adalah ambiguitas bahasa hukum. Undang-undang dan peraturan jarang sekali sempurna dan sering memerlukan interpretasi. Pihak-pihak yang bertikai akan mengajukan interpretasi yang paling menguntungkan bagi posisi mereka. Hakim, dalam peran mereka sebagai penentu hukum, harus mempertimbangkan semua argumen yang dipertikaikan untuk mencapai putusan yang adil. Proses ini, yang disebut penalaran hukum, adalah serangkaian pertikaian formal yang ketat.
Pertikaian substantif juga sangat bergantung pada bukti. Pihak yang mengklaim harus menanggung beban pembuktian. Pihak lawan kemudian harus mempertikaikan bukti tersebut, baik dengan menunjukkan kelemahan dalam metodologi pengumpulan bukti, kredibilitas saksi, atau dengan menyajikan bukti tandingan yang sepenuhnya meniadakan klaim awal. Seluruh proses pemeriksaan silang dalam persidangan dirancang untuk mempertikaikan kebenaran atau validitas kesaksian yang diberikan.
Neraca Keadilan yang Mencerminkan Kontestasi Legal.
Selain substansi, seringkali pihak-pihak mempertikaikan prosedur. Pertikaian prosedural melibatkan pertanyaan tentang apakah proses hukum yang benar telah diikuti. Misalnya, seorang terdakwa dapat mempertikaikan legalitas penangkapan, penggeledahan, atau pengumpulan bukti. Dalam litigasi perdata, para pihak dapat mempertikaikan yurisdiksi pengadilan atau kelayakan saksi ahli.
Pertikaian prosedur ini penting karena menjamin keadilan. Jika prosedur yang adil tidak diikuti, bahkan putusan yang substantif benar pun dapat dibatalkan. Dalam banyak sistem hukum, hak untuk mengajukan banding (appeal) adalah bentuk pertikaian prosedural yang paling formal, di mana pengadilan tinggi memeriksa apakah pengadilan tingkat bawah menerapkan hukum dan prosedur dengan benar.
Dalam politik, mempertikaikan adalah jantung dari demokrasi. Sistem multi-partai sengaja dirancang untuk mendorong pertikaian ideologis, di mana partai-partai bersaing dan mempertikaikan kebijakan, anggaran, dan arah negara. Pertikaian politik yang sehat—dilakukan melalui debat, pemilihan umum, dan lembaga legislatif—merupakan indikator kesehatan sistem politik yang memungkinkan perubahan damai.
Parlemen adalah arena pertikaian kebijakan. Ketika sebuah undang-undang diusulkan, setiap pasalnya akan dipertikaikan secara detail oleh oposisi dan fraksi yang berbeda. Pertikaian ini memaksa pembuat undang-undang untuk mempertimbangkan dampak yang lebih luas, menimbang kepentingan yang bersaing, dan memperkuat rasionalitas di balik kebijakan tersebut. Pertikaian anggaran, misalnya, adalah salah satu bentuk pertikaian politik yang paling intens, karena menentukan alokasi sumber daya negara yang terbatas.
Akan tetapi, ketika pertikaian politik melampaui batas rasional dan memasuki ranah delegitimasi pihak lawan, sistem dapat lumpuh. Politik identitas yang ekstrem, di mana lawan tidak hanya dilihat sebagai pesaing tetapi sebagai musuh eksistensial, menyebabkan pertikaian menjadi buntu dan tidak produktif.
Di panggung internasional, negara-negara terus-menerus mempertikaikan kedaulatan, batas wilayah, dan klaim atas sumber daya alam. Pertikaian teritorial, seperti sengketa di Laut Cina Selatan atau konflik perbatasan yang berlarut-larut, menunjukkan bagaimana pertikaian dapat menjadi sumber ketegangan yang kronis dan berpotensi memicu kekerasan.
Mekanisme yang digunakan untuk mempertikaikan klaim geopolitik termasuk diplomasi, perjanjian internasional, dan badan penyelesaian sengketa seperti Mahkamah Internasional (ICJ). Meskipun ICJ tidak selalu memiliki mekanisme penegakan hukum yang kuat, proses di dalamnya melibatkan presentasi argumen hukum yang sangat rinci, di mana kedua negara mempertikaikan validitas peta sejarah, hukum laut, atau perjanjian kolonial untuk mendukung klaim mereka.
Selain pertikaian fisik atas wilayah, terdapat pertikaian normatif di antara negara-negara mengenai definisi dan penerapan hak asasi manusia, demokrasi, dan tata kelola yang baik. Negara-negara sering mempertikaikan hak negara lain untuk mengintervensi urusan internal mereka, atau mempertikaikan universalitas nilai-nilai tertentu. Pertikaian ini membentuk lanskap hubungan internasional yang kompleks dan seringkali tidak stabil.
Pasar bebas adalah sistem yang dibangun di atas dasar kompetisi dan pertikaian. Perusahaan secara konstan mempertikaikan pangsa pasar, harga, dan inovasi. Namun, pertikaian paling formal dalam dunia bisnis seringkali berpusat pada hak kekayaan intelektual (HKI) dan kontrak.
Di sektor teknologi tinggi, perusahaan menghabiskan miliaran dolar untuk mempertikaikan paten. Paten memberikan hak eksklusif kepada penemu, dan ketika batas-batas paten tersebut dianggap dilanggar oleh pesaing, pertikaian hukum pun muncul. Pertikaian paten bukan hanya tentang uang; ini adalah tentang mempertahankan keunggulan kompetitif dan menegaskan klaim atas inovasi masa depan. Proses mempertikaikan validitas paten melibatkan analisis teknis yang rumit, seringkali melibatkan saksi ahli yang berpendapat secara kontradiktif mengenai orisinalitas dan cakupan invensi.
Selain paten, merek dagang dan hak cipta juga menjadi subjek pertikaian yang intens. Pertikaian ini menentukan siapa yang berhak menggunakan nama, logo, atau karya kreatif tertentu, elemen yang vital bagi identitas dan nilai perusahaan.
Sebagian besar pertikaian komersial diselesaikan di luar pengadilan melalui arbitrase. Kontrak bisnis sering kali mencakup klausa arbitrase yang mewajibkan pihak-pihak untuk menyelesaikan perselisihan di hadapan arbiter swasta daripada melalui sistem pengadilan publik. Dalam arbitrase, para pihak mempertikaikan interpretasi klausa kontrak, kinerja kewajiban, atau perhitungan kerugian. Meskipun lebih cepat dan rahasia, arbitrase tetap merupakan proses pertikaian formal yang menuntut bukti dan argumentasi hukum yang kuat.
Contoh klasik adalah pertikaian antara perusahaan konstruksi dan klien mengenai perubahan pesanan (change orders). Kontraktor mungkin mempertikaikan bahwa pekerjaan tambahan berada di luar cakupan kontrak awal, sementara klien mempertikaikan bahwa pekerjaan tersebut sudah tersirat dalam perjanjian. Resolusi di sini bergantung pada presisi bahasa kontrak dan praktik industri yang berlaku.
Munculnya internet dan media sosial telah menciptakan arena baru dan sangat cepat untuk mempertikaikan hampir segala sesuatu. Pertikaian digital seringkali bersifat viral, didorong oleh emosi, dan menyebar tanpa filter kebenaran yang memadai.
Di platform digital, narasi publik terus-menerus dipertikaikan. Misinformasi, berita palsu (hoaks), dan teori konspirasi berkembang biak, dan upaya untuk mempertikaikan klaim-klaim ini seringkali dihadapi dengan resistensi yang kuat. Fenomena ‘kamar gema’ (echo chambers) memperburuk masalah ini, di mana individu hanya terpapar pada informasi yang mendukung keyakinan mereka, membuat mereka menolak semua upaya pertikaian atau sanggahan logis sebagai serangan pribadi atau politik.
Institusi tradisional, seperti jurnalisme dan lembaga ilmiah, kini harus bekerja lebih keras untuk mempertikaikan narasi yang keliru, namun kecepatan pertikaian digital sering melampaui kemampuan verifikasi fakta. Pertikaian semacam ini memiliki konsekuensi nyata, mempengaruhi pemilihan umum, keputusan kesehatan masyarakat, dan kepercayaan pada institusi.
Di bidang teknologi, pertikaian intensif berputar pada kepemilikan dan penggunaan data pribadi. Pengguna mempertikaikan hak perusahaan teknologi besar untuk mengumpulkan dan memonetisasi informasi mereka. Regulator di seluruh dunia mempertikaikan praktik bisnis model iklan yang berbasis pada pelacakan, memaksa perusahaan untuk merevisi kebijakan privasi mereka.
Selain itu, terdapat pertikaian mengenai hak cipta digital, terutama sehubungan dengan konten yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI). Siapa yang memiliki hak cipta atas karya yang dibuat oleh AI? Atau, apakah AI tersebut melanggar hak cipta dengan menggunakan data yang dilindungi untuk pelatihannya? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah medan pertempuran hukum dan etika masa depan.
Meskipun pertikaian adalah keniscayaan, keberhasilan masyarakat diukur dari kemampuannya untuk mengelola dan menyelesaikan pertikaian tersebut. Terdapat tiga pilar utama dalam resolusi konflik terstruktur: negosiasi, mediasi, dan arbitrase.
Negosiasi adalah bentuk resolusi pertikaian yang paling dasar, di mana pihak-pihak secara langsung berusaha mencapai kesepakatan tanpa intervensi pihak ketiga. Negosiasi yang efektif mengharuskan pihak-pihak untuk sementara waktu menghentikan upaya mereka untuk sepenuhnya mempertikaikan posisi pihak lain, dan sebaliknya berfokus pada kepentingan yang mendasarinya.
Namun, negosiasi sering kali gagal jika salah satu pihak memandang pertikaian sebagai permainan ‘zero-sum’ (menang-kalah). Keberhasilan negosiasi membutuhkan kompromi, yang berarti kedua belah pihak harus rela melepaskan sebagian dari klaim yang mereka pertikaikan pada awalnya.
Mediasi melibatkan pihak ketiga yang netral (mediator) yang membantu pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai solusi mereka sendiri. Mediator tidak membuat keputusan, tetapi membantu memfasilitasi komunikasi yang macet dan membantu pihak-pihak mempertikaikan posisi lawan dalam lingkungan yang lebih aman dan terstruktur. Mediator membantu mengidentifikasi kepentingan bersama dan alternatif resolusi yang mungkin sebelumnya diabaikan karena intensitas pertikaian.
Arbitrase adalah langkah yang lebih formal. Seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam konteks bisnis, arbitrase melibatkan penyerahan pertikaian kepada arbiter atau panel arbiter, yang kemudian akan memberikan putusan yang mengikat (disebut award). Ini adalah bentuk pertikaian quasi-yudisial, di mana pihak-pihak masih mempertikaikan kasus mereka di hadapan otoritas, tetapi putusannya lebih final dan sulit untuk dibatalkan di pengadilan.
Untuk memahami kompleksitas mempertikaikan, penting untuk melihat studi kasus di mana konflik bertahan selama puluhan atau bahkan ratusan tahun. Pertikaian berlarut-larut seringkali melibatkan tumpang tindih antara klaim historis, emosi yang mendalam, dan kepentingan geopolitik yang berubah.
Pertikaian atas sumber daya air tawar di wilayah kering adalah contoh klasik di mana kepentingan vital negara-negara saling bertabrakan. Ketika negara hulu memutuskan untuk membangun bendungan besar, negara hilir akan secara otomatis mempertikaikan hak tersebut, mengklaim bahwa tindakan itu melanggar perjanjian pembagian air historis atau mengancam ketahanan pangan mereka. Pertikaian ini sangat sulit diselesaikan karena air adalah kebutuhan eksistensial, membuat ruang kompromi menjadi sangat sempit.
Di sini, pertikaian tidak hanya terjadi di tingkat pemerintah tetapi juga di antara pakar hidrologi yang mempertikaikan model aliran air dan dampak lingkungan. Para diplomat harus mempertikaikan klausul perjanjian lama, sementara para pemimpin mempertikaikan legitimasi tindakan masing-masing di forum internasional.
Dalam beberapa dekade terakhir, banyak negara dan kelompok masyarakat adat mempertikaikan kepemilikan artefak budaya yang disimpan di museum-museum Barat. Kelompok-kelompok ini mempertikaikan legitimasi perolehan artefak tersebut selama periode kolonial atau konflik, mengklaim bahwa benda-benda itu harus dikembalikan ke tempat asal mereka untuk alasan budaya dan spiritual. Museum-museum Barat seringkali mempertikaikan klaim ini dengan alasan bahwa mereka telah menjadi penjaga artefak tersebut, memastikan konservasi dan aksesibilitas global.
Pertikaian restitusi ini adalah pertikaian moral yang mendalam, yang memaksa kita untuk mempertikaikan ulang sejarah, kekuasaan, dan etika kepemilikan. Resolusi seringkali membutuhkan solusi kreatif, seperti berbagi kepemilikan atau pinjaman jangka panjang, alih-alih transfer kepemilikan total.
Tidak semua pertikaian diciptakan sama. Kualitas pertikaian, yaitu cara kita menantang dan ditantang, sangat menentukan apakah hasilnya konstruktif atau destruktif. Etika pertikaian berfokus pada integritas argumentasi dan rasa hormat terhadap pihak lawan.
Pertikaian rasional melibatkan penyerangan pada klaim atau premis (logos). Sebaliknya, pertikaian yang tidak etis sering menggunakan serangan *ad hominem*, di mana pihak lawan mempertikaikan karakter atau motif seseorang alih-alih substansi argumennya. Ketika pertikaian beralih dari fokus pada ‘apa yang benar’ menjadi ‘siapa yang salah,’ peluang resolusi rasional akan hilang.
Sistem hukum, meskipun sering digambarkan sebagai pertarungan sengit, memiliki kode etik yang ketat untuk memastikan bahwa pengacara mempertikaikan bukti dan hukum, bukan secara pribadi menyerang pihak lawan atau hakim.
Kontestasi yang jujur mensyaratkan bahwa pihak yang mempertikaikan harus:
Kemampuan untuk menerima kekalahan dalam sebuah pertikaian adalah tanda kedewasaan intelektual dan politik. Tanpa penerimaan ini, pertikaian hanya akan berlanjut tanpa henti, merusak institusi yang seharusnya memfasilitasi resolusi.
Pertikaian yang paling krusial dalam masyarakat kontemporer seringkali berpusat pada masalah keadilan sosial dan struktur ketidaksetaraan. Kelompok-kelompok marginal harus secara aktif mempertikaikan sistem yang sudah mapan untuk menuntut perubahan dan pengakuan hak mereka. Pertikaian ini jarang terjadi di ruang sidang atau meja perundingan; mereka terjadi di jalanan, media, dan institusi pendidikan.
Gerakan hak-hak sipil, gerakan feminis, dan gerakan lingkungan semuanya merupakan bentuk pertikaian kolektif terhadap norma, hukum, dan struktur kekuasaan yang dianggap menindas. Para aktivis mempertikaikan definisi hukum tentang warga negara, mempertikaikan praktik bisnis yang merusak lingkungan, atau mempertikaikan sejarah yang hanya ditulis dari perspektif kelompok dominan.
Pertikaian sosial semacam ini seringkali menimbulkan ketidaknyamanan karena mereka menantang keyakinan inti masyarakat. Mereka mempertikaikan status quo ekonomi dan politik, yang menyebabkan reaksi keras dari pihak yang diuntungkan oleh sistem yang ada.
Bahkan bahasa menjadi medan pertikaian. Kelompok-kelompok minoritas sering mempertikaikan istilah-istilah yang digunakan untuk menggambarkan mereka, menuntut perubahan terminologi untuk mencerminkan martabat dan otonomi mereka. Pertikaian mengenai penggunaan kata ganti (pronoun), nama tempat, atau bahkan simbol-simbol historis, adalah pertikaian mengenai siapa yang memiliki hak untuk mendefinisikan realitas sosial.
Meskipun bagi sebagian orang pertikaian bahasa ini tampak sepele, bagi pihak yang terlibat, ini adalah pertikaian eksistensial mengenai pengakuan. Bahasa adalah alat kekuasaan, dan mempertikaikan bahasanya adalah cara untuk mendistribusikan kembali kekuasaan tersebut.
Globalisasi telah mengubah sifat pertikaian. Masalah yang dulunya bersifat lokal kini dapat dengan mudah menjadi pertikaian global, seperti pertikaian mengenai perubahan iklim, rantai pasokan global, atau pandemi kesehatan. Ini menuntut kerangka kerja resolusi yang melampaui batas-batas negara.
Institusi multilateral seperti PBB, WTO, dan WHO adalah mekanisme formal di mana negara-negara mempertikaikan isu-isu global. Namun, efektivitas institusi ini kini dipertikaikan itu sendiri. Krisis kepercayaan terhadap multilateralisme, ditandai dengan munculnya nasionalisme dan proteksionisme, membuat penyelesaian pertikaian global semakin sulit. Negara-negara semakin cenderung untuk mempertikaikan legitimasi hukum internasional jika hukum itu bertentangan dengan kepentingan nasional mereka.
Ini menciptakan dilema: sementara masalah global memerlukan solusi kolektif, kemampuan untuk mencapai konsensus kolektif justru sedang dipertikaikan oleh kekuatan-kekuatan politik yang semakin terfragmentasi.
Di masa depan, transparansi mungkin memainkan peran kunci dalam mengurangi pertikaian yang didasarkan pada ketidakpercayaan. Ketika data, proses pembuatan keputusan, dan perjanjian lebih terbuka, ruang bagi spekulasi dan misinterpretasi yang memicu pertikaian dapat berkurang. Teknologi blockchain, misalnya, dipertikaikan sebagai alat yang dapat meningkatkan transparansi dalam kontrak dan transaksi, sehingga mengurangi potensi pertikaian komersial.
Pada akhirnya, efektivitas sistem global akan bergantung pada kemauan para aktor untuk memasuki pertikaian secara jujur, mengakui fakta bersama, dan menahan diri dari godaan untuk memenangkan setiap pertikaian dengan segala cara.
Tindakan mempertikaikan bukanlah sekadar gejala dari masyarakat yang disfungsional; sebaliknya, itu adalah fungsi integral dari masyarakat yang sehat dan dinamis. Tanpa kemampuan untuk mempertikaikan—baik itu dogma, kekuasaan, hukum, atau interpretasi kebenaran—kita akan hidup dalam masyarakat otoriter yang statis. Pertikaikan adalah pemurnian ide, koreksi kesalahan, dan pendorong keadilan.
Dari ruang sidang hingga meja perundingan diplomatik, dari forum daring hingga parlemen, kemampuan kita untuk mengelola perbedaan persepsi secara terstruktur menentukan kualitas peradaban kita. Tantangan terbesar bukanlah untuk menghilangkan pertikaian, karena itu mustahil dan tidak diinginkan, tetapi untuk memastikan bahwa mekanisme yang kita gunakan untuk mempertikaikan adalah adil, etis, dan bertujuan untuk kemajuan bersama.
Masyarakat yang matang adalah masyarakat yang tidak takut untuk mempertikaikan klaim yang berkuasa, namun melakukannya dengan kerangka kerja yang menghormati proses dan rasionalitas. Dalam pertikaian yang terstruktur dan bermartabatlah terletak potensi untuk evolusi berkelanjutan dan keadilan yang lebih besar.
Penyelesaian: Jabat Tangan Setelah Kontestasi.