Gelombang panggilan menuju Ilahi
Mendengar Adzan bukanlah sekadar mendengarkan sebuah pengumuman waktu salat. Adzan adalah sebuah ritual akustik yang telah menjadi fondasi ritme kehidupan Muslim di seluruh penjuru bumi selama lebih dari empat belas abad. Ia adalah pengingat yang lembut namun tegas, sebuah jeda yang memaksa jiwa untuk menarik diri sejenak dari kesibukan duniawi, mengalihkan fokus dari kebutuhan material menuju panggilan spiritual yang hakiki. Setiap kali suara muazin berkumandang, dari minaret tertinggi hingga gema rekaman di ponsel pintar, ia membawa serta bobot sejarah, makna teologis yang mendalam, serta panduan praktis menuju ketaatan.
Bagi seorang Muslim, Adzan adalah barometer iman. Seberapa cepat respons kita terhadapnya, seberapa dalam pemaknaan kita atas setiap lafazhnya, dan seberapa tulus kita mempersiapkan diri setelah mendengarnya, menjadi cerminan langsung dari hubungan kita dengan Sang Pencipta. Dalam masyarakat yang semakin cepat dan terfragmentasi, Adzan berfungsi sebagai jangkar, sebuah suara konstan yang menyatukan umat dari latar belakang, bahasa, dan kondisi sosial yang berbeda-beda, semuanya tunduk pada satu panggilan yang sama.
Artikel ini akan membawa kita pada perjalanan spiritual dan intelektual untuk menyelami Adzan secara utuh. Kita akan membedah asal-usul historisnya, menelaah setiap frasa yang terkandung di dalamnya, memahami etika dan tata cara yang dianjurkan saat mendengarnya, serta merenungkan bagaimana panggilan ini seharusnya mentransformasi kehidupan sehari-hari kita.
Sebelum Adzan dilembagakan, para sahabat di Madinah menghadapi dilema: bagaimana cara terbaik mengumpulkan umat untuk salat berjamaah? Pada masa-masa awal Islam, tidak ada tradisi yang jelas mengenai penanda waktu salat. Ada usulan untuk menggunakan lonceng, sebagaimana tradisi Nasrani, atau menggunakan terompet, seperti yang digunakan oleh umat Yahudi. Namun, Rasulullah SAW menolak usulan-usulan tersebut, karena beliau ingin Islam memiliki identitas yang khas dan berbeda.
Solusi datang melalui mimpi. Diriwayatkan bahwa seorang sahabat bernama Abdullah bin Zaid RA bermimpi melihat seseorang mengajarkan lafazh Adzan yang kita kenal sekarang. Pada malam yang sama, Umar bin Khattab RA juga mendapatkan mimpi serupa. Ketika kedua sahabat ini menyampaikan mimpi mereka kepada Rasulullah SAW, beliau membenarkannya dan memerintahkan Bilal bin Rabah, seorang budak yang dimerdekakan dengan suara yang indah dan lantang, untuk mengumandangkan Adzan tersebut. Inilah yang menandai lahirnya Adzan, bukan sekadar pengumuman yang diciptakan oleh manusia, melainkan sebuah wahyu yang disalurkan melalui mimpi yang benar.
Keputusan historis ini menunjukkan bahwa Adzan memiliki kedudukan yang sangat istimewa, ia bukan sekadar praktik, melainkan bagian integral dari wahyu yang membentuk struktur ibadah umat Islam.
Lafazh Adzan yang berulang lima kali sehari adalah sebuah rangkaian deklarasi keimanan yang komprehensif. Masing-masing bagiannya adalah pilar yang menopang seluruh arsitektur akidah seorang Muslim. Mari kita telaah setiap lafazh yang kita dengar, dan bagaimana seharusnya ia memengaruhi kesadaran kita.
Makna Literal: Allah Maha Besar (atau Maha Agung). Ini adalah kalimat pembuka, fondasi dari segala sesuatu yang akan diucapkan selanjutnya. Pengulangannya empat kali pada awal Adzan menandakan penekanan mutlak terhadap keagungan Ilahi.
Refleksi Spiritual: Ketika kita mendengar ‘Allahu Akbar’, kita diingatkan bahwa segala permasalahan, urusan, kesenangan, dan kesibukan dunia yang sedang kita hadapi adalah kecil di hadapan kebesaran Allah. Panggilan ini berfungsi sebagai sakelar mental: apa pun yang kita lakukan harus segera dihentikan karena ada sesuatu yang JAUH lebih besar yang memanggil kita. Lafazh ini menuntut kita untuk melepaskan genggaman dunia dan bersiap untuk menghadap Sang Maha Agung. Ini adalah terapi spiritual untuk mengatasi ego dan kesombongan, mengingatkan bahwa kekuasaan tertinggi hanya milik-Nya.
Konsekuensi dari pengakuan ini sangat mendalam. Jika Allah memang Maha Besar, maka ketergantungan kita harus sepenuhnya pada-Nya, dan ketakutan kita terhadap selain-Nya harus sirna. Ini adalah seruan untuk memprioritaskan yang abadi di atas yang fana.
Makna Literal: Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah (Tuhan yang berhak disembah).
Refleksi Spiritual: Bagian ini adalah inti dari tauhid. Setelah mengakui kebesaran-Nya, kita menegaskan keesaan-Nya. Mendengar kalimat syahadat dalam Adzan adalah pembaharuan sumpah harian kita. Ini bukan sekadar pengakuan lisan, tetapi janji batin untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan ibadah, doa, dan ketaatan kita. Kesaksian ini menolak segala bentuk penyembahan ganda (syirik), baik yang terang-terangan (menyembah berhala) maupun yang tersembunyi (mengutamakan materi, popularitas, atau ego di atas perintah-Nya).
Dua kali pengulangannya menekankan pentingnya keyakinan yang kokoh. Ini adalah pemurnian niat sebelum memasuki salat, memastikan bahwa salat yang akan didirikan adalah murni karena Allah semata, bebas dari motivasi duniawi.
Makna Literal: Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Refleksi Spiritual: Bagian ini menegaskan Syahadat Rasul, pilar kedua keimanan. Pengakuan keesaan Allah harus diikuti dengan pengakuan kenabian Muhammad SAW sebagai pembawa risalah dan teladan. Ini mengingatkan kita bahwa jalan menuju Allah adalah melalui ajaran yang dibawa oleh Rasulullah. Ketika kita mendengar lafazh ini, kita harus merenungkan kembali sejauh mana kita telah mengikuti sunnahnya dalam kehidupan kita sehari-hari, dari hal terbesar hingga hal terkecil.
Panggilan ini juga merupakan deklarasi bahwa ajaran Islam adalah sempurna dan universal, dibawa oleh utusan terakhir. Ini adalah seruan untuk mengintegrasikan ajaran kenabian ke dalam setiap aspek moralitas, etika, dan hukum kita.
Makna Literal: Marilah menuju salat.
Refleksi Spiritual: Ini adalah bagian yang paling mendesak dan langsung dari Adzan. Setelah menegakkan fondasi tauhid, kini datanglah perintah untuk bergerak. Salat (shalah) secara bahasa berarti ‘doa’ atau ‘hubungan’. Ini adalah undangan untuk meninggalkan aktivitas dunia dan memasuki komunikasi langsung dengan Sang Pencipta. Ketika muazin mengucapkannya, itu seperti Sang Raja Semesta memanggil hamba-Nya secara pribadi.
Keengganan untuk merespons ‘Hayya ‘ala Ash-Shalah’ adalah keengganan untuk merespons janji pertemuan yang paling suci. Kalimat ini menuntut tindakan segera, meninggalkan keraguan, dan menghilangkan kemalasan.
Makna Literal: Marilah menuju kemenangan/kesuksesan/kebahagiaan abadi.
Refleksi Spiritual: Falah adalah konsep yang jauh lebih luas dari sekadar keberhasilan duniawi. Ia mencakup kemenangan di dunia dan keselamatan di akhirat. Dengan menghubungkan salat (Ash-Shalah) dengan kemenangan (Al-Falah), Adzan secara eksplisit mengajarkan bahwa salat bukanlah beban, melainkan sarana utama untuk mencapai keberhasilan sejati.
Jika kita merasa lelah, stres, atau kehilangan arah, Adzan mengingatkan kita bahwa solusi dan ketenangan sejati tidak ditemukan dalam pengejaran materi yang tak berujung, melainkan dalam hubungan vertikal dengan Allah. Salat adalah investasi jangka panjang yang menjamin keuntungan yang tak terbatas.
Makna Literal: Allah Maha Besar.
Refleksi Spiritual: Pengulangan ini di akhir berfungsi sebagai penutup yang kokoh, mengikat kembali seluruh seruan kepada konsep sentral keagungan Allah. Ini menegaskan bahwa setelah semua seruan untuk bersaksi dan salat, keagungan-Nya tetap menjadi otoritas tertinggi.
Makna Literal: Tiada tuhan selain Allah.
Refleksi Spiritual: Akhir Adzan adalah penegasan final Tauhid. Ini adalah kalimat termulia yang merangkum seluruh esensi risalah Islam. Ini adalah titik akhir, pengakuan terakhir, dan kesimpulan dari panggilan spiritual yang telah selesai diucapkan. Semuanya kembali pada keesaan Allah.
Mendengar Adzan menuntut lebih dari sekadar pengakuan pasif; ia memerlukan respons aktif dan penuh kesadaran (ijabah). Ada serangkaian adab (etika) dan sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW bagi mereka yang mendengarkan Adzan, menjadikannya momen ibadah tersendiri.
Sunnah utama saat mendengar Adzan adalah mengulang atau menirukan lafazh yang diucapkan oleh muazin, kecuali pada dua frasa spesifik. Tujuan dari muqabalah ini adalah untuk menyelaraskan hati dan lisan dengan panggilan tersebut, memastikan kita sepenuhnya terlibat dalam pengumuman ilahi itu.
Tata Cara Muqabalah Detail:
Ketika muazin mengucapkan kalimat seruan, pendengar dianjurkan untuk menggantinya dengan ucapan yang menunjukkan pengakuan akan daya dan upaya hanya milik Allah, yaitu:
“La hawla wa la quwwata illa billah” (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).
Penggantian ini memiliki makna spiritual yang sangat mendalam. Ketika kita dipanggil untuk salat (sebuah aktivitas yang membutuhkan energi dan kehendak), kita mengakui bahwa kemampuan kita untuk merespons panggilan itu, untuk bangun, berwudu, dan salat, bukanlah karena kekuatan kita sendiri, melainkan semata-mata karena anugerah dan pertolongan Allah. Ini adalah ekspresi kerendahan hati yang sempurna di hadapan perintah Ilahi.
Dalam Adzan Subuh, setelah lafazh ‘Hayya ‘ala Al-Falah’, muazin menambahkan:
"Ash-Shalatu khairum min an-naum" (Salat itu lebih baik daripada tidur).
Refleksi Mendalam: Penambahan ini ditujukan kepada jiwa yang sedang terbuai dalam kenyamanan. Ia adalah pengingat bahwa ketenangan hakiki yang dicari dalam tidur tidak dapat dibandingkan dengan ketenangan spiritual yang ditemukan dalam salat. Ketika mendengarnya, sebagian ulama menganjurkan untuk menjawab dengan ucapan yang sama persis, sementara yang lain menyarankan untuk menjawab dengan: “Shadaqta wa bararta” (Engkau benar dan engkau telah berbuat baik).
Hal ini menekankan perjuangan spiritual yang unik pada waktu Subuh—perjuangan antara kenyamanan fisik melawan kewajiban ilahi.
Setelah Adzan selesai dikumandangkan dan muqabalah telah diselesaikan, sunnah yang paling penting adalah membaca doa khusus yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Doa ini adalah permintaan agar Rasulullah SAW diberikan kedudukan termulia di Akhirat.
"Allahumma Rabba hadzihid da’watit taammah, wash shalaatil qaa-imah, aati Muhammadanil wasiilata wal fadhiilah, wab’atshu maqaamam mahmuudal ladzii wa’adtah, innaka laa tukhliful mii’aad."
Terjemahan: Ya Allah, Tuhan pemilik panggilan yang sempurna ini dan salat yang didirikan ini, berikanlah kepada Muhammad al-Wasilah (kedudukan mulia) dan keutamaan, dan bangkitkanlah beliau pada kedudukan terpuji yang telah Engkau janjikan, sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji.
Keutamaan Doa Ini: Rasulullah SAW bersabda bahwa barangsiapa yang membaca doa ini setelah Adzan, maka ia berhak mendapatkan syafaat beliau pada Hari Kiamat. Hal ini menunjukkan bahwa Adzan adalah sarana untuk memperkuat ikatan kita tidak hanya dengan Allah, tetapi juga dengan Nabi-Nya, melalui permohonan agar beliau diberikan kemuliaan tertinggi.
Periode antara Adzan dan Iqamah (seruan kedua untuk memulai salat) adalah salah satu waktu yang paling mustajab (dikabulkan) untuk berdoa. Rasulullah SAW bersabda, "Doa yang tidak ditolak adalah doa antara Adzan dan Iqamah." Oleh karena itu, jeda waktu ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, bukan hanya untuk berwudu dan mempersiapkan diri, tetapi juga untuk memanjatkan hajat pribadi, taubat, dan permohonan ampunan.
Mendengarkan Adzan dan meresponsnya dengan benar adalah sebuah investasi spiritual yang menghasilkan ganjaran besar, tidak hanya pada waktu salat itu sendiri, tetapi juga dalam kehidupan abadi di Akhirat.
Di luar dimensi ritualistik, Adzan memiliki peran krusial dalam membentuk pola pikir, struktur sosial, dan kesehatan mental komunitas Muslim. Ia adalah ritme yang mengikat waktu fisik dengan waktu spiritual.
Dalam Islam, waktu adalah aset berharga. Adzan memecah hari menjadi lima segmen yang jelas, masing-masing dengan makna dan fokus spiritual yang unik:
Adzan memastikan bahwa tidak ada satu pun segmen waktu yang berlalu tanpa pengingat akan tujuan hidup yang lebih tinggi. Ia mencegah waktu agar tidak terbuang percuma dalam ketidaksadaran.
Suara Adzan, terutama jika dikumandangkan dengan merdu (tartil), secara psikologis dapat menurunkan tingkat stres dan kecemasan. Bagi banyak Muslim, mendengar Adzan di tengah-tengah kesibukan kota yang bising adalah seperti menemukan oase. Ia adalah pengingat bahwa meskipun dunia di sekitar kita kacau, ada ketertiban ilahi yang stabil dan konstan.
Ketika jiwa merasa tertekan, ‘Hayya ‘ala Ash-Shalah, Hayya ‘ala Al-Falah’ adalah sebuah perintah untuk mencari bantuan. Salat adalah terapi spiritual, dan Adzan adalah undangan resmi untuk sesi terapi tersebut. Pengakuan ‘Allahu Akbar’ membantu menempatkan masalah dalam perspektif yang benar; masalah menjadi kecil ketika dihadapkan pada kebesaran tak terbatas Sang Pencipta.
Adzan juga berfungsi sebagai penanda geografis dan sosiologis. Di mana pun Adzan berkumandang, ia menandai keberadaan komunitas Muslim yang aktif dan terorganisir. Ia menyatukan orang-orang yang mungkin tidak pernah berinteraksi di pasar atau tempat kerja, untuk berdiri bahu-membahu dalam satu saf (barisan), menghapus sekat-sekat sosial, ekonomi, dan rasial.
Mendengar Adzan adalah sinyal kolektif. Ia menciptakan rasa kepemilikan dan identitas bersama, memperkuat ikatan ukhuwah Islamiyah, dan memastikan bahwa tidak ada individu yang merasa terisolasi dalam menjalankan kewajiban agamanya.
Setelah Adzan, ada seruan kedua yang disebut Iqamah (atau Qamah), yang menandakan bahwa salat berjamaah akan segera dimulai. Iqamah memiliki lafazh yang mirip tetapi diucapkan lebih cepat dan hanya diulang sekali (kecuali lafazh ‘Allahu Akbar’ di awal dan akhir). Namun, ada satu penambahan krusial yang harus direfleksikan.
Di tengah-tengah Iqamah, muazin mengucapkan:
"Qad qaamati ash-shalaah" (Salat telah didirikan/telah tiba).
Ini adalah titik balik. Adzan adalah seruan untuk datang; Iqamah adalah pengumuman bahwa pertemuan telah dimulai. Pendengar, yang telah berwudu dan siap, harus segera berdiri meluruskan saf.
Perbedaan Respons: Berbeda dengan Adzan, sebagian besar ulama menganjurkan agar saat mendengar Iqamah, umat Muslim tidak menanggapi dengan ucapan, melainkan segera bangkit dan merapikan barisan. Namun, ketika mendengar ‘Qad qaamati ash-shalaah’, beberapa madzhab menganjurkan untuk menjawab dengan: “Aqaamallahu wa adaamahaa” (Semoga Allah mendirikannya dan melanggengkannya).
Iqamah diucapkan lebih singkat karena tujuannya berbeda. Adzan adalah panggilan jarak jauh, ditujukan untuk mereka yang masih jauh dan membutuhkan waktu untuk bersiap. Iqamah adalah seruan jarak dekat, ditujukan kepada mereka yang sudah ada di masjid, berfungsi sebagai hitungan mundur final. Kecepatan Iqamah menekankan kesiapan dan urgensi untuk memasuki ibadah tanpa penundaan lebih lanjut.
Jarak antara Adzan dan Iqamah adalah kunci untuk memastikan bahwa ibadah dilakukan dengan kesempurnaan. Jarak ini memberikan waktu untuk membersihkan diri, menyucikan pakaian, dan yang terpenting, menyucikan niat. Sempurnanya Adzan dan Iqamah adalah cerminan dari kesempurnaan salat yang akan didirikan.
Di era modern, Adzan menghadapi tantangan baru, terutama di perkotaan yang bising atau di wilayah minoritas. Namun, kewajiban untuk merespons tetap ada, bahkan ketika panggilan tersebut mungkin hanya terdengar melalui gawai elektronik.
Bagi Muslim yang tinggal di tempat di mana Adzan tidak dikumandangkan melalui pengeras suara, Adzan digital atau aplikasi waktu salat menjadi pengganti yang penting. Meskipun sensasi spiritual mendengar suara muazin langsung dari minaret tidak tergantikan, Adzan digital tetap memenuhi fungsi pengingat waktu.
Tantangannya adalah memastikan bahwa respons terhadap Adzan digital sama khusyuknya dengan respons terhadap Adzan fisik. Muqabalah dan doa setelah Adzan harus tetap dilakukan, memperkuat kesadaran bahwa panggilan itu berasal dari Allah, terlepas dari medianya.
Tantangan terbesar setelah mendengar Adzan adalah godaan untuk menunda salat, sebuah praktik yang dikenal sebagai *taswiif*. Kita sering tergoda untuk menyelesaikan pekerjaan sebentar lagi, menunda wudu, atau menunda salat hingga waktu mepet.
Mendengar Adzan harus menghasilkan disiplin diri yang instan. Respons yang paling dicintai Allah adalah yang paling cepat dan paling tulus. Mengingat kembali janji ‘Hayya ‘ala Al-Falah’ – marilah menuju kemenangan – adalah motivasi terkuat untuk segera meletakkan segala urusan duniawi dan memenuhi panggilan tersebut.
Meskipun semua Adzan secara lafazh adalah sah, kualitas kumandang Adzan memengaruhi resonansi spiritualnya. Sejarah telah mencatat para muazin legendaris (seperti Bilal bin Rabah) yang suaranya tidak hanya indah tetapi juga penuh penghayatan. Keindahan suara Adzan membantu menarik hati yang lalai kembali kepada Allah. Oleh karena itu, memastikan bahwa Adzan dikumandangkan dengan tartil (jelas dan berirama) dan penuh ketulusan adalah bagian penting dari menjaga kesucian ritual ini.
Dalam totalitasnya, Adzan adalah sebuah manifestasi kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Ia bukan sekadar pengumuman, melainkan sebuah janji yang diperbaharui lima kali sehari, janji akan adanya kesempatan untuk bertaubat, untuk beristirahat dari dunia, dan untuk berbicara langsung dengan Sang Pencipta.
Mendengar Adzan dengan penuh kesadaran adalah praktik spiritual yang terus-menerus. Setiap kali kita mengulang lafazh muazin, setiap kali kita membaca doa setelahnya, kita sedang membangun benteng spiritual yang melindungi kita dari godaan dan kelalaian. Adzan mengajarkan kita disiplin, prioritas, dan kerendahan hati.
Telah disebutkan bahwa lafazh Adzan akan menjadi pengiring bagi seorang Muslim dari lahir (dikumandangkan di telinga bayi) hingga saat perpisahan terakhir. Ia adalah suara yang mengawali dan mengakhiri perjalanan hidup seorang hamba, sebuah simbol yang abadi mengenai panggilan dan respons. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu menyambut seruan suci ini dengan hati yang terbuka dan jiwa yang patuh.
Kekuatan Adzan tidak terletak pada volumenya, melainkan pada keagungan pesan yang dibawanya. Ia adalah penanda kehidupan, pengatur waktu ketaatan, dan yang terpenting, sebuah peta menuju kemenangan abadi (Al-Falah).
***
Untuk memahami kedalaman Adzan, kita harus kembali secara intensif pada frasa ‘Hayya ‘ala Al-Falah’. Falah sering diterjemahkan sebagai ‘kesuksesan’ atau ‘kemenangan’, namun dalam konteks Al-Qur’an dan hadits, makna Falah adalah jauh lebih kaya. Falah mencakup tiga dimensi utama:
Falah dimulai dari keimanan yang benar (tauhid). Tanpa tauhid yang murni (yang telah ditegaskan di awal Adzan), semua upaya menuju Falah akan sia-sia. Salat adalah praktik yang paling tampak dari Falah spiritual, karena ia membersihkan dosa, menyucikan hati, dan menghubungkan hamba secara langsung dengan Allah. Adzan Subuh secara spesifik menjanjikan Falah, menantang kegelapan spiritual yang seringkali menyertai tidur dan kemalasan di pagi hari.
Seorang Muslim yang merespons Adzan menuju salat seharusnya mencerminkan Falah dalam perilakunya sehari-hari. Salat yang benar (khusyuk dan ikhlas) akan mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Oleh karena itu, Adzan bukan hanya panggilan vertikal (kepada Allah), tetapi juga panggilan horizontal (untuk berbuat baik kepada sesama manusia). Jika seseorang merespons panggilan Adzan tetapi tetap berperilaku buruk, ia belum mencapai Falah yang dijanjikan oleh panggilan tersebut.
Meskipun Falah terutama merujuk pada Akhirat, ia juga mencakup kesejahteraan di dunia. Adzan, yang memecah hari kerja, memaksa Muslim untuk menyeimbangkan tuntutan materi dengan kewajiban spiritual. Paradoksnya, dengan mengalokasikan waktu yang 'tidak produktif' (waktu salat), seorang Muslim justru menemukan efisiensi dan keberkahan dalam sisa waktu kerjanya. Falah mengajarkan bahwa kesuksesan duniawi yang sejati adalah yang dilindungi dan diberkahi oleh ketaatan kepada Allah, bukan kesuksesan yang dicapai dengan mengorbankan iman.
Keseluruhan pesan Adzan adalah sebuah sintesis yang sempurna antara akidah, ibadah, dan akhlak, semuanya diikat oleh janji Falah. Mendengar Adzan adalah kesempatan untuk mengoreksi arah, membenahi niat, dan memperbaharui komitmen kita pada jalan yang menjamin kebahagiaan sejati.
Meskipun secara umum Adzan adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) dan responsnya (muqabalah) adalah sunnah, para fuqaha (ahli fikih) memiliki diskusi yang mendalam mengenai kewajiban mendengar Adzan bagi mereka yang wajib salat:
Mengumandangkan Adzan adalah fardhu kifayah (kewajiban kolektif) bagi komunitas. Jika satu orang sudah mengumandangkannya, kewajiban itu gugur bagi yang lain. Namun, Adzan tetap merupakan syarat sah untuk salat berjamaah di masjid menurut banyak madzhab, meskipun tidak membatalkan salat jika ditinggalkan (kecuali dalam kondisi tertentu).
Bagi laki-laki yang sehat dan tidak memiliki uzur syar'i, sebagian ulama, terutama dari kalangan Hanbali dan Syafi'i, berpendapat bahwa mendengar Adzan dari masjid terdekat menjadikan kehadiran salat berjamaah wajib. Imam Ahmad bahkan menyatakan bahwa barangsiapa mendengar Adzan tetapi tidak menjawab panggilannya tanpa uzur, maka salatnya mungkin tidak diterima sepenuhnya.
Pentingnya poin ini adalah: Mendengar Adzan bukan sekadar mendapatkan informasi, tetapi menerima perintah untuk bertindak. Jika kita berada dalam jarak pendengaran normal (tanpa pengeras suara), panggilan itu bersifat imperatif untuk menghadiri jemaah.
Ketika Adzan dikumandangkan, disunnahkan untuk menghentikan segala pembicaraan atau kegiatan yang tidak mendesak. Bahkan, sebagian ulama terdahulu sangat menekankan keutamaan diam dan hanya berfokus pada muqabalah. Hal ini menunjukkan betapa besar penghormatan yang harus diberikan kepada panggilan Allah tersebut. Terlibat dalam bisnis atau percakapan sepele saat Adzan dianggap sebagai perilaku yang mengurangi keberkahan.
Imam al-Nawawi, seorang ulama Syafi'i terkemuka, menekankan bahwa respons (muqabalah) harus dilakukan segera setelah muazin selesai mengucapkan lafazhnya, tanpa jeda yang terlalu lama, untuk memastikan kesinambungan antara panggilan dan penerimaan hamba.
Salah satu aspek spiritual Adzan yang sering luput adalah peran Adzan dalam dimensi gaib (yang tidak terlihat). Rasulullah SAW mengajarkan bahwa jinn dan setan akan menjauh ketika mendengar Adzan. Ini menunjukkan bahwa suara Adzan memiliki kekuatan perlindungan spiritual.
Diriwayatkan bahwa setan akan lari menjauh saat mendengar kumandang Adzan hingga ia tidak dapat mendengarnya lagi, dan ketika Adzan selesai, ia kembali. Ketika Iqamah dikumandangkan, ia lari lagi. Hal ini menegaskan bahwa Adzan adalah perisai. Lima kali sehari, umat Islam diberikan perisai akustik ini untuk membersihkan lingkungan spiritual mereka dan mengusir pengaruh negatif sebelum mereka memulai ibadah.
Ketika kita merenungkan aspek ini, respons kita terhadap Adzan seharusnya bukan hanya karena kewajiban, tetapi karena kebutuhan mendesak akan perlindungan dan pembersihan spiritual. Adzan membuka gerbang Rahmat dan menutup pintu bagi gangguan syaithan.
Mendengar Adzan, dalam intinya yang paling murni, adalah pengakuan bahwa ritme alam semesta dan kehidupan manusia diatur oleh perintah Ilahi, dan tidak ada kekacauan duniawi yang dapat membatalkan janji pertemuan yang suci ini.
***
Setiap lafazh yang kita dengar, mulai dari 'Allahu Akbar' hingga 'Laa ilaaha illallah' penutup, adalah lapisan-lapisan pembersihan spiritual yang mempersiapkan kita. Jika Adzan diresapi dengan makna ini, ia tidak lagi menjadi suara latar, melainkan pusat dari eksistensi kita.