Pintu Gerbang Pernikahan: Makna Mendalam Mengkhitbah
Mengkhitbah, sebuah istilah yang sarat makna dalam tradisi dan ajaran agama, merujuk pada proses melamar atau meminang seorang wanita untuk dijadikan pendamping hidup dalam ikatan pernikahan yang sah. Proses ini bukan sekadar formalitas basa-basi antar dua keluarga, melainkan sebuah jembatan yang menghubungkan niat suci dengan realisasi komitmen seumur hidup. Dalam konteks budaya Nusantara yang kaya, khitbah seringkali menjadi momen sakral yang dipenuhi adab, negosiasi halus, dan harapan besar dari semua pihak yang terlibat.
Filosofi khitbah sangat fundamental: ia adalah deklarasi terbuka dari seorang pria (atau diwakili keluarganya) tentang keinginannya untuk menikahi seorang wanita, sekaligus berfungsi sebagai pengikat sementara yang mencegah pihak lain melamar wanita yang sama. Ini adalah penanda dimulainya persiapan serius menuju akad nikah, tahap di mana kedua belah pihak diizinkan untuk saling mengenal lebih jauh (ta’aruf) namun tetap menjaga batasan-batasan syar’i.
Teks ini akan mengupas tuntas segala aspek yang melingkupi proses mengkhitbah, dari dimensi spiritual kesiapan diri, tata krama (adab) yang harus dijaga, langkah-langkah prosedural yang tepat, hingga mengatasi tantangan-tantangan kontemporer dalam mencapai persetujuan yang berkah. Memahami khitbah secara menyeluruh adalah kunci untuk memastikan fondasi pernikahan dibangun di atas kejujuran, rasa hormat, dan niat yang lurus.
Asas Syar’i Mengkhitbah: Kewajiban dan Batasan
Khitbah, meskipun bukan bagian dari rukun pernikahan (akad), memiliki kedudukan yang sangat penting dalam syariat. Ia berfungsi sebagai muqaddimah (pendahuluan) yang memastikan transparansi dan kesiapan kedua belah pihak. Status hukum khitbah adalah mubah (diperbolehkan) namun menjadi sangat dianjurkan mengingat fungsinya sebagai penentu langkah selanjutnya.
1.1. Kesiapan Mental dan Spiritual Pelamar
Sebelum melangkah untuk mengkhitbah, seorang pria diwajibkan melakukan introspeksi mendalam. Pernikahan adalah ibadah terpanjang, dan niat yang mendasari haruslah murni karena Allah SWT. Kesiapan spiritual ini mencakup pemahaman akan tanggung jawab sebagai kepala keluarga (qawwam), kesediaan untuk mendidik pasangan, dan komitmen untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Lamaran tanpa kesiapan mental yang matang seringkali berujung pada kegagalan di masa depan.
Mencari Tuntunan Ilahi: Istikharah
Langkah spiritual yang tak terhindarkan sebelum khitbah adalah pelaksanaan shalat Istikharah. Proses ini adalah pengakuan bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam melihat masa depan, sehingga menyerahkan pilihan terbaik kepada Sang Pencipta. Hasil istikharah tidak selalu berupa mimpi yang jelas atau petunjuk yang kasat mata, melainkan berupa kemantapan hati dan kelancaran proses. Jika setelah istikharah hati terasa condong dan urusan dimudahkan, maka itu adalah isyarat untuk melanjutkan langkah mengkhitbah.
1.2. Batasan Khitbah: Wanita yang Tidak Boleh Dikhitbah
Dalam fiqh munakahat (hukum pernikahan), terdapat batasan-batasan ketat mengenai wanita mana yang boleh dilamar. Melamar seorang wanita di bawah ini hukumnya haram, dan dapat membatalkan keabsahan lamaran tersebut:
- Wanita yang Sudah Dilamar Orang Lain (dan telah diterima): Ini adalah larangan paling tegas untuk menjaga kehormatan dan menghindari permusuhan. Jika lamaran pertama telah diterima, lamaran kedua disebut sebagai ‘khitbatun ‘ala khitbah’ dan dilarang.
- Wanita yang Berada dalam Masa Iddah (masa tunggu): Masa iddah adalah masa penghormatan terhadap ikatan pernikahan sebelumnya, baik karena perceraian (talak) maupun ditinggal wafat suami. Meskipun lamaran secara sindiran (ta’ridh) diperbolehkan dalam iddah talak ba’in atau wafat, lamaran secara terang-terangan (tashrih) hanya boleh dilakukan setelah masa iddah berakhir.
- Wanita yang Masih Terikat Pernikahan: Jelas, tidak diperbolehkan melamar atau bahkan memiliki niat untuk melamar wanita yang masih berstatus istri sah orang lain.
Adab Al-Khitbah: Kehormatan dalam Proses Melamar
Adab dalam mengkhitbah mencerminkan kematangan karakter pelamar dan penghormatan terhadap keluarga wanita. Proses ini harus jauh dari sifat tergesa-gesa, pamer kekayaan, atau tekanan. Adab adalah ruh dari khitbah itu sendiri.
2.1. Ta’aruf yang Terjaga Batasannya
Ta’aruf (perkenalan) adalah fase penting sebelum khitbah. Tujuannya adalah saling mengetahui latar belakang, visi, misi, dan kesiapan hidup. Ta’aruf harus dilakukan dengan pendampingan (mahram) dan menghindari pertemuan berdua (khalwat). Komunikasi yang terjalin harus fokus pada hal-hal substantif terkait pernikahan, bukan pada rayuan atau hal-hal emosional yang tidak perlu.
Nadzhar Syar'i: Melihat Calon Pasangan
Diperbolehkan bagi pelamar untuk melihat calon pasangannya (Nadzhar Syar'i) sesuai batasan yang ditetapkan. Tujuan dari melihat ini adalah untuk meyakinkan hati dan menghindari penyesalan di kemudian hari. Fokusnya adalah melihat bagian yang biasa terlihat, serta memperhatikan karakter dan pembawaan, bukan sekadar daya tarik fisik semata. Proses ini harus dilakukan dengan niat yang benar dan tanpa syahwat.
2.2. Mengedepankan Kehormatan Keluarga
Khitbah dilakukan bukan hanya kepada wanita yang dicintai, melainkan juga kepada walinya. Pendekatan kepada wali (ayah atau wali sah) harus dilakukan dengan penuh rasa hormat, kerendahan hati, dan pengakuan atas peran wali sebagai penjaga kehormatan wanita.
- Gunakan Bahasa yang Baik: Hindari bahasa yang terlalu dominan, menuntut, atau meremehkan. Gunakan bahasa yang santun, menjelaskan niat baik secara terperinci.
- Menghormati Tradisi (Selama Tidak Bertentangan dengan Syariat): Di banyak daerah, prosesi khitbah melibatkan pertukaran hadiah simbolis atau jamuan makan. Menghargai tradisi ini adalah bagian dari adab.
- Transparansi: Pelamar harus jujur mengenai kondisi finansial, pekerjaan, dan masa lalunya. Menyembunyikan fakta penting hanya akan merusak kepercayaan yang seharusnya menjadi fondasi pernikahan.
2.3. Adab Menanggapi Lamaran
Keluarga wanita juga memiliki adab tersendiri. Mereka harus memberikan jawaban yang jelas—apakah menerima, menolak, atau meminta waktu pertimbangan—dengan cara yang santun. Menolak lamaran harus dilakukan dengan bijaksana agar tidak melukai perasaan pelamar, terutama jika pelamar adalah orang yang baik agamanya.
Jika keluarga memutuskan untuk meminta waktu (disebut sebagai *mushawarah*), ini harus disampaikan dengan batas waktu yang jelas dan alasan yang logis. Menggantung lamaran tanpa kepastian adalah tindakan yang kurang beradab.
Prosedur Praktis Mengkhitbah: Langkah Demi Langkah
Meskipun setiap keluarga memiliki tradisi unik, ada kerangka prosedur umum yang berlaku dalam konteks khitbah. Kerangka ini memastikan bahwa semua tahapan penting, mulai dari pengenalan hingga penentuan mahar, dibahas secara komprehensif.
3.1. Pra-Khitbah: Penjajakan Awal
Tahap ini dimulai setelah ta’aruf dan istikharah selesai, dan kedua belah pihak merasa cocok. Pihak pria menghubungi wali wanita secara informal untuk menyatakan niat awal. Ini penting untuk memastikan bahwa wanita tersebut belum dilamar orang lain dan keluarganya terbuka untuk menerima lamaran.
Penentuan Delegasi (Rombongan)
Khitbah biasanya melibatkan delegasi kecil dari pihak pria. Delegasi ini idealnya terdiri dari orang tua pelamar, kerabat dekat yang dihormati (seperti paman atau bibi), dan juru bicara utama. Juru bicara haruslah orang yang fasih, santun, dan mampu menyampaikan maksud dengan jelas dan meyakinkan.
3.2. Hari Khitbah: Dialog dan Kesepakatan
Pada hari yang disepakati, pertemuan formal dilakukan. Ini adalah momen puncak di mana janji akan diucapkan dan kesepakatan akan dibuat. Rangkaian acaranya umumnya meliputi:
A. Pembukaan dan Penyampaian Maksud
Acara dibuka dengan salam, pujian kepada Allah, dan shalawat. Juru bicara pihak pria kemudian menyampaikan maksud kedatangan, menjelaskan niat suci pelamar untuk menjadikan wanita tersebut istri, dan memohon restu dari wali.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami hadir di hadapan Bapak/Ibu sekalian, dengan niat yang tulus dan ikhlas, mewakili putra kami [Nama Pelamar], untuk memohon izin agar kiranya kami dapat mengikat janji suci dengan putri Bapak/Ibu, [Nama Wanita]. Kami berharap kiranya ikatan ini dapat menjadi awal dari ibadah yang panjang dan penuh berkah.”
B. Tanggapan Wali
Wali atau juru bicara pihak wanita akan menanggapi. Jawaban bisa berupa penerimaan langsung, atau permintaan waktu tambahan jika ada hal yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut (misalnya, jika wanita tersebut belum memberikan jawaban final karena sedang Istikharah).
C. Negosiasi Mahar dan Waktu Akad
Jika lamaran diterima, pembahasan beralih ke hal-hal teknis:
- Mahar (Mas Kawin): Dibahas jenis dan bentuknya. Mahar harus disepakati dan dipastikan tidak memberatkan namun tetap menghargai.
- Waktu Akad Nikah: Penentuan tanggal pernikahan harus disepakati bersama.
- Perjanjian Lain: Pembahasan mengenai walimah (resepsi), tempat tinggal setelah menikah, dan hal-hal lain yang dianggap penting.
3.3. Tanda Pengikat (Peningset)
Dalam banyak tradisi, khitbah diresmikan dengan penyerahan simbol pengikat, seperti cincin, seperangkat perhiasan, atau seserahan. Penting untuk dipahami bahwa pemberian ini adalah simbol keseriusan dan bukan syarat sahnya khitbah secara syar’i. Jika khitbah dibatalkan oleh pihak wanita, sebagian ulama membolehkan harta pengikat (selain yang sudah dikonsumsi) diminta kembali.
Dinamika dan Tantangan Khitbah: Mengelola Harapan dan Realitas
Proses khitbah seringkali tidak berjalan mulus. Berbagai dinamika, mulai dari perbedaan budaya, tekanan sosial, hingga isu komunikasi, dapat muncul. Kesuksesan khitbah diukur dari bagaimana pasangan dan keluarga dapat mengelola tekanan-tekanan ini dengan bijak.
4.1. Mengelola Tekanan Sosial dan Tradisi
Di beberapa komunitas, khitbah identik dengan kemewahan dan pameran harta (ghuluw). Hal ini sering kali memberatkan pihak pelamar yang memiliki keterbatasan finansial. Penting bagi kedua keluarga untuk kembali kepada esensi khitbah, yaitu mencari keberkahan dan kesahihan niat, bukan mencari pujian manusia.
Peran Juru Bicara yang Bijak
Juru bicara memiliki peran krusial dalam meredam ketegangan yang mungkin timbul akibat perbedaan pandangan mengenai tradisi. Mereka harus mampu menengahi antara keinginan pelamar dan harapan keluarga wanita, memastikan bahwa keputusan diambil berdasarkan prioritas agama dan kebaikan bersama.
4.2. Khitbah dalam Era Digital
Teknologi telah mengubah cara ta’aruf dan khitbah dilaksanakan. Pertemuan seringkali diawali secara daring melalui perantara yang terpercaya. Meskipun ini mempermudah proses awal, risiko kurangnya data yang otentik dan ketidaksesuaian antara persona digital dan realitas tetap ada. Oleh karena itu, verifikasi mendalam mengenai latar belakang calon pasangan menjadi semakin penting di era digital ini.
Khitbah melalui konferensi video atau telepon mungkin diperlukan jika jarak memisahkan. Namun, disarankan agar pertemuan tatap muka formal dengan wali tetap menjadi prioritas untuk menunjukkan keseriusan dan penghormatan.
4.3. Mengatasi Pembatalan Khitbah (Fasakh Al-Khitbah)
Khitbah adalah janji, bukan ikatan yang mengikat secara hukum seperti pernikahan. Oleh karena itu, khitbah boleh dibatalkan oleh salah satu pihak sebelum akad nikah dilaksanakan, meskipun pembatalan tanpa alasan yang kuat sangat dicela dalam Islam karena termasuk kategori mengingkari janji.
Alasan Pembatalan yang Dapat Diterima:
- Ditemukan cacat atau aib serius pada salah satu pihak yang tidak diketahui sebelumnya (misalnya penyakit kronis yang disembunyikan).
- Perubahan besar dalam karakter atau agama salah satu pihak setelah khitbah.
- Tidak adanya kemantapan hati setelah pertimbangan mendalam dan istikharah.
Jika khitbah dibatalkan, pihak yang membatalkan harus mengembalikan semua hadiah yang diberikan, kecuali yang sudah habis atau rusak. Prinsip dasarnya adalah keadilan dan menghindari kerugian yang tidak perlu.
Mahar dan Keseimbangan: Nilai-Nilai Keadilan dalam Lamaran
Meskipun mahar secara teknis dibahas setelah khitbah diterima, negosiasi mahar adalah inti dari proses kesepakatan. Mahar adalah hak mutlak wanita dan merupakan simbol penghormatan serta tanggung jawab pria terhadap calon istrinya.
5.1. Filosofi Mahar: Bukan Jual Beli
Mahar bukan harga beli seorang wanita. Filosofi mahar adalah kewajiban yang menunjukkan keseriusan pria dan pengakuan akan berharga dan mulianya kedudukan seorang wanita. Mahar harus bersifat sesuatu yang memiliki nilai (baik harta, emas, hingga hafalan Al-Qur'an), dan bukan hal yang diharamkan.
Mahar yang Memudahkan dan Memberkahi
Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah didapatkan namun tetap bernilai. Mempersulit pernikahan dengan meminta mahar yang sangat mahal bertentangan dengan semangat syariat yang menganjurkan kemudahan dalam ibadah. Keluarga wanita harus menghindari permintaan yang tidak realistis hanya demi gengsi atau pamer. Keterbatasan finansial calon suami seharusnya tidak menjadi penghalang jika agamanya dan akhlaknya baik.
5.2. Membedakan Mahar dan Seserahan
Seringkali terjadi kebingungan antara mahar dan seserahan (hantaran). Mahar adalah wajib dan menjadi milik mutlak istri. Sementara seserahan adalah hadiah pelengkap atau tradisi, yang sifatnya tidak wajib dan disepakati secara kultural. Penting untuk memisahkan keduanya agar tidak terjadi salah pengertian dalam perjanjian khitbah.
5.3. Memastikan Kesepakatan Tertulis
Meskipun khitbah adalah janji lisan, semua kesepakatan penting yang dicapai selama proses negosiasi, terutama terkait mahar, waktu, dan perjanjian-perjanjian khusus (misalnya kelanjutan studi atau tempat tinggal), sebaiknya didokumentasikan. Dokumentasi ini berfungsi sebagai referensi dan mencegah perselisihan di kemudian hari saat menjelang akad nikah.
Wali dan Perwakilan: Pilar Utama Kesuksesan Khitbah
Kehadiran wali (khususnya ayah) dalam khitbah adalah penentu. Wali adalah pembuat keputusan dan penjaga kehormatan wanita. Peran wali melampaui sekadar memberikan izin; ia juga bertanggung jawab untuk menilai kelayakan calon suami.
6.1. Tugas dan Kriteria Wali yang Ideal
Wali yang baik akan menilai calon menantunya berdasarkan dua kriteria utama: agama dan akhlak. Harta dan kedudukan sosial adalah pertimbangan sekunder. Wali harus teliti dan bertanya secara mendalam tentang calon menantu. Wali juga berperan sebagai penasehat yang bijak bagi putrinya, memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak didasari oleh emosi sesaat.
Khitbah yang berhasil adalah khitbah yang mendapatkan restu tulus dari wali. Restu ini bukan sekadar formalitas, melainkan doa dan pengakuan bahwa pria yang melamar adalah sosok yang dipercayai untuk menjaga kehormatan keluarganya.
6.2. Dinamika Antar Keluarga
Khitbah bukan hanya penyatuan dua individu, melainkan penyatuan dua keluarga besar. Ini membutuhkan komunikasi yang terbuka dan rasa saling menghargai sejak awal. Apabila terdapat perbedaan latar belakang (suku, bahasa, atau tradisi), harus ada upaya sungguh-sungguh untuk mencari titik temu dan kompromi.
Sikap merendahkan atau merasa lebih unggul dari keluarga calon pasangan harus dihindari. Keramahan, kehangatan, dan sikap menerima adalah kunci agar suasana khitbah berjalan harmonis dan menghindari ketegangan yang dapat merusak hubungan sebelum pernikahan dimulai.
Masa Tunggu: Mengisi Jeda Antara Khitbah dan Akad
Setelah khitbah diterima, biasanya terdapat jeda waktu sebelum akad nikah dilaksanakan. Jeda ini sangat penting untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya, namun harus dijaga ketat batasan-batasan interaksinya.
7.1. Batasan Interaksi Selama Masa Khitbah
Meskipun sudah berstatus "tunangan" atau "calon suami-istri," status hukum mereka di mata agama tetap sebagai orang asing (bukan mahram). Artinya, semua aturan yang berlaku sebelum khitbah tetap berlaku:
- Tidak boleh berduaan (khalwat).
- Tetap harus menjaga batasan pandangan dan sentuhan.
- Komunikasi harus tetap didampingi atau dilakukan dalam konteks yang jelas dan tidak menimbulkan fitnah.
Tujuan utama dari masa khitbah adalah persiapan administratif, mental, dan spiritual untuk akad nikah, bukan perpanjangan masa pacaran. Menyalahi batasan di masa ini dapat mengurangi keberkahan pernikahan yang akan datang.
7.2. Fokus Persiapan Pernikahan
Masa jeda harus diisi dengan hal-hal produktif:
- Kursus Pranikah: Mengikuti kelas atau bimbingan mengenai manajemen rumah tangga, keuangan, dan komunikasi pasangan.
- Kesiapan Administrasi: Mengurus dokumen pernikahan, tes kesehatan pranikah, dan hal-hal birokrasi lainnya.
- Persiapan Walimah: Merencanakan resepsi, mengundang tamu, dan mempersiapkan logistik acara.
- Peningkatan Diri: Kedua pihak meningkatkan pemahaman agama dan memperbaiki diri agar siap menjalani peran baru sebagai suami atau istri.
Fokuskan interaksi pada diskusi mengenai visi pernikahan, ekspektasi peran, dan rencana masa depan, bukan hanya sekadar obrolan ringan yang tidak produktif. Masa ini adalah kesempatan terakhir untuk memastikan tidak ada miskomunikasi substansial sebelum janji suci diikrarkan.
Mozaik Budaya: Khitbah dalam Konteks Nusantara
Indonesia, dengan keragaman budayanya, memperkaya proses khitbah dengan berbagai adat istiadat yang unik. Meskipun inti syariatnya sama, kemasan budaya memberikan nuansa khidmat dan sakral yang berbeda-beda.
8.1. Contoh Tradisi Khitbah Regional
Khitbah Adat Jawa: Nglamar
Proses lamaran Jawa sering disebut ‘Nglamar’. Selain penentuan mahar, fokus utamanya adalah penyerahan ‘Paningset’ (seserahan simbolis) yang terdiri dari kain, perhiasan, dan makanan tradisional yang melambangkan harapan akan kehidupan yang manis dan sejahtera. Ada proses ‘penyantapan’ bersama dari seserahan tersebut sebagai tanda penerimaan.
Khitbah Adat Sunda: Neundeun Omong
Di Sunda, tahap awal bisa disebut ‘Neundeun Omong’ (menitipkan janji), yaitu janji lisan antar keluarga bahwa anak perempuannya akan dipinang oleh anak laki-laki tersebut. Proses ini dilanjutkan dengan ‘Nyeureuhan’ yang merupakan lamaran resmi, di mana pihak pria membawa sirih pinang dan perlengkapan adat lainnya sebagai simbol permintaan izin resmi.
Khitbah Adat Minangkabau: Maminang
Di Minangkabau, prosesnya unik karena pihak wanita yang biasanya mendatangi pihak pria untuk 'Maminang'. Proses ini mencerminkan sistem matrilineal yang dianut, di mana suku wanita memiliki peran lebih besar dalam inisiasi pernikahan, meskipun persetujuan dan adab khitbah secara Islam tetap ditegakkan.
8.2. Integrasi Syariat dan Budaya
Tantangan terbesar dalam khitbah di Nusantara adalah memastikan bahwa tradisi tidak melampaui atau bertentangan dengan syariat. Semua ritual yang dilakukan harus berfungsi sebagai penguat ikatan dan penghormatan, bukan sebagai syarat wajib yang memberatkan atau mengandung unsur kemusyrikan.
Keluarga modern seringkali memilih jalan tengah: mempertahankan inti adab dan keramahan tradisi (seperti penyambutan tamu dan juru bicara), tetapi menyingkirkan unsur-unsur yang bersifat pemborosan (israf) atau yang bertentangan dengan ajaran agama, seperti permintaan mahar yang fantastis atau ritual mistis.
Mendekonstruksi Mitos Khitbah: Menuju Pernikahan yang Mudah
Seringkali, proses mengkhitbah menjadi momok yang menakutkan karena mitos-mitos yang berkembang di masyarakat, seperti kewajiban resepsi mewah atau tuntutan mas kawin yang berlebihan. Penting untuk mengkritisi pandangan ini dan mengembalikan khitbah pada esensi kesederhanaan dan keberkahan.
9.1. Bahaya Perfeksionisme Khitbah
Obsesi terhadap khitbah yang ‘sempurna’ (dari segi dekorasi, jamuan, dan liputan media sosial) seringkali menggeser fokus dari kesiapan mental dan spiritual calon pasangan. Perfeksionisme ini menghasilkan utang, stres, dan kelelahan emosional sebelum pernikahan dimulai. Khitbah yang berhasil adalah yang dilakukan dengan niat yang benar, bukan yang paling mewah.
9.2. Pentingnya Pendidikan Pranikah
Khitbah seharusnya menjadi titik awal di mana pasangan mulai aktif mencari ilmu tentang pernikahan. Ini melibatkan belajar tentang manajemen konflik, ekonomi rumah tangga, dan pendidikan anak. Ilmu ini jauh lebih bernilai dan fundamental dibandingkan dengan detail-detail dekorasi acara khitbah.
9.3. Mempromosikan Keterbukaan Komunikasi
Salah satu kesalahan terbesar dalam khitbah adalah komunikasi yang tidak jujur, baik oleh pelamar yang melebih-lebihkan kekayaannya, maupun oleh keluarga wanita yang menyembunyikan kelemahan putrinya. Khitbah adalah tahap untuk mencari kebenaran. Keterbukaan mengenai kondisi kesehatan, kebiasaan, dan utang piutang adalah bentuk amanah yang harus ditunaikan agar pernikahan di masa depan tidak dibangun di atas kebohongan.
Proses mengkhitbah yang ideal adalah proses yang disederhanakan, dipercepat, dan difokuskan pada penguatan komitmen spiritual kedua belah pihak. Setiap langkah harus dipertimbangkan matang-matang agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. Lamaran ini adalah janji awal, fondasi yang menopang seluruh bangunan rumah tangga hingga akhir hayat.
Khitbah Sebagai Awal Ibadah
Mengkhitbah adalah perjalanan suci yang penuh harapan dan tantangan. Ia menuntut kejujuran, kesabaran, adab yang tinggi, dan yang terpenting, niat yang murni untuk menggenapkan separuh agama. Ketika proses khitbah dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat dan dihiasi dengan adab yang luhur, ia akan menjadi awal yang indah dan berkah menuju gerbang pernikahan.
Keberkahan pernikahan tidak diukur dari kemewahan pesta lamaran, melainkan dari kemudahan prosesnya dan keridhaan yang menyertai setiap langkah. Semoga setiap upaya mengkhitbah yang dilakukan dilandasi oleh kecintaan kepada Allah, menghasilkan pasangan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Semua yang terlibat dalam proses ini—pelamar, calon pasangan, wali, dan kedua keluarga—memikul tanggung jawab untuk memastikan bahwa janji yang diucapkan adalah janji yang ditepati dan komitmen yang dipegang teguh, hingga tiba saatnya akad nikah mengikat mereka dalam ikatan yang paling suci.