Gambar: Jalan menuju Harapan (Mengadu Untung)
Narasi tentang upaya mengadu untung adalah benang merah yang merajut sejarah sosial dan ekonomi di seluruh kepulauan Nusantara. Frasa ini bukan sekadar sinonim bagi mencari nafkah; ia mewakili sebuah keputusan monumental untuk meninggalkan zona nyaman, menantang nasib, dan bersiap menghadapi ketidakpastian total demi harapan akan kehidupan yang lebih baik. Ini adalah kisah tentang migrasi, risiko, ketabahan, dan adaptasi yang tak terhindarkan, sebuah diskursus yang terus berevolusi seiring perubahan zaman, dari jalur rempah tradisional hingga arena digital global.
Mengadu untung, dalam esensinya, adalah penaruhan modal sosial dan modal fisik—seringkali modal yang amat terbatas—di atas meja peluang yang besar dan dingin. Keputusan ini didorong oleh faktor-faktor pendorong (push factors) seperti keterbatasan sumber daya di daerah asal, krisis agraria, atau stagnasi ekonomi lokal; serta faktor penarik (pull factors) berupa janji kemakmuran, modernitas, dan peluang kerja yang terpusat di pusat-pusat pertumbuhan. Memahami fenomena ini memerlukan eksplorasi mendalam terhadap dimensi historis, sosiologis, dan psikologis dari gerakan manusia massal yang membentuk wajah demografi kontemporer Indonesia.
Jauh sebelum era kemerdekaan dan industrialisasi modern, semangat mengadu untung sudah tertanam kuat dalam tradisi beberapa suku bangsa di Indonesia. Tradisi *merantau*, khususnya yang dipraktikkan oleh suku Minangkabau di Sumatera Barat dan pelayaran niaga suku Bugis-Makassar dari Sulawesi, merupakan manifestasi klasik dari upaya pencarian peruntungan. Praktik ini bukan sekadar relokasi geografis, melainkan sebuah institusi sosial yang terstruktur, di mana risiko dan tanggung jawab dipikul bersama oleh komunitas, meskipun perjalanan dilakukan secara individu.
Dalam konteks Minangkabau, merantau adalah suatu kewajiban kultural bagi pemuda, sebuah ritual peralihan menuju kedewasaan. Tanah Minang menganut sistem matrilineal yang kuat, di mana harta pusaka diwariskan melalui garis ibu, meninggalkan ruang terbatas bagi pemuda untuk membangun kemandirian ekonomi di kampung halaman (nagari). Oleh karena itu, *rantau* (negeri seberang) menjadi panggung untuk membuktikan diri. Filosofi ini menekankan bahwa keberhasilan di rantau adalah kontribusi langsung terhadap martabat keluarga dan nagari. Para perantau ini sering kali memulai dengan modal seadanya—keahlian kuliner (seperti yang terlihat dari menjamurnya Rumah Makan Padang), atau keterampilan berdagang kecil—yang kemudian berevolusi menjadi jaringan bisnis global yang terstruktur dan saling mendukung.
Uniknya, jaringan Minangkabau di rantau tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga sosial. Mereka membentuk ikatan solidaritas yang kuat, menyediakan tempat tinggal sementara (numpang), modal awal, dan informasi pasar bagi pendatang baru. Sistem jejaring ini meminimalkan risiko individu dan secara efektif mengganti fungsi jaring pengaman sosial yang tidak tersedia di daerah urban yang asing. Keberhasilan seorang perantau seringkali diukur bukan hanya dari akumulasi kekayaan, tetapi dari kemampuan untuk kembali (atau setidaknya berkontribusi) ke nagari dengan membawa ilmu, modal, atau nama baik.
Di sisi lain kepulauan, semangat mengadu untung diwujudkan melalui laut oleh suku Bugis, Makassar, dan Mandar. Mereka adalah pelaut ulung yang tidak terikat pada satu tempat. Bagi mereka, laut adalah arena, bukan penghalang. Pengalaman mengadu untung para pelaut ini terwujud dalam jaringan perdagangan antar-pulau yang membentang dari Malaka hingga Australia Utara. Risiko yang dihadapi sangat nyata: badai, perompakan, dan ketidakpastian harga komoditas. Namun, dorongan untuk mengendalikan jalur niaga, menjadi pemasok utama kayu, rempah, atau hasil laut, menjustifikasi penaruhan risiko tersebut.
Tradisi ini mengajarkan manajemen risiko yang ketat dan kemampuan negosiasi lintas budaya yang tinggi. Keberhasilan mereka bergantung pada pemahaman mendalam tentang angin musim, rute pelayaran, dan, yang paling penting, membangun kepercayaan dengan berbagai etnis dan otoritas lokal di sepanjang jalur perdagangan. Filosofi Bugis sering menekankan kemandirian dan kehormatan (siri'), yang mendorong mereka untuk berusaha keras di tanah mana pun mereka berlabuh, menjadikan mereka perintis ekonomi mikro dan makro di berbagai wilayah terpencil.
Pasca-kemerdekaan, dinamika mengadu untung bergeser dari model *merantau* tradisional yang kultural, menuju model urbanisasi massal yang didorong oleh pembangunan industri. Pusat-pusat kota besar, terutama Jakarta (Ibu Kota), Surabaya, Bandung, dan Medan, menjadi magnet yang menyedot populasi dari desa dan daerah terpencil. Kota dianggap sebagai panggung harapan, tempat di mana peluang tidak terikat oleh adat atau status sosial masa lalu.
Jakarta, lebih dari kota mana pun di Indonesia, adalah simbol utama dari perjalanan mengadu untung. Jutaan orang datang setiap tahun dengan narasi yang hampir sama: lari dari keterbatasan lahan, minimnya pekerjaan formal di daerah asal, dan keyakinan bahwa pendidikan yang telah didapatkan akan dihargai lebih tinggi di ibu kota. Namun, kota ini juga menampilkan kontradiksi yang brutal. Di satu sisi, ia menawarkan gaji tertinggi dan peluang karir multinasional; di sisi lain, ia menyajikan persaingan yang kejam, biaya hidup yang mencekik, dan jurang kesenjangan yang mencolok antara si kaya dan si miskin.
Bagi mereka yang mengadu untung di sektor informal—seperti pedagang kaki lima, pengemudi ojek, atau pekerja konstruksi harian—risiko yang dihadapi sangat besar. Mereka bekerja tanpa jaring pengaman sosial yang memadai, bergantung pada fluktuasi permintaan harian, dan menghadapi ancaman penggusuran atau penertiban. Kehidupan mereka adalah pertaruhan harian: apakah hasil kerja hari ini cukup untuk sewa kamar dan makan? Solidaritas urban terbentuk di antara kelompok sebangsa atau sekampung, yang berfungsi sebagai bank informal (arisan) dan penyedia informasi pekerjaan, menegaskan bahwa meskipun mengadu untung adalah tindakan individu, kelangsungan hidup urban seringkali bergantung pada komunitas yang terfragmentasi.
Gelombang urbanisasi yang merupakan hasil dari upaya mengadu untung ini juga menciptakan tekanan luar biasa pada infrastruktur perkotaan. Kepadatan penduduk yang ekstrem memicu masalah kemacetan kronis, sanitasi yang buruk, dan krisis perumahan yang menghasilkan kawasan kumuh. Para pendatang baru seringkali terpaksa menerima kondisi hidup yang jauh dari ideal demi kedekatan dengan tempat kerja. Dalam konteks sosiologis, urbanisasi juga memicu benturan budaya dan peningkatan anonimitas, yang bisa mengikis sistem dukungan tradisional.
"Urbanisasi adalah cerminan paling jujur dari semangat mengadu untung di Indonesia. Ia adalah kisah tentang harapan yang terpaksa berdamai dengan realitas keras, di mana setiap kilometer jalanan kota diukur dengan keringat dan kesabaran."
Fenomena ini menuntut adaptasi mental yang cepat. Mentalitas yang dibawa dari desa harus bertransformasi menjadi mentalitas kota yang lebih individualistik, kompetitif, dan berorientasi pada kecepatan. Kegagalan adaptasi seringkali berarti kembalinya (pulang kampung) dengan membawa rasa malu atau beban kegagalan, yang secara sosial dianggap sebagai risiko tertinggi dari perjalanan mengadu untung.
Selain pergerakan internal, perjalanan mengadu untung juga meluas ke kancah internasional. Migrasi pekerja, khususnya ke negara-negara Asia Timur Tengah dan Asia Tenggara (Malaysia, Singapura, Taiwan, Hong Kong), telah menjadi jalur signifikan bagi jutaan warga negara Indonesia, yang dikenal sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI), atau dahulu TKI/TKW.
Keputusan untuk menjadi PMI adalah pertaruhan ekstrem. Motivasi utamanya hampir selalu finansial: perbedaan kurs mata uang dan upah minimum yang jauh lebih tinggi dibandingkan di tanah air. Dengan pendapatan yang diperoleh di luar negeri, seorang PMI mampu membangun rumah, menyekolahkan anak, atau memulai usaha kecil di kampung halaman. Mereka adalah pahlawan devisa negara, tetapi juga kelompok yang paling rentan.
Risiko yang dihadapi meliputi penipuan oleh agen perekrut, eksploitasi di tempat kerja, kekerasan fisik, dan isolasi budaya. Perjalanan mengadu untung ini menuntut pengorbanan emosional yang besar—terutama perpisahan dengan keluarga dalam jangka waktu lama. Keberhasilan dalam konteks ini tidak hanya diukur dari jumlah uang yang dibawa pulang, tetapi juga dari kemampuan untuk kembali dengan selamat dan utuh, baik secara fisik maupun psikologis.
Sistem ini menciptakan ekonomi remitansi yang masif, yang menjadi penyelamat bagi banyak daerah pedesaan. Uang yang dikirim pulang disuntikkan langsung ke ekonomi lokal, meningkatkan daya beli dan memicu investasi skala kecil. Namun, biaya sosialnya pun tinggi. Anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran orang tua, pergeseran struktur keluarga, dan isu-isu reintegrasi sosial setelah kepulangan menjadi tantangan yang perlu dikelola secara serius oleh komunitas dan pemerintah.
Malaysia, sebagai tetangga terdekat, menjadi tujuan utama. Mengadu untung di sini seringkali melibatkan pekerjaan di sektor perkebunan, konstruksi, atau manufaktur. Meskipun jarak geografisnya dekat, tantangan birokrasi, hukum imigrasi, dan isu status dokumen (legal atau ilegal) selalu menjadi bayangan yang mengancam. Pekerja harus terus beradaptasi dengan regulasi yang ketat dan persaingan tenaga kerja dari negara lain. Keberhasilan di sini sangat bergantung pada kecepatan adaptasi bahasa, ketahanan fisik, dan kemampuan menabung secara disiplin, seringkali di bawah tekanan kondisi kerja yang kurang ideal.
Abad ke-21 memperkenalkan arena baru yang sama berisikonya, tetapi berpotensi memberikan imbal hasil yang revolusioner: ekonomi digital dan dunia startup. Mengadu untung di era ini tidak lagi melibatkan migrasi fisik, melainkan migrasi mental dan finansial ke dalam ruang inovasi yang cepat berubah.
Gambar: Risiko dan Imbal Hasil di Dunia Digital
Fenomena startup, dari fase perintisan (bootstrapping) hingga pencarian modal ventura (VC), adalah bentuk modern dari mengadu untung. Para pendiri startup mempertaruhkan waktu, uang pribadi, dan reputasi mereka pada ide yang mungkin gagal dalam waktu 18 bulan. Berbeda dengan migrasi fisik yang menjanjikan peningkatan penghasilan bertahap, startup menjanjikan kekayaan eksponensial dalam waktu singkat—jika berhasil.
Risiko kegagalan di sektor startup sangat tinggi. Statistik global menunjukkan bahwa sebagian besar startup tidak mampu bertahan hingga tahun kelima. Namun, daya tarik valuasi "unicorn" (perusahaan bernilai di atas $1 miliar) menciptakan magnet yang kuat, menarik talenta terbaik dan investor yang bersedia mengambil risiko besar. Mengadu untung di sini membutuhkan lebih dari sekadar kerja keras; ia menuntut inovasi radikal, pemahaman pasar yang mendalam, dan yang terpenting, kemampuan untuk meyakinkan pihak lain (investor, karyawan, pelanggan) tentang visi yang belum terwujud.
Di luar korporasi startup, muncul pula sektor ekonomi kreator (YouTuber, TikToker, influencer) dan *gig economy* (ojek daring, pekerja lepas digital). Jutaan individu kini mengadu untung dengan menjual konten, keterampilan, atau waktu mereka secara fleksibel melalui platform digital.
Bagi ekonomi kreator, risikonya adalah volatilitas algoritma dan persaingan saturasi konten yang ekstrem. Kesuksesan tidak dijamin; ia bergantung pada faktor viralitas yang tidak terduga dan kemampuan untuk mempertahankan audiens yang loyal. Mengadu untung sebagai kreator adalah pertarungan untuk relevansi dan perhatian di tengah hiruk pikuk informasi.
Sementara itu, *gig economy* menawarkan pekerjaan bagi mereka yang terpinggirkan dari sektor formal atau urbanisasi. Para pengemudi ojek daring, misalnya, menginvestasikan modal kecil (sepeda motor dan ponsel pintar) untuk mendapatkan penghasilan harian. Namun, mereka menanggung sendiri biaya operasional, asuransi, dan fluktuasi harga bahan bakar, menjadikan pendapatan mereka tidak stabil. Ini adalah bentuk mengadu untung di mana teknologi menyediakan peluang sekaligus memaksa pekerja menanggung seluruh risiko operasional.
Mengadu untung, terlepas dari wujudnya (merantau, urbanisasi, atau startup), selalu terkait erat dengan psikologi kegigihan dan manajemen kegagalan. Keputusan untuk memulai perjalanan ini mencerminkan optimisme yang berani—sebuah keyakinan bahwa masa depan dapat diubah melalui usaha pribadi.
Dalam sosiologi, konsep *grit*—ketahanan dan hasrat jangka panjang untuk mencapai tujuan—adalah kunci bagi mereka yang berhasil mengadu untung. Mereka yang sukses bukanlah mereka yang tidak pernah gagal, melainkan mereka yang memiliki kapasitas untuk bangkit berkali-kali setelah mengalami kerugian. Kegagalan di rantau atau di tengah persaingan kota seringkali tidak hanya berarti kerugian finansial, tetapi juga kerugian martabat sosial. Oleh karena itu, kemampuan untuk menahan stigma dan tekanan sosial dari keluarga di kampung halaman adalah fondasi penting.
Mentalitas pejuang ini juga mencakup kemampuan untuk hidup hemat dan berkorban di tahun-tahun awal. Kisah-kisah perantau sukses seringkali diawali dengan tahun-tahun penuh kesulitan, di mana mereka membatasi kebutuhan dasar mereka demi akumulasi modal. Disiplin finansial ini, yang dipraktikkan di tengah godaan konsumsi urban, merupakan pertarungan internal yang menentukan garis batas antara kesuksesan dan kepulangan yang terpaksa.
Selain risiko ekonomi, perjalanan mengadu untung membawa risiko sosial dan mental. Isolasi, rasisme urban, dan tekanan untuk memenuhi ekspektasi keluarga dapat menyebabkan stres dan masalah kesehatan mental. Bagi PMI, jarak dan komunikasi yang terbatas menambah beban emosional. Pengorbanan diri yang terus-menerus demi keluarga seringkali mengikis kesejahteraan diri sendiri.
Analisis mendalam menunjukkan bahwa komunitas yang kuat di perantauan berfungsi sebagai katarsis psikologis. Tempat berkumpulnya sesama perantau, seperti warung Padang di Jakarta atau komunitas pengajian PMI di Hong Kong, menjadi ruang aman untuk berbagi beban, memperbarui semangat, dan menjaga identitas budaya di lingkungan yang asing. Dukungan emosional ini sama vitalnya dengan dukungan finansial dalam memastikan kelanjutan perjuangan.
Untuk mengubah pertaruhan "untung-untungan" menjadi keberhasilan yang terencana, para pengadu untung harus menerapkan strategi adaptasi dan pembelajaran berkelanjutan. Ini melibatkan lebih dari sekadar bekerja keras; ini menuntut kecerdasan sosial dan pemahaman sistem.
Dalam masyarakat yang memiliki mobilitas tinggi seperti Indonesia, jaringan adalah mata uang. Keberhasilan seringkali bukan hanya karena *apa yang Anda tahu*, tetapi *siapa yang Anda kenal*. Jaringan berfungsi sebagai sistem informasi (tentang lowongan kerja, peluang bisnis, atau bahaya penipuan), sistem penjaminan (untuk pinjaman informal), dan sistem rekomendasi.
Kepercayaan (trust) menjadi komoditas langka dan berharga di lingkungan urban yang kompetitif. Di antara pedagang pasar, misalnya, kepercayaan terhadap janji pembayaran seringkali lebih penting daripada jaminan bank. Para perantau yang berhasil adalah mereka yang mampu membangun dan memelihara jejaring kepercayaan yang luas, melintasi batas-batas etnis, agama, dan kelas sosial. Kemampuan untuk berkolaborasi dan berbagi risiko dalam jejaring inilah yang membedakan pedagang kecil yang stagnan dari wirausahawan yang ekspansif.
Sebagian besar mereka yang mengadu untung di awal karier rentan terhadap jebakan utang dan pola konsumsi yang tidak sehat di lingkungan baru. Oleh karena itu, literasi finansial menjadi alat bertahan hidup yang krusial. Kemampuan untuk memisahkan modal usaha dari uang pribadi, berinvestasi pada keterampilan, dan menabung untuk masa depan (bukan hanya mengirim uang untuk kebutuhan konsumsi) adalah penentu keberlanjutan.
Langkah berikutnya setelah mengumpulkan modal adalah mencapai skala ekonomi. Seorang pedagang asongan harus berpikir bagaimana ia bisa memiliki gerobak, kemudian warung, dan akhirnya menjadi pemasok grosir. Transisi dari pekerja harian menjadi pemilik modal kecil memerlukan lompatan mental dari mentalitas pekerja (yang menjual waktu) ke mentalitas wirausaha (yang membangun aset dan sistem). Ini membutuhkan keberanian baru untuk mengambil risiko investasi, yang seringkali lebih besar daripada risiko meninggalkan kampung halaman.
Konteks mengadu untung terus berubah. Jika di masa lalu tantangannya adalah jarak dan infrastruktur, kini tantangannya adalah disrupsi teknologi dan ketidakpastian ekonomi makro global. Pandemi, misalnya, menunjukkan kerapuhan pekerjaan di sektor jasa dan *gig economy*, di mana hilangnya mobilitas berarti hilangnya pendapatan total.
Di masa depan, mereka yang mengadu untung harus memiliki kemampuan untuk terus-menerus meningkatkan keterampilan (reskilling) dan menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang mungkin belum ada saat ini. Otomasi dan kecerdasan buatan mengancam pekerjaan rutin di manufaktur dan administrasi, yang sebelumnya menjadi jalur aman bagi para urbanis baru.
Oleh karena itu, investasi pada pendidikan non-formal, keahlian digital, dan keterampilan lunak (soft skills) seperti pemecahan masalah dan komunikasi, kini menjadi modal utama. Mereka yang memiliki fleksibilitas kognitif akan lebih mudah berpindah antar sektor, sebuah keuntungan besar dalam lingkungan kerja yang serba cepat dan tidak terjamin.
Dalam konteks modern, diskursus mengadu untung juga harus dihubungkan dengan etika. Mencari kekayaan tidak boleh mengorbankan keberlanjutan lingkungan atau keadilan sosial. Kewirausahaan yang bertanggung jawab, yang menciptakan lapangan kerja tanpa mengeksploitasi sumber daya atau pekerja, menjadi paradigma baru. Keberhasilan sejati bukan hanya kekayaan pribadi, tetapi kemampuan untuk mengangkat komunitas di sekitar kita.
Para pengadu untung generasi mendatang diharapkan tidak hanya memikirkan akumulasi modal untuk diri sendiri atau keluarga inti, melainkan bagaimana menciptakan ekosistem peluang bagi orang lain. Semangat kembali ke nagari, kini diterjemahkan sebagai investasi sosial dan transfer pengetahuan kembali ke daerah asal, memastikan bahwa lingkaran peluang terus berputar dan tidak hanya terpusat di satu atau dua metropolis saja.
Perjalanan mengadu untung adalah sebuah epik kolektif bangsa Indonesia. Ia adalah cerita tentang jutaan keberangkatan yang diiringi doa, jutaan kesulitan yang diatasi dengan ketabahan, dan jutaan kisah sukses—besar maupun kecil—yang membangun fondasi ekonomi negara. Meskipun risiko selalu menyertai, dorongan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, untuk menantang takdir, dan untuk membuktikan diri, akan terus menjadi motor penggerak pergerakan manusia di seluruh Nusantara, selamanya mencari peluang di tengah ketidakpastian yang luas.
Untuk memahami sepenuhnya bagaimana jutaan individu mengadu untung di tengah keterbatasan modal, perlu dikaji lebih jauh peran vital sektor ekonomi informal. Sektor ini seringkali diabaikan dalam statistik makroekonomi, namun merupakan penyangga utama bagi kelangsungan hidup urban di Indonesia. Ekonomi informal, mulai dari penjual gorengan di pinggir jalan, tukang sol sepatu keliling, hingga jasa penitipan anak rumahan, adalah arena pertarungan sehari-hari yang paling nyata dan brutal.
Bagi pelaku usaha informal, akses ke perbankan formal sangat terbatas. Sebagai gantinya, mereka mengandalkan modal sosial yang tinggi. Arisan dan pinjaman berbasis komunitas (seringkali tanpa bunga atau dengan bunga minimal) berfungsi sebagai bank mikro yang efektif. Kepercayaan antar anggota komunitas menentukan kelayakan pinjaman, menggantikan agunan fisik. Sistem ini menunjukkan betapa pentingnya reputasi dan jejaring dalam mengadu untung di tingkat akar rumput. Sebuah cacat reputasi dapat berarti hilangnya akses ke modal, yang dalam konteks ekonomi informal, sama saja dengan kehilangan mata pencaharian.
Fluktuasi harian dalam pendapatan adalah risiko terbesar di sektor ini. Seorang pedagang kaki lima bergantung pada cuaca, kebijakan penertiban pemerintah daerah, dan perubahan pola lalu lintas. Manajemen risiko mereka sangat adaptif; mereka dapat mengubah jenis dagangan sesuai musim atau berpindah lokasi dalam hitungan jam untuk menghindari razia. Inilah yang disebut sebagai kecerdasan pasar jalanan—sebuah bentuk adaptasi mikroekonomi yang sangat efisien dan cepat tanggap terhadap perubahan lingkungan.
Meskipun sering dianggap sebagai masalah karena isu ketertiban, sektor informal justru menyerap kelebihan tenaga kerja yang gagal diserap oleh sektor formal dan mencegah peningkatan drastis pengangguran urban. Tanpa sektor ini, tekanan sosial di kota-kota besar akan jauh lebih tinggi. Mereka yang mengadu untung di sini menciptakan nilai tambah melalui layanan murah dan mudah diakses yang mendukung aktivitas sektor formal (misalnya, penjual makanan murah di dekat perkantoran).
Tantangan terbesar bagi para pelaku informal adalah transisi ke legalitas. Proses perizinan yang rumit, biaya retribusi yang tidak jelas, dan tekanan untuk membayar "uang keamanan" seringkali membuat mereka enggan atau tidak mampu untuk beralih menjadi usaha formal. Kebijakan yang mendukung legalisasi dan pelatihan kewirausahaan mikro, bukannya penertiban represif, adalah kunci untuk mengubah aktivitas mengadu untung yang rentan menjadi usaha yang berkelanjutan dan stabil.
Mengadu untung secara harfiah berarti menantang nasib (keberuntungan). Dalam budaya Indonesia yang kaya akan nuansa spiritual dan religius, keputusan untuk mengambil risiko besar ini seringkali diiringi dengan ritual, doa, dan kepasrahan (tawakal). Keberhasilan dilihat tidak semata-mata sebagai hasil kerja keras, tetapi juga sebagai campur tangan ilahi atau takdir yang baik.
Filosofi banyak masyarakat di Indonesia mengajarkan pentingnya menyeimbangkan usaha maksimal (ikhtiar) dengan penerimaan terhadap hasil (nrimo atau tawakal). Para perantau atau wirausahawan akan bekerja tanpa lelah, mengejar peluang, dan mengambil risiko yang diperhitungkan. Namun, ketika kegagalan datang, penerimaan bahwa "ini adalah kehendak-Nya" atau "belum rezekinya" seringkali menjadi mekanisme koping yang penting. Hal ini mencegah keputusasaan total dan memungkinkan individu untuk segera merencanakan usaha berikutnya.
Kepercayaan pada takdir ini memberikan kekuatan psikologis yang besar: ia mengurangi tekanan ekstrem dari persaingan dan memungkinkan perantau untuk memulai dari nol tanpa merasa terlalu malu. Dalam konteks ini, mengadu untung bukanlah tentang mengendalikan seluruh hasil, tetapi tentang memainkan peran sebaik mungkin dalam skenario takdir yang telah ditetapkan.
Berbagai tradisi lokal juga memiliki simbolisme keberuntungan yang menemani perjalanan mengadu untung. Misalnya, kepercayaan terhadap benda bertuah, hari baik untuk memulai perjalanan, atau doa-doa khusus sebelum membuka usaha baru. Meskipun dilihat sebagai hal non-ilmiah dalam kacamata ekonomi modern, ritual-ritual ini memberikan rasa aman dan meningkatkan kepercayaan diri (self-efficacy) bagi individu yang sedang menghadapi ketidakpastian besar. Mereka berfungsi sebagai jangkar psikologis di tengah badai risiko.
Masa depan perjalanan mengadu untung di Indonesia sangat bergantung pada sejauh mana negara mampu menciptakan pemerataan peluang dan inklusi finansial. Jika peluang hanya terpusat di Jakarta dan Jawa, migrasi masif akan terus berlanjut, memperburuk ketidakseimbangan regional.
Kebijakan desentralisasi ekonomi, seperti pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di luar Jawa, bertujuan untuk menyediakan panggung baru bagi individu lokal untuk mengadu untung di wilayah mereka sendiri. Jika infrastruktur, akses modal, dan kualitas pendidikan dapat ditingkatkan di wilayah Timur dan luar Jawa, maka faktor pendorong (push factors) untuk migrasi akan melemah.
Keberhasilan dalam mengurangi keharusan migrasi untuk mengadu untung akan diukur dari kemampuan daerah untuk menawarkan pekerjaan dengan gaji kompetitif dan lingkungan usaha yang kondusif. Ini berarti pemerintah daerah harus proaktif dalam menghilangkan birokrasi yang menghambat investasi dan memfasilitasi kemitraan antara usaha lokal dan pasar global.
Fintech (teknologi finansial) memiliki potensi revolusioner untuk mendukung para pengadu untung. Layanan pinjaman daring mikro (P2P lending) dan pembayaran digital dapat memberikan akses modal yang cepat bagi pelaku UMKM yang selama ini terblokir dari bank tradisional. Inklusi finansial memungkinkan para pedagang kecil untuk meningkatkan skala operasi tanpa harus bergantung pada rentenir atau jaringan informal yang memiliki keterbatasan dana.
Namun, tantangannya adalah memastikan bahwa teknologi ini diakses secara adil. Edukasi digital dan perlindungan konsumen terhadap pinjaman online ilegal harus berjalan seiring. Jika teknologi dapat digunakan untuk mendemokratisasi akses ke modal dan pasar, maka risiko yang dihadapi oleh para pengadu untung akan lebih terkelola dan peluang keberhasilannya meningkat secara signifikan.
Kesimpulannya, perjalanan mengadu untung adalah sebuah saga tanpa akhir. Ini adalah cerminan dari dinamisme sosial, kegigihan budaya, dan perjuangan ekonomi yang tak kenal lelah. Dari perahu Bugis hingga platform digital, semangat untuk mencari kehidupan yang lebih baik, untuk meninggalkan warisan yang lebih baik bagi generasi mendatang, akan terus mendefinisikan jati diri masyarakat Indonesia dalam menghadapi masa depan yang penuh dengan risiko dan harapan.