Keputusan untuk menghibahkan aset, baik dalam skala kecil kepada keluarga maupun dalam skala besar kepada yayasan filantropi, merupakan salah satu tindakan hukum dan moral yang memiliki implikasi mendalam bagi pemberi, penerima, dan masyarakat luas. Proses menghibahkan bukan sekadar transfer kepemilikan; ia adalah manifestasi dari perencanaan kekayaan yang bijaksana, kehendak bebas, dan etika berbagi. Memahami kerangka hukum, konsekuensi pajak, serta mekanisme administratif yang melingkupi hibah adalah esensial untuk memastikan bahwa kehendak penghibah terealisasi dengan sempurna dan terhindar dari sengketa di kemudian hari.
Artikel mendalam ini akan mengupas tuntas segala seluk-beluk terkait kegiatan menghibahkan. Kami akan menelusuri definisi yuridis hibah menurut hukum perdata Indonesia, membandingkannya dengan instrumen transfer kekayaan lain seperti warisan dan wakaf, hingga menganalisis prosedur praktis yang harus dilalui, termasuk peran penting Notaris/PPAT, serta mitigasi risiko pajak yang mungkin timbul.
Simbolisasi transfer aset secara sukarela.
Secara etimologi, hibah merujuk pada pemberian sukarela. Namun, dalam konteks hukum di Indonesia, yang merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan juga peraturan pelaksanaannya, hibah didefinisikan secara spesifik dan ketat. Pasal 1666 KUHPerdata menyatakan bahwa hibah adalah suatu persetujuan di mana seorang penghibah, sewaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu barang guna keperluan penerima hibah, yang mana penerima hibah ini menerima penyerahan tersebut.
Untuk membedakan hibah dari jenis pengalihan kekayaan lainnya, terdapat beberapa karakteristik fundamental yang harus dipenuhi dalam proses menghibahkan:
Meskipun ketiganya melibatkan pengalihan kekayaan, tujuan dan mekanisme hukumnya sangat berbeda. Memahami perbedaan ini penting bagi perencanaan kekayaan yang efektif:
| Aspek | Hibah (Menghibahkan) | Waris (Mewariskan) | Wakaf (Mewakafkan) |
|---|---|---|---|
| Waktu Eksekusi | Saat penghibah masih hidup. | Setelah pewaris meninggal dunia. | Saat wakif masih hidup. |
| Tujuan | Pengalihan kepemilikan penuh kepada individu/badan. | Pembagian kekayaan berdasarkan hubungan darah/wasiat. | Pengalihan kepemilikan untuk tujuan sosial/keagamaan (menahan benda dari kepemilikan pribadi). |
| Sifat Aset | Kepemilikan beralih mutlak. | Beralih kepemilikan kepada ahli waris. | Aset ditahan, manfaatnya disalurkan. |
| Pembatalan | Hampir tidak mungkin, kecuali kondisi sangat spesifik. | Tidak dapat dibatalkan secara sepihak setelah kematian. | Tidak dapat ditarik kembali (permanen). |
KUHPerdata menekankan bahwa hibah hanya dapat dilakukan terhadap barang yang sudah ada (Pasal 1667). Seseorang tidak boleh menghibahkan barang yang baru akan ada di masa depan. Selain itu, terdapat batasan penting yang disebut legitime portie atau bagian mutlak warisan. Jika hibah yang dilakukan oleh seseorang melampaui bagian bebas yang boleh dihibahkan dan melanggar hak mutlak ahli warisnya, maka hibah tersebut dapat dibatalkan sebagian atau dikurangi (inbreng) untuk melindungi hak ahli waris yang sah. Hal ini menunjukkan pentingnya integrasi antara perencanaan hibah dengan perencanaan warisan.
Ketika seseorang memutuskan untuk menghibahkan aset yang memiliki nilai tinggi dan kepastian hukum yang ketat, seperti tanah dan bangunan (benda tidak bergerak), prosedur formal harus diikuti secara cermat. Prosedur ini diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan turunannya, melibatkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Kantor Pertanahan.
Proses menghibahkan tanah memerlukan persiapan dokumen yang komprehensif. Kegagalan dalam melengkapi salah satu dokumen ini dapat menyebabkan Akta Hibah (AH) tidak dapat diterbitkan oleh PPAT, dan proses pendaftaran di Kantor Pertanahan akan tertunda.
PPAT adalah satu-satunya pihak yang berwenang untuk membuat Akta Hibah yang berkaitan dengan tanah. Akta ini berfungsi sebagai bukti otentik dan dasar hukum untuk mendaftarkan perubahan nama pemilik di Kantor Pertanahan.
Representasi Akta Otentik, landasan kepastian hukum hibah.
Salah satu aspek yang paling sering menimbulkan kebingungan dalam proses menghibahkan adalah kewajiban pajak. Meskipun hibah adalah pemberian cuma-cuma, transfer kepemilikan ini tetap dianggap sebagai objek pajak oleh pemerintah, baik dari sisi penghasilan (penghibah) maupun perolehan hak (penerima).
Penghibah, ketika mengalihkan aset properti, dapat dikenakan PPh atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Dasar perhitungan PPh adalah nilai transaksi (yang dalam hibah adalah NJOP atau Nilai Pasar). Tarif PPh yang berlaku umumnya adalah 2.5% dari nilai bruto pengalihan. Namun, terdapat skema pembebasan atau pengecualian yang sangat penting terkait hubungan kekerabatan:
Pengecualian PPh untuk Hibah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pajak Penghasilan, hibah yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil (UMKM), dikecualikan dari objek PPh. Ini berarti, jika Anda menghibahkan rumah kepada anak kandung, Anda sebagai penghibah tidak perlu membayar PPh 2.5% tersebut. Pengecualian ini sangat memotivasi transfer kekayaan di dalam keluarga inti.
Penerima hibah (kecuali subjek tertentu yang diatur dalam peraturan daerah) wajib membayar BPHTB. BPHTB dihitung berdasarkan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Tarif BPHTB ditetapkan maksimal 5% dari NPOP setelah dikurangi NPOPTKP.
Sama halnya dengan PPh, beberapa daerah menetapkan insentif atau pembebasan BPHTB untuk hibah yang terjadi antar keluarga inti (misalnya orang tua ke anak kandung), atau untuk hibah yang ditujukan kepada lembaga sosial/keagamaan. Wajib hukumnya bagi penghibah dan penerima untuk berkonsultasi dengan PPAT atau konsultan pajak di daerah setempat karena peraturan daerah mengenai BPHTB dapat sangat bervariasi.
Baik bagi penghibah maupun penerima, aset yang dialihkan atau diperoleh melalui hibah harus dilaporkan dalam SPT Tahunan masing-masing. Bagi penerima, aset hibah merupakan penambahan kekayaan yang harus dicantumkan dalam daftar harta. Meskipun hibah antar keluarga inti dikecualikan dari objek pajak PPh, penerima hibah tetap harus melaporkan hibah tersebut sebagai penghasilan yang bukan objek pajak untuk memastikan kepatuhan administrasi perpajakan.
Prinsip dasar hibah adalah sifatnya yang tidak dapat ditarik kembali (irrevocable). Begitu akta hibah ditandatangani dan aset diserahkan, penghibah kehilangan hak atas aset tersebut. Namun, hukum perdata menyediakan celah yang sangat sempit dan ketat di mana penghibah dimungkinkan untuk membatalkan atau menuntut pembatalan hibah (Pasal 1688 KUHPerdata).
Pembatalan harus diajukan melalui gugatan di Pengadilan Negeri dan tidak dapat dilakukan secara sepihak. Ada tiga kondisi utama di mana pembatalan dapat terjadi:
Penting untuk dicatat bahwa perubahan pikiran, penyesalan, atau bahkan ketidakharmonisan hubungan antara penghibah dan penerima setelah hibah terjadi, bukan merupakan alasan yang sah untuk membatalkan hibah menurut hukum perdata. Hukum melindungi kepastian kepemilikan yang telah dialihkan.
Seperti disinggung sebelumnya, Pasal 913 KUHPerdata mengatur mengenai legitime portie. Jika penghibah menghabiskan seluruh kekayaannya melalui hibah sehingga tidak menyisakan apa pun bagi ahli waris sah yang berhak atas bagian mutlak mereka, ahli waris dapat menuntut pengurangan (inkorting) terhadap hibah tersebut setelah penghibah meninggal dunia. Ini adalah mekanisme perlindungan hukum terhadap transfer aset yang berpotensi mencederai hak waris yang dijamin undang-undang.
Hibah tidak terbatas pada aset tidak bergerak. Menghibahkan benda bergerak atau instrumen keuangan seringkali lebih mudah dari sisi administrasi agraria, tetapi tetap memerlukan formalitas yang jelas untuk menghindari sengketa, terutama dalam konteks perbankan dan pasar modal.
Untuk jumlah yang signifikan, hibah uang tunai sebaiknya diresmikan melalui akta notaris. Meskipun transfer bank secara fisik sudah memindahkan dana, Akta Hibah Notaris berfungsi sebagai dasar hukum yang kuat, memastikan:
Proses menghibahkan saham memerlukan perubahan pencatatan di Biro Administrasi Efek (BAE) dan persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) jika diatur dalam Anggaran Dasar perusahaan. Akta Notaris wajib dibuat untuk mendokumentasikan transfer saham, mencantumkan jumlah lembar saham, nilai nominal, dan identitas penerima. Transaksi ini juga tunduk pada pajak, khususnya Pajak Atas Transaksi Saham, tergantung jenis perusahaannya.
Menghibahkan aset bisnis (misalnya, aset operasional, piutang, atau kepemilikan saham mayoritas) seringkali menjadi bagian dari strategi suksesi. Jika dilakukan tanpa perencanaan yang matang, hibah ini dapat menimbulkan konflik antar anggota keluarga yang tidak menerima pembagian yang sama. Notaris atau konsultan suksesi berperan penting untuk merancang struktur hibah yang adil, seringkali melalui instrumen yang disebut trust atau pengalihan bertahap, untuk memastikan keberlanjutan operasional perusahaan.
Menghibahkan aset kepada yayasan, organisasi nirlaba, atau lembaga sosial dikenal sebagai filantropi. Keputusan untuk menghibahkan dalam konteks ini didorong oleh motivasi sosial dan spiritual, seringkali bertujuan untuk menciptakan warisan jangka panjang yang bermanfaat bagi masyarakat.
Perbedaan utama terletak pada nilai, formalitas, dan dampak jangka panjang. Sumbangan kecil bersifat kasual, sementara hibah filantropi melibatkan komitmen aset besar dan formalisasi hukum. Hibah kepada yayasan harus melalui akta notaris dan memastikan bahwa yayasan tersebut telah terdaftar secara sah dan memiliki status hukum yang jelas (berbadan hukum). Hal ini diperlukan agar aset yang dihibahkan benar-benar terlindungi dan digunakan sesuai tujuan sosial yang dimaksudkan oleh penghibah.
Pemerintah memberikan insentif pajak yang signifikan bagi wajib pajak yang melakukan kegiatan menghibahkan kepada badan keagamaan, sosial, atau pendidikan yang terdaftar. Dalam banyak kasus, hibah tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto Wajib Pajak (sebagai biaya), yang secara efektif mengurangi dasar pengenaan PPh Tahunan. Namun, pemanfaatan insentif ini harus mematuhi batas persentase tertentu dan persyaratan dokumentasi yang sangat ketat dari Direktorat Jenderal Pajak.
Tindakan menghibahkan untuk kepentingan publik ini menjamin bahwa kekayaan yang diperoleh individu dapat kembali ke komunitas dalam bentuk layanan kesehatan, pendidikan, atau pemberdayaan ekonomi. Ini adalah puncak dari perencanaan kekayaan yang mengedepankan nilai-nilai altruisme.
Kebaikan hati yang berdampak berkelanjutan.
Bagi individu atau keluarga dengan kekayaan besar, menghibahkan aset secara strategis dan bertahap seringkali menjadi pilihan yang lebih bijaksana daripada menunggu transfer melalui warisan. Strategi ini memungkinkan penghibah untuk melihat manfaat pemberiannya saat masih hidup dan meminimalkan beban pajak warisan (jika diterapkan) atau sengketa di masa depan.
Dengan menghibahkan aset properti atau uang dalam jumlah besar kepada ahli waris inti selagi masih hidup, penghibah secara legal mengurangi total nilai harta warisan (boedel) yang akan menjadi subjek pembagian warisan. Ini bisa menyederhanakan proses administrasi warisan dan, yang lebih penting, mengamankan aset di tangan penerima sesuai kehendak penghibah tanpa melalui potensi sengketa di antara ahli waris lainnya.
Untuk memastikan aset yang dihibahkan dikelola dengan baik oleh penerima yang mungkin masih muda atau kurang berpengalaman, penghibah dapat menyertakan syarat tertentu dalam Akta Hibah. Syarat ini bisa berupa pembatasan penggunaan (misalnya, rumah tidak boleh dijual sebelum penerima mencapai usia tertentu), atau keharusan untuk mengelola aset tersebut untuk tujuan pendidikan. Syarat ini, selama tidak bertentangan dengan hukum dan tidak menghilangkan hak kepemilikan inti penerima, berfungsi sebagai mekanisme pengawasan yang sah.
Dalam bisnis keluarga, menghibahkan sebagian kecil saham atau aset non-operasional kepada calon penerus adalah cara yang sangat efektif untuk menguji kemampuan mereka dalam mengelola kekayaan. Jika penerima terbukti bertanggung jawab, hibah yang lebih besar dapat menyusul. Jika tidak, penghibah masih memiliki kendali atas mayoritas aset yang belum dihibahkan, memungkinkan koreksi strategi suksesi.
Meskipun proses menghibahkan memberikan kebebasan bagi pemilik kekayaan, terdapat batasan hukum yang ketat yang harus dipatuhi. Kegagalan memahami batasan ini dapat membuat akta hibah menjadi batal demi hukum atau rawan digugat oleh pihak ketiga yang berkepentingan.
Sesuai KUHPerdata, seseorang harus cakap hukum untuk melakukan perjanjian, termasuk hibah. Orang yang menghibahkan harus sudah dewasa (minimal 21 tahun atau telah menikah) dan berada dalam kondisi mental yang sehat. Hibah yang dilakukan oleh orang yang berada di bawah pengampuan (curatele) atau di bawah tekanan, dapat dibatalkan. Notaris wajib memastikan kecakapan hukum ini melalui wawancara dan, bila perlu, surat keterangan dokter untuk lansia atau orang dengan kondisi khusus.
Jika aset yang dihibahkan diperoleh selama masa perkawinan, aset tersebut dianggap sebagai harta bersama (gono-gini), kecuali ada perjanjian kawin yang mengatur sebaliknya. Untuk menghibahkan harta bersama, diperlukan persetujuan tertulis dari pasangan yang sah. Hibah yang dilakukan sepihak tanpa persetujuan pasangan dapat menjadi alasan pembatalan hibah oleh pasangan yang merasa dirugikan.
Jika penghibah sedang menghadapi masalah utang yang serius atau berada di ambang kepailitan, hibah yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun sebelum pengajuan kepailitan) dapat dianggap sebagai tindakan yang merugikan kreditur. Kurator atau kreditur dapat menuntut pembatalan hibah tersebut (actio pauliana) di pengadilan untuk mengembalikan aset ke dalam harta kekayaan penghibah yang akan digunakan untuk melunasi utang. Ini merupakan perlindungan hukum bagi pihak yang memiliki piutang sah.
Tidak semua hibah memerlukan Akta PPAT. Hibah benda bergerak, seperti kendaraan bermotor, perhiasan, atau koleksi seni bernilai tinggi, diatur dalam Pasal 1687 KUHPerdata, yang membolehkan hibah tersebut dilakukan dengan akta di bawah tangan (surat perjanjian biasa) atau bahkan secara lisan. Namun, demi kepastian hukum, formalitas notariil sangat dianjurkan, terutama jika nilai asetnya sangat tinggi.
Menghibahkan kendaraan memerlukan Akta Hibah Notaris dan proses balik nama di kantor Samsat. Akta Notaris akan menjadi dasar hukum utama untuk perubahan kepemilikan di Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Proses ini juga melibatkan pembayaran pajak balik nama, yang merupakan kewajiban penerima hibah.
Untuk aset bergerak bernilai tinggi seperti lukisan atau perhiasan, wajib dibuat Akta Notaris yang mencantumkan deskripsi detail, perkiraan nilai, dan penerimaan hibah. Dokumentasi nilai ini krusial untuk keperluan perpajakan dan pelaporan harta kekayaan dalam SPT, serta untuk menghindari sengketa nilai di masa depan, terutama jika aset tersebut merupakan barang koleksi unik.
Keputusan untuk menghibahkan kini tidak lagi hanya dipandang sebagai alat hukum, tetapi juga sebagai alat strategis dalam membangun reputasi sosial dan etika keluarga. Dalam masyarakat modern yang semakin terglobalisasi, konsep menghibahkan telah berevolusi menjadi filantropi strategis.
Banyak keluarga kaya menggunakan hibah sebagai cara untuk menanamkan nilai-nilai berbagi dan tanggung jawab pada generasi muda. Dengan menghibahkan sebagian kekayaan kepada yayasan keluarga yang dikelola oleh anak-anak mereka, orang tua tidak hanya mentransfer aset tetapi juga tanggung jawab moral dan manajemen kekayaan.
Dalam konteks filantropi publik, etika menuntut transparansi. Penerima hibah (yayasan atau organisasi nirlaba) memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menggunakan dana tersebut sesuai tujuan yang disepakati dan melaporkannya secara transparan. Penghibah memiliki hak untuk meminta laporan pertanggungjawaban, dan Akta Hibah dapat mengatur mekanisme audit periodik untuk memastikan dana tidak disalahgunakan.
Bagi warga negara Indonesia yang memiliki aset di luar negeri, atau sebaliknya, proses menghibahkan menjadi sangat kompleks. Transfer aset lintas negara tunduk pada dua yurisdiksi pajak dan hukum warisan yang berbeda. Hal ini memerlukan konsultasi mendalam dengan notaris internasional dan ahli hukum pajak untuk menghindari pajak ganda dan memastikan bahwa akta yang dibuat di Indonesia diakui secara sah di negara lain, dan sebaliknya.
Menghibahkan adalah instrumen kekayaan yang kuat, menyediakan kesempatan unik untuk mengendalikan distribusi kekayaan saat masih hidup, meminimalkan potensi sengketa di masa depan, dan meninggalkan jejak filantropi yang abadi. Namun, kekuatannya sebanding dengan kompleksitas hukum dan administrasinya. Pendekatan yang terinformasi dan bantuan profesional hukum adalah kunci untuk memastikan proses menghibahkan berjalan lancar, aman, dan sesuai dengan tujuan luhur pemberi hibah.
***
Setelah Akta Hibah (AH) diterbitkan, proses administrasi tidak berhenti. Penerima hibah memiliki kewajiban lanjutan untuk mendaftarkan dan mencatatkan aset tersebut secara resmi. Kegagalan dalam langkah administrasi ini, meskipun hibah sudah sah di mata hukum perdata, dapat menimbulkan masalah saat penerima ingin mengalihkan atau memanfaatkan aset tersebut di kemudian hari, seperti menjadikannya jaminan kredit atau menjualnya.
Proses balik nama sertifikat di Kantor Pertanahan (ATR/BPN) adalah tahapan krusial. PPAT akan mengajukan berkas yang meliputi Akta Hibah, bukti pelunasan PPh Penghibah, dan bukti pelunasan BPHTB Penerima. Kantor Pertanahan akan memverifikasi keabsahan dokumen dan memastikan tidak ada sengketa atau blokir atas tanah tersebut. Durasi proses ini bervariasi, namun umumnya memakan waktu beberapa minggu hingga bulan. Sertifikat baru atas nama penerima hibah menjadi bukti final bahwa proses menghibahkan telah selesai secara sempurna dan tuntas.
Bagi penerima hibah yang merupakan badan usaha atau yayasan, aset yang diperoleh melalui hibah harus dicatat dalam laporan keuangan. Nilai aset hibah dicatat berdasarkan nilai wajar pasar pada tanggal penerimaan. Dalam konteks yayasan sosial, aset ini dicatat sebagai peningkatan ekuitas yang berasal dari sumbangan terikat atau tidak terikat, tergantung pada syarat yang ditetapkan oleh penghibah. Transparansi akuntansi ini penting untuk menjaga kredibilitas penerima, terutama untuk yayasan filantropi.
Menghibahkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), seperti hak cipta, merek dagang, atau paten, adalah proses khusus. Hibah HKI memerlukan Akta Hibah Notaris dan pendaftaran perubahan kepemilikan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Proses ini sangat teknis karena harus detail mencantumkan batasan dan ruang lingkup hak yang dihibahkan. Misalnya, penghibah dapat menghibahkan hak cipta atas sebuah lagu, namun tetap mempertahankan hak untuk mendapatkan royalti atas penggunaan lagu tersebut di masa depan (hibah dengan syarat manfaat).
Meskipun tujuan menghibahkan adalah memberikan kepastian hukum dan menghindari sengketa warisan, proses ini tidak luput dari tantangan hukum. Sengketa sering muncul dari pihak yang merasa dirugikan, terutama ahli waris yang merasa hak mutlaknya dilanggar atau kreditur yang merasa dirugikan.
Ini adalah jenis sengketa paling umum. Ahli waris sah (legitimaris) yang merasa bagian mutlak warisannya (legitime portie) terlanggar akibat hibah yang masif oleh pewaris semasa hidup dapat mengajukan gugatan inkorting. Pengadilan akan meninjau total kekayaan pewaris pada saat meninggal dan nilai hibah yang telah diberikan. Jika terbukti melanggar, pengadilan dapat memutuskan untuk mengurangi nilai hibah tersebut sebatas yang diperlukan untuk memenuhi bagian mutlak ahli waris yang menggugat.
Sengketa sering berpusat pada pertanyaan apakah penghibah benar-benar cakap hukum saat Akta Hibah dibuat. Jika penghibah adalah lansia atau sakit parah, pihak yang menggugat (misalnya, ahli waris yang tidak menerima hibah) akan berargumen bahwa penghibah berada di bawah pengaruh atau tidak sadar sepenuhnya. Dalam kasus ini, surat keterangan dokter dan kesaksian notaris serta saksi-saksi menjadi bukti penentu di pengadilan.
Sebelum mencapai jalur litigasi, penyelesaian sengketa hibah dalam konteks keluarga sangat dianjurkan melalui mediasi. Proses menghibahkan yang ideal seharusnya didiskusikan secara terbuka di antara anggota keluarga inti. Meskipun hukum perdata memberikan hak kepada seseorang untuk menghibahkan asetnya tanpa persetujuan ahli waris, secara etika, komunikasi terbuka dapat mencegah gugatan yang memakan waktu dan biaya, serta menjaga keharmonisan keluarga.
Dalam konteks Hukum Islam, menghibahkan dikenal sebagai Hibah atau Hadiah. Konsep ini memiliki perbedaan penting dengan warisan (Faraidh) dan Wakaf (Waqf).
Hibah dalam Islam adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain saat ia masih hidup, tanpa imbalan, sebagai wujud kasih sayang atau kemurahan hati. Sifatnya sama-sama cuma-cuma dan kepemilikannya beralih seketika. Namun, terdapat panduan etika dan batasan yang mengatur hibah:
Bagi umat Islam, Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur bahwa hibah adalah pemberian harta tanpa imbalan dan harus dilakukan ketika pemberi hibah masih hidup. KHI mengizinkan hibah dilakukan oleh seseorang yang telah baligh dan berakal, dan ia harus diserahkan kepada penerima. KHI juga mengakui bahwa hibah dapat menjadi faktor sengketa jika melanggar hak waris atau dilakukan dengan tujuan merugikan ahli waris.
Dalam praktiknya di Indonesia, seringkali hibah yang terjadi antar keluarga Muslim harus dipastikan tidak mengganggu hak mutlak ahli waris menurut KHI atau Fatwa Majelis Ulama Indonesia, meskipun Akta Hibah Notaris secara formal sudah mengikat di bawah hukum perdata.
Kemajuan teknologi dan digitalisasi membawa perubahan dalam cara aset didokumentasikan dan dialihkan, bahkan dalam konteks menghibahkan.
Aset digital seperti mata uang kripto (cryptocurrency), Non-Fungible Tokens (NFTs), domain website, atau akun media sosial profesional, kini memiliki nilai ekonomi yang signifikan. Menghibahkan aset digital memerlukan perencanaan suksesi digital. Akta Hibah harus secara eksplisit menyebutkan aset digital yang dialihkan, termasuk instruksi yang jelas mengenai transfer kunci privat, akses akun, dan dompet digital (wallet).
Karena sifat aset kripto yang terdesentralisasi, kegagalan menyediakan instruksi akses yang benar dapat menyebabkan aset tersebut hilang secara permanen, tidak peduli seberapa sah Akta Hibahnya. Oleh karena itu, notaris harus bekerja sama dengan ahli waris digital untuk memastikan transisi yang aman.
Meskipun Akta Notaris dan PPAT saat ini masih memerlukan tanda tangan basah dan kehadiran fisik (terutama untuk properti), konsep e-hibah (pemberian melalui platform digital yang terintegrasi dengan sistem hukum) sedang dikembangkan. Tujuannya adalah mempercepat proses birokrasi, terutama untuk hibah uang tunai atau saham, dengan menggunakan tanda tangan elektronik tersertifikasi yang menjamin keaslian dan integritas dokumen.
Keputusan untuk menghibahkan aset adalah salah satu keputusan finansial dan pribadi yang paling penting dalam hidup seseorang. Tindakan ini memerlukan kehati-hatian maksimal, bukan hanya karena implikasi hukum dan pajaknya yang rumit, tetapi juga karena dampak emosional dan sosial yang ditimbulkannya.
Dalam memastikan kehendak penghibah terpenuhi tanpa menimbulkan masalah di masa depan, peran profesional hukum, seperti Notaris, PPAT, dan konsultan pajak, tidak dapat diabaikan. Mereka memastikan bahwa setiap langkah, mulai dari verifikasi aset, penilaian nilai, pelunasan pajak yang relevan, hingga pendaftaran akhir kepemilikan, dilakukan sesuai koridor hukum yang berlaku. Perencanaan yang matang adalah investasi yang menjamin bahwa tindakan mulia menghibahkan kekayaan akan memberikan manfaat yang dimaksudkan, menciptakan ketenangan pikiran bagi pemberi, dan kepastian hukum bagi penerima.
Seluruh proses menghibahkan harus dilihat sebagai bagian integral dari perencanaan kekayaan yang komprehensif, menghubungkan keinginan pribadi, tanggung jawab keluarga, dan kepatuhan terhadap regulasi negara.