Dalam lanskap kehidupan sosial dan spiritual umat Islam, peran seorang mubalig memiliki kedudukan yang sangat sentral dan vital. Mereka adalah ujung tombak dakwah, jembatan penghubung antara ajaran agama dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Lebih dari sekadar penceramah, seorang mubalig adalah pendidik, pembimbing, motivator, dan bahkan kadang menjadi figur teladan yang membentuk karakter individu dan arah komunitas. Artikel ini akan mengupas tuntas tentang apa itu mubalig, sejarahnya, tugas dan tanggung jawabnya, kualitas yang harus dimiliki, metode dakwahnya di era modern, tantangan yang dihadapi, serta dampak positif yang mereka berikan bagi kemajuan umat dan bangsa.
Kata "mubalig" berasal dari bahasa Arab, yakni dari akar kata balagha (بلغ) yang berarti "menyampaikan", "mencapai", atau "memberi tahu". Dari kata ini kemudian terbentuklah tabligh (تبليغ) yang berarti "penyampaian" atau "propaganda", dan mubalig (مبلغ) sebagai pelaku atau orang yang melakukan penyampaian tersebut. Dalam konteks Islam, mubalig adalah seseorang yang mengemban tugas untuk menyampaikan, menyiarkan, atau menyebarkan ajaran agama Islam kepada masyarakat luas. Tugas ini tidak hanya sebatas menyampaikan ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis, tetapi juga menjelaskan, menafsirkan, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep mubalig sangat erat kaitannya dengan istilah dakwah, yang secara harfiah berarti "mengajak" atau "memanggil". Dakwah adalah seruan untuk kembali kepada jalan Allah, mengajak manusia untuk beriman, beramal saleh, dan menjauhi kemungkaran. Mubalig adalah individu yang mewujudkan dakwah ini dalam praktik nyata. Mereka adalah pewaris para nabi dalam menyampaikan risalah Allah, meski dengan batasan bahwa kenabian telah berakhir pada Nabi Muhammad ﷺ.
Dalam sejarah Islam, peran ini diemban pertama kali oleh para nabi dan rasul, dimulai dari Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad ﷺ. Setelah wafatnya Nabi Muhammad, tugas dakwah ini menjadi tanggung jawab umat Islam secara keseluruhan, terutama bagi mereka yang memiliki ilmu dan kemampuan untuk menyampaikan. Dari sinilah lahir profesi atau peran khusus sebagai mubalig, yang memiliki spesialisasi dalam ilmu agama dan seni berkomunikasi.
Mubalig tidak hanya hadir di mimbar masjid atau podium ceramah, namun juga dalam berbagai bentuk dan medium. Mereka bisa menjadi guru ngaji di kampung, ustadz/ustadzah di majelis taklim, khatib salat Jumat, dosen di perguruan tinggi agama, penulis buku-buku Islam, influencer di media sosial, hingga aktivis sosial yang bergerak atas nama nilai-nilai Islam. Fleksibilitas peran ini menunjukkan betapa krusialnya fungsi mubalig dalam menjaga dan mengembangkan syiar Islam.
Sejarah mubalig bermula sejak Nabi Muhammad ﷺ menerima wahyu pertama dan diperintahkan untuk berdakwah. Beliau adalah mubalig utama dan teladan tertinggi. Pada fase awal di Mekkah, dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kemudian terang-terangan. Nabi ﷺ menyampaikan ajaran tauhid, akhlak mulia, dan menentang praktik jahiliyah. Metode dakwah beliau sangat beragam, mulai dari pendekatan personal, ceramah di tempat umum, hingga mengirim surat kepada raja-raja dan penguasa di luar jazirah Arab.
Para sahabat Nabi juga berperan sebagai mubalig. Mereka yang telah memeluk Islam dengan ikhlas kemudian membantu Nabi ﷺ menyebarkan ajaran baru ini. Contohnya adalah Mus'ab bin Umair, yang diutus Nabi ﷺ ke Madinah (saat itu bernama Yatsrib) sebelum hijrah untuk mengajarkan Islam kepada penduduknya. Keberhasilan Mus'ab meletakkan dasar bagi hijrah Nabi dan pembentukan masyarakat Madinah yang Islami menunjukkan betapa vitalnya peran seorang duta dakwah.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, tugas dakwah dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) dan para sahabat besar lainnya. Mereka tidak hanya memimpin pemerintahan, tetapi juga secara aktif menyebarkan Islam ke berbagai penjuru dunia melalui ekspedisi militer yang diiringi dengan misi dakwah. Ilmuwan, fuqaha, dan para penghafal Al-Qur'an kemudian turut serta menyebarkan ajaran Islam ke wilayah-wilayah yang ditaklukkan, serta membangun pusat-pusat pembelajaran Islam.
Pada masa dinasti-dinasti Islam seperti Umayyah dan Abbasiyah, peran mubalig semakin terinstitusionalisasi. Lahirlah ulama-ulama besar yang menjadi rujukan dalam ilmu tafsir, hadis, fikih, dan tasawuf. Mereka mengisi majelis-majelis ilmu, menulis kitab-kitab, dan berkeliling menyebarkan ajaran Islam. Perguruan-perguruan tinggi Islam seperti Baitul Hikmah di Baghdad menjadi pusat pengembangan ilmu dan dakwah, melahirkan generasi mubalig yang berilmu luas.
Di Indonesia, sejarah mubalig sangat kaya dan menarik. Islam masuk ke Nusantara melalui jalur perdagangan, namun penyebarannya secara masif banyak dilakukan oleh para mubalig. Tokoh-tokoh seperti Wali Songo di Jawa adalah contoh paling fenomenal. Mereka adalah mubalig sekaligus budayawan, seniman, dan politikus yang mampu mengadaptasi ajaran Islam dengan kearifan lokal. Mereka menggunakan seni pertunjukan (wayang, gamelan), pendidikan (pesantren), dan bahkan sistem pemerintahan untuk memperkenalkan dan mengislamkan masyarakat.
Wali Songo tidak hanya sekadar menyampaikan dogma, tetapi juga menunjukkan keindahan Islam melalui akhlak mulia, toleransi, dan pendekatan yang gradual. Mereka memahami psikologi masyarakat dan menggunakan metode yang hikmah, sehingga Islam dapat diterima dengan damai dan menjadi agama mayoritas di Nusantara.
Seiring berjalannya waktu, peran mubalig terus beradaptasi. Di era kolonial, para mubalig seringkali menjadi pelopor perlawanan spiritual dan intelektual terhadap penjajah, menanamkan semangat kemerdekaan dan menjaga identitas keislaman. Setelah kemerdekaan, peran mereka bergeser menjadi pembangun moral bangsa, pengisi kekosongan spiritual, dan penjaga nilai-nilai agama di tengah perubahan sosial yang cepat.
Di era kontemporer, dengan kemajuan teknologi informasi, peran mubalig semakin meluas. Mereka tidak hanya berdakwah di masjid atau majelis, tetapi juga merambah ke media cetak, radio, televisi, dan kini media sosial serta platform digital lainnya. Perkembangan ini menuntut mubalig untuk tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga memiliki literasi media, kemampuan adaptasi, dan kreativitas dalam menyampaikan pesan.
Tugas seorang mubalig sangatlah kompleks dan multi-dimensi. Mereka mengemban amanah besar untuk meneruskan risalah kenabian. Berikut adalah beberapa tugas dan tanggung jawab utama:
Ini adalah tugas inti seorang mubalig. Mereka harus menyampaikan ajaran Islam secara utuh, benar, dan sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Penyampaian ini meliputi:
Penyampaian harus dilakukan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh audiens yang beragam latar belakang pendidikan dan sosial. Mubalig harus mampu menyederhanakan konsep-konsep kompleks tanpa mengurangi esensinya.
Mubalig tidak hanya berdakwah, tetapi juga mendidik. Mereka adalah guru bagi umat. Pendidikan ini bisa bersifat formal (di sekolah/pesantren) maupun non-formal (di majelis taklim, pengajian). Bimbingan yang diberikan mencakup:
Mubalig juga bertanggung jawab untuk membimbing umat agar tidak mudah terjerumus dalam pemahaman agama yang ekstrem, radikal, atau menyimpang.
Peran mubalig sangat penting dalam membangun dan memperkuat ikatan antar sesama muslim serta antar warga masyarakat secara umum. Ini meliputi:
Mubalig seringkali menjadi motor penggerak kegiatan-kegiatan kemasyarakatan di lingkungannya, dari pembangunan masjid hingga program pemberdayaan ekonomi umat.
Sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ adalah uswatun hasanah (teladan yang baik), seorang mubalig juga diharapkan dapat menjadi teladan bagi masyarakatnya. Apa yang disampaikan harus selaras dengan perbuatannya (qauluhu filuhu). Keteladanan ini mencakup:
Keteladanan adalah metode dakwah yang paling efektif karena ia berbicara lebih keras daripada kata-kata. Tanpa keteladanan, dakwah seorang mubalig akan kehilangan bobot dan kepercayaan dari masyarakat.
Mubalig modern harus peka terhadap perkembangan zaman dan isu-isu yang relevan bagi masyarakat. Mereka diharapkan mampu memberikan pandangan Islam terhadap isu-isu seperti:
Kemampuan untuk merespons isu-isu ini dengan bijak dan relevan akan membuat dakwah lebih hidup dan diterima oleh generasi muda.
Untuk dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab yang begitu berat, seorang mubalig harus memiliki serangkaian kualitas dan karakteristik yang mumpuni. Kualitas ini tidak hanya bersifat intelektual, tetapi juga spiritual dan emosional.
Ini adalah fondasi utama. Seorang mubalig harus menguasai Al-Qur'an (tilawah, tafsir), Hadis (sanad, matan, syarah), fikih (hukum Islam), aqidah (teologi Islam), akhlak/tasawuf, sejarah Islam, dan bahasa Arab. Tanpa ilmu yang kokoh, mubalig berpotensi menyampaikan ajaran yang salah atau menyesatkan.
Ikhlas adalah ruh dari setiap amal ibadah, termasuk dakwah. Seorang mubalig harus berdakwah semata-mata mencari ridha Allah, bukan mencari popularitas, pujian, kekayaan, atau jabatan. Ketulusan akan terpancar dari tutur kata dan perilakunya, sehingga lebih meresap ke hati audiens.
Sebagaimana telah disebutkan, mubalig adalah teladan. Akhlak mulia adalah cermin dari keimanan seseorang. Mereka harus sabar, rendah hati, pemaaf, jujur, amanah, dan santun dalam bertutur kata. Akhlak yang buruk akan merusak esensi dakwah, betapapun dalamnya ilmu yang dimiliki.
Kemampuan menyampaikan pesan secara jelas, menarik, dan mudah dipahami adalah kunci. Ini meliputi:
Allah berfirman dalam Al-Qur'an, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." (QS. An-Nahl: 125). Hikmah berarti kebijaksanaan, kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya, berbicara sesuai kadar akal audiens, dan memilih waktu serta metode yang paling efektif.
Jalan dakwah tidak selalu mudah. Mubalig akan menghadapi berbagai tantangan, mulai dari penolakan, kritikan, fitnah, hingga hambatan fisik. Oleh karena itu, kesabaran dan ketabahan adalah kualitas yang mutlak harus dimiliki. Seperti Nabi Nuh AS yang berdakwah ratusan tahun tanpa kenal lelah.
Dunia terus berubah, dan mubalig harus mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar agama. Kreativitas dalam metode dan media dakwah akan membuat pesan tetap relevan dan menarik, terutama bagi generasi muda.
Dalam konteks modern, banyak mubalig yang juga terlibat dalam pengelolaan institusi dakwah, pendidikan, atau sosial. Oleh karena itu, keterampilan manajemen waktu, pengelolaan sumber daya, dan kemampuan berorganisasi juga sangat membantu dalam memaksimalkan dampak dakwah.
Seiring perkembangan zaman, metode dan media dakwah pun terus berevolusi. Seorang mubalig yang efektif harus mampu memanfaatkan berbagai platform untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan beragam.
Ini adalah metode dakwah tradisional yang paling umum dan langsung. Meliputi:
Efektivitas dakwah bil lisan sangat bergantung pada kemampuan retorika, kedalaman ilmu, dan ketulusan mubalig.
Sejak dahulu, tulisan menjadi medium penting untuk dakwah. Ini termasuk:
Dakwah bil qalam memiliki jangkauan yang luas dan dapat diakses kapan saja, memberikan kesempatan bagi audiens untuk merenung dan mempelajari lebih dalam.
Ini adalah metode dakwah yang paling kuat dan persuasif, karena ia menunjukkan kebenaran ajaran Islam melalui perilaku nyata. Contohnya:
Dakwah bil hal tidak memerlukan banyak kata, karena perilaku yang baik akan berbicara dengan sendirinya dan lebih mudah diterima.
Era digital telah membuka gerbang baru bagi dakwah. Mubalig modern harus mahir memanfaatkan teknologi:
Dakwah melalui teknologi memungkinkan mubalig menjangkau audiens global, termasuk generasi muda yang akrab dengan dunia digital. Namun, perlu kehati-hatian dalam menyaring informasi dan menyampaikan pesan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Seni dan budaya dapat menjadi medium yang sangat efektif untuk dakwah, terutama di masyarakat yang kaya akan tradisi. Contohnya:
Pendekatan seni memungkinkan dakwah meresap ke dalam hati dengan cara yang lembut dan menyenangkan, seperti yang dilakukan Wali Songo di Nusantara.
Perjalanan seorang mubalig tidaklah mudah. Di setiap era, mereka menghadapi tantangan yang berbeda. Di era modern ini, tantangan tersebut semakin kompleks dan membutuhkan strategi yang matang.
Meningkatnya pandangan hidup sekuler (memisahkan agama dari kehidupan publik) dan materialistis (menitikberatkan pada kekayaan dan kenikmatan duniawi) menjadi tantangan besar. Masyarakat cenderung mengabaikan nilai-nilai spiritual dan moral, membuat dakwah tentang akhirat dan kehidupan yang bermakna menjadi lebih sulit diterima.
Era digital juga memfasilitasi penyebaran informasi agama yang tidak valid, hoaks, atau bahkan fitnah. Mubalig dituntut untuk tidak hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga membimbing umat untuk memilah informasi, kritis terhadap berita, dan tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang tidak bertanggung jawab.
Munculnya kelompok-kelompok ekstremis yang mengatasnamakan agama telah mencoreng citra Islam dan dakwah. Mubalig memiliki tanggung jawab besar untuk melawan narasi ekstremisme dengan mengajarkan Islam yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam), moderat, toleran, dan damai.
Di beberapa kalangan, terutama generasi muda, ada kecenderungan apatis terhadap ceramah agama yang monoton atau tidak relevan. Kejenuhan terhadap format dakwah tradisional menuntut mubalig untuk lebih kreatif dan inovatif dalam penyampaiannya.
Di platform digital, konten dakwah bersaing ketat dengan konten hiburan yang jauh lebih masif dan mudah diakses. Mubalig harus mampu menciptakan konten dakwah yang menarik, relevan, dan berkualitas agar dapat bersaing dan menarik perhatian audiens.
Perbedaan pandangan dan mazhab dalam Islam seringkali menjadi pemicu perpecahan. Mubalig harus mampu menjadi perekat umat, mengedepankan toleransi antar kelompok, dan fokus pada persamaan daripada perbedaan, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar.
Tidak semua mubalig memiliki akses yang sama terhadap sumber daya, baik finansial, teknologi, maupun dukungan institusional. Hal ini bisa menjadi hambatan dalam mengembangkan potensi dakwah mereka.
Mubalig juga dihadapkan pada tantangan untuk menjaga integritas dan profesionalisme. Kasus-kasus oknum mubalig yang melakukan penyimpangan moral atau penyalahgunaan amanah dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap seluruh mubalig dan institusi dakwah.
Terlepas dari berbagai tantangan, peran mubalig tetap sangat vital dan memberikan dampak positif yang tak terhingga bagi individu maupun masyarakat secara luas.
Mubalig membantu individu memahami makna hidup, tujuan penciptaan, dan jalan menuju kebahagiaan sejati. Mereka membimbing umat untuk mendekatkan diri kepada Allah, memperbaiki ibadah, dan menghiasi diri dengan akhlak mulia. Dampaknya, masyarakat menjadi lebih religius, berintegritas, dan memiliki kompas moral yang kuat.
Melalui pengajian, ceramah, dan tulisan, mubalig menyebarkan ilmu agama kepada masyarakat. Ini meningkatkan literasi keislaman umat, membuat mereka lebih paham tentang ajaran agamanya, dan mampu membedakan mana yang benar dan mana yang keliru.
Mubalig seringkali menjadi motor penggerak kegiatan-kegiatan sosial yang memperkuat ikatan persaudaraan (ukhuwah Islamiyah) dan persatuan di masyarakat. Mereka mendorong umat untuk saling peduli, berbagi, dan tolong-menolong, sehingga menciptakan lingkungan sosial yang lebih harmonis dan inklusif.
Melalui dakwah yang menyasar anak-anak dan remaja, mubalig berperan penting dalam membentuk karakter generasi penerus bangsa. Mereka menanamkan nilai-nilai keislaman sejak dini, membentengi dari pengaruh negatif, dan menginspirasi untuk menjadi pribadi yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.
Di Indonesia, banyak mubalig yang aktif dalam menjaga dan mempromosikan nilai-nilai kebangsaan, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika. Mereka mengajarkan Islam yang moderat, toleran, dan menghargai keberagaman, sehingga turut serta dalam menjaga keutuhan NKRI dan kerukunan antarumat beragama.
Kisah-kisah inspiratif dari Al-Qur'an, Hadis, dan sejarah Islam yang disampaikan mubalig seringkali menjadi sumber motivasi bagi umat untuk menghadapi tantangan hidup, bangkit dari keterpurukan, dan meraih kesuksesan dunia akhirat.
Mubalig yang bijak seringkali berperan sebagai mediator dalam konflik sosial atau keluarga. Dengan pendekatan agama, mereka dapat membantu menyelesaikan perselisihan dan membangun kembali perdamaian serta keharmonisan di tengah masyarakat.
Mengingat kompleksitas tugas dan tanggung jawabnya, pelatihan dan pengembangan kapasitas mubalig menjadi sangat penting. Institusi pendidikan Islam dan organisasi kemasyarakatan memiliki peran besar dalam hal ini.
Banyak mubalig yang menempuh pendidikan formal di pesantren, madrasah, atau perguruan tinggi agama Islam. Kurikulum di lembaga-lembaga ini mencakup berbagai disiplin ilmu agama seperti tafsir, hadis, fikih, ushul fikih, bahasa Arab, tarikh Islam, dan juga ilmu-ilmu sosial serta metodologi dakwah.
Lembaga pendidikan formal ini menyediakan fondasi ilmu yang kokoh bagi calon mubalig, memastikan mereka memiliki pemahaman agama yang mendalam dan komprehensif. Mereka juga diajarkan tentang etika berdakwah, manajemen konflik, dan kepemimpinan.
Selain jalur formal, banyak juga mubalig yang mengembangkan ilmunya melalui jalur non-formal, seperti:
Pendidikan non-formal ini sangat penting untuk mengasah keterampilan praktis dan menjaga relevansi dakwah dengan perkembangan zaman.
Mubalig di era modern juga perlu mengembangkan kompetensi di luar ilmu agama, seperti:
Pengembangan diri yang berkelanjutan adalah kunci bagi seorang mubalig agar tetap relevan dan efektif dalam menyampaikan pesan-pesan agama.
Masa depan dakwah akan sangat bergantung pada kemampuan mubalig untuk beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan esensi ajaran Islam. Beberapa tren dan tantangan yang mungkin akan dihadapi di masa depan meliputi:
Dengan adanya data dan analitik, dakwah mungkin akan semakin personal, disesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan latar belakang individu. Mubalig perlu memahami cara memanfaatkan teknologi untuk mendekati setiap orang dengan pesan yang paling relevan bagi mereka.
Model dakwah satu arah akan semakin berkurang. Audiens menginginkan interaksi, dialog, dan partisipasi. Mubalig harus mampu menciptakan ruang diskusi yang aman, mendorong pertanyaan, dan memfasilitasi pertukaran ide.
Dakwah tidak bisa lagi berjalan sendiri. Mubalig perlu berkolaborasi dengan ahli di bidang lain seperti psikolog, sosiolog, ekonom, seniman, dan teknolog untuk menciptakan solusi yang komprehensif terhadap masalah umat.
Masyarakat semakin menuntut bukti nyata dari ajaran agama. Mubalig perlu lebih banyak terlibat dalam aksi-aksi kemanusiaan, sosial, dan lingkungan yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang membawa solusi dan kebaikan bagi semesta.
Di tengah banjir informasi, konten dakwah yang berkualitas tinggi, baik dari segi materi, penyajian, maupun kemasan, akan menjadi pembeda. Mubalig harus berinvestasi dalam peningkatan kualitas produksi konten, baik tulisan, audio, maupun video.
Mubalig tidak bisa lagi hanya fokus pada isu lokal. Mereka perlu memiliki pemahaman tentang isu-isu global seperti perubahan iklim, krisis kemanusiaan, ketidakadilan ekonomi global, dan konflik antarperadaban, serta mampu memberikan pandangan Islam yang konstruktif.
Dengan tantangan dan peluang yang terus berkembang, peran mubalig akan tetap esensial. Mereka adalah lentera yang menerangi jalan bagi umat, penjaga nilai-nilai, dan agen perubahan yang menginspirasi kebaikan. Oleh karena itu, dukungan dari masyarakat, pemerintah, dan institusi pendidikan sangat dibutuhkan untuk melahirkan dan membimbing para mubalig yang kompeten, berakhlak mulia, dan berwawasan luas.
Peran seorang mubalig dalam masyarakat Islam adalah inti dari keberlangsungan dakwah dan pengembangan umat. Dari etimologinya yang berarti penyampai, hingga tugas-tugas multidimensionalnya sebagai pendidik, pembimbing, motivator, dan teladan, mubalig mengemban amanah kenabian untuk menyebarkan risalah Ilahi.
Sejarah menunjukkan evolusi peran mubalig yang dinamis, dari masa Nabi Muhammad ﷺ, era Khulafaur Rasyidin, hingga para penyebar Islam di Nusantara seperti Wali Songo. Setiap zaman menuntut adaptasi metode dan pendekatan, namun esensi dakwah tetap sama: menyeru kepada kebaikan dengan hikmah.
Di tengah gelombang modernisasi dan era digital, mubalig menghadapi tantangan yang kompleks, mulai dari sekularisme, hoaks, ekstremisme, hingga persaingan konten hiburan. Namun, dengan kualitas ideal seperti ilmu yang mendalam, ketulusan, akhlak mulia, kemampuan berkomunikasi, kebijaksanaan, dan adaptabilitas, mereka mampu memberikan dampak positif yang signifikan. Dari pencerahan spiritual hingga penguatan solidaritas sosial, peran mereka tak tergantikan.
Pelatihan dan pengembangan berkelanjutan, baik melalui jalur formal maupun non-formal, serta penguasaan kompetensi multidisipliner, akan menjadi kunci keberhasilan mubalig di masa depan. Kolaborasi, personalisasi dakwah, dan penekanan pada aksi nyata akan membentuk wajah dakwah di tahun-tahun mendatang. Mubalig adalah pilar penting bagi kemajuan peradaban Islam, dan keberadaan mereka adalah jaminan bahwa obor hidayah akan terus menyala menerangi jalan umat menuju kebaikan dunia dan akhirat.
Semoga Allah senantiasa membimbing dan menguatkan para mubalig dalam menjalankan tugas mulianya, serta menjadikan kita semua bagian dari mereka yang senantiasa menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.