Fenomena mengultuskan—tindakan meninggikan seseorang, ideologi, atau konsep hingga mencapai status pemujaan yang sakral, melampaui batas rasionalitas dan kritik—adalah salah satu dinamika sosial dan psikologis paling purba dan paling berbahaya dalam sejarah peradaban manusia. Ketika kekaguman berubah menjadi adorasi tanpa syarat, dan penghargaan berganti rupa menjadi pengabdian total, maka yang terjadi adalah erosi fundamental terhadap otonomi individu dan runtuhnya pondasi nalar kritis yang menjadi penopang masyarakat beradab.
Mengultuskan bukan sekadar bentuk kekaguman yang intens. Ia adalah sebuah proses deformasi kognitif di mana objek yang dipuja ditempatkan dalam dimensi transenden, kebal dari kesalahan, dan segala tindakannya dinilai sebagai manifestasi kebenaran mutlak. Dalam konteks ini, subjek yang mengultuskan melepaskan sebagian besar kapasitas penilaian independennya, menukarnya dengan kenyamanan psikologis yang ditawarkan oleh kepastian dan identitas kelompok yang terpusat pada figur pujaan.
Istilah 'mengultuskan' berasal dari kata dasar 'kultus', yang secara harfiah merujuk pada sistem ritual dan pemujaan. Namun, dalam konteks sosiologi modern, ia meluas mencakup praktik politik, sosial, dan bahkan komersial. Memahami spektrum pengultusan memerlukan pembedaan tajam antara kekaguman yang sehat dan pemujaan yang merusak.
Kekaguman adalah respons emosional yang sehat terhadap keunggulan atau pencapaian. Seseorang dapat mengagumi kepemimpinan, bakat artistik, atau kecerdasan intelektual. Kekaguman yang sehat mempertahankan jarak kritis; pengagum tetap mampu melihat cacat, kegagalan, dan keterbatasan manusiawi dari objek yang dikagumi. Sebaliknya, proses mengultuskan adalah ketika batasan tersebut runtuh, dan individu menolak untuk mengakui adanya kelemahan atau kesalahan, bahkan ketika bukti empiris menunjuk pada sebaliknya.
Pengultusan seringkali dimulai sebagai proyeksi. Individu memproyeksikan harapan, impian, dan kebutuhan spiritual mereka yang tidak terpenuhi pada figur pujaan. Figur tersebut, baik pemimpin politik, guru spiritual, atau bahkan selebritas, menjadi wadah bagi seluruh idealisme yang dipeluk oleh pengikut. Keberhasilan figur adalah keberhasilan pengikut; kegagalan figur dianggap sebagai konspirasi atau kesalahpahaman. Keterpisahan antara identitas diri dan identitas objek kultus menjadi kabur, menghasilkan ketergantungan emosional yang intens.
Manifestasi paling dramatis dari mengultuskan sering terlihat dalam arena politik, dikenal sebagai "Cult of Personality" atau Kultus Individu. Dalam sistem ini, pemimpin tidak sekadar menjalankan kekuasaan, tetapi diidealkan sebagai personifikasi negara, kebenaran, atau bahkan takdir ilahi. Contoh-contoh historis, mulai dari kaisar-kaisar Romawi yang menuntut pemujaan dewa hingga diktator modern, menunjukkan bagaimana pengultusan berfungsi sebagai alat ampuh untuk menjustifikasi kekuasaan absolut dan menekan oposisi.
Figur di atas alas: simbolisasi pengultusan dan pemujaan yang melampaui batas.
Mengapa manusia, makhluk yang dikaruniai kemampuan berpikir logis, begitu rentan terhadap dorongan untuk mengultuskan? Jawabannya terletak jauh di dalam struktur psikologis kita, terutama dalam kebutuhan mendasar akan makna, kepastian, dan rasa memiliki.
Dunia sering kali tampak kacau, tidak pasti, dan penuh ambiguitas moral. Ambiguitas ini menciptakan kecemasan eksistensial. Objek kultus (pemimpin, ideologi, atau doktrin) menawarkan sebuah narasi yang jelas, sederhana, dan definitif. Dengan menerima otoritas objek pujaan, pengikut dapat mendelegasikan tugas berat untuk mengambil keputusan dan menghadapi ketidakpastian. Figur yang diultuskan adalah jangkar di tengah badai kognitif, memberikan peta jalan moral dan solusi yang tampaknya sempurna.
Filosof eksistensialis berpendapat bahwa kebebasan membawa beban tanggung jawab yang berat. Mengultuskan adalah cara mudah untuk menghindari tanggung jawab tersebut. Jika figur pujaan adalah benar, maka pengikut tidak perlu lagi berjuang dengan pertanyaan moral yang rumit; mereka hanya perlu mematuhi. Hal ini secara paradoks memberikan rasa kebebasan dari beban pengambilan keputusan, meskipun dengan mengorbankan kebebasan yang sesungguhnya—kebebasan untuk berpikir kritis dan memilih jalur sendiri.
Manusia adalah makhluk sosial, dan kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompok yang kohesif adalah primordial. Kultus, yang didorong oleh proses mengultuskan, menawarkan identitas kelompok yang kuat dan eksklusif. Anggota merasa unik dan terpilih karena mereka memiliki akses ke 'kebenaran' yang diwakili oleh objek kultus. Ikatan ini diperkuat melalui ritual bersama, bahasa internal, dan penolakan terhadap 'yang lain' atau pihak luar yang tidak memahami kebenaran tersebut. Intensitas pemujaan terhadap figur sentral adalah lem yang menyatukan kelompok tersebut.
Setelah proses pengultusan dimulai, pikiran pengikut cenderung terperangkap dalam lingkaran umpan balik yang menguatkan (confirmation bias). Setiap tindakan figur pujaan akan diinterpretasikan melalui lensa pemujaan. Bukti yang bertentangan diabaikan, direasionalisasi, atau diserang sebagai fitnah. Psikologi sosial menjelaskan bahwa semakin banyak yang dikorbankan individu untuk mempertahankan keyakinan mereka (waktu, uang, hubungan), semakin kuat mereka akan mempertahankan keyakinan itu, sebuah fenomena yang dikenal sebagai eskalasi komitmen.
Jika di masa lalu pengultusan terutama terjadi di sekitar figur agama atau politik, era digital telah mendemokratisasi dan mempercepat proses tersebut. Pengultusan kini menyebar ke bidang-bidang yang sebelumnya dianggap sekuler: teknologi, kewirausahaan, dan hiburan. Kita menyaksikan lahirnya kultus selebritas, kultus merek, dan bahkan kultus ideologi ekstrem yang dimediasi oleh platform daring.
Media sosial memungkinkan hubungan parasosial (hubungan sepihak di mana pengikut merasa akrab dan mengenal idola, padahal idola tidak mengenal mereka) mencapai tingkat intensitas yang belum pernah ada sebelumnya. Influencer dan kreator konten, melalui kurasi cermat terhadap kehidupan mereka, menciptakan citra kesempurnaan atau keautentikan yang dapat memicu proses mengultuskan. Pengikut merasa memiliki ikatan personal yang mendalam, membuat mereka lebih mudah membela figur tersebut secara agresif ketika dikritik.
Dalam konteks modern, proses mengultuskan seringkali dikomodifikasi. Semakin besar pemujaan, semakin besar pula nilai ekonomi figur tersebut—melalui penjualan produk, dukungan merek, atau penggalangan dana politik. Kultus menjadi mesin yang menghasilkan keuntungan, memperkuat siklus di mana figur pujaan harus terus mempertahankan citra kesempurnaan yang tidak realistis untuk mempertahankan loyalitas basis pengikut yang menguntungkan.
Internet memfasilitasi pembentukan "grup cepat" yang terstruktur di sekitar ideologi spesifik (misalnya, gerakan diet ekstrem, filosofi investasi tertentu, atau gerakan politik pinggiran). Dalam kelompok-kelompok ini, ideologi atau doktrin sentral (seringkali dikaitkan dengan penemunya) diultuskan. Setiap kritik terhadap doktrin tersebut dianggap sebagai serangan terhadap identitas kelompok itu sendiri. Hal ini memperkuat polarisasi sosial dan menciptakan 'gelembung filter' (echo chamber) di mana nalar kritis tidak dapat bertahan hidup.
Dampak terburuk dari mengultuskan adalah konsekuensinya terhadap individu yang memuja dan masyarakat secara keseluruhan. Dampak ini bersifat merusak, menghasilkan stagnasi intelektual, penindasan, dan, dalam kasus ekstrem, kekerasan kolektif.
Ketika seseorang menempatkan sumber kebenaran di luar dirinya—yaitu pada objek yang diultuskan—mereka kehilangan kemampuan untuk memproses informasi secara independen. Ini adalah bentuk penyerahan intelektual. Pemujaan berlebihan melumpuhkan skeptisisme yang sehat dan menihilkan kebutuhan untuk melakukan verifikasi. Pengikut merasa bahwa tugas mereka bukanlah menganalisis, melainkan membela. Ini adalah kemunduran dari ideal Pencerahan, di mana akal adalah otoritas tertinggi.
Otak yang terantai: melambangkan pengekangan pemikiran yang dihasilkan dari penyerahan total.
Di tingkat sosial, pengultusan menciptakan rigiditas. Jika sebuah sistem (baik politik, agama, atau korporat) dipimpin oleh figur yang diultuskan, kritik internal menjadi mustahil. Segala bentuk reformasi atau adaptasi dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kesempurnaan objek pujaan. Masyarakat yang mengultuskan pemimpin atau ideologi secara masif akan cenderung stagnan, tidak mampu memperbaiki diri, dan pada akhirnya akan runtuh karena ketidakmampuan beradaptasi dengan perubahan zaman atau tantangan baru.
Ketika pemujaan mencapai titik fanatisme, ia selalu mengandung benih intoleransi dan kekerasan. Karena objek kultus dipandang sebagai kebenaran mutlak, siapapun yang menentangnya bukan hanya salah, tetapi juga jahat. Ini menjustifikasi serangan verbal, pengucilan, atau bahkan kekerasan fisik terhadap pihak oposisi. Sejarah penuh dengan contoh bagaimana kultus individu telah memimpin rezim-rezim yang paling represif, menggunakan pemujaan sebagai lisensi untuk melakukan kekejaman atas nama kebenaran yang tidak dapat diganggu gugat.
Pengultusan bukanlah proses spontan; ia adalah proses yang dipelihara dan dirancang secara cermat oleh figur otoritas atau lingkungan mereka. Ada taktik-taktik khusus yang digunakan untuk memastikan bahwa kekaguman berkembang menjadi pemujaan yang total.
Figur yang ingin diultuskan seringkali menggunakan narasi "Juru Selamat" atau "Mesias". Mereka diposisikan sebagai satu-satunya orang yang mampu memecahkan masalah kompleks yang dihadapi kelompok atau negara. Mereka mengklaim memiliki pengetahuan eksklusif atau koneksi ilahi yang tidak dimiliki orang lain. Retorika ini berfungsi untuk menghilangkan alternatif dan memusatkan semua harapan pada satu figur, membuat pengikut merasa bahwa tanpa figur tersebut, mereka akan jatuh ke dalam kekacauan.
Pengultusan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang kaya informasi dan pluralistik. Oleh karena itu, kontrol ketat terhadap informasi adalah kunci. Ini termasuk menjelek-jelekkan media independen, melabeli kritik sebagai 'berita palsu', dan menciptakan kanal komunikasi tertutup (seperti media negara atau platform internal kultus) yang hanya menyajikan narasi yang menguatkan kesempurnaan objek pujaan. Kebenaran menjadi relatif, dan satu-satunya kebenaran yang diakui adalah yang berasal dari figur yang diultuskan.
Untuk memperkuat kohesi internal pengikut, figur kultus secara konsisten mendefinisikan dan menyerang 'musuh luar'. Musuh ini bisa berupa kelompok politik, etnis, atau bahkan konsep abstrak seperti 'korupsi' atau 'liberalisme'. Dengan mengalihkan rasa takut dan kemarahan pengikut ke musuh eksternal, fokus dari kesalahan internal atau kelemahan figur pujaan dialihkan. Konflik eksternal menjadi pembenaran untuk kepatuhan internal yang lebih ketat.
Dari sudut pandang filosofis, praktik mengultuskan dapat dipandang sebagai antitesis dari proyek Pencerahan (Enlightenment). Immanuel Kant merangkum semangat Pencerahan dengan frasa Sapere Aude—Beranilah Berpikir Sendiri. Pengultusan adalah penolakan terhadap ajakan ini.
Kant mendefinisikan minoritas (minority) sebagai ketidakmampuan menggunakan akal seseorang tanpa bimbingan orang lain. Mengultuskan adalah penyerahan diri secara sukarela ke dalam minoritas ini. Pengikut bersedia membayar figur yang diultuskan untuk berpikir atas nama mereka, meyakini bahwa akal figur tersebut lebih unggul, atau bahkan ilahi, dibandingkan akal mereka sendiri. Ini adalah tindakan pengecut intelektual yang merangkum kegagalan individu untuk mencapai kematangan berpikir.
Meskipun iman memiliki tempat dalam spiritualitas, dalam domain publik dan politik, pengultusan menggantikan bukti empiris dan logika dengan keyakinan yang dogmatis. Pemujaan berlebihan memaksa pengikut untuk menerima kebenaran berdasarkan otoritas (argumentum ad verecundiam) alih-alih berdasarkan verifikasi rasional. Ini menempatkan masyarakat pada posisi rentan terhadap manipulasi yang paling mendasar.
Seorang individu memiliki tanggung jawab etis untuk menggunakan kapasitas berpikirnya. Etika tanggung jawab menuntut agar kita tidak hanya menimbang konsekuensi tindakan kita, tetapi juga konsekuensi dari siapa yang kita izinkan untuk memimpin dan mewakili kita. Ketika kita mengultuskan seseorang, kita secara efektif melepaskan tanggung jawab etis ini, menyerahkan kemudi moral kita kepada figur yang, meskipun dianggap sempurna, tetaplah manusia yang rentan terhadap nafsu, kesalahan, dan korupsi.
Fenomena mengultuskan tidak hanya terbatas pada pemimpin negara atau nabi. Ia meresap ke dalam struktur masyarakat kontemporer melalui konsumerisme, lingkungan kerja, dan bahkan olahraga. Pengultusan menjadi alat manajemen dan pemasaran yang efektif.
Dalam dunia korporasi, kita sering melihat pengultusan terhadap CEO atau pendiri perusahaan teknologi. Figur-figur ini diidealkan sebagai visioner yang tak bercela, pahlawan kapitalisme yang kebijakannya tidak boleh dipertanyakan. Budaya 'hustle' dan kerja gila-gilaan sering dibenarkan melalui pemujaan terhadap etos kerja dan genius sang pemimpin yang diultuskan. Kritik terhadap model bisnis, praktik etis perusahaan, atau bahkan perilaku pribadi pemimpin sering dikesampingkan atas nama 'visi besar' yang hanya dipahami oleh figur sentral.
Organisasi yang mengultuskan pemimpinnya cenderung menderita karena "pemikiran kelompok" (groupthink). Karyawan dan bawahan menjadi takut untuk menyuarakan perbedaan pendapat atau menunjuk pada kekurangan, karena hal itu dapat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap visi sang 'jenius'. Ini menghambat inovasi sejati, karena inovasi memerlukan kritik yang tajam dan pertukaran ide yang bebas dari pemujaan hierarkis.
Bahkan objek mati dapat diultuskan. Merek-merek tertentu berhasil membangun loyalitas yang melampaui preferensi produk biasa, menciptakan komunitas pengikut yang sangat terikat secara emosional. Kepemilikan produk tertentu menjadi tanda keanggotaan dalam kultus, dan serangan terhadap merek tersebut dirasakan sebagai serangan pribadi terhadap identitas pengikut. Proses ini menunjukkan betapa mudahnya kebutuhan psikologis akan makna dan identitas dapat dialihkan dari hal-hal spiritual ke objek material.
Menghadapi dorongan alami untuk mengultuskan, baik pada diri sendiri maupun dalam masyarakat, memerlukan upaya sadar untuk memprioritaskan nalar kritis dan kerendahan hati intelektual. Memutus siklus pemujaan adalah esensial untuk menjaga masyarakat tetap terbuka, adaptif, dan demokratis.
Langkah pertama dalam melawan pengultusan adalah menerima bahwa dunia, kebenaran, dan bahkan pemimpin adalah kompleks, bukan hitam-putih. Ambiguitas bukanlah kelemahan, melainkan refleksi realitas. Kita harus melatih diri untuk merasa nyaman dengan ketidakpastian dan menolak narasi sederhana yang ditawarkan oleh figur kultus. Pemimpin yang hebat adalah mereka yang mengakui batas-batas pengetahuan mereka, bukan mereka yang mengklaim infalibilitas.
Menerapkan lensa kritis: Menolak menerima otoritas tanpa verifikasi rasional.
Menciptakan masyarakat yang kebal terhadap pengultusan membutuhkan skeptisisme yang dilembagakan. Ini berarti menghargai dan melindungi kebebasan pers, institusi akademik independen, dan sistem peradilan yang mampu mengawasi setiap figur otoritas, tanpa terkecuali. Ketika institusi kritis berfungsi, mereka secara efektif mencegah figur mana pun untuk naik ke tingkat deifikasi yang kebal hukum.
Pendidikan harus berfungsi sebagai vaksin utama melawan kecenderungan untuk mengultuskan. Kurikulum harus secara eksplisit mengajarkan metode berpikir kritis, logika, dan evaluasi sumber. Individu harus didorong untuk menemukan nilai pada proses penyelidikan (bagaimana kita tahu) daripada pada hasil (apa yang kita yakini). Pendidikan yang berfokus pada otonomi intelektual akan menghasilkan warga negara yang menghormati pencapaian, tetapi menolak pemujaan.
Salah satu cara paling efektif untuk memutus pengultusan adalah dengan menolak mitos kesempurnaan. Kita harus secara kolektif menyadari bahwa setiap figur publik, terlepas dari kehebatan atau pencapaian mereka, hanyalah manusia biasa dengan segala kelemahan dan cacatnya. Mengakui kemanusiaan mereka tidak mengurangi pencapaian mereka, tetapi justru menempatkannya dalam perspektif yang realistis, mencegah mereka menjadi berhala. Penghormatan dapat diberikan; pemujaan harus ditolak.
Pada akhirnya, proses mengultuskan adalah manifestasi dari pelarian diri. Ia merupakan pelarian dari realitas yang sulit, pelarian dari pekerjaan berat berupa pemikiran independen, dan pelarian dari tanggung jawab untuk mendefinisikan makna hidup sendiri. Figur yang diultuskan menjadi perwakilan ilusi, di mana pengikut dapat hidup dalam kepastian yang nyaman, meskipun fana.
Untuk mencapai kematangan sosial dan spiritual, kita harus berani menghadapi kekacauan dunia dan menerima tugas berat untuk menjadi sumber cahaya kritis kita sendiri. Ketika kita melepaskan kebutuhan untuk mengultuskan, kita tidak hanya membebaskan figur pujaan dari beban kesempurnaan yang tidak mungkin, tetapi yang lebih penting, kita membebaskan diri kita sendiri dari rantai kepatuhan yang mematikan nalar.
Keagungan manusia terletak bukan pada kemampuan kita untuk menyembah, tetapi pada kapasitas tak terbatas kita untuk bertanya, untuk meragukan, dan untuk terus mencari kebenaran, bahkan jika kebenaran itu merusak keyakinan yang paling kita cintai.