Menggali Kompleksitas Hukum dan Etika di Balik Konsep Menistakan

Simbol Keadilan dan Keyakinan Ilustrasi timbangan keadilan yang menyeimbangkan simbol keyakinan dan hukum, melambangkan kompleksitas isu penistaan.

Ilustrasi: Keseimbangan antara Perlindungan Keyakinan dan Keadilan Hukum.

Pendahuluan: Definisi dan Sensitivitas Konsep Menistakan

Isu menistakan, atau yang seringkali dilekatkan pada frasa "penistaan agama," merupakan salah satu topik yang paling sensitif, kompleks, dan berpotensi memicu gejolak sosial dalam tatanan masyarakat majemuk. Terminologi ini tidak hanya menyentuh ranah hukum pidana, tetapi juga beririsan kuat dengan doktrin teologis, etika komunikasi publik, serta hak asasi manusia terkait kebebasan berpendapat dan berkeyakinan. Di banyak negara, khususnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual, regulasi mengenai penistaan menjadi instrumen krusial namun sekaligus kontroversial yang berusaha menjaga harmoni sosial dari serangan verbal atau tindakan yang merendahkan simbol-simbol sakral.

Secara etimologi, kata menistakan merujuk pada tindakan merendahkan, menghinakan, atau mencela sesuatu yang dianggap mulia, suci, atau dihormati. Ketika diterapkan dalam konteks agama, penistaan mencakup segala bentuk ekspresi, baik lisan, tulisan, maupun perbuatan, yang secara eksplisit atau implisit mengejek, menghina, atau memfitnah Tuhan, nabi, kitab suci, atau ritual keagamaan yang dianut oleh suatu komunitas. Sensitivitas yang tinggi ini timbul karena bagi penganut keyakinan, hal-hal sakral tersebut adalah fondasi eksistensial dan moral mereka. Merusak atau merendahkan fondasi tersebut dipandang setara dengan serangan langsung terhadap identitas dan kehormatan kolektif.

Di Indonesia, konteks menistakan memiliki dimensi yang jauh lebih dalam. Selain merupakan negara yang mengakui dan melindungi enam agama resmi, Indonesia juga memiliki landasan filosofis Pancasila, yang sila pertamanya, Ketuhanan Yang Maha Esa, menempatkan dimensi spiritual sebagai pilar utama negara. Oleh karena itu, isu menistakan tidak hanya dianggap sebagai delik pidana biasa, melainkan juga sebagai ancaman potensial terhadap stabilitas ideologi negara dan kerukunan antar umat beragama yang telah dibangun dengan susah payah. Hukum yang mengatur penistaan di Indonesia bersifat lex specialis dan memiliki sejarah panjang, yang akan diuraikan secara mendalam dalam bagian-bagian selanjutnya dari artikel ini, menunjukkan betapa rumitnya membatasi ekspresi tanpa mengebiri hak fundamental warga negara.

Dimensi Legal Penistaan di Indonesia: Analisis PNPS 1965

Landasan hukum utama yang mengatur delik penistaan di Indonesia adalah Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (selanjutnya disingkat PNPS 1965). Kehadiran regulasi ini merupakan respons historis terhadap ancaman konflik ideologi dan agama yang muncul pada masa transisi politik di Indonesia. PNPS 1965 tidak hanya mengatur tindakan penistaan dalam arti sempit, tetapi juga memberikan wewenang kepada negara untuk mengendalikan interpretasi dan penyebaran ajaran agama yang dianggap menyimpang dari pokok-pokok ajaran yang diakui.

Latar Belakang Historis dan Filosofis PNPS 1965

PNPS 1965 lahir pada periode yang sangat rawan, di mana ketegangan antara kelompok agama dan sekuler meningkat. Tujuannya adalah menjaga ketertiban umum dan mencegah perpecahan yang dapat terjadi jika ada upaya penodaan atau penyalahgunaan agama yang diakui. Penetapan ini memberikan legitimasi kepada pemerintah untuk, melalui keputusan bersama menteri terkait (Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri), melarang suatu organisasi atau aliran kepercayaan yang dianggap menyimpang. Namun, pasal yang paling sering digunakan dan memicu perdebatan adalah Pasal 4, yang mengatur sanksi pidana.

Struktur Hukum dan Unsur-Unsur Delik

Pasal 1 PNPS 1965 menjadi inti dari ketentuan ini, menyatakan bahwa setiap orang dilarang di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama tersebut. Jika peringatan lisan telah diberikan dan pelanggaran tetap terjadi, barulah sanksi pidana berdasarkan Pasal 4 dapat diterapkan. Pasal 4 berbunyi:

Barangsiapa melanggar ketentuan yang termaktub dalam Pasal 1 dan Pasal 2 tersebut di atas, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

Perluasan makna penistaan kemudian dikaitkan dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 156a. Pasal 156a KUHP ini sebenarnya adalah implementasi lanjutan dari PNPS 1965 setelah regulasi tersebut diangkat menjadi undang-undang. Pasal 156a KUHP mengatur ancaman pidana bagi mereka yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Interpretasi 'Sengaja' dan 'Di Muka Umum'

Salah satu kompleksitas utama dalam penegakan hukum menistakan adalah pembuktian unsur 'dengan sengaja'. Dalam konteks hukum pidana, niat atau intensi pelaku menjadi penentu. Apakah pelaku memang berniat untuk menghina dan memprovokasi, ataukah perbuatannya semata-mata merupakan kritik akademik, perbedaan pandangan teologis yang diekspresikan secara keliru, atau bahkan ketidaktahuan? Perbedaan ini sangat tipis dan seringkali diperdebatkan di pengadilan.

Sistem hukum di Indonesia cenderung menginterpretasikan delik penistaan sebagai delik formil, yang berarti fokus utama bukan pada akibat yang ditimbulkan (walaupun akibat sosial pasti dipertimbangkan), melainkan pada perbuatan itu sendiri yang memenuhi rumusan undang-undang. Jika perbuatan tersebut terbukti dilakukan 'di muka umum' dan secara jelas memenuhi unsur penodaan atau permusuhan, maka unsur pidana dapat dianggap terpenuhi, terlepas dari apakah niat pelaku murni untuk menyerang atau tidak. Namun, yurisprudensi terbaru sering menekankan bahwa konteks dan niat tetap harus menjadi pertimbangan utama untuk menghindari kriminalisasi perbedaan tafsir.

Peran Organisasi Keagamaan dan Fatwa

Dalam praktik penegakan PNPS 1965, peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lembaga-lembaga keagamaan formal lainnya sangat signifikan. Meskipun fatwa keagamaan bukanlah sumber hukum positif (undang-undang) dalam sistem peradilan Indonesia, fatwa yang menyatakan suatu ucapan atau tindakan sebagai penistaan atau penyimpangan seringkali menjadi landasan penting bagi aparat penegak hukum (Polisi dan Jaksa) untuk memulai penyidikan. Hal ini menciptakan dilema: apakah proses hukum didasarkan murni pada rumusan undang-undang ataukah dipengaruhi oleh otoritas penafsiran teologis oleh lembaga agama yang diakui negara.

Terkait dengan hal ini, kritik terhadap PNPS 1965 selalu menyoroti tiga hal utama yang menjadi titik gesekan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia:

  1. Konflik dengan Kebebasan Berekspresi: Hukum penistaan dianggap membatasi ruang kritik, penelitian, dan diskusi keagamaan yang sehat, menciptakan lingkungan di mana perbedaan tafsir teologis pun berisiko dihukum pidana.
  2. Potensi Kriminalisasi Minoritas: Regulasi ini sering digunakan untuk menindak kelompok minoritas atau aliran kepercayaan yang dianggap menyimpang dari aliran mayoritas, alih-alih melindungi semua agama dari penodaan.
  3. Ambiguitas Definisi: Frasa 'pokok-pokok ajaran agama' dan 'penodaan' bersifat sangat subjektif, membuat penegakan hukum rentan terhadap tekanan politik dan massa.

Upaya untuk meninjau kembali (judicial review) PNPS 1965 di Mahkamah Konstitusi telah dilakukan berkali-kali, namun hingga saat ini, Mahkamah Konstitusi selalu menolak permohonan tersebut, dengan alasan bahwa undang-undang ini masih diperlukan sebagai katup pengaman untuk menjaga harmoni sosial dan ketertiban umum di tengah masyarakat yang sangat majemuk. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini menegaskan bahwa dalam konteks Indonesia, perlindungan terhadap perasaan keagamaan mayoritas masih dianggap lebih tinggi bobotnya dibandingkan pemenuhan absolut terhadap kebebasan berekspresi individual.

Perbandingan Hukum Penistaan dengan Ujaran Kebencian (Hate Speech)

Meskipun seringkali dianggap serupa, delik penistaan agama memiliki perbedaan mendasar dengan delik ujaran kebencian (hate speech), meskipun keduanya dapat tumpang tindih. Ujaran kebencian, sebagaimana diatur dalam KUHP dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), umumnya menargetkan kelompok berdasarkan ras, etnis, gender, atau orientasi politik, dengan tujuan memprovokasi diskriminasi atau kekerasan. Sementara itu, delik menistakan secara spesifik menargetkan elemen sakral, doktrin, atau ritual keagamaan itu sendiri.

Idealnya, kritik terhadap doktrin seharusnya masuk dalam ranah kebebasan berekspresi, sementara ujaran yang secara langsung merendahkan penganutnya (yang mendorong permusuhan) masuk dalam ranah ujaran kebencian. Namun, karena sifat emosional dari isu agama, kritik terhadap doktrin seringkali langsung dipersepsikan sebagai penghinaan terhadap penganutnya, yang kemudian memicu penggunaan PNPS 1965.

Ketentuan dalam UU ITE (khususnya Pasal 28 ayat 2) yang mengatur penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian berdasarkan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) juga menjadi instrumen penting dalam kasus menistakan yang terjadi di ruang digital. Penggunaan UU ITE ini memungkinkan penegak hukum menjerat pelaku dengan sanksi yang lebih berat dan proses yang lebih cepat, terutama dalam kasus yang viral dan memicu keresahan publik yang meluas.

Dinamika Sosial dan Pergulatan Etika di Era Digital

Perkembangan teknologi informasi telah secara fundamental mengubah cara isu menistakan muncul, menyebar, dan direspons oleh masyarakat. Platform media sosial seperti Twitter, Facebook, dan YouTube menjadi arena baru di mana batas antara kritik, sarkasme, dan penistaan menjadi sangat kabur dan rentan disalahpahami. Kecepatan penyebaran informasi yang tak terkendali di dunia maya mempercepat proses polarisasi dan mobilisasi massa.

Cepatnya Viralisasi dan Konsekuensi Emosional

Dalam masyarakat tradisional, tindakan menistakan mungkin terbatas pada audiens lokal. Di era digital, satu unggahan, video singkat, atau komentar yang dianggap menghina dapat dilihat oleh jutaan orang dalam hitungan jam. Viralisasi ini seringkali tidak disertai dengan konteks penuh. Komunitas yang merasa tersinggung akan merespons dengan cepat dan kolektif, menuntut tindakan hukum segera. Proses ini menunjukkan adanya pergeseran dari proses hukum yang tenang menuju peradilan massa (trial by public opinion), di mana tekanan publik dapat mempengaruhi jalannya penyidikan dan putusan pengadilan.

Fenomena ini menyoroti perlunya literasi digital yang lebih baik. Banyak kasus penistaan muncul bukan dari niat jahat yang terencana, melainkan dari ketidaktahuan budaya (cultural ignorance), kekhilafan dalam berkomunikasi, atau penggunaan bahasa satir yang gagal dipahami sebagai ironi. Namun, di hadapan hukum, niat baik seringkali kalah penting dibandingkan dampak yang dirasakan oleh komunitas yang tersinggung.

Konflik antara Hak dan Kewajiban

Perdebatan seputar penistaan selalu bertumpu pada pertentangan antara dua hak fundamental yang sama-sama dijamin oleh konstitusi dan deklarasi HAM internasional:

  1. Kebebasan Berekspresi (Freedom of Expression): Hak untuk menyatakan pendapat, termasuk kritik terhadap institusi, ideologi, atau dogma.
  2. Kebebasan Beragama (Freedom of Religion): Hak untuk menjalankan keyakinan tanpa ancaman, diskriminasi, atau penghinaan.

Hukum penistaan, pada dasarnya, adalah upaya negara untuk menempatkan batasan pada kebebasan berekspresi ketika ekspresi tersebut diyakini melanggar hak kolektif komunitas beragama. Di banyak negara Barat yang sekuler, kecenderungan hukum adalah melindungi individu dan membiarkan kritik terhadap ideologi agama. Namun, di Indonesia, karena sifat masyarakatnya yang komunal dan nilai agama yang sangat sentral, negara cenderung memberikan perlindungan lebih besar kepada ideologi agama itu sendiri, demi menjaga ketertiban umum.

Peran Negara dalam Mediasi Konflik Keyakinan

Tugas negara dalam kasus menistakan adalah tugas yang sangat pelik. Negara harus bertindak sebagai wasit netral. Jika penegakan hukum terlalu represif, negara akan dituduh membatasi kebebasan berpendapat dan menghambat inovasi pemikiran keagamaan. Namun, jika negara terlalu lunak, ia berisiko memicu kemarahan massa dan kekerasan di jalanan yang berpotensi merusak infrastruktur sosial.

Tanggung jawab negara tidak berhenti pada penindakan pidana. Negara juga memiliki tanggung jawab edukasi, yakni mendorong dialog interaktif dan inter-teologis yang sehat. Konflik penistaan seringkali berakar pada kurangnya pemahaman timbal balik (mutual understanding) antara kelompok mayoritas dan minoritas, atau antara kaum tradisionalis dan modernis. Mediasi dan upaya penyelesaian non-litigasi seharusnya menjadi langkah awal sebelum institusi hukum pidana dilibatkan, meskipun realitasnya, kasus seringkali langsung diproses secara pidana karena desakan publik yang kuat.

Psikologi Pihak yang Terlibat

Kasus menistakan melibatkan psikologi emosional yang intens. Bagi pihak yang merasa dinistakan, perasaan yang muncul adalah sakit hati yang mendalam, pengkhianatan terhadap hal suci, dan ketakutan akan disintegrasi moral komunitas. Respon ini bukan hanya rasional, tetapi juga insting perlindungan kolektif yang kuat.

Sebaliknya, bagi pihak yang dituduh menistakan, pengalaman ini bisa menghancurkan. Mereka menghadapi isolasi sosial, ancaman kekerasan fisik, dan prospek hukuman penjara yang panjang. Terlepas dari niat mereka, label 'penista' melekat secara permanen, menghancurkan reputasi profesional dan pribadi. Memahami dinamika psikologis ini penting untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan adil dan proporsional, serta menjamin keselamatan semua pihak yang terlibat.

Kajian Komparatif Internasional: Hukum Penistaan di Berbagai Yurisdiksi

Untuk memahami posisi hukum Indonesia, penting untuk menempatkannya dalam konteks perbandingan global. Hukum mengenai penistaan (blasphemy) sangat bervariasi, mencerminkan sejarah, sistem politik, dan tingkat sekularisasi suatu negara. Secara umum, sistem hukum dapat dikategorikan menjadi tiga model utama: negara dengan hukum penistaan yang ketat, negara dengan reformasi hukum, dan negara yang sepenuhnya menghapus hukum penistaan.

Model I: Hukum Penistaan yang Sangat Ketat (Contoh: Negara-negara Timur Tengah dan Asia Selatan)

Di banyak negara yang menerapkan hukum syariat atau memiliki populasi Muslim mayoritas yang sangat besar dan konservatif, hukum penistaan sangat ketat dan seringkali membawa hukuman berat, termasuk hukuman mati. Misalnya, di Pakistan, Pasal 295 KUHP memiliki beberapa sub-bagian yang mengatur hukuman berat bagi mereka yang menghina Nabi Muhammad (SAW) atau merusak Al-Qur'an. Penegakan hukum ini seringkali diperkuat oleh tekanan sosial dan massa, membuat isu penistaan menjadi alat politik atau sarana untuk menyelesaikan sengketa pribadi.

Dalam model ini, fokus hukum adalah perlindungan absolut terhadap simbol agama dan penghormatan teologis. Indonesia, meskipun tidak seberat negara-negara ini dalam hal sanksi, memiliki kesamaan dalam prinsip dasar: memprioritaskan perlindungan doktrin agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk serangan yang bersifat publik.

Model II: Negara dengan Hukum Penistaan yang Direformasi atau Diabaikan (Contoh: Eropa)

Banyak negara Eropa dulunya memiliki hukum penistaan yang kuat (seperti Inggris, Irlandia, Denmark), namun sebagian besar telah menghapusnya atau mengubahnya menjadi regulasi yang berfokus pada ujaran kebencian. Irlandia, misalnya, menghapus undang-undang penistaan pada tahun 2020 melalui referendum, meskipun sempat memperbarui undang-undang tersebut beberapa tahun sebelumnya. Sebaliknya, beberapa negara masih mempertahankan undang-undang penistaan, tetapi hampir tidak pernah menegakkannya, atau hanya menggunakannya dalam kasus yang sangat ekstrem yang jelas-jelas mengancam ketertiban umum dan memicu kekerasan.

Pergeseran di Eropa menunjukkan tren global menuju sekularisme dan penguatan prinsip kebebasan berekspresi. Pandangan umum di sini adalah bahwa ideologi, termasuk agama, harus terbuka terhadap kritik dan bahkan ejekan, selama kritik tersebut tidak secara langsung menghasut kekerasan atau diskriminasi terhadap penganutnya.

Model III: Negara Sekuler yang Melindungi Kebebasan Berekspresi Secara Luas (Contoh: Amerika Serikat)

Di Amerika Serikat, Amandemen Pertama Konstitusi menjamin kebebasan berpendapat dan memisahkan gereja dan negara. Tidak ada undang-undang federal yang melarang penistaan agama. Meskipun ujaran kebencian (hate speech) yang memprovokasi kekerasan dapat dihukum, kritik atau ejekan terhadap agama, kitab suci, atau ritual dilindungi di bawah doktrin kebebasan berekspresi. Konsekuensi dari penistaan di sini bersifat sosial dan politik, bukan pidana.

Resolusi PBB dan Standar Internasional

Di tingkat global, Majelis Umum PBB telah berulang kali membahas konflik antara kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi. Resolusi 16/18 dari Dewan HAM PBB, yang didukung oleh banyak negara termasuk Indonesia, berupaya mencapai keseimbangan dengan mempromosikan dialog dan memerangi intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan berdasarkan agama atau keyakinan. Resolusi ini menekankan pada perlindungan individu dan komunitas dari diskriminasi, bukan pada perlindungan dogma agama dari kritik. Standar internasional cenderung mengarah pada penghapusan hukum penistaan demi mengedepankan hukum ujaran kebencian yang berbasis pada ancaman kekerasan dan diskriminasi.

Posisi Indonesia, dengan mempertahankan PNPS 1965, menempatkan negara ini di antara Model I dan Model II; mencoba menyeimbangkan kebutuhan akan ketertiban umum (Model I) dengan tuntutan demokrasi (Model II), namun dengan instrumen hukum yang sangat tegas. Hal ini menunjukkan kontradiksi yang harus terus dicari solusinya dalam kerangka hukum nasional.

Kritik Teoritis dan Tantangan Masa Depan PNPS 1965

Meskipun PNPS 1965 telah berfungsi sebagai pagar betis sosial selama beberapa dekade, keberadaannya menghadapi kritik tajam dari berbagai akademisi, aktivis hak asasi manusia, dan bahkan praktisi hukum. Kritik ini didasarkan pada prinsip-prinsip konstitusional, hak asasi manusia, dan efektivitas hukum itu sendiri dalam mencapai tujuannya.

Masalah Legalitas dan Kepastian Hukum

Salah satu kritik utama adalah inkonsistensi dalam penerapan. Hukum penistaan seringkali diterapkan secara selektif, bergantung pada siapa yang berkuasa atau siapa yang menjadi korban. Kasus-kasus yang melibatkan tokoh publik atau agama mayoritas mendapatkan perhatian yang jauh lebih besar dibandingkan kasus yang melibatkan minoritas. Kurangnya batasan yang jelas mengenai apa yang dimaksud 'pokok-pokok ajaran' dan 'penodaan' membuat proses hukum menjadi rentan terhadap politisasi. Hukum yang baik harus prediktif; warga negara harus tahu pasti kapan mereka melanggar hukum. Dalam kasus PNPS 1965, seringkali baru diketahui bahwa suatu perbuatan dilarang setelah Majelis Ulama atau otoritas agama memberikan penafsiran formal.

Menghambat Pluralisme dan Kajian Keagamaan

Hukum penistaan memiliki efek yang mengerikan (chilling effect) terhadap diskusi publik. Para teolog, akademisi, dan reformis internal agama menjadi takut untuk menyampaikan kritik konstruktif atau penafsiran baru karena khawatir akan dipidanakan. Hal ini pada akhirnya menghambat pertumbuhan intelektual dan teologis di dalam komunitas agama itu sendiri. Pluralisme tidak hanya berarti koeksistensi antar-agama (inter-faith), tetapi juga pengakuan terhadap perbedaan pandangan di dalam satu agama (intra-faith). PNPS 1965, dalam praktiknya, seringkali digunakan untuk menyeragamkan penafsiran dan menekan aliran keagamaan yang dianggap menyimpang.

Sebagai contoh, banyak ajaran yang secara historis berkembang dalam tradisi Nusantara—yang mungkin berbeda dari interpretasi yang berpusat di Timur Tengah—berpotensi dianggap menyimpang oleh otoritas formal. Ancaman pidana menistakan membuat kekayaan intelektual dan spiritual lokal ini sulit untuk dipertahankan dan dikembangkan secara terbuka.

Ketidakmampuan Mengatasi Akar Konflik

Hukum pidana memiliki keterbatasan dalam menyelesaikan masalah sosial dan teologis yang mendalam. Penjara mungkin menghukum pelaku, tetapi tidak mengatasi akar masalah intoleransi, fanatisme, atau kurangnya dialog. Sebagian besar kasus penistaan muncul dari prasangka yang berakar kuat dan lingkungan yang memusuhi perbedaan. Hukuman pidana hanya memberikan solusi superfisial yang bersifat reaktif.

Maka dari itu, solusi jangka panjang harus bergeser dari pendekatan pidana ke pendekatan edukatif dan mediasi. Diperlukan investasi yang jauh lebih besar dalam pendidikan multikultural, penguatan dialog interfaith yang inklusif, dan pelatihan bagi aparat penegak hukum agar lebih sensitif terhadap konteks teologis dan sosiologis sebelum menerapkan pasal-pasal pidana yang memiliki konsekuensi sosial yang sangat luas.

Tinjauan Kebutuhan Reformasi Hukum

Perdebatan mengenai PNPS 1965 biasanya mengarah pada dua opsi radikal: penghapusan total atau reformasi menyeluruh. Opsi penghapusan total dianggap terlalu riskan di Indonesia karena potensi kerusuhan sosial yang masif. Oleh karena itu, opsi reformasi menjadi alternatif yang lebih realistis dan pragmatis. Reformasi dapat mencakup:

  1. Penggantian dengan Delik Ujaran Kebencian (Hate Speech): Mengubah fokus dari perlindungan terhadap dogma (penistaan) menjadi perlindungan terhadap penganut (diskriminasi dan hasutan kekerasan), sesuai dengan standar HAM internasional.
  2. Penetapan Batasan yang Jelas: Mendefinisikan secara ketat apa yang dimaksud 'penodaan yang disengaja' dengan mengedepankan unsur niat jahat untuk memprovokasi permusuhan, bukan sekadar kritik atau ketidaksenangan.
  3. Pengurangan Sanksi Pidana: Mengubah sanksi penjara menjadi sanksi non-pidana (misalnya denda, kerja sosial, atau kewajiban mengikuti program dialog interaktif) untuk kasus yang memiliki niat penistaan yang rendah.

Implementasi KUHP terbaru (yang akan berlaku) berusaha sedikit memoderasi pasal penistaan dengan mengharuskan adanya 'niat jahat' (malice) dan harus didahului oleh peringatan resmi. Walaupun ini adalah langkah maju dalam membatasi kesewenangan, para kritikus berpendapat bahwa rumusan dalam KUHP baru masih belum cukup tegas membedakan antara kritik murni dan hasutan kebencian, sehingga celah politisasi masih terbuka lebar.

Peran Media dan Tanggung Jawab Publik dalam Isu Menistakan

Media massa, baik konvensional maupun digital, memegang peran ganda yang krusial dalam isu menistakan. Di satu sisi, media adalah penyebar informasi dan kritik yang esensial bagi demokrasi. Di sisi lain, media memiliki kekuatan untuk memperbesar konflik, memobilisasi sentimen negatif, dan menyebarkan misinformasi yang memperburuk situasi. Dalam konteamenistakan, peran media harus dikaji secara etis dan profesional.

Etika Jurnalisme dan Pemberitaan Sensitif

Ketika sebuah kasus dugaan penistaan muncul, media sering kali terjebak dalam dilema antara keharusan untuk memberitakan (duty to inform) dan kewajiban untuk menjaga harmoni sosial (duty to protect). Jurnalisme yang bertanggung jawab harus menghindari bahasa yang provokatif, memuat konteks secara lengkap, dan memberikan ruang yang adil bagi interpretasi hukum dan teologis yang berbeda. Pemberitaan yang sensasional dan menghakimi tanpa menunggu proses hukum yang sah dapat memperburuk kondisi emosional masyarakat dan meningkatkan tekanan terhadap pengadilan.

Sangat penting bagi media untuk membedakan antara pelaporan tentang tuduhan penistaan dan pelaporan tentang putusan penistaan. Seringkali, label "penista agama" dilekatkan bahkan sebelum proses peradilan dimulai atau selesai. Penggunaan label yang menghakimi ini dapat merusak praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan memicu kemarahan publik yang tak terkendali terhadap terdakwa. Tanggung jawab etis media mencakup upaya untuk meredam api konflik, bukan malah membesar-besarkannya demi rating atau klik.

Filterisasi dan Konten Digital

Platform media sosial, sebagai penyedia layanan, juga memikul tanggung jawab yang berat. Meskipun mereka berpegang pada prinsip netralitas teknologi, kasus menistakan menunjukkan bahwa mereka tidak bisa sepenuhnya pasif. Penyedia platform perlu mengembangkan mekanisme yang lebih efektif untuk memfilter konten yang jelas-jelas menghasut kekerasan, sambil tetap melindungi kritik sah dan debat teologis yang konstruktif. Hal ini memerlukan kerja sama erat dengan regulator nasional dan organisasi masyarakat sipil untuk mengembangkan standar komunitas yang sensitif terhadap konteks budaya dan hukum lokal.

Di Indonesia, tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan bahwa filterisasi konten tidak digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk membungkam oposisi atau kritik politik yang kebetulan menggunakan metafora atau analogi keagamaan yang sensitif.

Pendidikan Publik dan Peran Intelektual

Selain media, lembaga pendidikan dan intelektual memiliki tugas untuk menormalisasi perbedaan pandangan dan mempromosikan rasionalitas dalam menanggapi isu agama. Jika masyarakat memiliki pemahaman yang kuat tentang pluralisme dan toleransi, respons terhadap dugaan penistaan akan lebih terukur dan tidak cepat beralih ke tindakan kekerasan atau tuntutan pidana yang bersifat emosional. Pendidikan ini harus dimulai dari jenjang dasar hingga universitas, menekankan bahwa perbedaan tafsir adalah bagian integral dari sejarah agama mana pun.

Intelektual harus berani mengambil peran sebagai penengah, memberikan analisis yang berbasis data dan hukum, alih-alih ikut larut dalam sentimen massa. Kemampuan untuk menganalisis suatu pernyataan atau tindakan dalam konteks historis, linguistik, dan teologisnya sangat penting untuk membantu hakim, jaksa, dan publik membedakan antara serangan jahat yang pantas dihukum dan kekhilafan komunikasi yang seharusnya diselesaikan melalui permintaan maaf atau dialog.

Mencari Jalan Tengah: Toleransi sebagai Solusi Preventif

Permasalahan menistakan tidak akan pernah hilang selama masyarakat masih memegang teguh keyakinan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, solusi yang berkelanjutan tidak terletak pada penguatan sanksi pidana, melainkan pada penguatan modal sosial dan etika toleransi.

Menggeser Fokus dari Delik ke Dialog

Langkah paling mendasar dalam merespons isu penistaan adalah menggeser respons awal dari ranah pidana ke ranah dialog dan edukasi. Sebelum melibatkan aparat penegak hukum, seharusnya diberikan ruang yang cukup untuk klarifikasi, mediasi, dan permintaan maaf. Dalam banyak kasus, permintaan maaf yang tulus dan pengakuan atas kesalahan komunikasi sudah cukup untuk meredam amarah komunitas yang tersinggung.

Pendekatan restorative justice (keadilan restoratif) sangat relevan di sini. Daripada berfokus pada hukuman yang retributif (pembalasan), fokus harus diarahkan pada pemulihan hubungan yang rusak antara pelaku dan komunitas yang tersinggung. Ini bisa dilakukan melalui pertemuan mediasi yang dipimpin oleh tokoh agama netral dan fasilitator yang terlatih, dengan tujuan akhir membangun pemahaman bersama, bukan sekadar menjatuhkan vonis.

Penguatan Ketahanan Teologis Internal

Sebuah keyakinan yang matang dan kuat seharusnya memiliki ketahanan (resilience) yang tinggi terhadap kritik, ejekan, atau penafsiran berbeda. Jika suatu keyakinan terlalu rapuh sehingga mudah terguncang oleh kritik atau satire, maka hal tersebut menunjukkan adanya kelemahan dalam pendidikan dan pemahaman teologis internal komunitas tersebut. Upaya untuk memenjarakan setiap kritik hanya akan membuat keyakinan tersebut tampak tidak percaya diri atau otoriter.

Para pemimpin agama harus mengedukasi umatnya bahwa penistaan yang dilakukan oleh pihak luar tidak merusak kebenaran hakiki dari ajaran mereka. Respons yang paling efektif terhadap penistaan seharusnya adalah penguatan ajaran, penjelasan yang lebih baik, dan bukti nyata dari kebaikan yang dihasilkan oleh keyakinan tersebut, bukan hanya melalui sanksi pidana.

Penegasan Batas Antara 'Sakral' dan 'Profan'

Dalam konteks modern, batas antara apa yang sakral (suci) dan apa yang profan (duniawi) seringkali kabur. Hukum penistaan perlu secara tegas membatasi cakupannya hanya pada simbol dan doktrin inti agama (Tuhan, Nabi, Kitab Suci). Jika kritik ditujukan pada institusi keagamaan, kebijakan publik yang dikeluarkan oleh tokoh agama, atau isu sosial yang terkait dengan agama (seperti korupsi yang melibatkan lembaga keagamaan), hal tersebut harus diperlakukan sebagai kritik politik atau sosial biasa, dan dilindungi oleh kebebasan berekspresi.

Pemisahan yang jelas ini akan memastikan bahwa hukum penistaan tidak disalahgunakan sebagai perisai bagi otoritas keagamaan dari pengawasan dan akuntabilitas publik.

Peran Pemerintah dan Lembaga HAM

Pemerintah harus memastikan bahwa lembaga HAM nasional, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), memiliki peran yang kuat dalam memantau dan memberikan masukan terhadap kasus-kasus penistaan. Komnas HAM dapat membantu memastikan bahwa proses peradilan berjalan sesuai prinsip-prinsip hak asasi manusia dan tidak didorong oleh tekanan emosional atau politik sesaat.

Pada akhirnya, isu menistakan adalah ujian bagi kualitas demokrasi dan toleransi suatu bangsa. Selama negara masih menggunakan instrumen hukum pidana untuk mengatur wilayah batin dan spiritual warga negara, tegangan antara kebebasan dan ketertiban akan terus ada. Jalan ke depan membutuhkan komitmen kolektif untuk membangun masyarakat yang tidak hanya menghormati keberadaan agama lain, tetapi juga menghormati hak setiap orang untuk berpikir, mempertanyakan, dan mengungkapkan keyakinannya, selama ekspresi tersebut tidak berujung pada hasutan kekerasan atau diskriminasi yang nyata dan mengancam keselamatan.

Refleksi Akhir: Menuju Masyarakat yang Dewasa Beretika

Diskursus mengenai menistakan merupakan cerminan dari pergulatan panjang sebuah bangsa majemuk dalam menyeimbangkan nilai-nilai tradisi, spiritualitas, dan tuntutan modernitas, terutama dalam kerangka hukum pidana. Regulasi seperti PNPS 1965, meski memiliki niat mulia untuk menjaga stabilitas, seringkali terbukti menjadi pedang bermata dua: melindungi keyakinan mayoritas, namun berpotensi mengkriminalisasi perbedaan tafsir dan membatasi ruang kebebasan berpendapat. Kehadiran teknologi digital hanya memperparah polarisasi, menuntut respons yang cepat namun bijaksana dari sistem peradilan.

Masa depan penyelesaian isu menistakan terletak pada transformasi sosial dan etika, bukan semata-mata pada pengetatan hukum. Masyarakat yang dewasa adalah masyarakat yang mampu menahan diri dari tuntutan pidana setiap kali perasaan keagamaannya tersinggung. Ia adalah masyarakat yang mampu membedakan antara kritik yang membangun (meskipun tajam) dan hasutan kebencian yang merusak. Ini membutuhkan upaya kolektif, mulai dari reformasi kurikulum pendidikan agama, penguatan kapasitas mediasi para tokoh komunitas, hingga penegasan prinsip kehati-hatian dalam penegakan hukum.

Indonesia, dengan kekayaan budaya dan agamanya, memiliki potensi besar untuk menjadi model di dunia dalam mengelola sensitivitas ini. Namun, hal itu hanya dapat dicapai jika kita berani menggeser paradigma dari ketakutan akan penistaan menuju penghargaan terhadap keberagaman, memperlakukan perbedaan sebagai aset yang harus dirawat, bukan ancaman yang harus dipidana. Perlindungan terhadap hak keyakinan harus berjalan seiring dengan perlindungan terhadap hak untuk berpendapat, menciptakan harmoni yang kokoh dan berkelanjutan, jauh dari bayang-bayang pasal-pasal pidana yang mengancam.

🏠 Kembali ke Homepage