Praktik mengurapi adalah salah satu ritual paling kuno dan sarat makna dalam sejarah peradaban manusia, khususnya dalam konteks keagamaan dan kerajaan di Timur Dekat kuno. Lebih dari sekadar penggunaan minyak wangi, mengurapi selalu melambangkan transisi—perpindahan dari keadaan biasa (profan) ke keadaan yang dikhususkan, suci, dan diberi wewenang (sakral). Ritual ini berfungsi sebagai jembatan antara yang fana dan yang ilahi, menandai individu atau objek sebagai milik kekudusan dan kekuatan yang lebih besar.
Memahami konsep mengurapi memerlukan penyelidikan etimologis dan historis yang mendalam. Kata Ibrani untuk mengurapi, *mashach* (מָשַׁח), memiliki akar kata yang berarti 'menggosok' atau 'melumuri'. Dari akar kata inilah lahir istilah *Mashiach* (Mesias), yang secara harfiah berarti 'Yang Diurapi'. Oleh karena itu, setiap pembahasan tentang pengurapan pada akhirnya mengarah pada inti teologi yang menjelaskan peran penyelamat yang dipilih dan ditahbiskan secara ilahi.
Pada awalnya, minyak (biasanya minyak zaitun) digunakan untuk tujuan yang sangat praktis dan duniawi. Di iklim panas dan kering di Timur Tengah, minyak berfungsi sebagai pelembab kulit, kosmetik, dan pelindung terhadap sengatan matahari dan debu. Namun, seiring berkembangnya masyarakat, fungsi minyak mulai bertambah dan bergerak ke ranah simbolis.
Dalam kehidupan sehari-hari, minyak berfungsi sebagai sabun dan pelembab. Setelah mandi atau sebelum jamuan makan, tuan rumah akan sering menawarkan minyak wangi kepada tamu sebagai tanda keramahan. Dalam konteks medis, minyak zaitun sering dicampur dengan herba untuk dijadikan salep yang digunakan untuk merawat luka dan cedera. Penggunaan minyak ini memberikan gambaran awal tentang sifat 'pemulihan' yang melekat pada praktik pengurapan.
Fungsi yang paling signifikan adalah membedakan antara yang kudus dan yang tidak kudus. Ketika minyak yang dicampur dengan rempah-rempah tertentu (Minyak Urapan Kudus) dioleskan pada seseorang atau objek, minyak itu menjadi penanda fisik bahwa entitas tersebut kini telah 'dikonsekrasikan' atau 'dipisahkan' untuk tujuan ilahi. Konsekrasi ini tidak hanya bersifat pengakuan, tetapi juga penanaman otoritas spiritual. Objek yang diurapi, seperti Mezbah atau Tabut Perjanjian, tidak boleh disentuh atau diperlakukan seperti benda biasa, karena telah menjadi wadah kekudusan.
Di Mesir kuno, Mesopotamia, dan kemudian Israel, mengurapi adalah ritual wajib untuk menahbiskan raja. Cairan yang dioleskan ke kepala raja melambangkan bahwa kekuasaan yang ia pegang bukan berasal dari manusia semata, melainkan dari mandat ilahi. Pengurapan ini sering dilakukan oleh seorang imam atau nabi, menekankan bahwa otoritas agama memiliki peran penting dalam melegitimasi kekuasaan politik.
Praktik mengurapi mencapai puncaknya dalam Perjanjian Lama, di mana aturannya didefinisikan dengan sangat ketat, terutama dalam Kitab Keluaran dan Imamat. Di sinilah Minyak Urapan Kudus (MUH) diperkenalkan, sebuah ramuan yang memiliki formula eksklusif dan tidak boleh ditiru untuk penggunaan profan.
Instruksi ilahi kepada Musa mengenai komposisi MUH terdapat dalam Keluaran 30:22-25. Formula ini menetapkan penggunaan bahan-bahan eksotis dan mahal yang melambangkan kekudusan dan keistimewaan. Bahan-bahan ini adalah:
Formula ini secara tegas dilarang untuk digunakan pada tubuh manusia biasa. Siapa pun yang meniru atau menggunakannya untuk tujuan biasa akan dihukum berat. Hal ini menegaskan bahwa pengurapan bukanlah sekadar kosmetik, melainkan ritual teologis yang menanamkan kehadiran ilahi.
Dalam narasi Keluaran, pengurapan pertama-tama diarahkan pada benda mati, bukan manusia. Tujuannya adalah untuk 'menguduskan' tempat dan alat-alat ibadah, menjadikannya layak untuk pelayanan Yahweh. Ini termasuk:
Ketika benda-benda ini diurapi, mereka 'dipenuhi' dengan kekudusan. Kontak dengan benda-benda ini kemudian memerlukan pemurnian, menunjukkan betapa kuatnya energi kekudusan yang diwakilkan oleh minyak tersebut.
Secara garis besar, tiga jenis manusia diurapi dalam Yudaisme klasik, masing-masing memiliki peran unik dalam menghubungkan manusia dengan Allah:
Harun dan keturunannya (Imam-imam) diurapi secara khusus untuk melayani di hadapan Allah. Pengurapan ini, yang sangat detail dijelaskan dalam Imamat 8, melibatkan tidak hanya minyak di kepala, tetapi juga darah pada telinga, ibu jari tangan, dan ibu jari kaki. Simbolisme ini menunjukkan bahwa seluruh keberadaan imam—pendengaran (ketaatan), tindakan (tangan), dan perjalanan hidup (kaki)—dikhususkan bagi pelayanan suci. Pengurapan imam adalah suksesi, memastikan bahwa pelayanan perantara antara Allah dan umat tetap berkelanjutan dan sah.
Raja-raja adalah yang paling dikenal sebagai 'Yang Diurapi'. Ketika Saul diurapi oleh Samuel, dikatakan bahwa Roh Allah turun ke atasnya. Hal yang sama terjadi pada Daud, yang diurapi saat ia masih seorang gembala muda (1 Samuel 16:13). Pengurapan raja adalah penanaman Roh Kudus untuk tujuan kepemimpinan dan militer. Roh tersebut memberikan keberanian, kebijaksanaan, dan kekuatan untuk memimpin bangsa Israel dalam peperangan dan keadilan. Kegagalan raja, seperti pada kasus Saul, sering ditandai dengan penarikan Roh pengurapan itu. Dengan demikian, pengurapan raja adalah otorisasi dan sekaligus pertanggungjawaban ilahi.
Meskipun tidak semua nabi diurapi dengan minyak secara formal, beberapa nabi penting ditahbiskan melalui ritual pengurapan. Contoh paling menonjol adalah Elia yang diperintahkan untuk mengurapi Elisa sebagai penggantinya. Namun, yang lebih umum, para nabi dianggap 'diurapi' oleh Roh Kudus (secara spiritual) untuk menyampaikan firman Allah. Mereka menerima 'kuasa urapan' untuk berani berbicara kebenaran kepada raja dan bangsa, bahkan di tengah penganiayaan.
Seiring berjalannya sejarah Israel, praktik pengurapan fisik mulai meredup, namun maknanya bergeser ke ranah eskatologis. Umat Israel mulai menantikan sosok 'Mashiach' (Mesias), Yang Diurapi, yang akan datang untuk membebaskan mereka dari penindasan dan memulihkan Kerajaan Daud yang abadi. Penantian ini membentuk jembatan penting menuju Perjanjian Baru.
Dalam bahasa Yunani, kata yang setara dengan *Mashiach* adalah *Christos* (Χριστός). Gelar ini tidak merujuk pada nama keluarga Yesus, tetapi pada kedudukan-Nya sebagai 'Yang Diurapi' yang dinubuatkan. Ketika Yesus memulai pelayanan-Nya, Dia secara implisit menyatakan pengurapan-Nya ketika membaca gulungan Yesaya 61:
"Roh Tuhan ada pada-Ku, sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan..."
Peristiwa yang secara simbolis setara dengan pengurapan minyak fisik pada Yesus adalah pembaptisan-Nya di Sungai Yordan, di mana Roh Kudus turun ke atas-Nya dalam rupa seperti burung merpati. Ini menandai pengurapan definitif dari Allah Bapa, menahbiskan Yesus sebagai Nabi, Imam, dan Raja (tiga fungsi yang diurapi) secara sempurna dan definitif.
Dalam Kekristenan, terjadi pergeseran yang signifikan: minyak fisik yang terbatas dan eksklusif digantikan oleh kuasa Roh Kudus yang tidak terbatas dan dapat diakses oleh semua orang percaya. Pengurapan yang sejati bukanlah pengolesan minyak oleh tangan imam, tetapi pencurahan Roh Kudus. Rasul Paulus sering merujuk pada konsep ini, menyebut bahwa Allah adalah yang 'mengurapi' orang percaya, memberikan meterai dan jaminan Roh dalam hati mereka (2 Korintus 1:21-22).
Meskipun pengurapan Roh Kudus menjadi fokus utama, praktik penggunaan minyak secara literal tidak hilang sepenuhnya. Gereja mula-mula meneruskan praktik mengurapi dalam dua konteks utama: pelayanan orang sakit dan persiapan penguburan.
Perintah yang paling jelas mengenai penggunaan minyak oleh jemaat diberikan oleh Yakobus: "Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, dan hendaklah mereka mendoakan dia sambil mengurapinya dengan minyak dalam nama Tuhan" (Yakobus 5:14). Minyak di sini berfungsi sebagai simbol: perlambang obat yang digunakan pada masa itu, lambang hadirat Roh Kudus, dan lambang iman yang dilepaskan melalui ritual tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa minyak dalam konteks gereja bukan lagi Minyak Urapan Kudus yang eksklusif dari Perjanjian Lama (MUH dilarang dibuat), tetapi minyak zaitun biasa yang telah dikuduskan melalui doa. Fungsinya adalah memanggil kuasa Tuhan untuk menyembuhkan, memulihkan, dan mengampuni dosa (yang sering dikaitkan dengan penyakit dalam teologi Yahudi saat itu).
Gereja perdana sering menggunakan minyak wangi untuk mempersiapkan jenazah. Kisah Maria Magdalena mengurapi kaki Yesus dengan minyak wangi yang mahal adalah tindakan kenabian yang dipahami Yesus sebagai persiapan bagi penguburan-Nya (Yohanes 12:7). Ini adalah pengurapan kehormatan dan kasih sayang, sekaligus simbol pemisahan tubuh dari dunia fana.
Minyak zaitun memiliki makna mendalam yang menjadikannya pilihan ideal untuk ritual pengurapan di seluruh budaya Mediterania dan Timur Tengah:
Minyak zaitun adalah bahan bakar utama untuk pelita. Secara spiritual, minyak melambangkan terang Allah, yang menerangi jalan. Ketika seseorang diurapi, ia diangkat dari kegelapan ke dalam terang, dan diutus untuk menjadi pembawa terang bagi dunia.
Dalam masyarakat agraris, zaitun adalah tanda kelimpahan dan berkat ilahi. Panen zaitun yang baik berarti kemakmuran. Dengan demikian, pengurapan melambangkan pencurahan berkat yang melimpah (Mazmur 23:5, "Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak"). Minyak ini bukan hanya cukup, tetapi melimpah ruah, melambangkan karunia Roh yang melimpah.
Karena minyak MUH memiliki aroma yang kuat dan khas, aromanya menjadi penanda fisik bagi kekudusan yang tidak terlihat. Di dalam Kemah Suci, aroma rempah-rempah yang mahal ini mengingatkan para imam akan kehadiran Yahweh yang berbeda dari dunia luar yang tercemar.
Meskipun terjadi perdebatan teologis, praktik mengurapi tetap relevan dalam berbagai denominasi, meskipun maknanya dan pelaksanaan ritualnya bervariasi.
Tradisi kuno pengurapan dipertahankan melalui penggunaan minyak yang diberkati (Chrism atau Krisma), yang seringkali merupakan minyak zaitun yang dicampur dengan balsam wangi.
Dalam banyak gereja Protestan, penggunaan minyak dianggap sebagai hal yang bersifat opsional atau hanya sebagai simbol belaka. Namun, dalam gerakan Pentakosta dan Karismatik, pengurapan minyak sering digunakan sebagai bagian dari pelayanan penyembuhan (sesuai Yakobus 5) dan pelepasan (deliverance).
Dalam konteks Karismatik, istilah 'pengurapan' (anointing) sering merujuk pada manifestasi kehadiran Roh Kudus yang terasa—bukan minyak fisik—yang memberdayakan seseorang untuk berkhotbah, menyembuhkan, atau bernubuat dengan kuasa supranatural. Ketika minyak fisik digunakan, itu seringkali berfungsi sebagai 'titik kontak' atau simbol visual bagi orang-orang untuk melepaskan iman mereka terhadap kuasa penyembuhan Roh Kudus.
Meskipun praktik mengurapi paling terkenal dalam konteks Yahudi-Kristen, penggunaan minyak wangi untuk konsekrasi atau kehormatan bukanlah monopoli. Praktik serupa dapat ditemukan dalam peradaban kuno lainnya, yang menegaskan universalitas fungsi minyak sebagai agen pembeda dan pengudusan.
Di Mesir kuno, minyak sangat penting, digunakan untuk ritual mumifikasi (yang secara harfiah adalah pengawetan dan pengudusan jenazah untuk perjalanan ke alam baka). Para firaun diurapi, dan patung-patung dewa diolesi minyak wangi untuk 'menghidupkan' mereka dan menghubungkan mereka dengan kekuatan ilahi.
Di dunia Yunani dan Romawi, atlet sering mengolesi diri dengan minyak sebelum kompetisi untuk melenturkan otot dan melindungi kulit. Pemenang dan tamu terhormat dalam jamuan makan juga diurapi dengan minyak wangi sebagai tanda penghormatan. Walaupun tidak selalu bernuansa sakral, ini menunjukkan asosiasi minyak dengan kemuliaan, kekuatan, dan kemenangan.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang mengurapi, kita harus kembali ke makna spiritualnya yang paling mendalam: penanaman karunia spiritual (karisma).
Pengurapan Roh Kudus memberikan otoritas (otoritas) untuk melakukan pelayanan. Ketika Daud diurapi, Roh Kudus memberinya kapasitas untuk memimpin Israel, memainkan alat musik yang menenangkan Saul, dan akhirnya mengalahkan Goliat. Pengurapan bukanlah tentang kesempurnaan moral instan, tetapi tentang penugasan fungsional. Bahkan seorang nabi dapat diurapi untuk menyampaikan pesan yang keras, atau seorang raja dapat diurapi untuk memerintah, meskipun kemudian ia gagal secara moral.
Surat Pertama Yohanes memperkenalkan konsep pengurapan dalam kaitannya dengan pengetahuan dan kebenaran: "Dan kamu telah menerima pengurapan dari Yang Kudus, dan kamu semua mengetahuinya" (1 Yohanes 2:20). Pengurapan di sini dipahami sebagai anugerah Roh yang memberikan pemahaman (gnosis) atau intuisi spiritual yang memampukan orang percaya membedakan kebenaran dari ajaran palsu. Dalam konteks ini, pengurapan adalah guru internal, sebuah bimbingan spiritual yang bersemayam dalam diri orang percaya.
Kutipan Yesaya 61 yang dibaca oleh Yesus menekankan dimensi sosial dan profetik dari pengurapan. Pengurapan Mesias bukan hanya untuk kemuliaan pribadi, tetapi untuk tindakan: membebaskan yang tertawan, menyembuhkan yang patah hati, dan memberitakan kabar baik kepada yang miskin. Dengan demikian, pengurapan ilahi harus selalu diterjemahkan ke dalam tindakan kasih, keadilan, dan pembebasan bagi mereka yang tertindas.
Dalam konteks teologi modern, penting untuk membedakan secara hati-hati antara berbagai jenis minyak yang digunakan dan makna yang melekat padanya:
Minyak ini bersifat eksklusif bagi fungsi imamat dan bait suci di masa Perjanjian Lama. Setelah Bait Suci dihancurkan dan Kedatangan Mesias, formula ini umumnya diyakini tidak lagi diproduksi atau digunakan karena maknanya telah digenapi dalam Kristus.
Minyak yang diberkati oleh Uskup atau pendeta senior, digunakan dalam ritual sakramen (baptisan, konfirmasi, pentahbisan). Minyak ini diyakini memiliki berkat khusus melalui doa gereja, dan penggunaannya tunduk pada aturan gerejawi yang ketat.
Minyak zaitun biasa, seringkali diberkati melalui doa jemaat, digunakan dalam konteks pelayanan penyembuhan atau doa pribadi. Kepercayaan utama terletak pada doa dan iman yang menyertai, bukan pada komposisi kimiawi minyak itu sendiri. Minyak berfungsi sebagai penunjang visual dan spiritual bagi pelepasan iman.
Meskipun sebagian besar orang percaya tidak lagi menjadi raja yang diurapi atau imam suku Lewi, konsep pengurapan tetap memiliki dampak signifikan dalam kehidupan iman.
Setiap orang percaya diurapi oleh Roh Kudus, yang berarti setiap individu dipanggil dan diberi kuasa untuk tujuan tertentu. Pengurapan modern adalah pengakuan bahwa Allah telah memilih dan melengkapi seseorang—apakah itu dalam pekerjaan sekuler, keluarga, atau pelayanan gereja—untuk membawa pengaruh kerajaan-Nya.
Pengurapan memampukan (empowerment). Ketika rasul-rasul menghadapi penganiayaan, mereka didoakan dan dipenuhi lagi dengan Roh Kudus (pengurapan yang berkelanjutan) yang memberi mereka keberanian untuk berbicara tanpa rasa takut. Pengurapan berfungsi sebagai sumber daya spiritual yang dapat diakses untuk mengatasi rintangan dan melakukan hal-hal di luar kemampuan alami.
Minyak urapan selalu berbau wangi. Dalam surat-surat Paulus, orang percaya disebut sebagai 'aroma Kristus' (2 Korintus 2:15). Hidup yang diurapi menghasilkan keharuman moral dan spiritual yang mempengaruhi lingkungan sekitar, menarik orang kepada kebenaran, dan berfungsi sebagai kesaksian yang hidup.
Perjalanan praktik mengurapi adalah perjalanan yang menarik, dimulai dari tanduk yang berisi minyak zaitun yang kental dan diakhiri dengan Roh Kudus yang tinggal di dalam hati orang percaya. Ini adalah evolusi dari ritual eksternal yang terbatas pada segelintir orang, menjadi realitas internal yang tersedia bagi setiap pengikut Kristus.
Pengurapan mengajarkan kepada kita tentang penetapan, pemisahan, perlindungan, dan otoritas. Ritual kuno ini berfungsi sebagai pengingat yang kuat bahwa kehidupan iman bukanlah upaya yang dilakukan dengan kekuatan sendiri, tetapi keberanian dan kemampuan yang diberikan oleh anugerah ilahi. Minyak telah mengalir sepanjang sejarah untuk menandai para pemimpin, menguduskan tempat suci, dan pada akhirnya, menandai hati setiap orang yang percaya sebagai bait Roh Kudus, Minyak Urapan sejati yang tidak pernah kering.
Dalam setiap tradisi, pengurapan minyak tetap menjadi simbol yang paling visual dari kekudusan yang ditanamkan, menjembatani fisik dengan spiritual, dan menegaskan bahwa Allah masih memilih, menetapkan, dan memperlengkapi umat-Nya untuk misi-Nya di dunia.
***
Kata *mashach* tidak hanya berarti 'mengoleskan minyak', tetapi memiliki makna yang lebih luas yaitu 'menggosok', 'melukis', atau 'mengukur'. Dalam teks-teks non-religius, *mashach* dapat digunakan untuk menggambarkan pekerjaan tukang kayu yang mengoleskan pernis atau pengecat yang melukis dinding. Namun, dalam konteks keagamaan, ia secara khusus diartikan sebagai tindakan penahbisan ilahi. Ketika kita mengatakan seseorang adalah *Mashiach* (Mesias), kita menekankan bahwa ia telah 'digosok' atau 'dilumuri' dengan kekudusan Allah, menjadikannya unik dan tak tertandingi.
Dalam Septuaginta (terjemahan Ibrani ke Yunani), *mashach* diterjemahkan menjadi *chrio* (mengurapi), dan hasil tindakannya adalah *chrisma* (pengurapan). *Chrisma* dalam Perjanjian Baru tidak hanya mengacu pada minyak fisik tetapi langsung merujuk pada Roh Kudus. Ini menunjukkan transisi dramatis di mana substansi material (minyak) sepenuhnya digantikan oleh realitas spiritual (Roh). Pengurapan yang diterima orang percaya dari Yang Kudus (1 Yohanes 2:27) adalah *chrisma*—sebuah anugerah internal yang mengajarkan mereka kebenaran tanpa perlu guru manusiawi.
Di dunia kuno, menandai objek atau ternak dengan minyak sering kali berarti menyatakan kepemilikan. Ketika Allah mengurapi, Dia secara efektif menyatakan kepemilikan-Nya atas individu tersebut. Pengurapan Daud di hadapan saudara-saudaranya dan penarikan Roh dari Saul adalah narasi yang menggambarkan konsekuensi memiliki atau kehilangan tanda kepemilikan dan perlindungan ilahi ini. Ini juga menjelaskan Mazmur 105:15, "Jangan menjamah orang-orang yang Kuurapi, dan jangan berbuat jahat terhadap nabi-nabi-Ku," yang menekankan perlindungan yang melekat pada status yang diurapi.
Pengurapan memainkan peran sentral dalam harapan eskatologis Yahudi. Kitab Daniel berbicara tentang 'Mesias, seorang raja yang diurapi' (Daniel 9:25-26) yang akan datang pada akhir masa. Kedatangan-Nya akan menandai puncak sejarah, dan pengurapan-Nya akan membawa pemulihan kosmik. Dalam Kekristenan, keyakinan ini telah digenapi dalam Yesus, tetapi pengurapan-Nya juga dipahami dalam dimensi 'sudah dan belum' (already and not yet). Pengurapan Roh Kudus yang dialami gereja adalah janji akan pemenuhan penuh Kerajaan pada kedatangan-Nya yang kedua kali.
Dalam narasi apokaliptik, perhatian beralih ke 'sisa' umat Allah yang akan dimeteraikan dan diurapi untuk bertahan melalui kesusahan besar. Meskipun meteraikan sering digambarkan dengan tanda di dahi, ini adalah kelanjutan dari ide pengurapan: penanda kepemilikan yang melindungi umat Allah dari murka yang akan datang. Pengurapan di masa-masa akhir memberikan kekuatan supernatural dan ketahanan spiritual yang dibutuhkan untuk melawan kekuatan kegelapan.
Para teolog telah memperluas makna pengurapan melampaui individu hingga mencakup penebusan kosmik. Ketika Kristus, Yang Diurapi, naik takhta, seluruh ciptaan secara bertahap bergerak menuju pengudusan dan pemulihan. Pengurapan yang sempurna dan final akan mencakup pembebasan seluruh alam semesta dari perbudakan kerusakan, sebagaimana dinantikan oleh Rasul Paulus (Roma 8).
Mur dan balsam, komponen utama dalam Minyak Urapan Kudus dan minyak krisma, bukanlah sekadar wewangian, tetapi material yang sangat mahal, sering diperdagangkan dalam jarak jauh. Penggunaan rempah-rempah langka ini menegaskan bahwa sesuatu yang diurapi adalah sesuatu yang sangat berharga dan patut dihormati. Biaya yang mahal secara simbolis mewakili biaya pengudusan yang tinggi—sebuah pengorbanan yang diperlukan untuk memisahkan sesuatu dari yang biasa.
Dalam konteks penguburan, minyak seperti mur dan kemenyan digunakan untuk melawan bau kematian. Ketika Maria mengurapi Yesus, minyak yang beraroma kuat tersebut menjadi narasi abadi mengenai kehormatan. Secara spiritual, pengurapan memberikan 'keharuman' yang melampaui kefanaan. Hidup yang diurapi berbau wangi secara spiritual, mengatasi 'bau' dosa dan kematian, serta menghasilkan buah Roh yang menyenangkan hati Allah.
Kisah pengurapan Daud oleh Samuel (1 Samuel 16) adalah studi kasus tentang bagaimana pengurapan ilahi dapat bertentangan dengan norma-norma manusia. Daud adalah yang termuda, dianggap tidak penting, dan berada di luar lapangan. Samuel mengurapinya secara rahasia di hadapan saudara-saudaranya. Ini menekankan bahwa pengurapan adalah pilihan ilahi yang didasarkan pada hati, bukan penampilan, kekuatan, atau urutan kelahiran.
Meskipun Saul telah ditinggalkan oleh Roh Kudus dan berniat membunuh Daud, Daud menolak menyakiti Saul. Berkali-kali, Daud memiliki kesempatan untuk membunuh raja yang tersingkir itu tetapi menahan diri, dengan alasan bahwa Saul adalah "orang yang diurapi Tuhan." Sikap ini menyoroti kedalaman makna pengurapan: bahkan setelah kehilangan otoritasnya, seseorang yang pernah diurapi tetap membawa jejak kekudusan yang menuntut rasa hormat, menegaskan bahwa ritual pengurapan membawa konsekuensi abadi.
Dalam literatur kenabian, pengurapan sering dikaitkan dengan pemulihan. Ketika Israel gagal memenuhi perjanjian, para nabi menjanjikan bahwa Yahweh akan mengutus 'Yang Diurapi' (Mesias) untuk memulihkan bangsa, tanah, dan hubungan mereka dengan Allah. Pemulihan ini mencakup pengurapan rohani (pencurahan Roh) yang akan memungkinkan bangsa untuk mentaati Taurat dari dalam hati mereka, bukan hanya secara eksternal (Yeremia 31).
Pengurapan juga merupakan pemulihan dari kehinaan. Di zaman dulu, mengurapi kepala seseorang dengan minyak segar adalah tanda kehormatan setelah masa berkabung atau puasa. Dengan demikian, pengurapan menjadi simbol pembalikan nasib buruk: penghapusan rasa malu dan penegasan kembali status yang diberkati.
Dari tabernakel yang diolesi minyak wangi hingga kepala raja yang dilumuri, praktik mengurapi telah berfungsi sebagai bahasa universal Allah untuk menyatakan konsekrasi, otoritas, dan kepemilikan-Nya. Evolusinya dari ritual fisik menjadi pencurahan Roh Kudus tidak mengurangi maknanya, melainkan menggenapinya, menjadikannya lebih mudah diakses dan lebih mendalam.
Pengurapan adalah penanda bahwa Allah bekerja melalui sarana dan manusia yang dipilih-Nya, memberikan kuasa untuk melayani, menyembuhkan, dan menyatakan kebenaran. Dalam teologi modern, setiap tindakan pelayanan yang dilakukan dengan kuasa Roh, setiap pengajaran yang membawa penerangan, dan setiap permohonan doa yang menghasilkan kesembuhan adalah manifestasi dari pengurapan yang terus berlangsung, meneruskan warisan Yang Diurapi, Kristus Yesus, di tengah-tengah dunia.
Minyak fisik mungkin hanya simbol, tetapi kuasa yang diwakilinya—kehadiran Roh Kudus yang menguduskan—adalah realitas inti yang menggerakkan gereja dan individu hingga saat ini. Pengurapan adalah janji bahwa tidak seorang pun dipanggil tanpa dilengkapi, dan tidak ada tugas suci yang harus dilakukan tanpa otoritas dari Yang Maha Tinggi.