Gambar: Representasi abstrak koneksi antara konsep pikiran dan substansi, inti dari pertanyaan metafisika.
Istilah metafisika (dari bahasa Yunani *meta ta physika*) secara harfiah berarti "setelah fisika" atau "di luar yang fisik." Penamaan ini secara historis muncul dari cara Andronicus dari Rhodes mengorganisasi karya Aristoteles, menempatkan risalah tentang prinsip-prinsip pertama setelah risalah tentang alam (fisika). Namun, makna filosofisnya jauh melampaui penamaan katalog buku. Metafisika adalah studi tentang sifat realitas yang paling fundamental: apa yang nyata, apa yang berarti ada, dan bagaimana dunia secara keseluruhan tersusun.
Metafisika tidak hanya berfokus pada apa yang kita amati—seperti fisika—tetapi pada apa yang harus ada agar pengamatan tersebut mungkin terjadi. Pertanyaan-pertanyaan kuncinya meliputi: Apakah waktu itu nyata atau hanya ilusi? Apakah materi adalah satu-satunya realitas, atau adakah bentuk immaterial (seperti pikiran, jiwa, atau Tuhan)? Apa yang membuat suatu objek tetap menjadi objek yang sama (identitas) seiring berjalannya waktu? Mengapa ada sesuatu, dan bukan ketiadaan?
Bidang studi ini sering dianggap sebagai fondasi bagi epistemologi (teori pengetahuan) dan etika (moralitas), karena apa yang kita yakini sebagai realitas fundamental akan memengaruhi bagaimana kita berpikir kita bisa tahu sesuatu, dan bagaimana kita harus bertindak di dunia tersebut. Tanpa kerangka metafisik, penyelidikan filosofis lainnya kehilangan jangkar konseptualnya.
Meskipun metafisika dan sains modern memiliki akar bersama (filsafat alam), mereka berbeda dalam metodologi dan lingkup. Sains menyelidiki hukum alam yang dapat diuji secara empiris dan diukur. Sebaliknya, metafisika menyelidiki sifat-sifat yang tidak dapat diakses melalui eksperimen, seperti hakikat eksistensi itu sendiri atau potensi dan aktualitas. Meskipun demikian, temuan ilmiah baru, terutama dalam mekanika kuantum atau kosmologi, sering kali memicu perdebatan metafisik baru tentang struktur dasar realitas.
Metafisika secara tradisional dibagi menjadi beberapa sub-disiplin yang sangat terkait erat. Dua yang paling dominan dan esensial adalah Ontologi dan Kosmologi Metafisik.
Ontologi adalah cabang utama metafisika yang berfokus pada studi tentang eksistensi, keberadaan, atau "Ada." Pertanyaan mendasar ontologi adalah: Apa yang ada, dan bagaimana kita dapat mengategorikannya? Ontologi berusaha untuk menyusun skema kategori yang paling fundamental untuk memahami entitas dan hubungan di antara mereka.
Aristoteles, dalam karyanya *Kategori*, mengidentifikasi sepuluh kategori fundamental yang menjelaskan cara kita berbicara tentang segala sesuatu yang ada (substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, memiliki, melakukan, dan menderita). Filsuf modern melanjutkan upaya ini, mempertanyakan apakah kategori-kategori ini mencerminkan struktur realitas itu sendiri (realisme ontologis) atau hanya merupakan kerangka yang dipaksakan oleh pikiran manusia (anti-realisme atau idealisme Kantian).
Debat utama dalam ontologi adalah mengenai jenis-jenis entitas yang ada. Apakah 'universalia' (seperti merah atau keadilan) ada di luar pikiran kita, atau apakah hanya partikular (objek individual) yang ada? Realis universal (seperti Plato) berpendapat bahwa bentuk-bentuk universal memiliki eksistensi independen, sementara nominalis berpendapat bahwa universal hanyalah nama atau konsep mental.
Konsep substansi adalah inti dari ontologi. Substansi didefinisikan sebagai entitas yang dapat eksis secara independen, yang berfungsi sebagai pembawa sifat (aksiiden). Aksiiden adalah sifat yang melekat pada substansi tetapi tidak dapat eksis sendiri (misalnya, warna merah, tinggi, berat). René Descartes membedakan tiga substansi: Tuhan (Substansi tak terbatas), Pikiran (Substansi yang berpikir, tak berekstensi), dan Materi (Substansi yang berekstensi, tak berpikir). Konflik mengenai apakah hanya ada satu substansi (Monisme, seperti Spinoza) atau banyak substansi (Pluralisme) adalah debat abadi.
Lebih lanjut, pertanyaan ontologis mengenai substansi melibatkan penyelidikan tentang esensi dan eksistensi. Apakah esensi (hakikat suatu benda) mendahului eksistensinya (kenyataan bahwa ia ada), atau sebaliknya? Bagi eksistensialis modern, 'eksistensi mendahului esensi', sebuah pembalikan radikal terhadap tradisi Aristoteles yang menekankan esensi statis.
Kosmologi metafisik adalah studi tentang alam semesta sebagai keseluruhan—bukan dari sudut pandang fisika, tetapi dalam hal prinsip-prinsip fundamentalnya. Ini mencakup pertanyaan tentang asal-usul, struktur, dan tujuan alam semesta.
Apakah ruang dan waktu adalah entitas nyata (Substansialisme, Newton) atau hanya hubungan antar-objek (Relasionalisme, Leibniz)? Debat ini sangat krusial. Newton melihat ruang sebagai wadah absolut, tidak dipengaruhi oleh apa pun di dalamnya. Leibniz, sebaliknya, berpendapat bahwa ruang adalah susunan hubungan spasial antara benda-benda; jika tidak ada benda, tidak ada ruang.
Dalam kaitannya dengan waktu, pertanyaan metafisik meliputi apakah masa lalu, sekarang, dan masa depan sama-sama nyata (Eternalisme atau Teori B-Time) atau hanya masa kini yang nyata (Presentisme atau Teori A-Time). Presentisme berhadapan dengan masalah besar dalam menjelaskan kausalitas, sementara Eternalisme berhadapan dengan intuisi kita tentang aliran waktu.
Kosmologi juga membahas teleologi: apakah alam semesta memiliki tujuan intrinsik? Pandangan teleologis (seperti yang dianut oleh Aristoteles) melihat proses alam sebagai diarahkan menuju tujuan atau *telos*. Sebaliknya, pandangan mekanistik yang dominan sejak Revolusi Ilmiah berpendapat bahwa alam semesta beroperasi murni melalui sebab dan akibat tanpa tujuan akhir yang terprogram.
Untuk memahami realitas fundamental, metafisika harus bergulat dengan serangkaian konsep yang sangat rumit dan mendalam. Tiga konsep yang paling penting adalah Kausalitas, Identitas, dan Modalitas.
Kausalitas adalah relasi yang menghubungkan dua kejadian atau keadaan di mana satu (sebab) menghasilkan yang lain (akibat). Tanpa kausalitas, kita tidak dapat memahami perubahan atau interaksi di dunia.
Aristoteles mengklasifikasikan kausalitas menjadi empat jenis yang berbeda, memberikan kerangka komprehensif untuk menganalisis perubahan:
David Hume, seorang empiris, melancarkan serangan kritis terhadap konsep kausalitas. Ia berpendapat bahwa kita tidak pernah benar-benar mengamati "keharusan" dalam hubungan sebab-akibat; kita hanya mengamati urutan peristiwa yang berulang (*constant conjunction*). Kausalitas, bagi Hume, adalah kebiasaan psikologis, bukan keharusan logis yang inheren dalam realitas.
Tantangan Hume memaksa filsuf seperti Immanuel Kant untuk mencari solusi. Kant berpendapat bahwa kausalitas bukanlah sesuatu yang berasal dari pengalaman, tetapi merupakan kategori pemahaman yang apriori, yang dipaksakan oleh pikiran kita untuk menyusun pengalaman yang kacau menjadi realitas yang koheren.
Identitas metafisik berkaitan dengan apa yang membuat sesuatu tetap menjadi dirinya sendiri seiring waktu, meskipun mengalami perubahan. Ini adalah masalah persisten yang terkenal diilustrasikan melalui Paradoks Kapal Theseus: Jika Kapal Theseus secara bertahap mengganti semua papan kayunya, apakah itu masih kapal yang sama?
Masalah identitas menjadi sangat akut ketika diterapkan pada manusia. Apa yang membuat seseorang pada usia tua adalah orang yang sama dengan bayi yang lahir puluhan tahun sebelumnya? Ada tiga pandangan utama:
Perdebatan ini memiliki implikasi besar terhadap konsep tanggung jawab moral dan kehidupan setelah kematian.
Modalitas adalah studi tentang cara suatu hal bisa ada. Kunci konsep modalitas adalah kemungkinan (*possibility*), keharusan (*necessity*), dan kontingensi (*contingency*).
Sesuatu dikatakan mustahil jika secara logis tidak dapat terjadi (misalnya, lingkaran persegi). Sesuatu dikatakan niscaya atau harus terjadi jika kebalikannya mustahil (e.g., 2+2=4; jika Tuhan eksis). Sesuatu dikatakan kontingen jika ia terjadi, tetapi mungkin saja tidak terjadi (e.g., artikel ini ditulis; mungkin saja saya tidak menulisnya).
Filsafat modalitas sering menggunakan konsep Dunia yang Mungkin (Possible Worlds), di mana dunia yang aktual adalah salah satu dari banyak kemungkinan dunia yang secara logis konsisten. Dunia yang mungkin membantu kita menganalisis apa yang "harus" benar di semua kemungkinan dunia (kebenaran niscaya) versus apa yang hanya benar di dunia kita saat ini (kebenaran kontingen).
Perjalanan metafisika mencerminkan seluruh sejarah pemikiran Barat, dari pemisahan yang jelas antara materi dan ide hingga peleburan kembali dalam teori realitas kontemporer.
Filsuf awal, seperti Thales, Anaximenes, dan Heraclitus, fokus pada pertanyaan kosmos: apa *arkhē* (prinsip dasar) alam semesta? Thales berpendapat itu air, Heraclitus berpendapat itu perubahan abadi (api), sementara Parmenides menyatakan bahwa perubahan adalah ilusi dan bahwa "Ada adalah," karena Ketiadaan tidak dapat dipikirkan. Antagonisme antara Parmenides (keabadian, keesaan) dan Heraclitus (perubahan, pluralitas) menjadi landasan metafisika barat.
Plato memecahkan konflik Pra-Sokratik dengan Teori Bentuk (Ide). Ia berpendapat bahwa realitas terbagi menjadi dua ranah: ranah material yang dapat diamati (yang berubah dan fana), dan ranah Bentuk yang abadi, sempurna, dan immaterial. Bentuk-bentuk inilah (seperti Keadilan, Kebajikan, Lingkaran Sempurna) yang merupakan realitas ontologis yang lebih tinggi dan berfungsi sebagai model bagi objek-objek material. Realitas sejati adalah apa yang tidak berubah.
Aristoteles, murid Plato, menolak pemisahan dunia ganda gurunya. Baginya, Bentuk (esensi) tidak berada di surga, melainkan melekat dalam objek material itu sendiri (immanen). Ia mendefinisikan metafisika sebagai Theologia atau Filsafat Pertama—studi tentang Ada sebagai Ada. Ia memperkenalkan konsep penting tentang Potensi (*dynamis*) dan Aktualitas (*energeia*), yang menjelaskan bagaimana perubahan terjadi tanpa melanggar prinsip non-kontradiksi.
Di Abad Pertengahan, metafisika didominasi oleh upaya sintesis antara filsafat Yunani (Aristoteles) dan wahyu agama (Kristen, Islam, Yahudi). Para filsuf seperti St. Thomas Aquinas menggunakan kerangka metafisik Aristoteles (terutama konsep substansi, esensi, dan kausalitas) untuk membuktikan eksistensi Tuhan (Teologi Kodrati) dan menjelaskan hubungan antara Sang Pencipta dan ciptaan.
Debat penting pada masa ini adalah perdebatan mengenai universalia (realisme vs. nominalisme) dan perumusan kembali pertanyaan eksistensi: apakah Tuhan adalah satu-satunya entitas di mana esensi dan eksistensi adalah identik?
Metafisika modern dimulai dengan Descartes, yang mencari fondasi kepastian mutlak. Ia mendirikan Dualisme Substansi—pemisahan radikal antara *res cogitans* (substansi berpikir/pikiran) dan *res extensa* (substansi berekstensi/materi). Masalah mendasar dualisme Descartes adalah bagaimana kedua substansi yang sepenuhnya berbeda ini dapat berinteraksi (masalah pikiran-tubuh).
Spinoza, menolak dualisme, mengajukan Monisme radikal: hanya ada satu Substansi, yang ia sebut Tuhan atau Alam (Deus Sive Natura). Pikiran dan materi hanyalah atribut dari Substansi tunggal ini. Leibniz mengusulkan Pluralisme ekstrem: realitas tersusun dari entitas spiritual kecil, independen, dan tak berekstensi yang disebut Monad.
Empiris menantang fondasi metafisika rasionalis, berpendapat bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman. George Berkeley membawa empirisme ke Idealistik: ia berpendapat bahwa substansi material tidak ada; *esse est percipi* (ada berarti dipersepsi). Realitas hanya terdiri dari pikiran (mind) dan ide-ide di dalamnya.
Hume kemudian meruntuhkan banyak konsep metafisik, menolak kausalitas, substansi, dan identitas pribadi sebagai ilusi yang didasarkan pada kebiasaan, bukan pada realitas objektif.
Immanuel Kant menyelamatkan metafisika dari skeptisisme Hume. Ia mengajukan sintesis yang dikenal sebagai Idealisme Transendental. Kant membagi realitas menjadi dua ranah:
Bagi Kant, metafisika tradisional (mengenai Tuhan, kebebasan, keabadian) adalah studi tentang Noumena, dan karena itu, mustahil bagi akal murni untuk mencapai kepastian di sana. Kant membatasi pengetahuan untuk memberi ruang bagi iman.
Abad ke-20 dan ke-21 menyaksikan kebangkitan kembali metafisika yang lebih analitis, berfokus pada kejelasan bahasa dan konsep. Debat-debat klasik seperti dualisme vs. monisme dihidupkan kembali dengan alat konseptual baru.
Ini adalah debat paling hidup dalam metafisika kontemporer, berakar pada dualisme Descartes. Masalahnya adalah menjelaskan hubungan antara kesadaran (yang tampaknya non-fisik dan subjektif) dan materi fisik (otak).
Mayoritas filsuf kontemporer menganut materialisme, berpendapat bahwa pikiran adalah produk fisik semata atau identik dengan keadaan fisik otak.
Meskipun materialisme dominan, dualisme terus dipertahankan, terutama dalam bentuk Dualisme Properti. Dualisme Properti berpendapat bahwa hanya ada satu substansi (materi), tetapi substansi tersebut memiliki dua jenis properti yang sangat berbeda: fisik (massa, lokasi) dan mental (kesadaran, *qualia*). Kesadaran adalah properti unik yang tidak dapat direduksi menjadi sifat fisik.
Pertanyaan Keras Kesadaran (Hard Problem of Consciousness, diajukan oleh David Chalmers) menantang materialisme, menanyakan mengapa pemrosesan informasi harus disertai dengan pengalaman subjektif (qualia).
Apakah tindakan kita benar-benar bebas, ataukah tindakan tersebut ditentukan oleh hukum fisika, genetika, dan keadaan masa lalu? Ini adalah masalah metafisika yang memiliki implikasi etika dan hukum yang sangat besar.
Pandangan bahwa semua peristiwa, termasuk tindakan manusia, sepenuhnya ditentukan oleh sebab-sebab masa lalu, dan oleh karena itu, kehendak bebas adalah ilusi. Jika alam semesta berjalan sesuai hukum kausal yang ketat, pilihan kita hanyalah hasil dari interaksi fisik.
Libertarianisme adalah pandangan yang menolak determinisme dan menegaskan bahwa kehendak bebas adalah nyata. Jika kita memiliki kehendak bebas, maka pada saat pilihan dibuat, agen (diri kita) dapat bertindak secara berbeda dari yang ia lakukan, terlepas dari kondisi fisik masa lalu. Ini sering membutuhkan agen kausal yang non-fisik atau non-deterministik.
Kompatibilisme adalah upaya untuk mendamaikan determinisme dan kehendak bebas. Kompatibilis berpendapat bahwa kehendak bebas didefinisikan bukan sebagai kemampuan untuk menolak kausalitas, tetapi sebagai kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keinginan atau alasan internal seseorang, tanpa paksaan eksternal. Seseorang bebas jika ia melakukan apa yang ia inginkan, meskipun keinginan itu sendiri ditentukan.
Metafisika modern telah mengalami spesialisasi yang mendalam, menggunakan alat logika formal untuk menganalisis masalah-masalah lama.
Dipopulerkan oleh filsuf seperti Saul Kripke, semantik dunia yang mungkin telah menjadi alat standar dalam metafisika analitik. Analisis modalitas kini memungkinkan kita untuk membedakan antara sifat-sifat esensial (yang dimiliki entitas di semua dunia yang mungkin di mana ia ada) dan sifat-sifat aksidental (yang hanya dimiliki di dunia aktual).
Kripke berargumen bahwa nama diri (seperti "Aristoteles") adalah 'penanda kaku' (*rigid designators*)—mereka merujuk pada individu yang sama di setiap dunia yang mungkin di mana individu itu ada. Ini memiliki konsekuensi besar untuk identitas dan referensi.
Mereologi adalah studi formal tentang hubungan bagian-keseluruhan. Ini bertanya: Kapan sekumpulan objek membentuk satu objek komposit? Apakah koleksi partikel yang bergerak cepat secara acak membentuk entitas tunggal? Debat ini sangat relevan untuk ontologi sosial (misalnya, apakah klub atau negara ada sebagai entitas komposit yang nyata di luar individu penyusunnya?).
Perdebatan kontemporer yang penting adalah realisme vs. anti-realisme. Realis metafisik berpendapat bahwa realitas memiliki struktur yang pasti dan independen dari pikiran manusia, dan tugas metafisika adalah mengungkap struktur ini.
Anti-realis (atau konstruktivis) berpendapat bahwa struktur realitas yang kita pahami adalah produk dari kerangka konseptual, bahasa, dan praktik sosial kita. Misalnya, Nelson Goodman dan Hilary Putnam berpendapat bahwa mungkin ada banyak "cara yang benar" untuk menggambarkan dunia, dan tidak ada satu pun deskripsi yang paling akurat secara metafisik.
Metafisika, sebagai studi tentang prinsip-prinsip pertama dan hakikat fundamental realitas, tetap menjadi disiplin yang tak tergantikan dalam filsafat. Dari pertanyaan-pertanyaan ontologis kuno mengenai substansi dan aksiiden, hingga perdebatan modern mengenai kesadaran, kehendak bebas, dan semantik dunia yang mungkin, metafisika terus membentuk pemahaman kita tentang apa artinya 'Ada'.
Meskipun sering dituduh spekulatif, metafisika memberikan kerangka yang diperlukan untuk ilmu pengetahuan dan etika. Setiap kali ilmuwan mengajukan pertanyaan tentang sifat ruang-waktu, asal mula alam semesta, atau hakikat pikiran, mereka secara implisit terlibat dalam metafisika. Disiplin ini menantang kita untuk melihat melampaui yang nyata dan yang terukur, mendesak kita untuk menyelami kedalaman eksistensi itu sendiri dan mencari jawaban atas pertanyaan paling mendalam dari kemanusiaan: Mengapa ada sesuatu, dan apa hakikatnya?
Fisika abad ke-20 dan ke-21 telah menciptakan tantangan serius terhadap intuisi metafisik klasik. Teori Relativitas Einstein dan Mekanika Kuantum memaksa kita untuk merevisi pandangan kita tentang waktu, kausalitas, dan lokasi substansi. Relativitas Khusus, misalnya, menyarankan bahwa konsep "sekarang" yang simultan tidak absolut, yang memberikan dukungan kuat bagi pandangan Eternalisme tentang waktu.
Mekanika Kuantum memperkenalkan indeterminisme pada tingkat fundamental, yang kembali memicu perdebatan kehendak bebas: Jika alam semesta pada tingkat mikroskopis tidak sepenuhnya deterministik, apakah ini memberikan ruang metafisik bagi kehendak bebas, atau hanya mengganti keharusan dengan keacakan?
Ontologi Kuantum membahas hakikat objek pada skala subatom. Apakah partikel adalah substansi dalam pengertian klasik, atau apakah mereka hanya potensi yang terwujud melalui pengamatan? Interpretasi Kopenhagen, yang menyatakan bahwa fungsi gelombang runtuh saat pengukuran, menyiratkan bahwa kesadaran pengamat memainkan peran sentral dalam menentukan realitas fisik. Hal ini mendorong bentuk-bentuk Idealistik Metafisik modern yang sangat canggih.
Konsep Multisemesta, meskipun awalnya merupakan hipotesis kosmologis, memiliki implikasi metafisik yang mendalam. Jika ada alam semesta tak terbatas lainnya (seperti yang disarankan oleh interpretasi *Many Worlds* dari mekanika kuantum atau teori inflasi), maka realitas bukan hanya satu dunia, tetapi jaringan tak terbatas dari dunia yang mungkin. Hal ini mengubah ontologi kita dari fokus pada satu dunia aktual menjadi ontologi yang pluralistik dan modal.
Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah semua dunia yang mungkin ini sama-sama nyata? Jika ya, bagaimana ini memengaruhi konsep identitas dan kausalitas kita? Jika ada salinan diri kita yang melakukan setiap pilihan yang mungkin di alam semesta lain, apakah itu menghilangkan arti dari pilihan yang kita buat di dunia ini? Ini menunjukkan bahwa sains dan metafisika tidak pernah benar-benar terpisah, tetapi selalu terlibat dalam dialog mendalam mengenai apa yang benar-benar ada.
Perluasan fokus metafisika juga menyentuh masalah properti dan kualitas. Sifat atau properti adalah ciri-ciri yang dimiliki objek, seperti "merah" atau "keras." Ada debat sengit mengenai ontologi properti. Apakah properti adalah entitas abstrak (seperti universalia dalam pengertian Plato) atau apakah mereka hanyalah fitur dari partikular?
Realitas Trope: Beberapa filsuf mengusulkan teori Trope. Trope adalah partikular abstrak—mereka adalah contoh tunggal dan unik dari suatu kualitas. Misalnya, tidak ada 'kemerahan' universal; hanya ada 'kemerahan spesifik apel ini' (sebagai trope) dan 'kemerahan spesifik tomat itu' (sebagai trope lain). Universalitas muncul dari kemiripan antara trope-trope ini. Teori ini mencoba untuk mengambil jalan tengah antara realisme universal (Plato) dan nominalisme radikal.
Metafisika Relasi: Selain properti, relasi—hubungan antara dua atau lebih entitas (misalnya, 'lebih besar dari,' 'di sebelah')—juga memerlukan ontologi. Apakah relasi hanya merupakan koleksi properti dari entitas individu, atau apakah relasi itu sendiri merupakan entitas ontologis yang independen? Jika relasi adalah nyata, maka struktur dunia lebih dari sekadar kumpulan benda-benda independen yang hanya memiliki sifat internal; dunia adalah jaringan keterhubungan yang fundamental.
Kajian-kajian mendalam ini menunjukkan bahwa metafisika bukan hanya spekulasi kuno, tetapi merupakan alat analisis kritis yang vital untuk menafsirkan temuan ilmiah, memahami kerangka bahasa kita, dan akhirnya, memahami posisi kita dalam keseluruhan skema realitas. Metafisika terus berfungsi sebagai kritik fundamental dan komprehensif terhadap pandangan dunia yang dangkal, menuntut agar kita mendefinisikan apa yang kita maksud ketika kita mengatakan bahwa sesuatu 'ada'.