Adzan Maghrib bukanlah sekadar penanda waktu bahwa matahari telah tenggelam di ufuk barat. Ia adalah sebuah seruan agung, titik balik kosmik dan spiritual yang memiliki keutamaan luar biasa dalam kehidupan seorang Muslim. Momen ini menandai berakhirnya satu siklus hari, dimulainya kewajiban suci (Shalat Maghrib), dan bagi mereka yang berpuasa, sebuah perayaan kecil atas tuntasnya perjuangan menahan diri. Kehadiran Maghrib membawa serta energi ketenangan (sakinah) dan janji pengabulan doa (mustajab) yang tidak terdapat pada waktu-waktu lain.
Secara etimologis, Maghrib berarti ‘tempat terbenamnya sesuatu’ atau ‘barat’. Dalam konteks syariat Islam, ia merujuk pada waktu tepat setelah hilangnya seluruh piringan matahari dari pandangan, hingga hilangnya mega merah di langit. Durasi Maghrib tergolong waktu shalat yang paling singkat, menuntut kewaspadaan dan persiapan yang matang dari setiap individu.
Dalam pandangan spiritual, waktu Maghrib sering digambarkan sebagai zona transisi, sebuah gerbang antara siang yang terang benderang dengan malam yang penuh misteri. Transisi ini bukan hanya sekadar pergantian cahaya, tetapi juga pergantian suasana alam dan energi. Ada hadits yang mengisyaratkan agar umat Islam berhati-hati dan menjaga anak-anak mereka pada saat-saat awal Maghrib, karena ini adalah waktu di mana makhluk-makhluk tak kasat mata mulai menyebar. Peringatan ini sejatinya adalah dorongan untuk segera berlindung dalam ibadah, memperkuat benteng spiritual (hishn) melalui dzikir dan Shalat. Kepatuhan untuk segera melaksanakan shalat di awal waktu adalah bentuk perlindungan spiritual yang paling efektif.
Periode ini juga mengajarkan pentingnya manajemen waktu dan kesigapan (istijabah). Karena singkatnya durasi Maghrib, penundaan sekecil apa pun dapat berakibat fatal, berisiko menyebabkan shalat terlewat dari waktunya. Oleh karena itu, Maghrib menjadi ujian harian terhadap disiplin diri dan prioritas seorang hamba. Keseriusan dalam menyambut Maghrib mencerminkan keseriusan seseorang dalam menyambut pertemuan dengan Penciptanya.
Ketika suara muadzin membahana, menyerukan "Allahu Akbar, Allahu Akbar", itu adalah seruan langsung yang menembus batas-batas kesibukan dunia. Islam mengajarkan etika yang sangat spesifik ketika mendengar Adzan, yaitu mengulanginya kalimat demi kalimat, kecuali pada kalimat "Hayya 'alash-shalah" dan "Hayya 'alal-falah", yang dijawab dengan "Laa haula walaa quwwata illaa billaah" (Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).
Menjawab Adzan Maghrib dengan penuh kesadaran menandakan kesiapan mental untuk meninggalkan aktivitas duniawi yang sedang dilakukan. Respon ini bukan sekadar rutinitas lisan, melainkan pengakuan batin akan kekuasaan Ilahi yang lebih besar dari segala urusan manusia. Pengulangan kalimat tauhid dan pengakuan bahwa Allah Maha Besar saat Adzan Maghrib adalah cara untuk menenteramkan hati yang mungkin lelah setelah seharian bekerja atau berpuasa.
Salah satu keutamaan terbesar saat Adzan Maghrib dikumandangkan, terutama bagi yang berpuasa, adalah jaminan bahwa doa pada saat itu berada pada puncak kemustajaban. Hadits-hadits Nabi Muhammad ﷺ secara eksplisit menyebutkan beberapa waktu spesifik dalam sehari di mana tirai antara hamba dan Rabbnya terangkat, dan Maghrib adalah salah satunya.
Dalam konteks bulan Ramadhan, atau puasa sunnah lainnya, momen Adzan Maghrib beriringan dengan waktu berbuka (Iftar). Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa ketika berbuka ada doa yang tidak akan ditolak.” (HR. Ibnu Majah).
Keistimewaan doa ini muncul karena beberapa faktor:
Para ulama menyarankan agar doa pada saat Maghrib dan Iftar tidak hanya berfokus pada kebutuhan materi duniawi, tetapi didominasi oleh permohonan ampunan, ketetapan hati dalam beragama, dan keselamatan di akhirat. Menggabungkan doa dengan dzikir, istighfar, dan pujian kepada Allah sebelum menyantap hidangan berbuka memaksimalkan potensi pengabulan tersebut.
Setelah menjawab seluruh lafadz Adzan, disunnahkan untuk membaca doa khusus yang dikenal sebagai doa wasilah (perantara). Doa ini memohon kepada Allah agar memberikan kepada Nabi Muhammad ﷺ kedudukan yang mulia (al-wasilah) dan kemuliaan (al-fadhilah). Membaca doa ini saat Maghrib memiliki nilai ibadah yang besar, dan Rasulullah ﷺ menjanjikan syafaatnya bagi yang membacanya dengan tulus.
Doa setelah Adzan merupakan pengakuan atas peran sentral kenabian dan cara kita untuk mempererat ikatan spiritual dengan Rasulullah ﷺ. Pada momen kritis Adzan Maghrib, pengakuan ini berfungsi sebagai penyucian niat sebelum memasuki Shalat, memastikan bahwa ibadah yang akan dilakukan berpijak pada fondasi sunnah yang kokoh.
Kemustajaban doa saat Maghrib tidak hanya bergantung pada waktu, tetapi juga pada kualitas kehadiran hati (khusyu'). Jika hati dipenuhi dengan kegelisahan duniawi, peluang pengabulan akan berkurang. Maghrib adalah kesempatan untuk melakukan "reset" emosional dan spiritual, mengarahkan fokus sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan segala kekhawatiran yang menumpuk sepanjang hari.
Waktu Maghrib adalah waktu shalat fardhu ketiga dalam sehari. Fiqih (hukum Islam) sangat rinci mengatur segala aspek yang berkaitan dengan shalat ini, mulai dari ketepatan waktu hingga tata cara pelaksanaannya. Memahami fiqih Maghrib adalah prasyarat untuk memastikan ibadah kita diterima.
Waktu Maghrib dimulai segera setelah matahari terbenam sempurna. Dalam terminologi fiqih, ini adalah hilangnya piringan matahari secara total. Berakhirnya waktu Maghrib menjadi subjek perbedaan pendapat di antara ulama, namun pandangan yang kuat dan umum di banyak mazhab adalah hingga hilangnya syafaq (mega merah) di langit barat. Di banyak kalender, durasi ini berkisar antara 60 hingga 90 menit.
Karena durasinya yang sempit, ulama sangat menganjurkan untuk melaksanakan Shalat Maghrib secara ta'jil (di awal waktu). Keutamaan shalat di awal waktu Maghrib lebih ditekankan daripada shalat lain. Penundaan Shalat Maghrib tanpa alasan syar’i yang kuat dianggap mengurangi keutamaan, bahkan berisiko mengeluarkannya dari waktu yang sah jika ditunda terlalu lama hingga masuk waktu Isya.
Konsep fiqih darurat (darurat) dan ikhtiyar (pilihan) juga berlaku. Waktu *ikhtiyar* (waktu terbaik) untuk Maghrib adalah segera setelah Adzan. Waktu *dharuri* (darurat) adalah sebelum hilangnya syafaq. Seorang Muslim yang serius dituntut untuk selalu mengamalkan ibadah di waktu *ikhtiyar*.
Momen Adzan Maghrib harus menjadi sinyal untuk mempercepat proses penyucian diri. Thaharah (bersuci) adalah kunci pembuka shalat. Dalam keadaan berpuasa, seringkali tubuh terasa lemas atau kurang segar. Berwudhu pada saat Maghrib memberikan kesegaran fisik dan spiritual. Air wudhu yang membasahi anggota tubuh pada sore hari seolah membersihkan sisa-sisa debu duniawi yang melekat sepanjang hari.
Selain thaharah fisik, persiapan niat (niyyah) juga krusial. Niat harus ditanamkan secara mendalam saat Adzan berkumandang. Niat shalat Maghrib adalah niat untuk melaksanakan shalat fardhu tiga rakaat karena Allah Ta'ala. Kesadaran penuh saat berniat membantu menciptakan khusyu' yang menjadi inti penerimaan shalat. Tanpa niat yang benar, shalat hanyalah gerakan fisik belaka, kehilangan ruh dan substansinya.
Urutan ideal seorang Muslim saat Adzan Maghrib tiba adalah sebagai berikut:
Kepatuhan terhadap urutan ini menunjukkan penghormatan tertinggi terhadap waktu Maghrib. Prioritas utama adalah hak Allah (shalat), diikuti hak tubuh (berbuka), yang keduanya harus diselesaikan dalam waktu yang singkat sebelum syakaf menghilang.
Momen Adzan Maghrib juga memiliki dampak signifikan pada kesehatan mental dan interaksi sosial umat Islam. Ia berfungsi sebagai penyeimbang, memutus rantai stres harian, dan memperkuat ikatan komunal.
Seharian penuh, seseorang mungkin disibukkan oleh pekerjaan, tuntutan, dan konflik. Adzan Maghrib adalah 'tombol reset' spiritual. Ketika suara takbir pertama Adzan terdengar, ada semacam panggilan tak sadar untuk melepaskan beban duniawi. Proses ini dalam Islam disebut Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa).
Melakukan Shalat Maghrib, yang relatif cepat, memberikan jeda meditasi aktif. Setiap gerakan, dari takbiratul ihram hingga salam, adalah upaya sadar untuk fokus pada dialog dengan Tuhan. Ketenangan yang didapat dari shalat di akhir hari adalah mekanisme pertahanan psikologis terhadap kecemasan dan kelelahan. Seorang Muslim yang konsisten menjaga Maghribnya cenderung memiliki stabilitas emosi yang lebih baik, karena ia secara teratur menanggalkan stres harian dan menyerahkannya kepada Sang Pencipta.
Di banyak komunitas Muslim, Maghrib menjadi waktu shalat yang paling sering mempertemukan keluarga dan jamaah. Pada waktu Subuh dan Isya, beberapa orang mungkin terlambat. Pada waktu Dzuhur dan Ashar, banyak yang masih terikat di tempat kerja. Namun, Maghrib seringkali menyatukan orang-orang di rumah atau masjid.
Kecepatan Shalat Maghrib (tiga rakaat) memungkinkan orang untuk berkumpul, beribadah bersama, dan kemudian langsung berinteraksi sosial—baik itu makan malam bersama atau pertemuan ringan. Momen kebersamaan ini, yang dibangun di atas dasar ibadah bersama, menguatkan tali persaudaraan (ukhuwah). Ketika Adzan berkumandang, kesamaan tujuan untuk tunduk kepada Allah menciptakan rasa persatuan yang kuat, melampaui perbedaan status sosial atau ekonomi.
Tidak ada waktu Maghrib yang lebih dirayakan selain di bulan Ramadhan. Adzan Maghrib di Ramadhan adalah puncak dari penantian dan perjuangan. Ini adalah suara kemenangan. Suasana di masjid-masjid dan rumah-rumah dipenuhi antisipasi dan kegembiraan. Tradisi berbuka bersama (ta’jil) di masjid-masjid menjadi manifestasi sosial yang nyata dari keberkahan Maghrib.
Momen iftar, yang didahului oleh Adzan, mengajarkan disiplin kolektif. Semua orang, kaya dan miskin, berbuka pada waktu yang sama. Hal ini menumbuhkan empati dan kesadaran sosial. Keberkahan Maghrib di Ramadhan adalah amplifikasi dari keberkahan Maghrib pada hari-hari biasa, menuntut peningkatan ibadah, doa, dan sedekah pada waktu yang sakral tersebut.
Untuk memaksimalkan manfaat spiritual dari saat Adzan Maghrib, seorang Muslim harus memahami dan mengamalkan sunnah-sunnah dan adab (etika) yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Persiapan terbaik untuk Maghrib adalah menyelesaikan urusan duniawi yang mendesak sebelum matahari terbenam. Salah satu sunnah yang sering diabaikan adalah menyegerakan wudhu dan duduk menunggu Adzan (Ihtibas). Duduk di tempat shalat sambil menunggu Adzan dan shalat dicatat sebagai ibadah shalat itu sendiri, selama seseorang menjaga niatnya.
Disarankan juga untuk memperbanyak dzikir dan istighfar (memohon ampunan) pada waktu Ashar menjelang Maghrib. Periode ini adalah waktu ditampakkannya amalan harian, dan mengakhirinya dengan dzikir adalah penutup yang indah. Mengurangi interaksi yang tidak perlu dan mulai memfokuskan pikiran adalah persiapan hati yang tak ternilai.
Ketika muadzin mengucapkan: “Asyhadu an laa ilaa ha illallah,” kita menjawab dengan lafadz yang sama. Namun, dianjurkan menambahkan: "Wa ana asyhadu an laa ilaaha illallahu wahdahu laa syarikalah, wa anna Muhammadan abduhu wa rasuluh, radhitu billahi rabba, wa bi Muhammadin rasula, wa bil islami diina." (Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Aku ridha Allah sebagai Rabbku, Muhammad sebagai Rasulku, dan Islam sebagai agamaku).
Para ulama menjelaskan, penambahan ini pada saat Adzan Maghrib (atau Adzan lainnya) memastikan bahwa kesaksian iman kita diperbarui tepat di ambang ibadah, memperkuat fondasi keimanan sebelum berdiri menghadap kiblat. Ini adalah pengakuan komprehensif atas seluruh pilar utama akidah Islam.
Meskipun waktu shalat Maghrib itu singkat, waktu setelah shalat Maghrib (ba’diyah) sebelum Isya adalah periode yang kaya akan pahala. Ada banyak dzikir spesifik yang dianjurkan setelah Maghrib, seperti membaca Surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas sebanyak tiga kali (dikenal sebagai Al-Mu’awwidzat), serta membaca dzikir pagi dan petang yang sebagian besar waktu membacanya membentang antara Ashar dan Maghrib, atau Maghrib dan Isya.
Dzikir setelah Maghrib berfungsi sebagai penutup hari spiritual dan pembuka malam yang diberkahi. Dzikir ini menciptakan benteng pertahanan dari godaan dan gangguan malam hari. Konsistensi dalam dzikir ini adalah kunci untuk menjaga kesinambungan ibadah, memastikan bahwa transisi dari hari ke malam dilakukan di bawah naungan perlindungan Ilahi.
Bagi mereka yang menempuh jalan tasawuf atau menekankan aspek kontemplatif, Adzan Maghrib adalah saat yang paling mendalam untuk merenung dan melakukan introspeksi (muhasabah).
Saat matahari terbenam, ia seolah membawa pergi semua amalan yang telah kita lakukan pada hari itu. Ini adalah waktu ideal untuk melakukan muhasabah: meninjau amal perbuatan kita dari Subuh hingga Maghrib. Apakah kita telah menjalankan amanah dengan baik? Apakah kita telah menzalimi orang lain? Apakah kita lalai dalam dzikir?
Rasa penyesalan yang tulus atas dosa-dosa kecil yang mungkin dilakukan di siang hari sangat dianjurkan saat Maghrib. Penyesalan ini harus diikuti dengan istighfar (memohon ampun) dan azam (tekad kuat) untuk berbuat lebih baik di malam hari. Momen Maghrib adalah kesempatan untuk 'menutup buku' hari itu dengan catatan yang bersih melalui taubat.
Peristiwa terbenamnya matahari merupakan simbol universal dari berakhirnya sesuatu. Bagi ahli tafakkur, terbenamnya matahari mengingatkan pada terbenamnya kehidupan (kematian). Malam yang gelap melambangkan alam kubur atau kegelapan akhirat jika seseorang tidak memiliki cahaya iman.
Kontemplasi ini mendorong peningkatan kualitas Shalat Maghrib. Shalat Maghrib harus dilaksanakan seolah itu adalah shalat perpisahan (Shalatul Muwaddi'). Menghadirkan kesadaran bahwa shalat ini mungkin adalah yang terakhir yang dapat kita lakukan akan meningkatkan khusyu' secara drastis, menjadikannya ibadah yang paling berbobot dalam timbangan amal.
Maghrib adalah pertempuran simbolis antara cahaya (Nur) siang hari dan kegelapan (Zhulmah) malam hari. Dalam ajaran spiritual, tugas hamba adalah memastikan bahwa cahaya keimanan (Nur Ilahi) tetap bersinar di dalam hati, bahkan ketika kegelapan fisik meliputi. Adzan Maghrib adalah injeksi Nur, karena seruan tauhidnya menembus kegelapan dan mengaktifkan benteng spiritual. Menjawab Adzan dan segera melaksanakan shalat adalah cara untuk memastikan kita berada di sisi cahaya saat malam tiba.
Adzan Maghrib juga memainkan peran unik dalam menyatukan umat Islam di seluruh dunia, meskipun mereka berada di zona waktu yang berbeda. Ia menciptakan sebuah ritme spiritual global yang menakjubkan.
Seiring berputarnya bumi, matahari terus tenggelam di berbagai meridian. Akibatnya, pada setiap detik, Adzan Maghrib selalu dikumandangkan di suatu tempat di dunia. Begitu Adzan selesai di Jakarta, ia mulai berkumandang di Malaysia, kemudian India, Timur Tengah, Eropa, Afrika, hingga Amerika.
Fenomena ini melambangkan persatuan umat yang tak terputus (ummah wahidah). Ketika seorang Muslim mendengar Adzan Maghrib, ia tahu bahwa jutaan saudaranya, dari Barat hingga Timur, sedang melakukan hal yang sama: menjawab panggilan itu dan bersiap untuk rukuk dan sujud. Kesadaran akan persatuan ini menguatkan identitas Muslim dan menghilangkan rasa terisolasi.
Lima kali shalat sehari, dengan Maghrib sebagai salah satu pilar, adalah praktik ibadah yang paling seragam di dunia. Ketika Adzan Maghrib berkumandang, ini bukan hanya seruan untuk individu, tetapi juga seruan untuk komunitas. Praktik berjamaah, yang sangat ditekankan pada Maghrib, mengajarkan kesetaraan total. Semua orang berdiri dalam saf yang sama, mengikuti satu imam, tanpa memandang ras atau kekayaan.
Keseragaman ini diwujudkan dalam detail yang halus: waktu Maghrib harus didahulukan dari makan, kecuali jika puasa. Ini menunjukkan bahwa meskipun kebutuhan perut mendesak, hak Allah harus selalu didahulukan. Disiplin ini menciptakan komunitas yang teratur dan berorientasi pada nilai-nilai spiritual, bahkan di tengah tekanan modernitas.
Banyak ulama menekankan bahwa periode antara Maghrib dan Isya adalah periode yang sangat sensitif dan berharga. Bagaimana seorang Muslim mengisi waktu ini sangat menentukan keberkahan malamnya.
Secara historis, di banyak pusat pembelajaran Islam, waktu antara Maghrib dan Isya adalah waktu utama untuk majelis ilmu (halaqah). Karena sebagian besar masyarakat telah selesai bekerja dan belum terlalu larut malam, ini adalah waktu yang efektif untuk belajar Al-Qur'an, Hadits, atau Fiqih.
Praktik ini didasarkan pada keinginan untuk menjaga hati tetap terhubung dengan ibadah setelah shalat fardhu dan sebelum tidur. Menghabiskan waktu ini dengan mencari ilmu adalah salah satu cara terbaik untuk menjauhkan diri dari kesia-siaan, memastikan bahwa setiap menit transisi hari diisi dengan sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan akhirat.
Meskipun tidak semua ulama sepakat tentang nama spesifiknya, banyak yang menganjurkan shalat sunnah enam rakaat antara Maghrib dan Isya, yang dikenal sebagai Shalat Awwabin (shalatnya orang-orang yang bertaubat). Shalat ini dilakukan setelah shalat Sunnah Rawatib Maghrib (dua rakaat).
Keutamaan shalat Awwabin sangat besar, bahkan ada riwayat yang menyebutkan pahala yang setara dengan ibadah selama dua belas tahun. Ini menunjukkan bahwa periode Maghrib hingga Isya adalah ladang pahala yang subur. Shalat sunnah ini, jika dilakukan dengan tekun, memastikan bahwa setiap hembusan nafas setelah Maghrib digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengisi kekosongan waktu dengan dzikir dan kerendahan hati.
Adzan Maghrib, bersama dengan Adzan Isya yang mengikutinya, membentuk blok ibadah malam yang penting. Konsep istiqamah (konsistensi) sangat ditekankan di sini. Jika seseorang telah memulai harinya dengan baik (Shalat Subuh), ia harus berusaha keras mengakhirinya dengan baik (Shalat Maghrib dan Isya). Maghrib adalah penentu keberhasilan spiritual harian. Seseorang yang berhasil melewati Maghrib dengan khusyu' dan disiplin memiliki peluang besar untuk mendapatkan ketenangan dan keberkahan di sepanjang malam hingga fajar kembali menyingsing.
Al-Qur'an memberikan perhatian khusus pada waktu-waktu transisi, termasuk petang. Memahami ayat-ayat ini menambah kedalaman penghayatan kita saat Adzan Maghrib berkumandang.
Beberapa ayat Al-Qur'an secara eksplisit memerintahkan kita untuk bertasbih (mensucikan Allah) pada waktu Maghrib. Contohnya dalam Surat Ar-Rum ayat 17:
"Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di sore hari dan waktu kamu berada di waktu subuh." (QS. Ar-Rum: 17)
Kata "sore hari" di sini seringkali merujuk pada waktu Ashar hingga Maghrib. Perintah untuk bertasbih pada waktu Maghrib menyoroti bahwa ini adalah waktu yang dituntut untuk meninggalkan kesibukan dunia dan fokus pada keagungan Allah. Tasbih pada saat Maghrib adalah pembersihan spiritual dari kekotoran yang mungkin menempel selama hari yang sibuk.
Meskipun Surat Al-'Asr secara literal berarti "Demi Waktu Sore/Ashar", ia juga mencakup makna waktu secara keseluruhan, termasuk transisi menuju malam. Sumpah Allah demi waktu menunjukkan betapa berharganya setiap detik yang berlalu, dan waktu Maghrib adalah penutup bagi sumpah tersebut.
Demikian pula, fenomena matahari terbenam disinggung dalam konteks kebesaran Ilahi. Tafakkur atas keajaiban astronomi Maghrib – pergerakan orbit yang sempurna yang mengatur waktu shalat kita – harus mengarah pada peningkatan ketakwaan (taqwa) dan rasa kagum (haybah) kepada Allah.
Lafadz "Allahu Akbar" yang diserukan Maghrib adalah pengumuman kemenangan iman atas kelelahan hari. Seruan "Hayya 'alash-shalah" adalah undangan mutlak untuk segera berinteraksi dengan sumber energi spiritual. Setiap lafadz harus didengar bukan sebagai suara rutin, tetapi sebagai pesan personal yang menuntut tindakan segera dan penuh ketaatan.
Saat Adzan Maghrib tiba, seorang Muslim dihadapkan pada sebuah pilihan: apakah ia akan menyambut panggilan dengan kesigapan dan memaksimalkan keutamaan waktu yang sempit ini, ataukah ia akan membiarkannya berlalu dalam kelalaian.
Momen Maghrib adalah kompilasi dari berbagai keberkahan: ia adalah puncak pengabulan doa, penutup bagi yang berpuasa, sinyal untuk pembersihan spiritual harian (muhasabah), dan waktu untuk memperkuat tali persaudaraan melalui Shalat berjamaah.
Keutamaan yang melekat pada saat Adzan Maghrib menuntut lebih dari sekadar respons lisan; ia menuntut respons hati yang ikhlas, tubuh yang siap berdiri, dan niat yang tulus. Menjaga kekhusyukan dalam Shalat Maghrib adalah investasi terbaik seorang Muslim untuk malam yang akan datang. Dengan menghormati waktu Maghrib, kita tidak hanya memenuhi kewajiban, tetapi juga membuka diri terhadap gelombang ketenangan dan keberkahan Ilahi yang mengalir deras di momen transisi agung ini. Maghrib adalah pengingat abadi bahwa waktu adalah karunia terbesar, yang harus diakhiri dengan pujian dan penyerahan diri total kepada Sang Pencipta.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan setiap seruan Maghrib sebagai permulaan baru, titik fokus untuk memperbaharui janji setia kita kepada Allah, hingga kita bertemu dengan-Nya dalam keadaan yang paling bersih dan bertaqwa.