Mendaulat Kedaulatan Rakyat: Sejarah dan Makna Legitimasi Tak Tergoyahkan

Simbol Kedaulatan Daulat Rakyat

I. Fondasi Filosofis Mendaulat

Konsep mendaulat merupakan inti dari pembentukan dan keberlangsungan sebuah entitas politik yang sah, baik itu sebuah negara, sebuah pemerintahan, maupun sebuah otoritas. Secara etimologis, kata daulat membawa makna kekuasaan tertinggi, keagungan, dan legitimasi mutlak. Mendaulat, dengan demikian, adalah sebuah tindakan aktivasi yang dilakukan oleh subjek—dalam konteks modern, biasanya rakyat—untuk mengakui, menetapkan, dan memberikan kekuasaan tertinggi tersebut kepada entitas atau individu tertentu. Proses ini tidak hanya bersifat seremonial, tetapi merupakan prasyarat esensial bagi terwujudnya tatanan sosial yang stabil dan teratur. Tanpa proses mendaulat, kekuasaan yang ada hanyalah dominasi paksa, bukan otoritas yang sah.

Proses mendaulat menuntut pemahaman yang mendalam mengenai berbagai lapisan makna, mulai dari dimensi historis, implikasi yuridis, hingga pertimbangan moral yang mendasari penyerahan kedaulatan. Ia membedakan secara tegas antara kekuatan (power) dan otoritas (authority). Kekuatan dapat diperoleh melalui penaklukan atau paksaan, namun otoritas hanya dapat lahir dari pengakuan kolektif yang dihasilkan melalui tindakan mendaulat. Oleh karena itu, studi mengenai mendaulat adalah studi mengenai bagaimana masyarakat sipil memberikan izin untuk diperintah, sebuah perjanjian sosial yang diperbarui secara berkelanjutan, memastikan bahwa pemerintah bertindak bukan atas nama dirinya sendiri, melainkan atas nama subjek yang mendaulatnya.

1.1. Definisi dan Konteks Terminologi Kedaulatan

Kedaulatan (sovereignty) adalah sifat fundamental negara, yakni hak eksklusif untuk menjalankan kontrol tertinggi atas wilayah dan rakyatnya. Dalam tradisi politik klasik, konsep ini sering dikaitkan dengan hak ilahi raja. Namun, setelah era Pencerahan, terjadi revolusi filosofis yang memindahkan lokus kedaulatan dari Tuhan atau monarki kepada rakyat itu sendiri. Mendaulat berarti mentransformasi potensi kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan yang terinstitusionalisasi dan terimplementasi melalui mekanisme negara.

Tindakan mendaulat melibatkan setidaknya tiga dimensi krusial:

1.2. Mendaulat dalam Perspektif Kontrak Sosial

Filosofi kontrak sosial, yang dikembangkan oleh pemikir seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau, memberikan kerangka teoretis paling solid untuk memahami tindakan mendaulat. Meskipun masing-masing menawarkan variasi, intinya adalah bahwa individu meninggalkan 'keadaan alamiah' yang penuh risiko untuk bergabung dalam masyarakat politik. Proses ini adalah esensi dari mendaulat.

1.2.1. Daulat Menurut Hobbes dan Kedaulatan Mutlak

Bagi Hobbes, mendaulat adalah tindakan penyerahan kekuasaan yang hampir total kepada seorang penguasa (Leviathan). Rakyat mendaulat kekuasaan ini demi keamanan dan keteraturan. Setelah daulat diberikan, ia bersifat mutlak dan tidak dapat dicabut, karena penarikan kedaulatan akan mengembalikan masyarakat pada kekacauan dan perang semua melawan semua. Dalam pandangan ini, tindakan mendaulat adalah keputusan eksistensial, di mana legitimasi lahir dari fungsi tunggal negara: menjamin kelangsungan hidup.

1.2.2. Daulat Menurut Locke dan Hak Alamiah

Locke memiliki pandangan yang lebih bersyarat. Rakyat mendaulat pemerintah, tetapi hanya sebatas yang diperlukan untuk melindungi hak-hak alamiah mereka: hidup, kebebasan, dan properti. Jika pemerintah gagal melindungi hak-hak ini—atau melanggar mereka—maka rakyat berhak menarik kembali daulat yang telah diberikan. Ini adalah dasar filosofis bagi revolusi dan pembentukan kembali pemerintahan yang lebih adil.

1.2.3. Daulat Menurut Rousseau dan Kehendak Umum

Rousseau menempatkan kedaulatan langsung pada rakyat secara kolektif, yang ia sebut sebagai 'Kehendak Umum' (Volonté Générale). Rakyat tidak mendaulat seorang penguasa; mereka mendaulat diri mereka sendiri sebagai badan legislatif tertinggi. Mendaulat dalam konteks Rousseau adalah partisipasi aktif dalam merumuskan hukum yang berlaku bagi semua. Pemerintah hanyalah pelaksana dari Kehendak Umum, dan legitimasi mereka sepenuhnya bergantung pada kepatuhan mereka terhadap kehendak kolektif yang tak terbagi.

II. Transformasi Historis Tindakan Mendaulat

Sejarah adalah catatan panjang mengenai bagaimana otoritas diperoleh, dipertahankan, dan pada akhirnya ditaulatkan ulang. Dari struktur kekaisaran kuno hingga pembentukan negara bangsa modern, proses mendaulat telah mengalami pergeseran dramatis, mencerminkan evolusi pemikiran politik dan struktur sosial.

2.1. Daulat Ilahi dan Tradisi Kerajaan

Sebelum abad ke-17, tindakan mendaulat seringkali bersifat teokratis atau mistis. Raja atau Kaisar dianggap mendaulat kekuasaannya langsung dari entitas Ilahi, atau melalui garis keturunan suci. Dalam konteks ini, rakyat tidak memiliki peran aktif dalam pemberian daulat; peran mereka terbatas pada kepatuhan dan pengagungan. Di banyak kerajaan Nusantara, misalnya, raja memiliki konsep wahyu atau kesaktian yang berfungsi sebagai sumber legitimasi yang tak tertandingi. Tindakan mendaulat di sini berbentuk ritual pengesahan, bukan persetujuan politik.

2.1.1. Sinkretisme Daulat Tradisional

Pada struktur kekuasaan feodal, legitimasi ditaulatkan melalui sistem patronase dan sumpah setia. Para bangsawan mendaulat raja, dan para petani mendaulat bangsawan. Ini adalah sistem vertikal yang terfragmentasi, di mana penarikan daulat oleh salah satu pihak dapat memicu perang saudara. Proses ini jauh dari kedaulatan rakyat; ia adalah kedaulatan hierarki.

2.2. Era Pencerahan dan Revolusi Daulat

Revolusi di Amerika dan Prancis menjadi titik balik sejarah, menegaskan bahwa kedaulatan adalah milik rakyat. Tindakan mendaulat kemudian berpindah dari mahkota ke konstitusi, yang secara eksplisit menyatakan bahwa semua kekuasaan berasal dari persetujuan yang diperintah. Proklamasi kemerdekaan adalah bentuk mendaulat tertinggi yang dilakukan oleh suatu bangsa, melepaskan diri dari daulat asing dan membentuk daulat internal.

2.2.1. Konstitusi sebagai Manifestasi Mendaulat

Konstitusi, sebagai hukum dasar tertinggi, adalah dokumen yang mengabadikan tindakan mendaulat rakyat. Ketika rakyat (melalui perwakilannya) meratifikasi konstitusi, mereka secara resmi mendaulat mekanisme pemerintahan dan membatasi kekuasaan para penguasa. Pembukaan UUD seringkali menjadi deklarasi abadi dari mana sumber daulat itu berasal, menegaskan bahwa negara didirikan *oleh* rakyat dan *untuk* rakyat.

2.2.2. Peran Revolusi dalam Pembentukan Daulat Baru

Dalam kasus-kasus di mana legitimasi telah hilang total, mendaulat dapat terjadi melalui tindakan revolusioner. Revolusi adalah penarikan daulat secara kolektif dan ekstrem, diikuti dengan pembentukan tatanan politik baru. Tindakan mendaulat pasca-revolusioner ini seringkali sangat rentan dan memerlukan konsensus yang kuat untuk mencegah kembalinya anarki. Ini adalah proses yang penuh risiko, namun esensial ketika saluran demokrasi formal telah buntu.

III. Mekanisme Formal Mendaulat Kekuasaan Negara

Dalam negara demokrasi modern yang berlandaskan hukum, tindakan mendaulat dioperasionalisasikan melalui serangkaian institusi dan proses formal. Mekanisme ini dirancang untuk memastikan bahwa penyerahan kekuasaan terjadi secara damai, terstruktur, dan akuntabel, menjamin bahwa kekuasaan yang dijalankan selalu merupakan refleksi dari kehendak yang ditaulatkan.

3.1. Pemilihan Umum sebagai Ritme Daulat

Pemilihan umum (pemilu) adalah ritual tertinggi dalam tindakan mendaulat. Melalui pemilu, rakyat memperbarui mandat mereka dan memberikan legitimasi kepada para wakil dan pemimpin. Pemilu bukan sekadar penghitungan suara; ia adalah manifestasi periodik dari perjanjian sosial, di mana setiap suara adalah unit daulat yang disalurkan ke struktur negara.

3.1.1. Mendaulat Legislatif: Kekuatan Membuat Hukum

Rakyat mendaulat lembaga legislatif (parlemen) untuk bertindak sebagai pembuat undang-undang yang sah. Kekuatan ini didasarkan pada prinsip perwakilan: anggota parlemen bertindak atas nama konstituen mereka. Kegagalan legislatif untuk mewakili kepentingan rakyat dapat dianggap sebagai erosi terhadap daulat yang telah diberikan, memicu krisis legitimasi.

3.1.2. Mendaulat Eksekutif: Kekuatan Menjalankan Pemerintahan

Mendaulat eksekutif, baik melalui pemilihan presiden langsung atau melalui pemilihan perdana menteri oleh parlemen, memberikan mandat kepada pemerintah untuk menjalankan kebijakan, mengelola sumber daya, dan menjalankan diplomasi. Mandat ini sangat spesifik dan terikat pada platform dan janji yang ditawarkan selama kampanye. Penyimpangan signifikan dari mandat dapat memicu permintaan penarikan daulat, seperti mosi tidak percaya atau impeachment.

3.2. Referendum dan Mendaulat Langsung

Meskipun demokrasi representatif adalah norma, beberapa keputusan krusial memerlukan tindakan mendaulat secara langsung melalui referendum. Dalam referendum, rakyat secara langsung memberikan daulat mereka pada isu tertentu, seperti amandemen konstitusi, perjanjian internasional besar, atau perubahan batas wilayah. Ini adalah penggunaan kedaulatan rakyat yang paling murni, melewati saringan perwakilan.

3.2.1. Kekuatan Konstitusional Daulat Rakyat

Beberapa sistem hukum mensyaratkan bahwa perubahan terhadap prinsip-prinsip fundamental negara hanya dapat ditaulatkan melalui persetujuan langsung rakyat. Ini menegaskan bahwa otoritas konstitusional tertinggi tetap berada di tangan rakyat, dan perwakilan hanya dapat bertindak dalam batas-batas yang telah ditaulatkan oleh konstitusi itu sendiri.

3.3. Batasan dan Pembatasan Daulat

Dalam negara hukum (Rechtstaat), tindakan mendaulat rakyat tidak menghasilkan kekuasaan yang tak terbatas bagi pemerintah. Justru sebaliknya, kedaulatan rakyat mendaulat prinsip-prinsip pembatasan kekuasaan, termasuk perlindungan hak asasi manusia, pemisahan kekuasaan (trias politika), dan supremasi hukum. Pemerintah yang ditaulatkan harus beroperasi di bawah payung aturan yang diciptakan oleh kedaulatan yang mendaulat mereka.

Pemisahan kekuasaan memastikan bahwa daulat yang diserahkan tidak terkonsentrasi di satu tangan, membagi risiko penyalahgunaan. Lembaga yudikatif, misalnya, mendaulat kekuasaan untuk menafsirkan hukum dan memastikan bahwa tindakan eksekutif dan legislatif konsisten dengan konstitusi, yang merupakan kontrak awal dari tindakan mendaulat.

IV. Tantangan Kontemporer terhadap Tindakan Mendaulat

Meskipun konsep mendaulat telah mapan dalam teori politik, implementasinya di abad ke-21 menghadapi berbagai tantangan kompleks, mulai dari erosi kepercayaan publik hingga munculnya kekuatan transnasional yang sulit dikendalikan oleh daulat negara tunggal. Legitimasi kini harus bersaing dengan informasi yang bias, intervensi asing, dan dinamika globalisasi.

4.1. Erosi Kepercayaan dan Krisis Demokrasi

Tindakan mendaulat memerlukan partisipasi dan kepercayaan. Ketika terjadi polarisasi politik, korupsi endemik, atau kegagalan institusional yang berulang, kepercayaan rakyat terhadap proses demokrasi akan terkikis. Rakyat menjadi apatis, dan partisipasi pemilu menurun. Dalam kondisi ini, legitimasi yang diberikan melalui pemilihan mungkin menjadi tipis, menciptakan 'demokrasi tanpa daulat' di mana mekanisme formal ada tetapi dukungan substantif hilang.

4.1.1. Peran Disinformasi dalam Melemahkan Daulat

Penyebaran disinformasi dan berita palsu (hoaks) dapat secara efektif merusak rasionalitas yang mendasari tindakan mendaulat. Jika informasi yang digunakan rakyat untuk memilih pemimpinnya salah, maka keputusan daulat yang dihasilkan pun dapat dikatakan cacat. Kedaulatan siber dan perlindungan data kini menjadi prasyarat baru untuk memastikan bahwa proses mendaulat tetap integritasnya.

4.2. Globalisasi dan Kedaulatan yang Terbagi

Dalam dunia yang semakin terhubung, negara seringkali harus mendelegasikan sebagian daulatnya kepada organisasi supranasional (seperti PBB, WTO, atau serikat dagang regional). Tindakan ini, meskipun strategis, menciptakan kerumitan dalam hal akuntabilitas. Keputusan yang dibuat di level global mungkin tidak secara langsung ditaulatkan oleh rakyat, menciptakan defisit demokrasi. Negara harus menyeimbangkan antara mempertahankan kedaulatan internal yang ditaulatkan rakyat dan kebutuhan untuk berkolaborasi dalam isu-isu transnasional seperti perubahan iklim atau pandemi.

4.2.1. Daulat Ekonomi dan Institusi Internasional

Ketika sebuah negara menerima bantuan atau pinjaman dari institusi seperti IMF, seringkali ada syarat kebijakan yang harus dipatuhi. Penerapan kebijakan ini, meskipun mungkin tidak populer, dianggap sebagai penyerahan daulat ekonomi. Tantangannya adalah bagaimana menjelaskan kepada rakyat bahwa mendaulat sebagian otoritas ekonomi adalah demi kepentingan jangka panjang, tanpa kehilangan kepercayaan publik terhadap pemimpin yang ditaulatkan.

4.3. Digitalisasi dan Daulat Siber

Munculnya ruang siber telah menciptakan dimensi baru kedaulatan: daulat siber. Negara harus mendaulat haknya untuk mengontrol dan mengatur data serta infrastruktur digital di dalam batas wilayahnya. Namun, karena internet bersifat tanpa batas, kontrol ini sulit diterapkan. Perusahaan teknologi raksasa (Big Tech) kini memegang kekuasaan yang seringkali melampaui daulat negara, mengendalikan informasi dan komunikasi publik. Mendaulat kembali ruang digital dari kekuatan swasta dan asing menjadi tugas baru yang mendesak bagi pemerintah yang sah.

V. Implikasi Moral dan Etika dari Tindakan Mendaulat

Mendaulat bukan hanya mekanisme politik atau legal; ia juga memiliki dimensi moral yang mendalam. Pemberian kekuasaan tertinggi kepada negara membawa serta ekspektasi etika dan tanggung jawab yang tidak dapat dipisahkan. Legitimasi sejati tidak hanya berasal dari surat suara, tetapi dari pelaksanaan kekuasaan yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang ditaulatkan oleh masyarakat.

5.1. Etika Pertanggungjawaban Pemerintah

Pemerintah yang telah ditaulatkan memiliki kewajiban moral untuk bertindak demi kebaikan bersama (bonum commune). Ini berarti bahwa setiap kebijakan harus dievaluasi tidak hanya berdasarkan legalitasnya, tetapi juga berdasarkan dampaknya terhadap kesejahteraan semua warga negara. Penyalahgunaan kekuasaan yang ditaulatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok kecil merupakan pengkhianatan terhadap kontrak daulat yang mendasari.

5.1.1. Hak Minoritas dan Daulat Mayoritas

Salah satu tantangan etika terbesar adalah memastikan bahwa tindakan mendaulat oleh mayoritas tidak menindas hak-hak minoritas. Kedaulatan rakyat sejati harus mencakup perlindungan yang tidak dapat dicabut bagi semua warga negara, terlepas dari perbedaan. Pemerintah yang ditaulatkan secara sah harus bertindak sebagai penjaga hak asasi yang bersifat universal, membatasi potensi tirani mayoritas.

5.2. Daulat dan Peran Masyarakat Sipil

Tindakan mendaulat tidak mengakhiri peran rakyat setelah pemilu selesai. Masyarakat sipil berfungsi sebagai mekanisme pengawasan informal yang terus-menerus menguji legitimasi pemerintah yang ditaulatkan. Organisasi non-pemerintah, media independen, dan gerakan sosial adalah instrumen yang digunakan rakyat untuk memastikan bahwa mandat kekuasaan dijalankan secara jujur dan transparan.

Protes massal, misalnya, dapat dilihat sebagai peringatan bahwa daulat yang diberikan sedang dipertanyakan. Walaupun mungkin tidak menggulingkan pemerintah, demonstrasi adalah tindakan mendaulat kembali suara rakyat yang merasa tidak terwakili oleh struktur formal, mendesak reformasi dan akuntabilitas. Ini adalah dialektika sehat antara pemerintah yang ditaulatkan dan rakyat yang mendaulat.

VI. Keberlanjutan Tindakan Mendaulat dan Masa Depan Negara Bangsa

Dalam menghadapi dinamika abad baru, tindakan mendaulat harus beradaptasi. Legitimasi tidak lagi dapat diperoleh hanya melalui klaim historis atau paksaan militer. Ia harus terus-menerus dihasilkan, dipertahankan, dan diperbarui melalui dialog dan inklusivitas. Masa depan negara bangsa sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk mempertahankan relevansi daulat di tengah fragmentasi identitas dan interkoneksi global.

6.1. Inklusivitas dan Pluralisme dalam Mendaulat

Tindakan mendaulat menjadi kuat ketika ia bersifat inklusif. Di negara-negara majemuk, memastikan bahwa semua kelompok etnis, agama, dan regional merasa diwakili dan didengarkan adalah kunci. Jika kelompok-kelompok tertentu merasa bahwa daulat yang diberikan hanya melayani kepentingan kelompok dominan, maka mereka mungkin menarik pengakuan mereka, yang berpotensi memicu konflik atau gerakan separatis. Oleh karena itu, mendaulat menuntut upaya keras untuk mencapai musyawarah mufakat, memastikan bahwa keputusan kolektif benar-benar mewakili keragaman yang ada.

Mekanisme desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah, dalam banyak konteks, adalah upaya untuk memperluas lingkup tindakan mendaulat. Dengan memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada pemerintah lokal yang dipilih secara langsung, legitimasi pemerintahan dapat diperkuat, karena keputusan menjadi lebih dekat dengan rakyat yang mendaulatnya.

6.2. Daulat dan Keadilan Intergenerasi

Konsep mendaulat kini meluas hingga mencakup keadilan intergenerasi. Keputusan yang dibuat oleh pemerintah hari ini—terutama terkait lingkungan, utang publik, dan infrastruktur jangka panjang—akan sangat memengaruhi generasi mendatang yang belum memiliki kesempatan untuk mendaulat. Tanggung jawab etika yang melekat pada daulat menuntut agar para penguasa bertindak sebagai pelayan bagi masa depan, memastikan keberlanjutan sumber daya dan keadilan sosial.

Pemerintah yang ditaulatkan hari ini harus memastikan bahwa tindakan mereka tidak membatasi kemampuan generasi mendatang untuk menikmati hak-hak dasar dan untuk mendaulat pemerintahan mereka sendiri di masa depan yang adil. Ini adalah lapisan moral tertinggi dari kedaulatan rakyat.

6.3. Mempertahankan Kedaulatan Melalui Pendidikan Politik

Tindakan mendaulat hanya dapat berfungsi jika rakyat yang mendaulat berpengetahuan luas dan memiliki kemampuan literasi politik yang tinggi. Pendidikan politik dan sipil yang kuat adalah investasi mendasar dalam mempertahankan legitimasi. Rakyat yang teredukasi mampu membedakan antara retorika politik kosong dan kebijakan substantif, sehingga memastikan bahwa daulat diberikan berdasarkan alasan rasional, bukan manipulasi emosional. Tanpa pendidikan yang memadai, kedaulatan rakyat berisiko menjadi kedaulatan yang mudah dimanipulasi.

Peningkatan kesadaran mengenai hak dan kewajiban warga negara memungkinkan pengawasan yang lebih efektif terhadap pihak yang ditaulatkan. Ini menciptakan siklus umpan balik yang sehat: pemerintah yang ditaulatkan akan cenderung lebih responsif dan bertanggung jawab jika mereka tahu bahwa rakyat yang mendaulat mereka aktif dan kritis. Siklus inilah yang menjaga api legitimasi terus menyala.

Pada akhirnya, tindakan mendaulat adalah komitmen yang abadi. Ia adalah janji kolektif bahwa meskipun kekuasaan itu berbahaya, ia dapat dijinakkan dan diarahkan untuk tujuan yang mulia: menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan beradab. Setiap pemilihan, setiap protes, setiap debat publik, adalah pembaruan dari janji tersebut, menegaskan kembali bahwa otoritas sejati hanya dapat lahir dari persetujuan yang diberikan secara bebas oleh mereka yang diperintah.

Dengan demikian, negara yang kuat bukanlah negara dengan militer terkuat atau kekayaan terbesar, melainkan negara yang daulatnya tak tergoyahkan, karena ia terus-menerus diakui dan ditaulatkan oleh hati nurani dan kehendak bebas seluruh rakyatnya. Keberhasilan dalam memelihara proses mendaulat ini adalah ukuran sejati kematangan politik suatu bangsa. Kegagalan dalam proses ini adalah bencana yang membawa keruntuhan tatanan sosial yang telah susah payah dibangun. Masyarakat harus terus-menerus diingatkan bahwa daulat adalah harta bersama yang harus dijaga bersama-sama dari segala upaya yang bertujuan merusak legitimasi fundamentalnya.

Keseluruhan kerangka negara, dari lembaga terkecil hingga pucuk pimpinan tertinggi, harus secara konsisten memvalidasi keberadaannya melalui pelayanan tak henti kepada sumber daulatnya: kedaulatan rakyat yang tak terbatas. Kekuatan untuk mendaulat, dan untuk menarik daulat, adalah benteng terakhir kebebasan, menjamin bahwa kekuasaan tetap merupakan alat, dan bukan tujuan akhir dari eksistensi bernegara.

Diskusi filosofis mengenai implikasi lanjutan dari mendaulat terus berkembang seiring dengan munculnya teknologi baru dan tantangan global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Misalnya, bagaimana daulat diaplikasikan dalam pengambilan keputusan berbasis kecerdasan buatan? Siapa yang mendaulat algoritma yang memengaruhi kebijakan publik? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa tindakan mendaulat bukanlah konsep statis yang terkunci dalam teks konstitusi, melainkan sebuah aksi politik yang hidup, dinamis, dan terus berevolusi seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Adaptasi terhadap dinamika ini adalah kunci untuk mempertahankan relevansi daulat rakyat di tengah badai perubahan dunia.

Mendaulat adalah fondasi utama bagi setiap sistem hukum yang efektif dan setiap tatanan politik yang stabil. Tanpa pengakuan fundamental ini, hukum hanyalah rangkaian perintah, dan pemerintahan hanyalah alat pemaksa. Ketika mendaulat dilakukan dengan integritas dan kesadaran, ia mengubah perintah menjadi kewajiban moral dan pemerintahan menjadi pelayanan publik yang sah. Inilah warisan terbesar dari era pencerahan dan inilah tantangan abadi bagi setiap generasi untuk dipertahankan dan diperjuangkan.

Proses kompleks ini menuntut ketekunan dan kewaspadaan. Institusi yang ditaulatkan harus senantiasa transparan. Rakyat yang mendaulat harus senantiasa kritis. Hanya dengan keseimbangan dinamis ini, esensi sejati dari kedaulatan rakyat dapat terwujud, mengukuhkan legitimasi yang kokoh, jauh dari segala bentuk tirani dan otoritarianisme. Tindakan mendaulat adalah deklarasi kolektif bahwa nasib bangsa ada di tangan rakyat itu sendiri, dan tanggung jawab ini tidak bisa didelegasikan tanpa syarat.

🏠 Kembali ke Homepage