Fenomena mengata ngatai, atau yang dikenal luas sebagai cemoohan, ejekan verbal, atau pencemaran nama baik, bukanlah sekadar insiden komunikasi yang terisolasi. Ini adalah manifestasi kompleks dari ketidakseimbangan kekuasaan, kurangnya empati, dan kegagalan dalam membangun batas-batas etika sosial. Meskipun sering dianggap enteng sebagai ‘gurauan’ atau ‘hanya kata-kata’, dampak destruktif dari tindakan verbal ini menembus lapisan psikologis individu, mengikis fondasi kepercayaan sosial, dan pada skala yang lebih besar, merusak tatanan komunitas yang harmonis.
Artikel ini didedikasikan untuk membongkar tuntas spektrum tindakan mengata ngatai, mulai dari akar psikologis pelaku, kerusakan mendalam yang ditimbulkannya pada korban, implikasinya dalam lanskap digital modern, hingga kerangka hukum yang berupaya membendung gelombang verbal yang merusak ini. Kami akan menganalisis mengapa masyarakat cenderung menormalisasi perilaku ini dan bagaimana sebuah kata yang diucapkan tanpa pertimbangan dapat menjadi senjata yang jauh lebih berbahaya daripada cedera fisik.
Istilah "mengata ngatai" memiliki cakupan yang sangat luas dalam konteks interaksi sosial di Indonesia. Ini tidak hanya merujuk pada umpatan langsung, tetapi juga mencakup berbagai bentuk komunikasi yang bertujuan merendahkan, menghina, atau mendiskreditkan seseorang di mata publik maupun secara privat. Untuk memahami bahayanya, kita harus terlebih dahulu mengidentifikasi varian-varian manifestasinya.
Tindakan mengata ngatai dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis utama, masing-masing dengan nuansa kerusakan yang berbeda. Bentuk-bentuk ini seringkali beroperasi secara simultan, memperkuat efek negatif pada korban:
Mengapa seseorang memilih untuk menyerang orang lain secara verbal? Motivasi di balik tindakan mengata ngatai jarang berasal dari kekuatan, melainkan seringkali berakar pada kelemahan internal dan mekanisme pertahanan diri yang disfungsional. Penelitian psikologi menunjukkan beberapa faktor pendorong utama:
1. Proyeksi Insecurities: Pelaku seringkali memproyeksikan rasa tidak aman, kegagalan, atau kekurangan yang mereka rasakan pada orang lain. Dengan merendahkan target, mereka secara temporer mengangkat ilusi superioritas diri mereka sendiri. Ini adalah mekanisme koping maladaptif untuk menghindari konfrontasi dengan kekurangan pribadi.
2. Kebutuhan Kontrol dan Kekuatan: Dalam konteks sosial yang kompetitif, mengata ngatai dapat digunakan sebagai alat untuk menegaskan dominasi. Di lingkungan kerja atau sekolah, pelaku menggunakan verbal abuse untuk mengintimidasi, mengisolasi, dan mempertahankan hierarki kekuasaan. Kekuatan yang diperoleh dari rasa takut korban menjadi umpan balik positif yang memperkuat perilaku destruktif tersebut.
3. Modeling Sosial dan Normalisasi: Jika seseorang tumbuh dalam lingkungan (keluarga, pertemanan, atau bahkan budaya digital) di mana komunikasi agresif dan cemoohan dinormalisasi atau bahkan diapresiasi, mereka cenderung meniru pola perilaku tersebut. Normalisasi ini menciptakan siklus di mana empati terkikis karena batas-batas komunikasi yang sehat menjadi kabur.
4. Frustrasi dan Displacement: Tekanan hidup, stres, atau frustrasi yang tidak terselesaikan seringkali dialihkan (displaced) ke target yang dianggap lebih lemah atau lebih aman untuk diserang. Korban menjadi ‘karung tinju’ verbal yang menerima emosi negatif yang sebenarnya tidak ditujukan kepada mereka.
Dampak dari mengata ngatai jauh melampaui rasa sakit sesaat; ini meninggalkan jejak trauma yang mendalam dan berkelanjutan pada psike korban. Mengata ngatai adalah serangan terhadap inti harga diri dan persepsi realitas seseorang.
Harga diri adalah fondasi psikologis yang memungkinkan individu berinteraksi dengan dunia. Serangan verbal berulang, terutama yang berfokus pada kekurangan yang dirasakan atau yang bersifat personal, berfungsi sebagai palu godam yang menghancurkan fondasi ini. Ketika korban terus-menerus mendengar bahwa mereka bodoh, tidak berharga, atau tidak pantas, otak mulai menerima narasi tersebut sebagai kebenaran, bahkan jika secara rasional mereka tahu itu salah. Proses ini dikenal sebagai internalisasi stigma.
Internalized stigma kemudian memicu siklus negatif: harga diri yang rendah menyebabkan korban menarik diri dari interaksi sosial, mengurangi peluang mereka untuk menerima umpan balik positif yang dapat memperbaiki persepsi diri. Mereka mulai menghindari risiko, menolak tantangan baru, dan bahkan mungkin merusak peluang mereka sendiri karena keyakinan bahwa mereka 'memang tidak mampu' seperti yang selalu dikatakan oleh pelaku.
Paparan terus-menerus terhadap verbal abuse adalah stresor kronis yang sangat kuat. Tubuh korban hidup dalam keadaan hiper-waspada (hyperarousal), mempersiapkan diri untuk serangan verbal berikutnya. Secara neurologis, hal ini membanjiri sistem dengan hormon stres seperti kortisol, yang jika berkepanjangan dapat merusak hippocampus (area otak yang bertanggung jawab atas memori dan regulasi emosi).
Akibatnya, korban rentan terhadap:
Korban mengata ngatai sering kali mengalami kesulitan serius dalam membentuk dan mempertahankan hubungan sehat. Mereka mungkin menjadi terlalu defensif, terlalu curiga, atau, ironisnya, mungkin secara tidak sadar mencari kembali hubungan yang toksik karena itu adalah pola interaksi yang mereka kenal (trauma bonding). Mereka mungkin kesulitan memercayai ketulusan pujian dan menjadi sangat peka terhadap kritik, yang pada gilirannya dapat menyebabkan isolasi sosial, memperparah rasa kesepian dan depresi.
Ketika tindakan mengata ngatai beralih dari ranah tatap muka ke ruang virtual, skala dan intensitas kerusakannya berlipat ganda. Media sosial, forum daring, dan kolom komentar telah menjadi inkubator bagi verbal abuse, yang kini dikenal sebagai cyberbullying atau ujaran kebencian (hate speech).
Salah satu pendorong utama agresivitas verbal di internet adalah online disinhibition effect. Ketika individu berada di balik layar dan, yang lebih penting, di balik identitas anonim atau pseudo-anonim, batas-batas etika sosial yang biasanya menahan mereka dalam interaksi tatap muka menghilang. Rasa tanpa nama memberikan ilusi impunitas dan mengurangi empati. Pelaku merasa bebas untuk melontarkan komentar yang sangat kejam tanpa harus menghadapi konsekuensi sosial langsung atau melihat reaksi emosional korban.
Disinhibisi ini diperparah oleh ketiadaan bahasa tubuh. Dalam komunikasi lisan, nada suara, ekspresi wajah, dan jeda dapat memoderasi pesan. Dalam teks digital, semua nuansa ini hilang, meninggalkan ruang bagi interpretasi yang paling negatif dan memperburuk konflik hingga menjadi flame wars.
Berbeda dengan verbal abuse tradisional yang terbatas pada ruang fisik, komentar merendahkan di dunia maya dapat menyebar secara viral dalam hitungan detik. Sebuah fitnah atau ejekan yang dilontarkan oleh satu orang dapat dengan cepat dijemput oleh ribuan akun lain (fenomena pile-on), menciptakan serangan terkoordinasi yang masif dan melumpuhkan. Bagi korban, hal ini terasa seperti dikepung oleh lautan kebencian yang tak berujung.
Lebih jauh lagi, ancaman doxing (publikasi informasi pribadi korban seperti alamat rumah atau tempat kerja) mengubah ancaman verbal menjadi ancaman keamanan fisik. Korban cyberbullying seringkali harus menanggung kerusakan ganda: kerusakan mental akibat kata-kata dan ketakutan nyata akan keselamatan diri mereka.
Dalam konteks politik dan sosial, mengata ngatai berkembang menjadi ujaran kebencian (hate speech). Platform digital memfasilitasi pembentukan ‘echo chambers’ atau kamar gema, di mana individu hanya mendengarkan suara-suara yang memperkuat keyakinan mereka sendiri. Dalam ruang tertutup ini, lawan politik atau kelompok minoritas lainnya mudah di-dehumanisasi, direduksi menjadi karikatur yang pantas dihina. Mengata ngatai menjadi alat untuk mengukuhkan identitas kelompok (in-group) dengan cara mengecualikan dan merendahkan kelompok lain (out-group), memperparah polarisasi dan konflik sosial.
Praktik mengata ngatai secara fundamental bertentangan dengan prinsip-prinsip etika universal yang menjunjung tinggi martabat manusia. Banyak tradisi filosofis dan keagamaan memberikan penekanan serius pada kekuatan dan tanggung jawab lisan.
Dari sudut pandang etika Deontologi yang dipromosikan oleh Immanuel Kant, tindakan mengata ngatai gagal dalam uji imperatif kategoris. Kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga tindakan kita dapat dijadikan hukum universal. Apakah kita ingin hidup di dunia di mana semua orang bebas menghina dan merendahkan orang lain? Tentu tidak. Oleh karena itu, mengata ngatai adalah tindakan yang secara inheren tidak etis karena merusak hak fundamental individu untuk diperlakukan dengan hormat.
Sementara itu, etika Utilitarianisme menilai tindakan berdasarkan konsekuensinya dalam menghasilkan kebahagiaan terbanyak bagi jumlah terbesar orang. Jelas bahwa tindakan verbal yang menyakiti dan mendestruksi secara psikologis hanya menghasilkan penderitaan, bukan kebahagiaan. Dengan demikian, dari sudut pandang konsekuensialisme, mengata ngatai adalah tindakan yang tidak bermoral.
Di Indonesia, yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kolektivitas dan kesantunan, verbal abuse merupakan pelanggaran berat terhadap adat dan norma. Konsep tepo seliro (empati dan tenggang rasa) dan unggah-ungguh (sopan santun) secara eksplisit menolak penggunaan bahasa yang kasar atau merendahkan.
Dalam banyak ajaran agama di Indonesia, terutama Islam, ada penekanan kuat pada menjaga lisan. Konsep ghibah (membicarakan keburukan orang lain) dan buhtan (fitnah) dianggap dosa besar karena merusak kehormatan yang merupakan hak fundamental setiap individu. Ajaran ini menegaskan bahwa integritas moral seseorang tercermin dari kualitas bicaranya. Kegagalan menjaga lisan tidak hanya merusak hubungan sosial horizontal, tetapi juga hubungan vertikal dengan spiritualitas.
Pelanggaran etika komunikasi ini menunjukkan adanya disonansi kognitif di masyarakat: di satu sisi, kita menjunjung tinggi kesantunan; di sisi lain, kita secara mudah terlibat dalam perilaku mengata ngatai, terutama ketika anonimitas disediakan.
Meskipun dampak emosional mengata ngatai seringkali diabaikan oleh masyarakat, hukum di Indonesia mengakui bahwa kehormatan dan reputasi adalah aset yang harus dilindungi, dan serangan verbal dapat dikategorikan sebagai tindak pidana serius. Payung hukum utama yang relevan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan, yang lebih dominan dalam era digital, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pasal-pasal dalam KUHP yang relevan meliputi:
Tantangan terbesar dalam penerapan KUHP adalah pembuktian niat dan memastikan bahwa pernyataan tersebut benar-benar merusak reputasi. Seringkali, kasus-kasus ini berakhir di meja mediasi karena kesulitan dalam membedakan antara kritik yang sah dan niat jahat untuk menghina.
Sejak diberlakukannya UU ITE, regulasi terhadap verbal abuse di ranah digital menjadi jauh lebih ketat. Pasal yang paling sering digunakan adalah:
UU ITE telah menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menyediakan perlindungan penting bagi korban cyberbullying dan fitnah yang meluas. Di sisi lain, kritikus berpendapat bahwa pasal ini terlalu elastis dan sering digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik yang sah terhadap pejabat publik atau individu berkuasa (kriminalisasi). Namun, penting untuk dicatat bahwa hukum ini menegaskan bahwa ruang digital bukanlah zona bebas hukum bagi para pelaku mengata ngatai.
Di lingkungan profesional, mengata ngatai sering muncul dalam bentuk perundungan di tempat kerja (workplace bullying) atau pelecehan verbal. Kekerasan verbal ini tidak hanya merusak individu tetapi juga produktivitas dan moralitas tim. Hukum ketenagakerjaan dan peraturan perusahaan mulai mengadopsi kebijakan zero-tolerance terhadap pelecehan verbal karena dampak finansial dan reputasi yang dapat ditimbulkannya. Pengakuan bahwa lingkungan kerja yang toksik, yang dipicu oleh verbal abuse, merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak pekerja adalah langkah maju yang esensial.
Untuk memahami kedalaman masalah ini, kita perlu menganalisis beberapa pola di mana tindakan mengata ngatai secara sistematis merusak tatanan sosial, melampaui kerugian individual.
Dalam kontestasi politik, mengata ngatai seringkali menjadi taktik strategis yang disengaja. Penggunaan istilah merendahkan seperti ‘cebong’, ‘kampret’, atau julukan-julukan identitas lainnya bukan sekadar ekspresi ketidaksetujuan; itu adalah upaya untuk men-dehumanisasi lawan. Dengan mereduksi kelompok lain menjadi label yang tidak manusiawi, para pendukung merasa lebih mudah untuk membenci dan menyerang mereka. Ini melegitimasi agresi, memungkinkan ujaran kebencian di media sosial menjadi norma, dan membuat dialog konstruktif hampir mustahil. Lingkungan sosial menjadi terfragmentasi, dan ketidakpercayaan merajalela.
Analisis ini menunjukkan bahwa mengata ngatai berfungsi sebagai pelumas untuk konflik sosial yang lebih besar, mengubah perbedaan pendapat menjadi permusuhan yang mendalam.
Sekolah adalah tempat di mana verbal abuse seringkali pertama kali dipelajari dan dipraktikkan. Bullying verbal, termasuk body shaming, cemoohan terkait status ekonomi, dan ejekan intelektual, memiliki konsekuensi yang menghancurkan bagi perkembangan remaja. Korban seringkali mengalami penolakan sekolah (school refusal), penurunan kinerja akademis, dan pada kasus terparah, ide bunuh diri.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah peran penonton (bystanders). Ketika komunitas sekolah menoleransi bullying verbal—dengan alasan ‘anak-anak memang begitu’—mereka secara efektif memperkuat pelaku. Toleransi ini mengirimkan pesan bahwa agresi verbal adalah alat yang efektif dan tanpa risiko, melatih generasi muda untuk menjadi pelaku atau, setidaknya, penonton yang pasif.
Ketika seseorang mengata ngatai orang lain, dan kemudian komunitas merespons dengan menyalahkan korban atas serangan yang diterimanya (“Kamu terlalu terbuka, makanya dikomentari,” atau “Kalau tidak mau diejek, jangan tampil”), ini adalah bentuk ketidakadilan ganda. Victim blaming (menyalahkan korban) adalah mekanisme pertahanan sosial yang memungkinkan masyarakat mempertahankan ilusi bahwa dunia adalah tempat yang adil (Just World Hypothesis). Jika korban disalahkan, maka penonton dapat merasa aman, berpikir bahwa hal itu tidak akan terjadi pada mereka asalkan mereka berperilaku ‘benar’.
Pola ini merugikan korban karena menghalangi mereka untuk mencari bantuan dan memvalidasi tindakan pelaku. Siklus ini harus diputus dengan penekanan kolektif bahwa tanggung jawab penuh atas verbal abuse selalu ada pada pelaku, terlepas dari perilaku atau penampilan korban.
Mengatasi fenomena mengata ngatai membutuhkan pendekatan multi-segi yang mencakup edukasi emosional, peningkatan kesadaran hukum, dan strategi respons individu yang kuat.
Pencegahan jangka panjang harus berfokus pada akar masalah: kurangnya empati. Program pendidikan di sekolah, rumah, dan lingkungan kerja harus mengajarkan literasi emosional. Ini mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengelola emosi diri sendiri, serta kemampuan untuk merasakan dan memahami perspektif orang lain (empati kognitif dan emosional).
Edukasi empati harus mencakup:
Korban mengata ngatai perlu dibekali dengan alat untuk merespons dan memulihkan diri:
1. Penegasan Batasan (Boundary Setting): Belajar mengatakan ‘tidak’ atau ‘hentikan’ dengan tegas. Ini adalah langkah krusial dalam mengambil kembali kontrol personal dari pelaku. Penegasan batasan harus diajarkan sebagai hak, bukan sebagai tindakan agresi.
2. Teknik Grey Rock (Batu Abu-Abu): Dalam menghadapi pelaku yang mencari reaksi emosional, korban dapat belajar menjadi ‘batu abu-abu’—memberikan respons yang minimal, membosankan, dan tidak emosional. Ini menghilangkan umpan balik positif (reaksi emosional) yang dicari pelaku, seringkali menyebabkan mereka berhenti.
3. Dokumentasi dan Jalur Hukum: Korban harus didorong untuk mendokumentasikan setiap insiden (waktu, tanggal, saksi, tangkapan layar). Dokumentasi ini sangat penting jika insiden meningkat menjadi kasus hukum di bawah KUHP atau UU ITE.
Perubahan budaya terbesar terjadi ketika penonton pasif berubah menjadi intervensi aktif. Ketika menyaksikan verbal abuse, intervensi yang aman dapat dilakukan dengan cara:
Transformasi masyarakat dari yang menoleransi verbal abuse menjadi masyarakat yang beradab membutuhkan komitmen kolektif. Ini adalah investasi jangka panjang dalam kesehatan mental publik dan kohesi sosial.
Media massa dan tokoh publik memiliki tanggung jawab etis yang besar. Ketika figur-figur berpengaruh menggunakan bahasa yang merendahkan atau menyerang identitas, mereka memberikan izin sosial bagi masyarakat luas untuk melakukan hal yang sama. Kualitas wacana publik harus diangkat dengan menuntut pertanggungjawaban dari mereka yang menyebarkan ujaran kebencian. Media harus berhenti memberikan platform atau memonetisasi konten yang didasarkan pada konflik pribadi dan penghinaan.
Dalam konteks non-hukum, pendekatan keadilan restoratif menawarkan jalan keluar yang lebih konstruktif daripada hanya hukuman. Keadilan restoratif berfokus pada pertemuan antara korban dan pelaku (dengan mediasi yang aman) untuk mengakui kerugian yang ditimbulkan dan menemukan cara untuk memperbaiki hubungan. Ini memaksa pelaku untuk melihat dampak nyata dari kata-kata mereka dan memungkinkan korban untuk mencapai penutupan dan validasi. Proses ini menuntut empati dari pelaku dan kesediaan untuk menanggung akuntabilitas atas tindakan mereka.
Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa kata-kata adalah tindakan. Bahasa membentuk realitas kita. Ketika kita terus-menerus menggunakan bahasa yang merendahkan, kita menciptakan realitas di mana kekerasan emosional adalah hal yang wajar. Penghentian tindakan mengata ngatai adalah prasyarat untuk menciptakan masyarakat yang lebih aman, lebih inklusif, dan lebih sehat secara mental. Ini memerlukan refleksi mendalam mengenai setiap kata yang kita ucapkan, baik secara lisan, tulisan, maupun digital.
Penting untuk mengukuhkan bahwa kebebasan berbicara, sebuah hak yang dihargai dalam demokrasi, tidak pernah berarti kebebasan untuk menghancurkan martabat orang lain. Kebebasan berbicara berakhir di batas di mana ia mulai menyakiti dan mencemarkan nama baik individu lain, apalagi jika menyentuh ranah fitnah dan ujaran kebencian berbasis SARA yang dilarang keras oleh konstitusi dan norma-norma kemanusiaan.
Proses pemulihan dari luka verbal bisa memakan waktu yang lama dan seringkali memerlukan intervensi profesional, seperti terapi kognitif-perilaku (CBT) atau terapi berbasis trauma, untuk membantu korban memproses narasi negatif yang telah mereka internalisasi. Investasi dalam layanan kesehatan mental komunitas adalah elemen penting dalam upaya melawan dampak jangka panjang dari budaya mengata ngatai yang merajalela.
Menciptakan lingkungan yang tidak menoleransi verbal abuse adalah sebuah perjuangan yang membutuhkan kewaspadaan konstan. Setiap individu memiliki peran dalam menantang komentar yang merendahkan, menolak berpartisipasi dalam gosip destruktif, dan memberikan dukungan vokal kepada mereka yang menjadi korban. Hanya melalui kesadaran kolektif dan praktik komunikasi yang didasarkan pada rasa hormat, kita dapat meruntuhkan dinding kebencian verbal yang telah lama kita bangun di sekitar diri kita.
Pembahasan mendalam tentang struktur kognitif yang memicu pelaku dan korban harus terus dilakukan. Dalam psikologi sosial, telah diuraikan bagaimana pelaku seringkali menggunakan teknik disonansi moral (moral disengagement) untuk menjustifikasi tindakan mereka. Teknik ini meliputi atribusi defensif (menyalahkan korban), eufemisme linguistik (menyebut hinaan sebagai 'humor' atau 'sarkasme'), dan perbandingan yang menguntungkan (membandingkan tindakan mereka dengan kekejaman yang lebih buruk). Mengidentifikasi mekanisme ini adalah langkah pertama untuk menantang pembenaran diri pelaku. Pelaku perlu didorong untuk menghadapi akuntabilitas tanpa jalan keluar dari narasi yang mereka ciptakan untuk meringankan rasa bersalah mereka.
Di sisi lain, korban perlu diajarkan untuk melakukan restrukturisasi kognitif secara efektif. Ketika seseorang dihujani dengan label negatif ("Kamu bodoh," "Kamu jelek"), respons alami adalah menerima label itu. Restrukturisasi kognitif melibatkan pengujian bukti untuk dan melawan label tersebut dan menggantinya dengan pernyataan diri yang berbasis bukti dan positif. Ini adalah proses yang sulit, karena label verbal seringkali diulang-ulang, tertanam dalam memori jangka panjang, dan memicu respons emosional yang intens. Konseling psikologis menjadi krusial untuk memfasilitasi proses penyembuhan kompleks ini, memastikan bahwa korban dapat membedakan antara identitas mereka yang sesungguhnya dan narasi beracun yang ditanamkan oleh pelaku.
Aspek penting lainnya adalah peran pemimpin institusi, baik di pemerintahan, swasta, maupun organisasi sipil. Kepemimpinan harus secara eksplisit mendefinisikan batas-batas komunikasi yang dapat diterima dan menerapkan sanksi yang konsisten dan transparan bagi pelanggar verbal abuse. Jika sanksi terlihat hanya berlaku bagi individu tertentu dan diabaikan pada kasus-kasus berprofil tinggi, pesan yang disampaikan kepada masyarakat adalah bahwa kekuatan dan status dapat memberikan kekebalan dari konsekuensi verbal abuse. Inkonsistensi ini merusak kepercayaan pada sistem dan memperkuat siklus penyalahgunaan kekuasaan verbal.
Dalam konteks globalisasi dan interaksi lintas budaya, mengata ngatai juga mengambil bentuk mikroagresi—komentar verbal, perilaku, atau lingkungan yang halus, seringkali tidak disengaja, yang mengkomunikasikan penghinaan atau permusuhan terhadap kelompok minoritas atau terpinggirkan. Mikroagresi, meskipun mungkin terlihat kecil secara individu, memiliki efek kumulatif yang sangat besar pada korban. Mereka menciptakan lingkungan yang tegang dan memicu stres kronis. Edukasi masyarakat mengenai mikroagresi, dan bagaimana ucapan yang tampaknya 'tidak berbahaya' dapat membawa beban sejarah diskriminasi, adalah kunci untuk menciptakan ruang publik yang lebih sensitif dan inklusif. Kita harus bergerak melampaui pemikiran bahwa hanya serangan frontal yang merupakan kekerasan verbal.
Menganalisis lebih jauh tantangan hukum terkait UU ITE, kita melihat bahwa pasal-pasal pencemaran nama baik seringkali gagal menangkap esensi kerusakan emosional dari mengata ngatai yang tidak memenuhi ambang batas 'nama baik' yang dapat diukur. Misalnya, pelecehan verbal berulang yang menghancurkan mentalitas seseorang mungkin tidak selalu menghasilkan kerugian finansial atau reputasi yang cukup untuk dituntut secara pidana, tetapi tetap meninggalkan kehancuran psikologis. Oleh karena itu, perlu ada peninjauan ulang terhadap kerangka hukum yang mengakui kekerasan verbal sebagai bentuk kekerasan non-fisik yang merusak integritas psikologis, serupa dengan pengakuan terhadap pelecehan seksual non-fisik.
Tindakan mengata ngatai dalam ranah keluarga (family verbal abuse) merupakan salah satu bentuk yang paling tersembunyi dan merusak. Ketika verbal abuse terjadi dalam hubungan kekerabatan, korban tidak memiliki jalan keluar yang mudah dan seringkali terpaksa hidup berdampingan dengan pelaku. Hal ini membentuk pola kelekatan yang tidak sehat (attachment styles) dan dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk membentuk hubungan intim yang sehat di masa dewasa. Verbal abuse orang tua terhadap anak, yang seringkali dianggap sebagai 'disiplin' yang kasar, meninggalkan bekas luka yang sama parah atau bahkan lebih parah daripada hukuman fisik, karena menyerang persepsi anak tentang nilai diri mereka di mata figur kasih sayang utama. Komunitas perlu diberikan edukasi untuk mengidentifikasi dan mengintervensi kekerasan verbal di rumah tangga sebagai isu perlindungan anak dan kesehatan publik yang serius.
Sikap kritis terhadap bahasa yang kita gunakan dan bahasa yang kita terima adalah bentuk pertahanan diri dan tanggung jawab sosial yang paling mendasar. Setiap kali kita membiarkan hinaan, fitnah, atau ejekan tidak tertantang, kita mengizinkan kekerasan verbal untuk mendapatkan pijakan yang lebih kuat dalam budaya kita. Menolak mengata ngatai, dan menuntut lingkungan yang bebas dari komunikasi yang merendahkan, adalah perjuangan untuk menjaga kemanusiaan dan martabat setiap individu.
Kesinambungan dari siklus kekerasan verbal juga harus dipahami. Pelaku verbal abuse seringkali adalah korban dari verbal abuse di masa lalu, menciptakan siklus intergenerasi dari trauma yang terinternalisasi. Mereka belajar bahwa kekuasaan datang melalui rasa sakit orang lain dan bahwa kelemahan harus diserang. Intervensi pencegahan harus fokus pada pemutusan siklus ini, memberikan alat bagi individu untuk memproses trauma masa lalu mereka tanpa menurunkannya kepada generasi berikutnya. Ini melibatkan terapi trauma yang memfokuskan pada pengembangan regulasi emosi dan kemampuan untuk merasakan empati terhadap diri sendiri dan orang lain.
Dalam konteks media sosial, solusi teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi dan memoderasi ujaran kebencian menjadi semakin penting. Namun, teknologi ini tidak boleh menggantikan penilaian etika manusia. AI dapat membantu menyaring konten yang jelas-jelas ofensif, tetapi nuansa sarkasme agresif atau gaslighting memerlukan moderasi manusia yang terlatih secara kultural. Platform media sosial memiliki tanggung jawab moral dan etis untuk tidak hanya menghapus konten setelah dilaporkan, tetapi untuk secara proaktif merancang lingkungan yang tidak memfasilitasi eskalasi verbal abuse. Ini termasuk meninjau kembali fitur-fitur yang mempromosikan anonimitas penuh dan algoritma yang memprioritaskan konten yang memicu amarah dan polarisasi, karena konten semacam itu secara inheren mendorong perilaku mengata ngatai.
Perjuangan untuk komunikasi yang lebih etis adalah perjuangan yang berkelanjutan dan menuntut refleksi diri yang jujur. Apakah kita sering terlibat dalam ejekan ringan yang mungkin kita anggap 'tidak berarti' tetapi berpotensi melukai? Apakah kita secara pasif mendengarkan gosip destruktif tanpa menantangnya? Tanggung jawab untuk mengakhiri budaya mengata ngatai terletak pada kesediaan kita untuk menjaga batas-batas moralitas dalam setiap interaksi lisan. Dengan demikian, kita dapat mulai membangun kembali kepercayaan, memulihkan kehormatan, dan menumbuhkan komunitas yang benar-benar suportif dan beradab, yang menghargai kekuatan kata-kata untuk menyembuhkan, bukan untuk merusak. Ini adalah pekerjaan yang menuntut ketekunan, tetapi hadiahnya adalah kualitas hidup dan hubungan sosial yang jauh lebih kaya dan bermakna bagi semua pihak yang terlibat.
Aspek penting lain yang sering terlewatkan dalam diskusi ini adalah ‘kelelahan empati’ (empathy fatigue). Dalam masyarakat yang dipenuhi dengan berita negatif, konflik digital, dan verbal abuse yang konstan, banyak individu menjadi kelelahan secara emosional dan mulai menutup diri. Kelelahan empati ini menyebabkan penonton pasif menjadi semakin apatis terhadap penderitaan korban, memperkuat normalisasi verbal abuse. Untuk melawan kelelahan ini, kita perlu mempromosikan bentuk empati yang berkelanjutan—empati yang tidak membakar habis energi seseorang tetapi yang terintegrasi sebagai bagian dari praktik etika harian.
Peningkatan pemahaman tentang bahasa tubuh dalam konteks verbal abuse juga penting. Bahkan tanpa mengucapkan kata-kata secara langsung, ekspresi wajah meremehkan, nada suara sarkastik, atau postur tubuh yang menunjukkan superioritas dapat memperkuat serangan verbal. Pelatihan komunikasi harus mencakup kesadaran tentang bagaimana elemen non-verbal ini dapat berfungsi sebagai senjata tersembunyi yang menambah berat penghinaan lisan. Kesadaran ini membantu korban untuk memvalidasi bahwa serangan yang mereka rasakan adalah nyata, bahkan jika kata-katanya dikemas sebagai 'lelucon'.
Akhir kata, perlawanan terhadap budaya mengata ngatai adalah penegasan kembali nilai-nilai kemanusiaan inti. Ini adalah pengakuan bahwa kehormatan setiap orang, dari yang paling rentan hingga yang paling berkuasa, adalah tak ternilai. Mengata ngatai adalah racun yang bekerja lambat, merusak jaringan sosial dari dalam. Dengan kesadaran, edukasi yang konsisten, penegakan hukum yang adil, dan yang paling penting, praktik empati yang radikal, kita dapat membersihkan ruang publik kita dari agresi verbal dan membangun fondasi komunikasi yang didasarkan pada rasa hormat, bukan rasa sakit.