Seni Merumitkan: Mengapa Insting Menciptakan Kompleksitas Tak Perlu
Paradoks Kompleksitas: Keinginan Untuk Merumitkan
Dalam pencarian akan efisiensi, kejelasan, dan kemudahan, seringkali kita justru tersandung pada jebakan yang paling ironis: insting kolektif kita untuk merumitkan segala hal. Fenomena ini bukan sekadar hasil sampingan dari perkembangan sistem yang matang, melainkan sebuah dorongan inheren, baik dalam kognisi individu maupun dalam struktur organisasi. Kita menganggap bahwa solusi yang rumit pastilah lebih canggih, bahwa pemikiran yang mendalam haruslah berliku-liku, dan bahwa sistem yang kuat harus memiliki lapisan-lapisan kerumitan yang tak terhitung. Keinginan untuk merumitkan menjadi sebuah seni yang tidak disadari, sebuah mekanisme pertahanan terhadap kesederhanaan yang sering kali dianggap rapuh atau naif.
Mengapa, setelah berabad-abad berusaha menyederhanakan hukum alam, matematika, dan teknologi, manusia masih menemukan cara baru untuk menambahi variabel, menambah aturan, dan menciptakan simpul-simpul yang pada akhirnya hanya melayani satu tujuan: membuat hidup dan kerja menjadi lebih sulit dipahami? Artikel ini akan menyelami akar psikologis, sosiologis, dan sistemik dari dorongan untuk merumitkan, mengupas tuntas bagaimana kompleksitas yang tidak perlu ini merusak efektivitas, menghambat inovasi, dan membebani masyarakat modern secara keseluruhan. Kita akan melihat bahwa di balik setiap dokumen setebal seribu halaman, di balik setiap kebijakan yang penuh jargon, dan di balik setiap hubungan yang tegang, terdapat kecenderungan mendasar untuk menghindari kesederhanaan yang jujur dan lugas.
Gambar 1: Simpul yang tidak perlu, melambangkan kecenderungan untuk merumitkan.
Dorongan untuk merumitkan tidak muncul dari keinginan jahat, melainkan seringkali dari niat baik yang disalahpahami. Dalam upaya untuk memastikan bahwa semua kemungkinan tertutup, bahwa setiap variabel dipertimbangkan, dan bahwa tidak ada risiko yang terlewat, kita menambahkan lapisan demi lapisan keamanan, prosedur, dan dokumentasi. Hasilnya adalah sebuah sistem yang begitu padat dan berlapis sehingga ia menjadi rentan terhadap kegagalannya sendiri—sebuah kompleksitas yang menelan efisiensi yang seharusnya ia lindungi. Hal ini tampak jelas dalam pengembangan perangkat lunak, penyusunan undang-undang pajak, atau bahkan negosiasi kontrak sederhana, di mana jargon dan prosedur yang berlebihan justru menjadi penghalang utama alih-alih pelumas proses.
Mekanisme Kognitif dalam Merumitkan
Pada tingkat individu, kecenderungan untuk merumitkan berakar kuat dalam psikologi kita. Salah satu faktor utama adalah bias kognitif yang dikenal sebagai 'efek IKEA' atau dorongan untuk membenarkan usaha (Effort Justification). Ketika kita menghabiskan banyak waktu dan energi untuk membangun sesuatu, baik itu sebuah teori, sebuah proses, atau sebuah hubungan, kita cenderung menganggap hasilnya jauh lebih bernilai, terlepas dari nilai objektifnya. Jika solusi yang ditawarkan sangat sederhana, otak kita mungkin menolaknya karena merasa "terlalu mudah" atau "tidak memuaskan" berdasarkan jumlah usaha yang dikeluarkan. Oleh karena itu, kita merasa perlu untuk merumitkan jalan menuju solusi agar kita dapat membenarkan pekerjaan kita.
Ketakutan akan Kesederhanaan dan Kerentanan
Kesederhanaan sering disalahartikan sebagai kelemahan atau kurangnya kedalaman. Dalam lingkungan profesional, seseorang yang menyajikan solusi yang elegan dan sederhana mungkin dianggap kurang kompeten dibandingkan rekannya yang menyajikan diagram alir yang memusingkan dan laporan setebal puluhan halaman. Ada tekanan sosial untuk menunjukkan kerumitan sebagai bukti keahlian. Kita merumitkan bahasa kita (menggunakan jargon), merumitkan presentasi kita (menggunakan grafik yang terlalu banyak), dan merumitkan proses kita (menambahkan langkah persetujuan yang tidak perlu) hanya untuk memproyeksikan citra intelektualitas atau kekuasaan. Kerumitan menjadi topeng, menyembunyikan fakta bahwa kadang-kadang kita tidak tahu apa yang kita lakukan, atau bahwa masalah yang dihadapi sebenarnya cukup sederhana.
Selain itu, terdapat ketakutan mendalam akan kerentanan yang dibawa oleh kesederhanaan. Sistem yang sederhana mungkin lebih mudah dipahami dan, oleh karena itu, lebih mudah dikritik. Ketika kita merumitkan sebuah proposal dengan banyak variabel dan asumsi, kita menciptakan kekebalan semu. Orang lain menjadi terlalu lelah atau takut untuk menanyakan detail-detail kecil, menganggap bahwa jika mereka tidak memahaminya, itu pasti karena kecanggihan proposal tersebut. Ini adalah strategi defensif: merumitkan untuk menghindari pengawasan. Semakin banyak aturan yang kita tambahkan pada suatu kebijakan, semakin sulit bagi siapa pun untuk menunjukkan kekurangan fundamental dalam kebijakan tersebut, karena perhatian mereka teralih pada labirin detail prosedural.
Fenomena Penambahan (Feature Creep) dan Kompleksitas yang Tidak Disengaja
Dorongan untuk merumitkan juga terlihat jelas dalam evolusi produk dan teknologi, yang dikenal sebagai 'feature creep'. Setiap tim, dalam upaya tulus untuk meningkatkan fungsionalitas, menambahkan fitur baru, tombol baru, dan opsi kustomisasi baru. Masing-masing fitur ini, jika dilihat secara terpisah, mungkin bermanfaat. Namun, secara kolektif, penambahan-penambahan ini menciptakan antarmuka yang membingungkan dan sistem yang tidak stabil. Produsen ponsel pintar, misalnya, terus-menerus merumitkan pengaturan kamera mereka dengan lusinan mode dan opsi yang jarang digunakan oleh pengguna rata-rata. Inti dari produk tersebut—kemampuan komunikasi yang efektif—terkubur di bawah timbunan fitur yang ditambahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang sangat kecil atau untuk membenarkan harga yang lebih tinggi. Proses merumitkan ini adalah sebuah akumulasi dari keputusan-keputusan kecil yang berniat baik, yang berakhir pada bencana kompleksitas yang luar biasa.
Manajemen proyek sering menjadi korban utama dari insting untuk merumitkan. Proyek yang seharusnya hanya melibatkan tiga langkah utama diubah menjadi bagan Gantt yang memiliki seratus tugas kecil, masing-masing dengan sepuluh sub-tugas dan tiga level persetujuan. Niatnya adalah untuk meningkatkan kontrol dan transparansi, tetapi dampaknya adalah kebalikannya. Ketika prosesnya terlalu rumit, orang mulai mencari jalan pintas atau, yang lebih buruk, menyerah pada kepatuhan total. Dokumentasi yang terlalu detail, yang niat awalnya adalah mencegah kesalahan, malah merumitkan pekerjaan sehari-hari sehingga orang tidak lagi membaca dokumentasi tersebut. Ini menciptakan lingkaran setan: kegagalan kepatuhan akibat kerumitan yang berlebihan, yang kemudian direspons dengan menambahkan lebih banyak aturan dan lebih banyak prosedur, semakin merumitkan keadaan.
Merumitkan Skala Besar: Bureaucracy dan Teknologi
Ketika kita bergerak dari tingkat individu ke tingkat organisasi dan sistemik, dorongan untuk merumitkan mengambil dimensi yang lebih besar dan jauh lebih merusak. Birokrasi adalah manifestasi paling murni dari seni merumitkan. Birokrasi tumbuh subur bukan di atas ketidakjelasan, melainkan di atas kejelasan yang berlebihan—kejelasan setiap kemungkinan, setiap pengecualian, setiap langkah yang harus diambil. Setiap kali ada kasus yang unik, alih-alih menangani kasus tersebut sebagai pengecualian ad-hoc, birokrasi menambahkan klausul baru, formulir baru, atau tahapan persetujuan baru ke dalam manual prosedur yang sudah tebal. Seiring waktu, manual ini menjadi begitu berlapis dan kontradiktif sehingga ia memerlukan birokrat spesialis hanya untuk menafsirkan aturan, yang pada gilirannya merumitkan proses lebih lanjut.
Hukum, Perpajakan, dan Kompleksitas Sebagai Industri
Bidang hukum dan perpajakan memberikan contoh utama bagaimana merumitkan menjadi sebuah industri itu sendiri. Kode pajak di banyak negara telah berkembang menjadi labirin yang hanya bisa dinavigasi oleh profesional yang dibayar mahal. Apakah ini karena transaksi finansial modern benar-benar serumit itu? Sebagian ya, tetapi sebagian besar kerumitan itu ditambahkan secara sengaja atau tidak sengaja oleh para pembuat kebijakan. Setiap perubahan undang-undang sering kali didorong oleh kelompok kepentingan yang berusaha menciptakan celah atau perlindungan pajak spesifik, yang mana setiap celah baru memerlukan pasal dan sub-pasal baru untuk mengaturnya, sehingga merumitkan seluruh kode bagi semua orang.
Kompleksitas yang dihasilkan ini memiliki fungsi ganda: pertama, ia membatasi akses. Hanya mereka yang mampu membeli saran ahli yang dapat sepenuhnya memahami dan memanfaatkan sistem tersebut. Kedua, kerumitan ini menciptakan pekerjaan bagi industri kepatuhan dan konsultasi—sebuah ekosistem besar yang hidup dari ketidakmampuan rata-rata warga negara untuk memahami aturan yang mengatur mereka. Ini adalah kompleksitas yang dihidupi dan dipelihara. Tidak ada insentif nyata bagi para pemangku kepentingan dalam industri kepatuhan untuk menyederhanakan kode; menyederhanakan berarti mengurangi kebutuhan akan jasa mereka. Mereka secara pasif (dan terkadang aktif) mendukung kecenderungan untuk terus merumitkan, memastikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tetap menjadi komoditas mahal yang dikendalikan oleh segelintir orang.
Merumitkan Melalui Integrasi Teknologi
Teknologi modern, yang seharusnya menjadi alat utama untuk simplifikasi, seringkali menjadi katalisator bagi kerumitan yang tak terkendali. Ketika perusahaan berusaha mengintegrasikan sistem lama (legacy systems) yang dibangun di atas bahasa pemrograman usang dengan infrastruktur cloud yang baru, mereka sering berakhir dengan arsitektur spaghetti. Solusi yang ada bukannya menggantikan sistem lama, tetapi menumpuk di atasnya, menciptakan lapisan demi lapisan "patch" dan "middleware." Setiap lapisan tambahan ini merumitkan pemeliharaan, meningkatkan risiko kegagalan, dan membuat proses debugging menjadi mimpi buruk.
Dalam dunia komputasi, upaya untuk menciptakan sistem yang universal dan fleksibel seringkali berujung pada kerumitan yang tidak dapat ditangani. Ketika sebuah perangkat lunak dirancang untuk melayani 80% kebutuhan pengguna, ia cenderung elegan. Namun, ketika para pengembang didorong untuk memenuhi 100% dari semua kasus tepi (edge cases) yang mungkin terjadi, mereka harus merumitkan logika inti dengan pengecualian dan kondisi khusus. Kerumitan ini menular; ia membuat pelatihan pengguna menjadi lebih sulit, meningkatkan waktu pengembangan, dan menghabiskan sumber daya komputasi. Ironisnya, semakin fleksibel sebuah sistem, semakin rumit pula cara menggunakannya secara efektif.
Ambil contoh perangkat lunak perusahaan berskala besar (ERP). Perangkat lunak ini dirancang untuk mengelola segalanya mulai dari penggajian hingga rantai pasokan. Karena setiap perusahaan memiliki proses yang sedikit berbeda, ERP harus sangat dapat dikustomisasi. Kustomisasi adalah bentuk dari merumitkan; perusahaan menghabiskan jutaan dolar dan berbulan-bulan untuk menyesuaikan perangkat lunak tersebut agar sesuai dengan proses lama mereka yang sudah rumit, alih-alih menyederhanakan proses internal mereka untuk sesuai dengan standar perangkat lunak yang lebih efisien. Akibatnya, mereka membangun sistem yang unik, mahal, dan sangat kompleks, yang memerlukan tim internal permanen hanya untuk mempertahankannya. Dorongan untuk "melakukan semuanya" adalah inti dari keinginan untuk merumitkan; sebuah penolakan terhadap kebutuhan untuk membuat pilihan dan menetapkan batasan yang jelas.
Pada titik ini, kerumitan telah mencapai tingkat eksponensial. Setiap kali sebuah solusi baru diusulkan, ia harus berinteraksi dengan ribuan variabel yang ada, yang diciptakan oleh solusi sebelumnya. Setiap penambahan baru meningkatkan kemungkinan kegagalan yang tidak terduga di tempat lain dalam sistem. Ini adalah bukti nyata bahwa ketika kita terus-menerus merumitkan, kita tidak hanya membuat sistem lebih besar, kita membuatnya lebih rapuh, lebih lambat, dan pada dasarnya tidak dapat dikelola dalam jangka panjang. Siklus pengembangan yang terlalu menekankan pada fitur baru dan mengabaikan penyederhanaan dan penghapusan kode usang (refactoring) adalah contoh utama bagaimana keinginan untuk merumitkan menghasilkan utang teknis yang masif.
Merumitkan Hubungan dan Komunikasi
Tidak hanya dalam sistem formal, tetapi juga dalam interaksi manusia sehari-hari, kita menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk merumitkan. Komunikasi adalah korban utama. Seringkali, alih-alih menyampaikan pesan secara langsung dan jelas, kita melapisinya dengan asumsi, makna tersirat, dan filter emosional yang tebal. Kita menggunakan kata-kata yang rumit atau struktur kalimat yang berbelit-belit, bukan untuk meningkatkan kejelasan, tetapi untuk melindungi diri kita sendiri. Misalnya, dalam konflik interpersonal, seseorang mungkin menghindari mengatakan "Saya merasa terluka" dan malah memilih untuk merumitkan situasinya dengan menyalahkan pihak lain atas serangkaian perilaku yang tidak terkait, membuat inti masalah menjadi kabur dan sulit dipecahkan.
Jargon dan Kompleksitas Bahasa
Penggunaan jargon profesional atau akademis adalah cara instan untuk merumitkan sebuah diskusi dan mendirikan penghalang. Meskipun jargon berfungsi sebagai singkatan yang berguna di antara spesialis, ia sering disalahgunakan untuk mengintimidasi atau untuk menyamarkan ide-ide yang sebenarnya dangkal. Ketika seorang manajer menggunakan frasa seperti "mensinergikan kapabilitas lintas-platform untuk mendorong pertumbuhan yang terukur dan optimalisasi nilai pemegang saham," alih-alih mengatakan "kita perlu bekerja sama untuk menghasilkan lebih banyak uang," ia sedang secara aktif merumitkan pesan. Kerumitan linguistik ini menciptakan hirarki: mereka yang mengerti jargon berada di dalam lingkaran, sementara yang lain dikeluarkan, sehingga memperkuat kekuatan pengguna jargon tersebut. Dorongan untuk merumitkan bahasa ini adalah upaya halus untuk mengamankan posisi sosial atau profesional.
Dalam konteks hubungan pribadi, kita cenderung merumitkan keputusan sederhana. Mencari kejelasan tentang apa yang kita inginkan dari pasangan atau teman, misalnya, dapat terasa menakutkan karena kesederhanaan memerlukan kerentanan. Alih-alih mengatakan "Saya butuh waktu sendiri," kita mungkin menciptakan serangkaian drama kecil, perilaku pasif-agresif, dan alasan yang berliku-liku. Kita merumitkan kebutuhan kita karena kita takut akan penolakan yang mungkin datang dari permintaan yang lugas. Kompleksitas emosional yang kita ciptakan hanyalah cangkang pelindung, tetapi cangkang ini, pada akhirnya, mencekik hubungan itu sendiri. Menyelesaikan masalah menjadi mustahil ketika dasar-dasarnya telah dirusak oleh lapisan-lapisan narasi yang rumit dan asumsi yang tidak diucapkan.
Merumitkan Proses Pengambilan Keputusan
Organisasi, terutama yang didominasi oleh budaya konsensus, seringkali merumitkan proses pengambilan keputusan hingga melumpuhkan diri mereka sendiri. Model 'harus menyenangkan semua orang' menuntut bahwa setiap keputusan harus melewati begitu banyak tinjauan, komite, dan revisi, sehingga keputusan itu sendiri menjadi tidak jelas dan tidak efektif pada saat ia akhirnya disetujui. Setiap pemangku kepentingan menambahkan persyaratan kecil mereka, setiap departemen menambahkan filter mereka, dan hasilnya adalah sebuah kebijakan yang begitu diencerkan dan dihiasi dengan pengecualian sehingga hampir tidak dapat dikenali dari niat awalnya. Kita merumitkan keputusan karena kita takut akan akuntabilitas individu; jika keputusan itu kompleks dan dibuat oleh banyak orang, tidak ada yang bisa sepenuhnya disalahkan jika terjadi kegagalan.
Kecenderungan untuk merumitkan pengambilan keputusan ini juga memicu fenomena analisis kelumpuhan (analysis paralysis). Kita meyakini bahwa dengan mengumpulkan lebih banyak data, membuat lebih banyak model simulasi, dan melibatkan lebih banyak konsultan, kita akan mencapai keputusan yang sempurna. Padahal, seringkali informasi yang terlalu banyak hanya menambah kebisingan dan membuat kita semakin sulit melihat inti dari masalah tersebut. Kita terus merumitkan model prediksi kita dengan menambahkan variabel yang semakin kecil, bukan karena variabel tersebut secara signifikan meningkatkan akurasi, tetapi karena ada keyakinan bahwa semakin banyak variabel yang dipertimbangkan, semakin 'ilmiah' atau 'komprehensif' proses tersebut. Ini adalah contoh klasik dari upaya merumitkan yang tidak menghasilkan nilai, hanya menghabiskan waktu dan energi yang berharga.
Eksplorasi Mendalam: Anatomis Kerumitan yang Tidak Relevan
Fenomena merumitkan secara aktif dapat dibagi menjadi beberapa kategori, masing-masing memiliki dampak destruktif tersendiri. Kita perlu memahami anatomi dari kerumitan yang tidak relevan ini untuk melawannya. Kerumitan bisa bersifat struktural, yang tertanam dalam organisasi sistem; kognitif, yang berasal dari pola pikir individu; atau interaksional, yang muncul dari cara kita berkomunikasi dan bernegosiasi.
Kerumitan Struktural: Layering dan Redundansi
Dalam struktur organisasi, dorongan untuk merumitkan terlihat ketika fungsi-fungsi baru ditambahkan tanpa menghilangkan fungsi-fungsi lama yang sudah usang. Proses ini disebut 'layering' atau penumpukan. Misalnya, sebuah perusahaan mungkin memiliki sistem akuntansi lama yang berbasis spreadsheet (Excel), kemudian menambahkan ERP besar, dan di atasnya lagi, menambahkan aplikasi pihak ketiga untuk pelaporan. Ketiga sistem ini tidak berkomunikasi dengan baik, sehingga membutuhkan karyawan untuk secara manual mentransfer dan merekonsiliasi data—sebuah proses yang secara aktif merumitkan tugas akuntansi harian. Redundansi, yang awalnya dimaksudkan sebagai keamanan, berubah menjadi beban ganda. Setiap lapisan yang ditambahkan untuk "memperbaiki" masalah di lapisan bawah secara ironis menciptakan masalah baru di lapisan atas.
Pemerintah adalah master dalam layering ini. Undang-undang baru jarang menggantikan undang-undang lama secara menyeluruh; sebaliknya, mereka ditambahkan sebagai amandemen, pengecualian, atau interpretasi baru. Hasilnya adalah sebuah badan hukum yang begitu padat dan berlapis, sehingga bahkan ahli hukum pun seringkali tidak yakin mana dari peraturan yang saling bertentangan yang harus dipatuhi. Insting untuk merumitkan di sini didorong oleh politik: jarang ada kemauan politik untuk melakukan "pembersihan" besar-besaran terhadap undang-undang yang sudah ada karena risiko politik dari setiap celah yang mungkin tercipta dalam proses penyederhanaan tersebut. Daripada menghadapi risiko itu, pembuat undang-undang lebih memilih untuk merumitkan keadaan dengan menambahkan lebih banyak teks.
Kerumitan Kognitif: Kesulitan Menghadapi Ketidakpastian
Pada tingkat kognitif, manusia seringkali merumitkan karena ketidakmampuan untuk menerima ketidakpastian. Ketika dihadapkan pada masalah yang ambigu atau hasil yang tidak dapat diprediksi, otak kita mencari rasa kontrol dengan menambahkan detail dan analisis yang berlebihan. Kita menciptakan skenario "bagaimana jika" yang tak terbatas. Dalam perencanaan strategis, ini berarti menciptakan rencana kontingensi untuk rencana kontingensi, yang pada akhirnya menghasilkan dokumen yang begitu tebal sehingga tidak ada yang dapat mengikutinya saat krisis benar-benar terjadi. Proses merumitkan ini memberikan ilusi kontrol, meyakinkan para pembuat keputusan bahwa mereka telah memikirkan segalanya, padahal yang mereka lakukan hanyalah menenggelamkan diri dalam detail yang tidak relevan. Kerumitan kognitif adalah pelarian dari kenyataan bahwa sebagian besar hal dalam hidup dan bisnis tunduk pada ketidakpastian mendasar (fundamental uncertainty).
Dorongan untuk merumitkan pemikiran juga terkait dengan budaya perfeksionisme. Bagi sebagian orang, kesederhanaan dianggap sebagai pekerjaan yang tidak selesai. Solusi yang ideal haruslah menyeluruh dan mencakup setiap sudut. Kebutuhan untuk menjadi sempurna mendorong mereka untuk terus-menerus merumitkan solusi dengan menambahkan parameter yang semakin ketat, yang pada akhirnya membuat implementasi menjadi mustahil. Mereka terperangkap dalam siklus di mana solusi menjadi begitu kompleks sehingga tidak dapat diuji atau dipertahankan, dan mereka harus kembali merumitkan proses di tahap awal. Ironi di sini adalah bahwa upaya menuju kesempurnaan melalui kerumitan justru menghasilkan kegagalan fungsional yang paling parah.
Kerumitan Interaksional: Politik Internal dan Merumitkan Proses
Dalam organisasi besar, merumitkan proses adalah alat politik yang ampuh. Proses yang rumit menciptakan titik-titik kekuatan (power points). Setiap formulir yang memerlukan tanda tangan, setiap pertemuan koordinasi, dan setiap laporan triwulanan adalah kesempatan bagi seseorang untuk menegaskan otoritasnya. Semakin rumit sebuah proses, semakin besar kebutuhan akan 'penjaga gerbang' (gatekeepers) yang memegang kunci untuk meloloskan pekerjaan. Orang-orang ini secara naluriah cenderung untuk merumitkan langkah-langkah di bawah kendali mereka untuk membenarkan peran mereka dan meningkatkan status mereka dalam organisasi. Ini bukan tentang efisiensi; ini tentang kontrol teritorial. Sebuah tugas yang seharusnya dapat diselesaikan dalam sehari membutuhkan dua minggu persetujuan hanya karena ada enam manajer yang merasa mereka harus menambahkan "nilai" dengan menyulitkan alirannya.
Ketika sistem menjadi terlalu rumit, orang juga mulai menggunakan kerumitan itu sebagai alasan untuk kegagalan. "Kami tidak bisa menyelesaikannya tepat waktu karena prosesnya terlalu rumit," menjadi pembenaran yang dapat diterima secara umum. Ini adalah pelarian dari akuntabilitas. Dalam lingkungan yang kompleks, sulit untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas bagian mana. Ini mendorong organisasi untuk terus merumitkan, karena kerumitan berfungsi sebagai selimut nyaman yang menutupi kinerja yang buruk dan kurangnya akuntabilitas. Mereka yang menuntut simplifikasi sering dipandang sebagai orang yang naif atau tidak memahami 'kompleksitas unik' dari situasi mereka, sebuah frasa yang secara rutin digunakan untuk membenarkan kerumitan yang sudah ada.
Biaya Nyata Dari Merumitkan yang Tidak Perlu
Biaya dari kecenderungan untuk merumitkan tidak hanya diukur dalam waktu yang terbuang atau frustrasi mental, tetapi juga dalam metrik yang nyata: finansial, inovatif, dan sosial. Kompleksitas yang tidak perlu adalah beban berat yang menekan produktivitas global.
Biaya Finansial dan Operasional
Secara finansial, setiap lapisan kerumitan memerlukan sumber daya untuk dipelihara. Semakin rumit infrastruktur TI, semakin banyak teknisi yang diperlukan. Semakin rumit kode pajak, semakin banyak akuntan dan pengacara pajak yang harus dipekerjakan. Organisasi menghabiskan porsi yang semakin besar dari anggaran mereka hanya untuk 'mengelola kerumitan' yang mereka ciptakan sendiri. Ini adalah pengeluaran yang non-produktif; uang tidak dihabiskan untuk inovasi atau peningkatan layanan, tetapi hanya untuk menjaga agar sistem yang terlalu rumit tetap berjalan. Proses merumitkan terus-menerus menaikkan biaya operasional tanpa batas.
Kompleksitas juga meningkatkan risiko kesalahan yang mahal. Dalam sistem yang rumit, interaksi antar komponen sangat banyak sehingga kegagalan di satu titik dapat memiliki efek riak yang tidak terduga di tempat lain. Ketika sebuah sistem dirancang untuk merumitkan semua kemungkinan, sulit untuk memprediksi dampak perubahan kecil. Ini berarti bahwa setiap pembaruan, setiap perbaikan bug, menjadi operasi berisiko tinggi yang dapat menyebabkan jutaan kerugian finansial. Studi menunjukkan bahwa kompleksitas adalah salah satu prediktor terbesar dari kegagalan proyek IT skala besar; semakin banyak variabel yang kita tambahkan, semakin tinggi probabilitas bahwa kita akan gagal mengelolanya.
Hambatan Inovasi
Inovasi tumbuh subur dalam lingkungan yang memungkinkan eksperimen dan kegagalan yang cepat. Lingkungan yang dirusak oleh dorongan untuk merumitkan melumpuhkan inovasi. Proses persetujuan yang rumit, standar kepatuhan yang berlebihan, dan infrastruktur warisan yang rapuh membuat sulit dan mahal untuk mencoba hal baru. Mengapa seorang insinyur berani mencoba solusi baru ketika untuk menerapkannya, ia harus mendapatkan persetujuan dari enam komite, menulis dokumen spesifikasi setebal 100 halaman, dan menghadapi risiko merusak sistem lain yang tidak terkait? Insting untuk merumitkan mencegah kecepatan, dan kecepatan adalah mata uang utama inovasi.
Dalam lingkungan akademis, kecenderungan untuk merumitkan teori sering kali mengarah pada penelitian yang semakin terisolasi dan tidak dapat diakses. Daripada berusaha menjelaskan konsep-konsep kompleks dengan cara yang sederhana, para akademisi mungkin merumitkan bahasa dan metodologi mereka untuk membatasi lingkaran mereka. Ini menghambat penyebaran pengetahuan dan kolaborasi antar disiplin. Kerumitan di sini bukan merupakan tanda kedalaman, melainkan penghalang yang disengaja untuk menjaga status quo intelektual.
Biaya Sosial dan Kelelahan
Pada tingkat sosial, kompleksitas yang diciptakan oleh dorongan untuk merumitkan menyebabkan kelelahan massal. Warga negara menghabiskan waktu yang tidak proporsional untuk mengisi formulir, memahami kebijakan asuransi yang rumit, atau menavigasi situs web pemerintah yang tidak intuitif. Ini adalah pajak tersembunyi atas waktu dan energi masyarakat. Para pekerja kantor menghabiskan sebagian besar hari mereka untuk manajemen kerumitan—mengatur pertemuan, menanggapi email yang rumit, dan mendokumentasikan setiap langkah, alih-alih melakukan pekerjaan produktif yang sebenarnya.
Kelelahan ini bersifat politis. Ketika sistem begitu rumit sehingga masyarakat merasa tidak mungkin untuk memahaminya (misalnya, sistem pemilu yang rumit atau program jaminan sosial yang kompleks), mereka menarik diri dari partisipasi. Insting untuk merumitkan, yang dimulai sebagai upaya untuk menyempurnakan, berakhir sebagai alat untuk mengasingkan. Jika masyarakat merasa tidak bisa lagi memahami mekanisme yang mengatur mereka, mereka kehilangan kepercayaan. Dalam arti ini, kompleksitas yang diciptakan oleh dorongan untuk merumitkan adalah salah satu musuh terbesar dari transparansi dan demokrasi yang efektif.
Siklus Tanpa Henti: Merumitkan untuk Memperbaiki Kerumitan
Siklus di mana kita terus-menerus merumitkan untuk mengatasi kerumitan yang telah kita ciptakan adalah inti dari permasalahan modern. Setiap solusi baru dirancang untuk mengatasi masalah yang diciptakan oleh solusi yang sudah ada, dan hampir selalu, solusi baru tersebut memperkenalkan kompleksitasnya sendiri. Ini menciptakan spiral ke atas yang tak terbatas menuju ketidakmungkinan manajemen.
Kasus Pengawasan dan Kepatuhan
Ambil contoh industri keuangan, terutama setelah krisis. Setiap kegagalan sistemik memicu respons regulasi yang masif. Regulator berusaha merumitkan aturan agar setiap celah yang terekspos ditutup. Mereka menambahkan ribuan halaman peraturan baru (seperti Dodd-Frank atau MiFID II). Niatnya mulia: stabilitas. Namun, dampaknya adalah bank harus mengalokasikan sumber daya yang luar biasa hanya untuk kepatuhan terhadap peraturan yang begitu rumit, sehingga menghambat kemampuan mereka untuk berinvestasi pada teknologi yang sebenarnya bisa meningkatkan keamanan dan efisiensi. Regulasi yang terlalu rumit juga seringkali hanya berhasil ditafsirkan oleh lembaga-lembaga besar, memberikan mereka keuntungan yang tidak adil dibandingkan lembaga yang lebih kecil yang tidak mampu membeli tim kepatuhan sebesar itu.
Dalam situasi ini, upaya untuk merumitkan sistem pengawasan agar ia tidak dapat dieksploitasi lagi malah menghasilkan sistem yang sangat kaku. Kerumitan ini membuat sistem kurang adaptif. Ketika ancaman baru muncul, sistem yang terlalu rumit membutuhkan waktu yang sangat lama untuk merespons karena setiap perubahan harus diperiksa terhadap tumpukan besar peraturan yang sudah ada. Ironisnya, pelaku jahat seringkali dapat menemukan celah baru lebih cepat dalam sistem yang terlalu rumit karena kerumitan itu sendiri menciptakan titik buta dan kontradiksi internal. Mereka yang berupaya merumitkan segalanya demi keamanan justru menciptakan sistem yang rentan terhadap jenis serangan baru yang tak terduga.
Kegagalan Budaya dalam Menerima Penghapusan
Salah satu hambatan terbesar dalam membalikkan tren merumitkan adalah penolakan budaya untuk menghapus. Dalam banyak organisasi, ada insentif untuk menciptakan dan menambahkan (add and create), tetapi tidak ada penghargaan untuk menghapus atau menyederhanakan. Karyawan dihargai karena meluncurkan produk baru, menulis kode baru, atau menyusun kebijakan baru. Siapa yang akan mendapatkan promosi karena menghapus 200 halaman prosedur usang? Tidak ada. Penghapusan dianggap sebagai pemangkasan atau, lebih buruk, sebagai tanda bahwa pekerjaan sebelumnya tidak penting. Ini menciptakan budaya akumulasi, di mana setiap orang merasa harus merumitkan sedikit demi sedikit untuk membenarkan keberadaan mereka. Setiap kali seorang manajer meninggalkan perusahaannya, ia meninggalkan di belakangnya serangkaian laporan dan proses yang ia ciptakan, dan penggantinya merasa perlu untuk merumitkan lagi dengan menambahkan proses baru alih-alih membersihkan yang lama.
Budaya ini sangat kuat dalam pengembangan perangkat lunak. Ada istilah teknis untuk ini: 'bit rot' atau 'code cruft.' Kode terus merumitkan seiring waktu karena fungsi-fungsi baru ditambahkan, dan kode lama tidak pernah dihapus karena takut merusak sesuatu yang masih bergantung padanya. Ini adalah warisan dari keengganan masa lalu untuk mengambil risiko penyederhanaan. Mengingat kompleksitas ini, pengembang masa depan akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk memahami dan menavigasi labirin kode warisan daripada menulis solusi baru yang elegan. Proses merumitkan ini telah menjadi beban eksponensial dalam evolusi teknologi.
Psikologi Merumitkan dan Kontrol Pribadi
Perlu ditekankan kembali bahwa dorongan untuk merumitkan seringkali sangat pribadi. Ketika seseorang merasa kehilangan kendali atas lingkungannya yang besar, mereka cenderung meningkatkan kontrol atas lingkungan kecil mereka—misalnya, dengan menciptakan sistem pribadi yang sangat rumit untuk mengelola email mereka, atau dengan bersikeras pada ritual kerja yang berlebihan. Ini adalah upaya untuk menekan kekacauan eksternal dengan kompleksitas internal. Mereka merumitkan apa yang seharusnya sederhana untuk menciptakan benteng kognitif di mana mereka merasa memiliki penguasaan mutlak. Sayangnya, sistem internal yang terlalu rumit ini sering kali menjadi beban mental dan menghambat kemampuan mereka untuk berinteraksi secara efektif dengan dunia luar yang membutuhkan kesederhanaan adaptif.
Pada akhirnya, seni merumitkan adalah sebuah pengakuan yang menyedihkan atas ketidaknyamanan kita terhadap kekacauan dan ketidaksempurnaan. Kita lebih memilih kompleksitas buatan, yang dapat kita klaim telah kita ciptakan dan pahami (walaupun sebenarnya tidak), daripada kesederhanaan yang rentan terhadap kekuatan di luar kendali kita. Kompleksitas yang tidak perlu adalah selimut yang kita rajut untuk menutupi rasa takut kita akan kelemahan dan kegagalan. Ini adalah pelarian dari tugas yang jauh lebih sulit dan menuntut: tugas menyaring, mengeliminasi, dan menerima bahwa sebagian besar nilai terletak pada kesederhanaan yang brutal dan jujur.
Refleksi Terakhir Mengenai Biaya Tersembunyi
Kita harus menyadari bahwa biaya tersembunyi dari kecenderungan untuk merumitkan ada di mana-mana. Dalam desain produk, ini berarti pengguna harus membaca manual yang tebal. Dalam layanan pelanggan, ini berarti alih-alih menyelesaikan masalah Anda dengan cepat, Anda harus melalui 15 langkah dalam sistem IVR yang rumit. Dalam pendidikan, ini berarti kurikulum dipenuhi dengan materi yang tidak relevan yang ditambahkan selama bertahun-tahun, yang merumitkan pembelajaran inti bagi siswa. Di semua aspek kehidupan, kita terus-menerus membayar mahal untuk hak istimewa untuk menavigasi kerumitan yang dibuat oleh diri kita sendiri. Kemampuan untuk menahan dorongan untuk merumitkan, untuk memilih kesederhanaan di tengah tekanan untuk menambah, adalah tanda kedewasaan sejati, baik bagi individu maupun organisasi.
Filosofi desain dan rekayasa yang baik selalu menganjurkan 'kurangi untuk menambah' atau minimalisme. Namun, dalam praktik nyata, minimalisme seringkali ditolak karena dianggap kurang 'kaya' atau kurang 'lengkap'. Filosofi merumitkan adalah kebalikannya: menambah tanpa batas, tanpa pernah mempertanyakan apakah penambahan tersebut benar-benar melayani tujuan inti. Tantangan mendesak bagi masyarakat kontemporer adalah untuk secara kolektif menyadari bahwa kita telah mencapai titik di mana kerumitan yang kita ciptakan sendiri telah menjadi ancaman eksistensial bagi efisiensi kita. Kita harus membalikkan insting ini, menghargai kemahiran dalam penyederhanaan, dan secara aktif melawan godaan untuk merumitkan hal-hal yang tidak perlu menjadi rumit.
Proses merumitkan terus terjadi di setiap pertemuan, di setiap dokumen, dan di setiap interaksi. Setiap kali kita menggunakan jargon yang tidak perlu, setiap kali kita menambahkan langkah persetujuan keenam, atau setiap kali kita menolak untuk menghapus fitur yang sudah usang, kita berkontribusi pada beban global kerumitan. Kerumitan adalah warisan yang kita tinggalkan untuk generasi mendatang—sebuah warisan yang membuat pekerjaan mereka semakin sulit dan hasil mereka semakin tidak efektif. Oleh karena itu, perlawanan terhadap dorongan untuk merumitkan harus dimulai dengan kesadaran diri: mengenali kapan kita menambah detail hanya demi detail itu sendiri, dan kapan kita benar-benar memberikan nilai. Perjuangan melawan kerumitan adalah perjuangan untuk kejelasan, efisiensi, dan, pada akhirnya, kewarasan dalam kehidupan modern.
Dampak kumulatif dari semua tindakan merumitkan ini, yang dilakukan oleh jutaan orang di seluruh dunia, adalah penciptaan sebuah mega-sistem global yang hampir tidak dapat dipahami. Ketika pandemi melanda, misalnya, banyak negara menemukan bahwa mekanisme bantuan yang mereka miliki menjadi sangat sulit untuk didistribusikan secara cepat karena sistemnya terlalu rumit, terlalu banyak lapisan, dan terlalu banyak pengecualian. Niatnya adalah untuk mencegah penipuan dengan merumitkan proses, tetapi hasilnya adalah penundaan kritis bagi mereka yang paling membutuhkan. Kerumitan menjadi hambatan kemanusiaan. Ini mengajarkan kita bahwa ketika kita merumitkan, kita secara inheren mengurangi kemampuan kita untuk merespons dengan cepat dan efektif terhadap krisis, karena kecepatan memerlukan kejelasan dan kesederhanaan operasional.
Dalam bidang kecerdasan buatan (AI), kita juga melihat godaan untuk merumitkan. Model-model AI yang paling canggih sering disebut "kotak hitam" karena begitu rumitnya struktur internalnya sehingga bahkan para pembuatnya pun kesulitan menjelaskan mengapa model tersebut mencapai kesimpulan tertentu. Meskipun kerumitan ini mungkin diperlukan untuk mencapai tingkat kinerja tertentu, ada tekanan untuk merumitkan model bahkan ketika model yang lebih sederhana (dan lebih transparan) sudah cukup. Mengapa? Karena ada anggapan bahwa semakin besar, semakin banyak lapisan, dan semakin rumit sebuah model, semakin unggul ia secara intelektual. Kerumitan, sekali lagi, digunakan sebagai metrik keunggulan, meskipun hal itu secara langsung bertentangan dengan kebutuhan akan kejelasan dan akuntabilitas etika. Kita harus melawan keinginan untuk merumitkan hanya demi 'keunggulan' yang dirasakan.
Lebih jauh lagi, pertimbangkan bidang desain produk konsumen. Setiap fitur tambahan, setiap pengaturan baru, setiap opsi kustomisasi adalah keputusan untuk merumitkan. Meskipun penjualannya mungkin didorong oleh daftar fitur yang panjang, pengalaman pengguna seringkali menderita. Pengguna menghabiskan waktu yang tidak proporsional untuk mempelajari cara menggunakan produk tersebut alih-alih hanya menggunakannya. Manual pengguna menjadi tebal, dukungan teknis menjadi mahal, dan kepuasan pelanggan menurun karena kurva pembelajaran yang curam yang dipaksakan oleh dorongan untuk merumitkan produk. Para desainer harus belajar bahwa penambahan fitur harus selalu diimbangi dengan penghapusan fitur, sebuah prinsip yang sangat sulit diterima karena menentang naluri manusia untuk menimbun. Keinginan untuk merumitkan adalah manifestasi dari naluri menimbun kognitif.
Pada akhirnya, upaya untuk merumitkan adalah perjuangan melawan Hukum Pareto, atau Prinsip 80/20. Prinsip ini menunjukkan bahwa 80% hasil berasal dari 20% usaha. Mayoritas upaya kita untuk merumitkan adalah mengejar sisa 20% hasil dengan 80% usaha. Upaya ini biasanya tidak ekonomis dan seringkali merusak 80% inti yang sudah berfungsi. Dalam setiap sistem, tugas yang paling sulit adalah mengidentifikasi 20% esensial dan tanpa ampun menghilangkan 80% detail yang tidak perlu—sebuah tugas yang ditolak oleh banyak birokrat dan manajer yang merasa harus merumitkan segalanya untuk mencapai kesempurnaan yang tidak mungkin. Kesempurnaan melalui kerumitan adalah ilusi yang mahal.
Dorongan untuk terus-menerus merumitkan juga menciptakan jurang pemisah antara front office dan back office. Orang-orang di lini depan yang berinteraksi langsung dengan pelanggan atau produk seringkali mengeluh tentang proses back office yang terlalu rumit. Mereka harus menavigasi sistem internal yang sangat berlapis yang dirancang untuk memenuhi semua kasus tepi hipotetis yang pernah ada, meskipun kasus tepi tersebut jarang terjadi. Kerumitan internal ini membuat mereka tidak dapat memberikan layanan yang cepat dan responsif. Mereka dipaksa untuk merumitkan interaksi pelanggan mereka dengan mengikuti protokol internal yang kaku dan tidak fleksibel. Inilah bagaimana kompleksitas internal perusahaan tumpah ke pengalaman eksternal pelanggan.
Untuk benar-benar melawan insting untuk merumitkan, kita harus memulai dengan perubahan budaya. Kita harus mulai menghargai kejelasan dan keringkasan di atas panjang dan detail. Kita harus memberikan insentif kepada karyawan dan pemimpin yang berani menghapus, menyederhanakan, dan menghilangkan. Ini berarti perubahan radikal dalam bagaimana kita menilai kinerja. Daripada memuji orang yang menciptakan sistem baru yang rumit, kita harus merayakan orang yang mampu memotong birokrasi, yang mampu menggabungkan tiga langkah menjadi satu, dan yang berani mengatakan: "Ini terlalu rumit, mari kita mulai dari nol dengan kesederhanaan sebagai prioritas." Tanpa perubahan insentif ini, dorongan untuk merumitkan akan selalu menang. Kerumitan adalah gravitasi organisasi; kesederhanaan adalah kerja keras yang harus terus-menerus kita lakukan untuk terbang di atasnya.
Tentu saja, ada batas untuk penyederhanaan. Ada kompleksitas intrinsik dalam dunia fisik dan sosial yang tidak dapat dihilangkan. Relativitas tidak dapat dijelaskan hanya dengan dua kalimat, dan rantai pasokan global memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. Namun, masalah yang kita hadapi saat ini sebagian besar bukanlah kompleksitas intrinsik, melainkan kompleksitas artifisial, yang diciptakan secara sengaja atau tidak sengaja oleh dorongan untuk merumitkan. Kita secara rutin menambahkan tiga lapisan kerumitan yang tidak perlu di atas satu lapisan kerumitan yang dibutuhkan. Fokus kita harus pada pembedaan antara kompleksitas yang diperlukan (yang menopang fungsi) dan kompleksitas yang tidak perlu (yang menghambat fungsi). Dengan kesadaran ini, kita dapat mulai mengikis tumpukan kerumitan yang telah membebani kita selama beberapa dekade.
Mari kita bayangkan dampak ekonomi jika setiap organisasi dan setiap individu mengurangi 50% dari kompleksitas yang tidak perlu dalam pekerjaan mereka. Waktu yang dihemat, energi yang dilepaskan, dan sumber daya yang dialihkan dari manajemen kerumitan menuju inovasi akan menghasilkan lonjakan produktivitas yang masif. Namun, hal ini memerlukan keberanian. Keberanian untuk menghadapi ketidakpastian yang datang bersama kesederhanaan, dan keberanian untuk menolak dorongan psikologis untuk merumitkan demi citra keahlian. Ini adalah pertarungan budaya melawan insting untuk menimbun kompleksitas. Siklus merumitkan harus dipecahkan, satu proses yang disederhanakan pada satu waktu.
Setiap orang memiliki kemampuan untuk menolak siklus merumitkan ini. Mulailah dengan bahasa yang jernih, dengan proses yang logis, dan dengan penolakan yang tegas terhadap fitur atau langkah yang tidak menambah nilai esensial. Dengan mengadopsi pola pikir 'pengurangan' alih-alih 'penambahan', kita dapat mulai membongkar birokrasi mental dan fisik yang telah kita bangun di sekitar kita. Hanya dengan cara ini kita dapat melepaskan diri dari seni merumitkan yang tidak disadari dan bergerak menuju efisiensi, kejelasan, dan kebebasan yang ditawarkan oleh kesederhanaan yang mendalam. Insting untuk merumitkan harus digantikan dengan disiplin menyederhanakan. Ini adalah pekerjaan yang berkelanjutan, tanpa akhir, tetapi penting untuk kelangsungan fungsi sistem kita.
Kecenderungan untuk merumitkan juga sangat terlihat dalam cara kita mengatur pertemuan. Alih-alih pertemuan singkat dan fokus yang bertujuan mencapai satu keputusan, kita sering mengadakan pertemuan maraton dengan agenda yang terlalu luas, dihadiri oleh terlalu banyak orang yang tidak perlu. Setiap peserta, untuk membenarkan kehadirannya, merasa harus merumitkan pembahasan dengan menambahkan perspektif atau data yang tidak relevan, atau mengajukan pertanyaan yang sudah terjawab. Pertemuan-pertemuan ini bukan tentang pemecahan masalah; ini adalah ritual komunal di mana kita semua berkontribusi pada kerumitan bersama, menciptakan jam-jam yang terbuang dan kebingungan baru yang kemudian memerlukan lebih banyak pertemuan untuk diurai. Kebiasaan merumitkan agenda adalah penyakit endemik dalam manajemen modern.
Kompleksitas adalah peredam energi. Semakin rumit sebuah sistem, semakin banyak energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan status quo, dan semakin sedikit energi yang tersisa untuk adaptasi dan pertumbuhan. Ketika kita terus-menerus merumitkan, kita mengunci diri kita dalam sistem yang memakan habis sumber daya kita. Bisnis yang berfokus pada penyederhanaan dan kejelasan, seperti yang terlihat pada model bisnis yang sukses dengan antarmuka pengguna yang minimalis atau proposisi nilai yang lugas, seringkali mengungguli pesaing mereka yang tenggelam dalam fitur yang terlalu rumit. Kesuksesan di pasar seringkali datang dari penolakan keras terhadap dorongan untuk merumitkan, dan penerimaan terhadap kesulitan yang melekat dalam menciptakan sesuatu yang mudah digunakan.
Setiap kali kita merumitkan sebuah proses, kita juga meningkatkan ambiguitas. Dalam ambiguitas itulah inefisiensi dan penipuan dapat tumbuh subur. Ketika aturan begitu rumit sehingga hanya segelintir orang yang memahaminya, celah dan penyalahgunaan menjadi tak terhindarkan. Transparansi adalah musuh kerumitan. Jika suatu proses dapat dijelaskan dalam satu halaman sederhana, ia akan mudah diaudit dan dipatuhi. Jika suatu proses membutuhkan manual setebal buku, proses itu secara inheren dirancang untuk menyembunyikan inefisiensi. Mereka yang sengaja merumitkan sering melakukannya karena mereka ingin menghambat pemeriksaan dan mempertahankan monopoli informasi atau proses. Ini adalah manifestasi paling berbahaya dari insting untuk merumitkan: kompleksitas sebagai senjata politik dan finansial.
Kita harus bersikap skeptis terhadap setiap saran yang secara otomatis menambahkan langkah, persyaratan, atau dokumen baru. Kita harus selalu bertanya: "Apa yang bisa kita hapus dari ini?" Daripada "Apa lagi yang bisa kita tambahkan?" Pergeseran paradigma ini adalah satu-satunya jalan keluar dari spiral kerumitan yang tak terbatas. Insting untuk merumitkan adalah default kognitif; menyederhanakan adalah tindakan perlawanan yang membutuhkan kesadaran dan disiplin yang konstan. Ini berlaku di setiap tingkatan, dari bagaimana kita mengatur lemari pakaian kita hingga bagaimana kita menulis undang-undang nasional. Perjuangan melawan kerumitan adalah perjuangan untuk hidup yang lebih jernih, lebih efisien, dan lebih manusiawi.
Proses merumitkan juga dapat dilihat dalam evolusi bahasa dan komunikasi daring. Kita sekarang memiliki ratusan saluran komunikasi, mulai dari email, pesan instan, platform kolaborasi, hingga media sosial. Alih-alih membuat komunikasi menjadi lebih mudah, banyaknya saluran ini memaksa kita untuk merumitkan strategi komunikasi kita. Kita harus memutuskan tidak hanya apa yang harus dikatakan, tetapi di mana harus mengatakannya dan format apa yang harus digunakan. Informasi yang sama sering kali disebarluaskan di tiga atau empat platform yang berbeda, menghasilkan duplikasi, kebingungan, dan hilangnya informasi penting dalam kebisingan. Penggunaan alat yang berlebihan dan proses merumitkan untuk berbagi informasi hanya mengakibatkan kita menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengelola komunikasi daripada substansi komunikasi itu sendiri. Ini adalah ironi modern yang harus kita tangani.
Dan siklus ini terus berlanjut. Ketika kita melihat masalah, respons naluriah kita adalah untuk merumitkan solusi, baik dengan menambah alat, menambah langkah, atau menambah aturan. Hanya dengan kesadaran yang tajam dan disiplin yang ketat kita dapat mulai menghargai kesunyian yang datang dengan penyederhanaan—kesunyian yang memungkinkan kita untuk benar-benar fokus pada inti masalah. Menolak dorongan untuk merumitkan adalah tindakan pemberontakan yang paling rasional dalam abad ini.