Mengupas Shalawat Tarhim: Gema Syahdu Pembangun Jiwa

Ilustrasi Menara Masjid Ilustrasi menara masjid dengan bulan sabit di puncaknya, dari mana gelombang suara keluar, melambangkan gema shalawat tarhim di waktu fajar.

Gema yang meresap ke dalam sanubari, melintasi generasi.

Di keheningan sepertiga malam terakhir, saat dunia masih terlelap dalam buaian mimpi, sebuah alunan syahdu seringkali terdengar memecah sunyi. Lantunan shalawat dengan nada yang khas, penuh penghayatan, dan mampu menggetarkan jiwa. Itulah Shalawat Tarhim, sebuah fenomena audio spiritual yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap budaya Islam di Nusantara, khususnya menjelang waktu salat Subuh, terlebih di bulan suci Ramadan.

Bagi jutaan telinga di Indonesia, gema Tarhim adalah penanda waktu yang sakral. Ia bukan sekadar pengingat bahwa fajar akan segera menyingsing, tetapi juga sebuah panggilan lembut untuk ruhani, mengajak jiwa untuk terjaga, merenung, dan mempersiapkan diri menghadap Sang Pencipta. Suara yang mendayu-dayu itu seolah menjadi jembatan emosional antara akhir malam dan awal hari, antara istirahat dan ibadah, antara hamba dan Nabinya. Ia adalah musikalisasi kerinduan yang mendalam kepada sosok teragung, Nabi Muhammad SAW.

Namun, di balik keakrabannya di telinga kita, Shalawat Tarhim menyimpan lapisan-lapisan makna, sejarah yang panjang, serta perdebatan yang menyertainya. Artikel ini akan mengajak Anda untuk menyelami lebih dalam keagungan Shalawat Tarhim, mulai dari asal-usulnya, sang pelantun legendaris, pembedahan makna di setiap baitnya, hingga pengaruhnya yang begitu kuat dalam membentuk identitas spiritual masyarakat Muslim di Indonesia.

Sejarah dan Perjalanan Shalawat Tarhim ke Nusantara

Meskipun begitu identik dengan Indonesia, akar dari Shalawat Tarhim ini ternyata berasal dari negeri para nabi, Mesir. Teks shalawat ini diyakini digubah oleh Syekh Mahmud Khalil al-Hussary, seorang qari (pelantun Al-Qur'an) legendaris yang suaranya dihormati di seluruh dunia Islam. Beliau lahir di sebuah desa bernama Shobra al-Namla di Tanta, Mesir. Sejak kecil, bakatnya dalam melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an sudah terlihat. Beliau tidak hanya memiliki suara yang merdu, tetapi juga penguasaan ilmu tajwid dan qira'at (ragam bacaan Al-Qur'an) yang luar biasa.

Syekh Mahmud Khalil al-Hussary: Sang Maestro di Balik Suara Emas

Syekh al-Hussary adalah salah satu dari empat qari paling berpengaruh di Mesir pada masanya, bersama dengan Syekh Abdul Basit Abdus Samad, Syekh Muhammad Shiddiq al-Minshawi, dan Syekh Mustafa Ismail. Keunikan al-Hussary terletak pada gaya bacaannya yang tenang, khusyuk, dan sangat presisi dalam makhraj (artikulasi huruf) dan tajwid. Beliau adalah qari pertama yang merekam seluruh Al-Qur'an dalam bentuk murattal (bacaan dengan tempo sedang dan konsisten) dan menyebarkannya ke seluruh dunia.

Lantunan Shalawat Tarhim yang kita kenal adalah salah satu dari sekian banyak karya spiritual beliau. Beliau tidak hanya melantunkannya, tetapi juga meresapinya dengan penghayatan yang mendalam, membuat setiap kata yang terucap seolah memiliki ruh. Pilihan nada (maqam) yang digunakan—umumnya bernuansa Bayati—menghasilkan harmoni yang menyentuh kalbu, menggabungkan kesedihan karena kerinduan dan keagungan karena pujian kepada Rasulullah SAW.

Perjalanan Gema Tarhim ke Indonesia

Bagaimana rekaman dari Mesir ini bisa menjadi begitu populer dan melegenda di Indonesia? Perjalanan ini tidak lepas dari peran teknologi radio pada pertengahan abad ke-20. Sekitar akhir tahun 1950-an atau awal 1960-an, Direktur Radio Republik Indonesia (RRI) saat itu, Joesoef Ronodipoero, melakukan kunjungan ke beberapa negara Timur Tengah, termasuk Mesir. Dalam kunjungannya, beliau membawa pulang oleh-oleh berupa piringan hitam berisi rekaman-rekaman lantunan Al-Qur'an dan doa-doa, salah satunya adalah rekaman Shalawat Tarhim oleh Syekh al-Hussary.

Rekaman ini kemudian diputar di RRI dan dengan cepat menyebar ke stasiun-stasiun radio lainnya di seluruh Indonesia. Namun, ada satu stasiun radio yang dianggap memiliki peran paling vital dalam mempopulerkannya, yaitu Radio Yasmara (Yayasan Masjid Rahmat) di Surabaya. Radio ini secara konsisten memutar Shalawat Tarhim setiap menjelang waktu Subuh. Dari sinilah, kebiasaan tersebut diadopsi oleh masjid-masjid dan musala di berbagai penjuru negeri. Pengeras suara masjid, yang pada masa itu mulai banyak digunakan, menjadi medium utama yang menyebarkan gema syahdu ini ke rumah-rumah penduduk, menjadikannya penanda sahur yang paling ditunggu-tunggu selama bulan Ramadan.

Membedah Makna Agung dalam Setiap Bait Shalawat Tarhim

Keindahan Shalawat Tarhim tidak hanya terletak pada melodinya yang menyentuh, tetapi juga pada kedalaman makna yang terkandung dalam liriknya. Setiap kalimat adalah untaian pujian, sanjungan, dan ekspresi cinta kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Mari kita bedah makna dari setiap baitnya.

الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ

"Selawat dan salam semoga tercurah atasmu"

يَا إِمَامَ الْمُجَاهِدِيْنَ ۞ يَا رَسُوْلَ الله

"Wahai pemimpin para pejuang, wahai utusan Allah"

Bait pertama ini adalah pembuka yang langsung menancapkan esensi dari shalawat itu sendiri: permohonan rahmat (shalat) dan keselamatan (salam) kepada Rasulullah. Gelar yang disematkan, "Imamal Mujahidin" (Pemimpin para pejuang), memiliki makna yang sangat luas. Mujahidin bukan hanya berarti pejuang di medan perang fisik, tetapi juga pejuang dalam arti luas: mereka yang berjuang melawan hawa nafsu, berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan, berjuang menyebarkan ilmu, dan berjuang untuk menjadi hamba Allah yang lebih baik. Dalam semua perjuangan ini, Rasulullah SAW adalah pemimpin, teladan, dan komandan tertingginya.

الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ

"Selawat dan salam semoga tercurah atasmu"

يَا نَاصِرَ الْهُدَى ۞ يَا خَيْرَ خَلْقِ الله

"Wahai penolong petunjuk ilahi, wahai makhluk Allah yang terbaik"

Di bait kedua, pujian dilanjutkan dengan gelar "Nashiral Huda" (Penolong Petunjuk Ilahi). Ini menegaskan peran sentral Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah dari Allah SWT. Beliaulah yang menolong umat manusia keluar dari kegelapan kejahiliyahan menuju cahaya petunjuk (hidayah). Tanpa perjuangan beliau, petunjuk ilahi tidak akan sampai kepada kita. Dilanjutkan dengan pengakuan "Khaira Khalqillah" (Makhluk Allah yang Terbaik), sebuah afirmasi atas kedudukan beliau yang paling mulia di antara seluruh ciptaan, baik manusia, jin, maupun malaikat. Ini adalah keyakinan fundamental dalam akidah Ahlussunnah wal Jama'ah.

الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ

"Selawat dan salam semoga tercurah atasmu"

يَا نَاصِرَ الْحَقِّ ۞ يَا رَسُوْلَ الله

"Wahai pembela kebenaran, wahai utusan Allah"

Gelar "Nashiral Haqq" (Pembela Kebenaran) menyoroti sisi perjuangan Rasulullah dalam menegakkan Al-Haqq (kebenaran absolut dari Allah) di muka bumi. Seluruh hidup beliau didedikasikan untuk melawan kebatilan dalam segala bentuknya, baik itu syirik, kezaliman, maupun ketidakadilan. Beliau adalah manifestasi nyata dari perjuangan membela kebenaran ilahi.

Puncak Perenungan: Kisah Isra' Mi'raj dalam Shalawat

Bagian selanjutnya dari Shalawat Tarhim adalah yang paling puitis dan mendalam. Bait-bait ini membawa pendengarnya untuk merenungkan salah satu mukjizat terbesar Rasulullah SAW, yaitu perjalanan malam Isra' Mi'raj.

يَا مَنْ أَسْرَى بِكَ الْمُهَيْمِنُ لَيْلًا

"Wahai engkau yang diperjalankan oleh Yang Maha Pelindung di waktu malam"

نِلْتَ مَا نِلْتَ وَالْأَنَامُ نِيَامُ

"Kau peroleh apa yang kau peroleh (anugerah agung) saat semua manusia tengah terlelap"

Kalimat ini merujuk langsung pada peristiwa Isra'. "Al-Muhaymin" adalah salah satu Asmaul Husna yang berarti Maha Memelihara atau Maha Melindungi, menegaskan bahwa perjalanan agung ini berada dalam penjagaan penuh dari Allah SWT. Frasa "nilta ma nilta" (kau peroleh apa yang kau peroleh) adalah sebuah ungkapan sastra Arab yang sangat tinggi (majaz) untuk menggambarkan anugerah yang begitu luar biasa sehingga sulit diungkapkan dengan kata-kata. Anugerah ini diberikan saat semua makhluk lain sedang tidur ("al-anamu niyam"), menunjukkan betapa istimewa dan eksklusifnya peristiwa ini, sebuah dialog intim antara Allah dan hamba-Nya yang paling tercinta.

وَتَقَدَّمْتَ لِلصَّلَاةِ فَصَلَّى

"Dan engkau maju untuk memimpin salat, maka semua ikut salat"

كُلُّ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَأَنْتَ الْإِمَامُ

"Yaitu semua (para nabi) di langit dan engkaulah imamnya"

Bait ini mengisahkan momen krusial saat di Masjidil Aqsa (atau dalam beberapa riwayat, di langit), di mana Rasulullah SAW diangkat menjadi imam salat bagi seluruh nabi dan rasul yang pernah diutus sebelumnya. Ini adalah sebuah proklamasi simbolis. Tindakan para nabi bermakmum di belakang beliau menunjukkan bahwa risalah yang beliau bawa adalah penutup, penyempurna, dan pemungkas dari seluruh ajaran ilahi sebelumnya. Beliau adalah pemimpin bagi para pemimpin ("wa antal imam").

وَإِلَى الْمُنْتَهَى رُفِعْتَ كَرِيْمًا

"Dan menuju Sidratul Muntaha engkau diangkat dengan penuh kemuliaan"

وَسَمِعْتَ نِدَاءً عَلَيْكَ السَّلَام

"Dan engkau mendengar seruan (dari Allah): 'Keselamatan atasmu'"

Ini adalah puncak dari perjalanan Mi'raj. "Al-Muntaha" merujuk pada Sidratul Muntaha, titik tertinggi di langit yang bahkan Malaikat Jibril pun tidak dapat melewatinya. Rasulullah SAW diangkat ke sana dalam keadaan mulia ("kariman"), sebuah kehormatan yang tidak pernah diberikan kepada makhluk manapun. Di sanalah beliau menerima perintah salat lima waktu secara langsung dari Allah SWT dan mendengar salam keselamatan langsung dari Sang Khaliq. Momen ini menggambarkan tingkat kedekatan tertinggi antara seorang hamba dengan Tuhannya.

Penutup yang Menegaskan Akhlak Mulia

يَا كَرِيْمَ الْأَخْلَاقِ ۞ يَا رَسُوْلَ الله

"Wahai pemilik akhlak yang mulia, wahai utusan Allah"

صَلَّى اللهُ عَلَيْكَ ۞ وَعَلَى آلِكَ وَأَصْحَابِكَ أَجْمَعِيْنَ

"Semoga selawat Allah tercurah atasmu, serta atas seluruh keluarga dan sahabatmu"

Shalawat Tarhim ditutup dengan sanjungan kepada aspek paling fundamental dari dakwah Rasulullah, yaitu akhlaknya. Gelar "Karimal Akhlaq" (Pemilik Akhlak yang Mulia) adalah pengakuan atas kesempurnaan budi pekerti beliau, sebagaimana Allah sendiri memujinya dalam Al-Qur'an, "Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. Al-Qalam: 4). Pada akhirnya, seluruh keagungan, mukjizat, dan kepemimpinan beliau bermuara pada kesempurnaan akhlaknya yang menjadi teladan bagi seluruh alam (uswatun hasanah). Shalawat kemudian diakhiri dengan doa yang mencakup keluarga (Aal) dan para sahabat (Ashab) beliau, mengajarkan kita untuk mencintai dan mendoakan orang-orang yang berada di lingkaran terdekat perjuangan Rasulullah SAW.

Dimensi Spiritual dan Pengaruh Budaya Shalawat Tarhim

Lebih dari sekadar lantunan indah, Shalawat Tarhim telah berevolusi menjadi sebuah fenomena budaya yang memiliki dampak spiritual mendalam bagi masyarakat Muslim Indonesia. Pengaruhnya dapat dilihat dari berbagai sisi.

1. Pembangkit Kesadaran Spiritual di Waktu Mustajab

Alunan Tarhim di waktu fajar berfungsi sebagai "alarm ruhani". Ia tidak mengagetkan seperti alarm biasa, melainkan membangunkan secara perlahan dengan sentuhan emosional. Waktu sepertiga malam terakhir adalah waktu yang sangat mustajab untuk berdoa dan beribadah. Gema Tarhim menjadi pengingat lembut untuk memanfaatkan momen berharga ini untuk salat tahajud, berzikir, atau sekadar bermunajat sebelum azan Subuh berkumandang. Ia menciptakan transisi yang halus dari alam tidur ke alam kesadaran ibadah.

2. Penanam Rasa Cinta (Mahabbah) kepada Rasulullah

Mendengarkan pujian-pujian agung kepada Nabi Muhammad SAW secara berulang-ulang, hari demi hari, secara tidak sadar menanamkan dan menyuburkan rasa cinta (mahabbah) di dalam hati. Liriknya yang puitis dan sarat makna membantu pendengar untuk membayangkan keagungan, perjuangan, dan kemuliaan akhlak Rasulullah. Bagi anak-anak, Tarhim seringkali menjadi perkenalan pertama mereka dengan kisah-kisah agung seperti Isra' Mi'raj melalui medium audio yang mudah meresap di ingatan.

3. Jembatan Nostalgia Lintas Generasi

Shalawat Tarhim adalah memori kolektif. Ia adalah suara yang didengar oleh kakek-nenek kita di masa muda mereka, didengar oleh orang tua kita saat mereka membangunkan kita untuk sahur, dan kini didengar oleh generasi sekarang. Suara yang sama, melodi yang sama, telah mengiringi jutaan fajar di Nusantara selama puluhan tahun. Hal ini menciptakan ikatan emosional dan nostalgia yang kuat, menghubungkan pengalaman spiritual antara generasi yang berbeda. Ia menjadi bagian dari warisan tak benda yang diwariskan melalui gelombang suara.

4. Media Dakwah yang Halus dan Merangkul

Dalam lanskap dakwah, Tarhim adalah contoh dakwah bil-hal (dakwah melalui tindakan/suasana) yang sangat efektif. Ia tidak menggurui, tidak memaksa, tetapi mengajak secara halus. Keindahannya mampu menyentuh hati bahkan mereka yang mungkin jarang ke masjid. Ia masuk ke dalam rumah, ke dalam kamar, tanpa permisi namun diterima dengan senang hati. Ini adalah bentuk syiar Islam yang damai, indah, dan meresap langsung ke dalam jiwa masyarakat.

5. Diskursus dan Pandangan Ulama

Seperti banyak praktik budaya keagamaan lainnya, Shalawat Tarhim juga tidak luput dari diskusi fikih. Sebagian kecil kalangan memandangnya sebagai suatu bentuk bid'ah (sesuatu yang diada-adakan dalam agama) karena tidak dicontohkan secara spesifik oleh Rasulullah SAW untuk dilantunkan sebelum azan menggunakan pengeras suara. Mereka berargumen bahwa ibadah harus merujuk pada dalil yang jelas.

Namun, mayoritas ulama di Nusantara memandangnya sebagai sesuatu yang baik dan dianjurkan (mustahab), dengan beberapa alasan kuat. Pertama, isi dari Shalawat Tarhim adalah murni pujian dan doa kepada Rasulullah, sesuatu yang diperintahkan secara umum dalam Al-Qur'an dan hadis. Kedua, ia tidak diniatkan sebagai bagian dari ritual azan itu sendiri, melainkan sebagai penanda waktu dan ajakan (targhib) untuk beribadah sebelum azan. Ketiga, ia memiliki maslahat (kebaikan) yang nyata, yaitu membangunkan orang untuk salat Subuh dan sahur, serta menumbuhkan cinta kepada Nabi. Selama tidak diyakini sebagai bagian wajib dari syariat azan, mayoritas ulama memandangnya sebagai tradisi baik (sunnah hasanah atau 'urf hasan) yang sejalan dengan semangat syiar Islam.

Kesimpulan: Warisan Abadi Gema dari Langit Fajar

Shalawat Tarhim adalah sebuah mahakarya. Ia adalah perpaduan sempurna antara teks yang agung, melodi yang menyentuh, vokal yang khusyuk, dan momen yang tepat. Ia bukan lagi sekadar rekaman audio dari seorang qari Mesir, melainkan telah menyatu dengan denyut nadi spiritualitas Muslim di Nusantara. Ia adalah bukti bagaimana sebuah karya seni Islami dapat melampaui batas geografis dan waktu, menjadi warisan abadi yang terus menginspirasi dan menggetarkan jiwa dari generasi ke generasi.

Di balik setiap gema yang terpancar dari menara-menara masjid di keheningan fajar, ada sebuah kisah tentang cinta yang mendalam kepada Sang Utusan. Sebuah pengingat akan perjuangan, kemuliaan, dan akhlak agung yang harus senantiasa kita teladani. Shalawat Tarhim akan terus menjadi soundtrack spiritual fajar Indonesia, sebuah seruan lembut yang tidak hanya membangunkan raga dari tidur, tetapi juga membangkitkan jiwa dari kelalaian, menyambut hari baru dengan hati yang penuh selawat dan salam kepada sang kekasih Allah, Muhammad Rasulullah SAW.

🏠 Kembali ke Homepage