Pengantar: Keris Bukan Sekadar Senjata
Keris, atau yang sering disebut sebagai Tosan Aji, adalah manifestasi tertinggi dari kebudayaan metalurgi dan spiritualitas Nusantara. Keris melampaui definisi sederhana sebagai senjata; ia adalah pusaka, simbol status, penanda kekerabatan, dan wadah filosofi hidup yang mendalam. Memiliki keris menuntut penghormatan, dan salah satu tindakan yang paling sarat makna adalah prosesi menarik keris dari warangka (sarungnya). Tindakan ini bukan sekadar mengeluarkan bilah, melainkan sebuah ritual yang melibatkan etika, kesadaran spiritual, dan pemahaman akan energi yang terkandung di dalamnya.
Dalam tradisi Jawa, Bali, Melayu, dan daerah-daerah lain di Asia Tenggara, keris selalu diperlakukan dengan penuh adab. Konsep Tosan Aji (besi bertuah/mulia) menegaskan bahwa bilah keris memiliki daya hidup, energi, dan watak yang dibentuk oleh sang Empu (pembuat keris) melalui laku spiritual dan teknik penempaan yang rumit. Oleh karena itu, menarik keris secara sembarangan dianggap sebagai tindakan yang tidak hanya tidak sopan, tetapi juga dapat mendatangkan energi negatif atau bahkan bencana bagi pemiliknya.
Artikel yang mendalam ini akan mengupas tuntas etika, makna filosofis, dan seluruh aspek kultural yang mengelilingi pusaka ini, mulai dari anatomi fisik hingga kompleksitas pamor yang tersurat dalam bilahnya, menjelaskan mengapa prosesi penarikan keris harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan ritual.
Visualisasi Bentuk Keris sebagai Tosan Aji.
Anatomi Filosofis: Mengenal Bagian-Bagian Tosan Aji
Untuk memahami keris, seseorang harus terlebih dahulu menguasai terminologi yang digunakan. Setiap bagian keris, dari ujung bilah hingga gagangnya, memiliki nama spesifik dan, yang lebih penting, makna filosofis yang mendalam. Keseluruhan keris merupakan representasi mikrokosmos dan makrokosmos, simbolisasi dari kehidupan manusia yang harus seimbang antara duniawi dan spiritual.
I. Bagian Bilah (Wilah)
Wilah adalah bagian inti yang ditempa. Materialnya, yang disebut pamor, adalah perpaduan antara besi, baja, dan nikel, yang menghasilkan pola unik. Pamor bukan hanya dekorasi, tetapi hasil dari proses ritual dan doa yang menyalurkan energi tertentu.
- Luk (Lekukan): Jumlah lekukan pada keris selalu ganjil (3, 5, 7, 9, 11, atau 13). Luk melambangkan ketidakpastian, perjuangan hidup, atau tangga spiritual. Keris lurus (tanpa luk) disebut dapur (bentuk) yang melambangkan kemantapan, ketegasan, dan lurusnya tujuan hidup.
- Pamor: Pola metalurgi yang terlihat pada bilah. Pamor dihasilkan dari penumpukan lapisan besi dan nikel (atau meteorit). Setiap pamor memiliki nama dan tuah (yoni) tertentu, seperti Pamor Wos Wutah (beras tumpah) yang melambangkan kemakmuran, atau Pamor Udan Mas (hujan emas) yang melambangkan kekayaan dan rezeki.
- Ganja: Bagian pangkal bilah yang terpisah dan menyambung kembali, berbentuk seperti 'dagu' atau 'alas'. Ganja melambangkan kesatuan dan pertemuan antara lingga dan yoni, atau kesatuan hamba dengan Tuhannya.
- Ricikan (Detail Kecil): Ini termasuk elemen-elemen seperti Kembang Kacang (simbol kerendahan hati), Ghulur (alur di tengah bilah), Sogokan (alur panjang), dan Greneng (gerigi kecil di bagian bawah bilah yang melambangkan ular naga, sering kali diartikan sebagai penjaga bilah).
II. Bagian Sarung dan Pegangan (Warangka dan Deder)
Warangka dan Deder (pegangan) adalah rumah dan jiwa pelengkap bagi bilah. Material kayu yang digunakan (misalnya Timoho, Trembalo) juga dipilih berdasarkan tuah dan kecocokan dengan pemilik.
- Warangka (Sarung): Berfungsi melindungi bilah dan menunjukkan status sosial pemilik. Ada dua gaya utama: Gaya Ladrang (untuk acara resmi) dan Gaya Gayaman (untuk harian). Filosofi Warangka adalah sebagai pelindung dan tempat penyimpanan energi pusaka.
- Gandar: Batang sarung yang menampung bilah.
- Pendok: Selongsong luar dari logam (emas, perak, kuningan) yang melapisi gandar. Pendok melambangkan kemuliaan dan martabat.
- Mendak (Cincin): Cincin kecil yang menjepit antara bilah dan pegangan. Mendak adalah jembatan spiritual yang menghubungkan bilah dengan pemiliknya.
- Deder (Gagang/Hulu): Gagang keris, sering kali diukir menyerupai manusia, dewa, atau makhluk mitologi. Deder adalah simbol diri pemilik, dan cara memegang deder seringkali menentukan etika saat menarik keris.
Etika dan Filosofi Mendalam Proses Menarik Keris
Tindakan menarik keris dari warangka bukanlah tindakan praktis mengeluarkan senjata. Dalam konteks budaya Nusantara, ini adalah interaksi spiritual antara pemilik dan pusakanya. Proses ini terikat pada serangkaian etika (tata krama) yang harus ditaati. Pelanggaran etika ini diyakini dapat merusak hubungan spiritual, mengurangi tuah pusaka, atau bahkan menimbulkan malapetaka.
I. Mengapa Keris Tidak Ditarik Sembarangan?
Keris dipercaya memiliki yoni (energi) yang sangat kuat. Energi ini harus dijaga agar tetap stabil di dalam warangka. Mengeluarkan keris tanpa tujuan yang jelas atau tanpa penghormatan dianggap sebagai pemborosan energi atau pamer kekuasaan yang sombong. Dalam banyak tradisi, keris hanya ditarik dalam tiga kondisi utama:
- Ritual Pembersihan (Jamasan): Dilakukan pada malam 1 Suro (Muharram) atau hari-hari tertentu lainnya, bertujuan membersihkan bilah secara fisik dan spiritual.
- Keperluan Mendesak/Darurat: Jika keris harus digunakan untuk membela diri atau tujuan suci yang genting.
- Ritual Perkenalan (Njemparing): Ketika pemilik baru ingin merasakan "getaran" atau kecocokan energi dengan bilah tersebut, biasanya dilakukan dalam suasana hening dan penuh hormat.
II. Tata Cara dan Urutan Menarik Keris
Ketika seseorang memutuskan untuk menarik keris, prosedur berikut sering kali diikuti, terutama dalam tradisi keraton atau keluarga bangsawan:
- Niat Suci (Laku Batin): Pemilik harus membersihkan niat. Keris tidak ditarik untuk tujuan buruk atau pamer. Niat harus murni: merawat, menghormati, atau berkonsultasi secara spiritual.
- Posisi dan Sikap Tubuh: Keris harus dipegang dengan kedua tangan. Sarung dipegang tangan kiri (melambangkan sifat pasif/bumi/wadah), dan gagang dipegang tangan kanan (melambangkan sifat aktif/langit/isi). Tubuh biasanya sedikit membungkuk (sungkem) sebagai tanda hormat.
- Proses Penarikan (Nglepas): Bilah ditarik keluar perlahan-lahan (seperti menarik napas panjang). Gerakan harus tenang dan terukur, tidak boleh tergesa-gesa. Ini melambangkan pengendalian diri.
- Menghadap Bilah: Saat bilah sudah keluar, bilah tidak boleh diacungkan ke sembarang arah. Bilah biasanya diarahkan ke bawah (menghormati bumi) atau sejajar dengan tubuh. Dalam posisi berdiri, pemilik keris akan membiarkan bilah menggantung sesaat untuk memastikan getaran energinya terasa.
- Ujung Bilah: Ujung keris (Pucuk) tidak boleh diarahkan langsung ke orang lain, bahkan saat berdiskusi tentang keris. Ini dianggap sebagai ancaman serius atau pengiriman energi negatif.
Proses Penciptaan Keris memerlukan laku spiritual mendalam dari Sang Empu.
III. Larangan Mutlak Saat Keris Ditarik
Terdapat beberapa pantangan yang harus dihindari ketika keris sudah dikeluarkan dari sarungnya. Pantangan ini adalah inti dari etika Tosan Aji:
- Meniup Bilah: Meniup bilah secara langsung dianggap sangat tidak sopan. Anggapan kuno mengatakan bahwa niup bilah sama dengan 'mengusir' atau 'mempermalukan' roh penjaga bilah tersebut. Jika ada debu, bilah harus dibersihkan dengan kain bersih atau diolesi minyak pusaka.
- Menggesekkan atau Mengadu Bilah: Keris adalah benda individu. Menggesekkannya dengan keris lain (kecuali dalam konteks ritual uji kekuatan tertentu yang sangat jarang) merusak harmoni spiritual bilah.
- Meletakkan di Tanah: Keris harus selalu diletakkan pada alas yang bersih (biasanya kain putih) dan ditinggikan, tidak boleh bersentuhan langsung dengan lantai atau tanah. Ini adalah penghormatan terhadap martabat Tosan Aji.
- Mengeluarkan di Tempat Kotor: Keris hanya boleh ditarik di tempat yang bersih dan hening, jauh dari keramaian atau tempat-tempat yang dianggap memiliki aura negatif.
Pamor: Energi yang Tertulis dalam Logam
Pamor adalah aspek paling kompleks dari keris, yang menentukan nilai spiritual dan tuah dari bilah tersebut. Pamor diciptakan melalui proses pelipatan dan penempaan berulang-ulang dari material yang berbeda, menciptakan pola yang mirip guratan marmer. Ilmu Pamor adalah ilmu yang sangat luas, dan hanya Empu yang berpengalaman yang dapat "menulis" pamor dengan niat spiritual yang tepat.
I. Klasifikasi Pamor Utama
Pamor diklasifikasikan berdasarkan bentuk dan cara pembuatannya. Secara umum, pamor terbagi menjadi tiga jenis utama:
- Pamor Rekan (Terkendali): Pamor yang bentuknya direncanakan dan diatur oleh Empu. Contohnya: Pamor Udan Mas, Pamor Sekar Jagad, atau Pamor Tumpal Keli. Pamor rekan biasanya memiliki tuah yang spesifik dan langsung.
- Pamor Tiban (Spontan): Pamor yang terjadi secara alami selama proses penempaan dan pelipatan, tanpa direncanakan sepenuhnya. Contohnya: Pamor Wos Wutah (beras tumpah), Pamor Segara Wedi (pasir laut). Pamor Tiban dipercaya memiliki tuah yang datang dari alam semesta, seringkali lebih umum (misalnya keselamatan, rezeki).
- Pamor Miring: Pamor yang polanya miring atau diagonal terhadap bilah. Ini adalah salah satu teknik penempaan yang sulit. Contohnya: Pamor Pedaringan Kebak.
II. Contoh-Contoh Pamor dengan Tuah Spesifik
Pemilik keris yang hendak menarik keris sering kali merenungkan pamornya, karena ini adalah inti dari daya spiritual bilah:
- Pamor Wos Wutah (Beras Tumpah): Salah satu pamor yang paling umum dan dicari. Tuahnya dipercaya membawa rezeki yang melimpah, memudahkan mata pencaharian, dan menciptakan ketenangan batin. Pamor ini cocok untuk hampir semua kalangan.
- Pamor Udan Mas (Hujan Emas): Bentuknya berupa lingkaran-lingkaran kecil. Pamor ini sangat dicari karena tuahnya dipercaya mempercepat datangnya kekayaan, meningkatkan kewibawaan, dan membuka jalur perdagangan.
- Pamor Naga Sasra: Meskipun Naga Sasra lebih kepada dapur (bentuk), pamor yang menyertainya seringkali berkaitan dengan perlindungan mutlak, kemakmuran, dan penolak bala. Biasanya hanya cocok untuk orang-orang dengan jiwa kepemimpinan tinggi.
- Pamor Buntel Mayit (Pembungkus Jenazah): Pamor yang memiliki garis-garis yang melingkari bilah secara rapat. Pamor ini memiliki reputasi yang kuat untuk serangan spiritual, sehingga sangat jarang dimiliki oleh orang biasa. Tuahnya dipercaya dapat membuat musuh celaka atau sakit.
- Pamor Blarak Sinered (Pelepah Kelapa yang Ditarik): Garis-garisnya memanjang lurus. Tuahnya berkaitan dengan memperkuat posisi pemilik dalam hierarki sosial dan memudahkan kenaikan pangkat.
Kompleksitas pamor ini menuntut pemilik keris untuk melakukan dialog spiritual yang berkelanjutan dengan pusakanya. Saat keris ditarik, pamor harus diperhatikan dengan saksama. Jika pamor tampak kusam atau tertutup kotoran, itu adalah indikasi bahwa keris tersebut membutuhkan perawatan (Jamasan) segera.
Laku Sang Empu: Dari Besi Kotor Menjadi Tosan Aji
Sebuah keris baru dapat dianggap sebagai Tosan Aji (besi mulia) setelah melalui tangan seorang Empu. Empu bukan sekadar pandai besi; ia adalah seniman, alkemis, dan rohaniwan. Proses penciptaan keris adalah sebuah ritual yang memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, yang melibatkan laku prihatin (tapa, puasa, meditasi) yang ketat.
I. Tahapan Spiritual dan Fisik
Penciptaan keris, yang akan dihormati setiap kali seseorang menarik keris, melalui tahapan berikut:
- Penentuan Waktu dan Hari Baik: Empu akan berkonsultasi dengan primbon atau kalender Jawa/Bali untuk menentukan hari yang tepat memulai penempaan. Ritual dimulai dengan sesajen dan doa.
- Pilihan Material (Logam Pusaka): Empu memilih besi, baja, dan nikel yang diyakini memiliki "karakter" yang baik. Pada zaman dahulu, nikel sering didapatkan dari meteorit yang jatuh (seperti meteorit Prambanan), yang diyakini membawa energi kosmik.
- Penempaan dan Pelipatan (Satuhan): Logam dipanaskan, ditarik, dilipat, dan ditempa berulang kali (bisa mencapai ratusan lipatan). Proses pelipatan inilah yang menciptakan pamor. Setiap lipatan dilakukan dengan penuh konsentrasi dan diiringi doa. Ini melambangkan proses penyempurnaan diri manusia.
- Penyepuhan (Penajaman Energi): Setelah bentuk bilah selesai, proses penyepuhan dilakukan. Bilah dipanaskan hingga suhu tertentu dan dicelupkan ke dalam cairan khusus (biasanya air bunga atau air sumur tertentu). Ini adalah momen klimaks di mana Empu "memasukkan" roh atau tuah ke dalam keris, menjadikannya pusaka.
- Mewarangka: Setelah bilah selesai, bilah diserahkan kepada pengrajin kayu untuk dibuatkan warangka yang cocok. Warangka harus serasi dengan bilah, baik dari segi ukuran, bentuk, maupun energi.
II. Peran Rasa dan Batin Sang Empu
Kualitas keris sangat tergantung pada batin Empu. Jika Empu menempa dalam keadaan marah, sedih, atau tergesa-gesa, diyakini energi negatif akan melekat pada bilah. Oleh karena itu, Empu wajib menjalani puasa, meditasi, dan menjaga kesucian diri selama proses penempaan. Inilah yang membedakan keris buatan Empu sejati (Tosan Aji) dengan keris modern (gandik). Ketika kita menarik keris, kita tidak hanya memegang logam, tetapi memegang warisan spiritual Empu dan alam semesta.
Contoh termasyhur dari laku spiritual ini adalah cerita Empu Gandring dan Mpu Supa. Mpu Supa, khususnya, dikenal karena kemampuannya "menempa" besi yang sudah dingin, menunjukkan bahwa kekuatan spiritual lebih dominan daripada sekadar teknik metalurgi.
Perawatan dan Jamasan: Menjaga Kehidupan Pusaka
Keris yang sudah menjadi Tosan Aji membutuhkan perawatan berkala, yang dikenal sebagai Jamasan (pencucian ritual) atau Siraman. Jamasan adalah momen di mana pemilik paling sering dan wajib untuk menarik keris, namun tetap dengan ritual dan penghormatan yang tinggi. Tujuan Jamasan adalah membersihkan bilah dari karat dan kotoran fisik, sekaligus menyegarkan kembali energi spiritual (yoni) keris.
I. Waktu Pelaksanaan Jamasan
Waktu yang paling sakral untuk Jamasan adalah pada bulan Suro (Muharram), khususnya Malam Satu Suro. Malam ini dianggap sebagai waktu peralihan energi tahunan, di mana pembersihan spiritual sangat dianjurkan. Selain itu, Jamasan juga dapat dilakukan pada hari-hari tertentu yang dianggap keramat, tergantung pada tradisi keluarga atau keraton.
II. Prosedur Jamasan
Jamasan adalah ritual yang rumit dan membutuhkan persiapan. Ketika menarik keris untuk Jamasan, seluruh etika penarikan harus ditaati, ditambah dengan langkah-langkah pembersihan:
- Penyiapan Bunga dan Tirta (Air Suci): Disiapkan air yang dicampur dengan kembang setaman (tujuh jenis bunga), atau air yang berasal dari sumur keramat.
- Pembersihan Fisik: Bilah ditarik dan dibersihkan menggunakan air jeruk nipis atau asam belimbing (untuk menghilangkan karat). Bilah disikat perlahan dengan kuas halus, sambil membaca doa dan mantra.
- Pengolesan Minyak Pusaka: Setelah bilah benar-benar kering, bilah diolesi dengan minyak khusus (Minyak Pusaka), biasanya berbahan cendana, melati, atau minyak non-alkohol lainnya yang beraroma wangi. Minyak ini berfungsi melindungi bilah dari karat dan sebagai "makanan" bagi yoni keris.
- Penyimpanan Kembali: Bilah dimasukkan kembali ke warangka dengan perlahan, menandakan keris telah "beristirahat" dan siap menjaga pemiliknya selama setahun ke depan.
Jika keris ditarik dan dirawat dengan baik selama Jamasan, diyakini tuahnya akan semakin kuat. Sebaliknya, jika keris dibiarkan kotor dan berkarat, energi negatif dan nasib buruk dapat menimpa pemiliknya.
III. Hubungan Warangka dan Bilah
Penting untuk dicatat bahwa saat Jamasan, warangka juga harus diperiksa dan dibersihkan, namun tidak dengan cara yang sama seperti bilah. Warangka (sarung) melambangkan wadah batin pemilik. Warangka dan bilah adalah pasangan yang tidak terpisahkan. Ketika seseorang menarik keris, ia sedang memisahkan wadah (duniawi) dan isi (spiritual), dan penyatuan kembali mereka harus dilakukan dengan kesadaran penuh.
Dapur dan Kekuatan Simbolis Bentuk Keris
Selain Luk dan Pamor, bentuk keseluruhan keris, yang disebut Dapur, juga menyimpan filosofi dan tuah yang spesifik. Dapur menentukan "watak" dan fungsi utama dari keris tersebut. Mempelajari dapur sama pentingnya dengan memahami pamor, karena kombinasi keduanya membentuk identitas pusaka.
I. Klasifikasi Dapur Berdasarkan Luk
Dapur diklasifikasikan berdasarkan jumlah luk (lekukan):
- Luk 3 (Jalak Sangu Tumpeng, Jangkung): Melambangkan Tri Tunggal atau tiga tahapan hidup. Tuahnya seringkali berkaitan dengan kewibawaan dan keselarasan keluarga.
- Luk 5 (Pandawa Cinarita): Simbolisasi dari tokoh Pandawa Lima dalam Mahabharata. Tuahnya seringkali berkaitan dengan kebijaksanaan, kepemimpinan yang adil, dan perlindungan dari marabahaya. Keris Luk 5 sangat populer di kalangan pejabat.
- Luk 7 (Sempana): Luk yang melambangkan angka kesempurnaan. Tuahnya adalah peningkatan spiritual, membuka mata batin, dan mencapai cita-cita.
- Luk 9 (Sengkelat, Sabuk Inten): Sering diasosiasikan dengan keris-keris pusaka utama kerajaan. Luk 9 melambangkan 9 lubang pada tubuh manusia. Tuahnya meliputi kewibawaan agung, kekuasaan, dan pengayom.
- Luk 11 dan 13: Luk tertinggi, sering dikaitkan dengan keris legenda atau keris yang diyakini memiliki kekuatan paling besar, seperti Carita Keprabon. Melambangkan kesaktian dan penolak bala tingkat tinggi.
II. Dapur Lurus yang Legendaris
Keris lurus (tanpa luk) tidak kalah tuahnya, bahkan seringkali lebih tajam secara energi. Dapur lurus melambangkan ketegasan dan kepastian:
- Bango Mangap: Bentuknya gagah, sering dianggap sebagai keris kepemimpinan.
- Tilam Upih: Salah satu dapur tertua, melambangkan kesederhanaan dan kemakmuran rumah tangga. Keris ini sangat cocok untuk pusaka keluarga (turun temurun).
- Pasopati: Diambil dari nama senjata Arjuna. Dapur ini memiliki tuah keberanian, kekuatan bertarung, dan pertahanan spiritual.
- Bethok: Bentuknya lebar dan pendek. Dipercaya berasal dari masa sebelum Majapahit. Tuahnya sangat fokus pada proteksi fisik dan spiritual.
Setiap kali keris ditarik, pemilik keris harus mengingat dapur dan luk-nya, karena ini adalah kode etik dan fungsi utama dari pusaka tersebut. Misalnya, keris Luk 13 harus ditarik dengan kesadaran yang sangat tinggi akan tanggung jawab besar yang dibawanya.
Keris di Era Kontemporer: Menjaga Warisan Tosan Aji
Meskipun keris tidak lagi digunakan sebagai senjata utama dalam perang, nilai kultural dan spiritualnya tidak pernah pudar. Di era modern, keris tetap dihormati sebagai warisan agung. Para kolektor, budayawan, dan ahli spiritual terus berupaya menjaga etika dan tata krama yang mengelilingi Tosan Aji, termasuk prosesi menarik keris.
I. Tantangan dan Pelestarian
Tantangan terbesar saat ini adalah minimnya pengetahuan generasi muda tentang etika Tosan Aji. Banyak keris ditarik hanya untuk pamer atau tanpa pemahaman akan tuah dan ritualnya. Pelestarian budaya keris kini berfokus pada:
- Edukasi Etika: Mengajarkan kembali bahwa keris adalah sahabat spiritual, bukan hanya pajangan. Etika menarik keris harus diajarkan sejak dini kepada pewaris.
- Regenerasi Empu: Mendukung Empu muda yang masih memegang teguh laku spiritual dalam menempa, memastikan kualitas pusaka tetap terjaga.
- Penelitian Ilmiah: Menganalisis kandungan metalurgi pamor (terutama nikel meteorit) untuk mengapresiasi kehebatan teknologi leluhur.
II. Keris sebagai Simbol Jati Diri
Saat ini, keris sering dipakai sebagai pelengkap busana adat (misalnya pengantin Jawa atau Bali) dan diletakkan di pinggang belakang. Meskipun tidak ditarik, penempatan keris di pinggang belakang melambangkan kesiapan spiritual untuk melindungi diri dan keluarga, serta menunjukkan status sosial dan asal-usul budaya pemiliknya. Keris yang dibawa dalam upacara adat harus dipastikan sudah melalui Jamasan dan siap secara spiritual.
Dalam konteks modern, ketika seorang kolektor atau pewaris menarik keris untuk diamati, ia seringkali menggunakan sarung tangan bersih dan melakukan meditasi singkat terlebih dahulu. Ini adalah adaptasi kontemporer dari penghormatan batin yang selalu dituntut oleh Tosan Aji.
Kesimpulan Mendalam: Jiwa yang Terpatri dalam Baja
Proses menarik keris adalah sebuah momen sakral yang menghubungkan masa lalu, spiritualitas, dan identitas budaya Nusantara. Keris mewakili harmoni kosmik, di mana bilah (besi/duniawi) dan pamor (nikel/spiritual) ditempa bersama oleh Empu (manusia/mediator). Etika dan ritual yang menyelimuti proses penarikan keris mengajarkan kita tentang kerendahan hati, pengendalian diri, dan penghormatan yang mendalam terhadap warisan leluhur.
Keris adalah cerminan diri. Jika keris ditarik dengan penuh adab, ia akan memberikan energi positif. Sebaliknya, jika ditarik dengan niat buruk atau sembarangan, ia hanya akan menjadi seonggok besi tajam. Memahami Tosan Aji berarti memahami filosofi bahwa kekuatan sejati terletak pada pengendalian, bukan pada pameran, dan kekayaan sejati terletak pada kedamaian batin, yang terpatri abadi dalam setiap lekukan dan guratan pamornya. Warisan ini harus terus dijaga, agar filosofi adi luhung Keris tetap menyinari generasi yang akan datang.
Keagungan keris adalah pengingat bahwa di balik benda fisik yang indah, tersimpan sejarah panjang ritual, kepercayaan, dan keahlian metalurgi yang tak tertandingi di dunia.