Surah Al-A'raf adalah salah satu surah Makkiyah yang diturunkan pada masa-masa awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Surah ini kaya akan kisah para nabi, peringatan terhadap kesombongan, dan penegasan fundamental tentang keesaan Allah (Tauhid). Di antara ayat-ayat yang memiliki implikasi teologis dan kosmik yang sangat mendalam, terdapat ayat ke-54.
Ayat 54 dari Surah Al-A'raf (terletak di Juz 8) merupakan salah satu ayat yang paling komprehensif dalam menjelaskan hubungan antara penciptaan, pengaturan, dan kedaulatan mutlak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ayat ini tidak hanya menceritakan bagaimana alam semesta diciptakan, tetapi juga menegaskan siapa yang memiliki hak penuh atas perintah dan kekuasaan di dalamnya. Ayat ini adalah jantung dari argumentasi Islam mengenai sifat Rububiyyah (Ketuhanan yang mengatur).
Inna Rabbakumullāhullażī khalaqas-samāwāti wal-arḍa fī sittati ayyāmin thummas-tawā 'alal-'arsyi yughsyil-lailan-nahāra yaṭlubuhū ḥathīthaw wasy-syamsa wal-qamara wan-nujūma musakhkharātim bi'amrih. Alā lahul-khalqu wal-amr. Tabārakallāhu rabbul-'ālamīn.
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam (Istawa) di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan adalah hak-Nya. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.
Ayat ini dimulai dengan penegasan identitas: إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ (Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah). Penggunaan kata Rabb tidak hanya berarti Tuhan, tetapi juga mengandung makna Pemelihara, Pengasuh, Pendidik, dan Pengatur. Ini mengimplikasikan bahwa Dialah satu-satunya Zat yang berhak disembah (Uluhiyyah), karena Dialah satu-satunya yang menciptakan dan mengatur (Rububiyyah).
Penegasan ini berfungsi sebagai landasan Tauhid; jika Allah adalah Pencipta tunggal, maka ketaatan dan ibadah harus ditujukan hanya kepada-Nya. Ayat ini secara eksplisit menolak segala bentuk kemusyrikan yang menyembah selain Allah, baik itu berhala, bintang, atau bahkan manusia, karena mereka semua adalah ciptaan, bukan Pencipta.
Penciptaan langit dan bumi adalah manifestasi kekuasaan Allah yang paling agung. Allah menyebutkan keduanya secara berpasangan, menandakan totalitas alam semesta yang kita kenal. Langit mencakup segala hal di atas kita—galaksi, bintang, ruang angkasa, dan dimensi yang tak terlihat. Bumi adalah tempat tinggal kita yang diatur sedemikian rupa untuk menopang kehidupan.
Para ulama tafsir menekankan bahwa penciptaan ini tidak terjadi secara kebetulan atau tanpa tujuan, melainkan merupakan hasil dari kehendak dan kebijaksanaan Ilahi. Dalam pandangan kosmik Islam, alam semesta adalah bukti keberadaan dan keesaan Sang Pencipta. Setiap detail, mulai dari atom terkecil hingga galaksi terbesar, adalah ayat (tanda) yang menunjuk pada Allah.
Frasa فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ telah memicu diskusi luas di kalangan mufasir dan ilmuwan. Secara harfiah, ayyām berarti hari, tetapi dalam konteks ini, ia merujuk pada periode atau masa kosmik yang durasinya hanya diketahui oleh Allah.
Pandangan Tafsir Klasik: Sebagian besar mufasir sepakat bahwa ‘hari’ di sini bukanlah 24 jam seperti hari duniawi kita, terutama karena matahari dan sistem waktu kita belum diciptakan. Imam Ath-Thabari dan lainnya menafsirkan *ayyām* sebagai periode waktu yang sangat panjang, tahap-tahap penciptaan, atau era kosmik. Allah mampu menciptakan segalanya dengan satu kata “Kun” (Jadilah), namun Dia memilih enam masa sebagai pengajaran bagi manusia tentang pentingnya tahapan, perencanaan, dan kebijaksanaan (sunnatullah) dalam proses. Penciptaan bertahap menunjukkan ketelitian, bukan kelemahan.
Konteks Kosmologi Modern: Meskipun Al-Qur'an bukanlah buku sains, banyak orang mengaitkan 'enam masa' dengan enam era utama dalam evolusi alam semesta. Hal yang paling penting untuk diingat adalah bahwa dalam pandangan Islam, waktu itu relatif dan diciptakan. Oleh karena itu, enam hari Allah bisa jadi setara dengan ribuan atau jutaan tahun di mata manusia, sebagaimana dijelaskan dalam ayat lain (QS. Al-Hajj: 47 dan QS. As-Sajdah: 5).
Penciptaan dalam enam masa menunjukkan bahwa proses alam semesta diatur dengan hukum kausalitas Ilahi, di mana setiap fase bergantung pada fase sebelumnya, menegaskan kebesaran Sang Pengatur.
Keteraturan kosmik sebagai tanda kekuasaan Allah yang mengatur.
Setelah menjelaskan penciptaan, ayat ini beralih ke poin sentral kedaulatan Ilahi: ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ (lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy). Bagian ini merupakan salah satu frasa dalam Al-Qur'an yang dikenal sebagai ayat-ayat *mutasyabihat* (samar atau ambigu) mengenai sifat-sifat Allah, dan karenanya membutuhkan pemahaman yang sangat hati-hati dan berbasis pada akidah yang benar.
Secara bahasa, Istawa memiliki beberapa makna, termasuk meninggi, menguasai, menstabilkan, atau tegak lurus. Dalam konteks ayat ini, mayoritas ulama salaf (generasi awal Islam) sepakat bahwa maknanya adalah: Allah meninggi dan menguasai Arsy-Nya setelah menyelesaikan penciptaan langit dan bumi.
Akidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (Salafiyah): Pendekatan yang paling aman dan paling sesuai dengan tradisi awal adalah memahami makna *Istawa* sesuai dengan yang dijelaskan Allah sendiri, yaitu kebersemayaman yang layak bagi keagungan-Nya, tanpa menanyakan *bagaimana* (bila kayf) dan tanpa menyerupakannya dengan makhluk (bila tasybih).
Imam Malik bin Anas pernah ditanya mengenai makna *Istawa*. Beliau menjawab, "Istawa itu sudah diketahui (maknanya secara bahasa), tetapi bagaimana caranya adalah sesuatu yang tidak diketahui (oleh akal manusia). Beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentang 'bagaimana' adalah bid'ah."
Implikasi Teologis: *Istawa 'alal Arsh* bukan berarti Allah membutuhkan Arsy, atau bahwa Arsy membatasi-Nya. Sebaliknya, hal ini menegaskan keagungan, ketinggian, dan kedaulatan mutlak Allah. Bersemayamnya Allah di Arsy adalah simbolisasi dari dimulainya pengaturan total atas seluruh alam semesta yang telah Dia ciptakan.
Arsy adalah ciptaan Allah yang paling besar dan merupakan pusat kekuasaan kosmik-Nya. Tidak ada yang mampu mengetahui ukuran Arsy selain Allah. Para ulama menjelaskan bahwa Arsy bukanlah sekadar singgasana fisik biasa, tetapi merupakan tempat manifestasi sifat-sifat keagungan dan kekuasaan Allah. Ayat ini menegaskan bahwa meskipun Allah menciptakan segala sesuatu, Dia tetap berada di atas dan tidak bercampur dengan ciptaan-Nya (transendensi).
Konsep *Istawa 'alal Arsh* adalah pondasi dalam akidah. Ia membedakan antara Allah yang Maha Tinggi, yang memerintah dari atas, dan makhluk-Nya yang tunduk di bawah kekuasaan-Nya. Ini adalah puncak pengakuan akan kedaulatan mutlak; Penciptaan milik-Nya, dan Perintah pun milik-Nya.
Dalam sejarah tafsir, terdapat beberapa pandangan tentang bagaimana memahami Istawa bagi mereka yang menghindari interpretasi harfiah yang dapat disalahpahami sebagai antropomorfisme:
Kesimpulan dari semua pandangan adalah satu: ayat ini menegaskan kedaulatan Allah atas seluruh kerajaan. Dialah Penguasa Agung setelah Dia menyelesaikan proses penciptaan. Kedaulatan-Nya dimulai dan diakhiri dengan Arsy-Nya, yang merupakan simbol dari manajemen universal.
Ayat melanjutkan penjelasan tentang bagaimana Allah menjalankan kedaulatan-Nya: يُغْشِى ٱلَّيْلَ ٱلنَّهَارَ يَطْلُبُهُۥ حَثِيثًا (Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat).
Frasa ini menggambarkan ritme kosmik yang sempurna dan abadi. Malam datang menutupi siang, dan siang segera mengejar malam. Kata ḥathīthan (dengan cepat) menunjukkan bahwa proses ini adalah siklus yang dinamis dan teratur, tanpa pernah terlambat atau maju dari jadwal. Hal ini merupakan bukti nyata dari pengaturan Ilahi yang berkelanjutan, bahkan setelah penciptaan dasar alam semesta selesai.
Ini adalah pelajaran tentang hukum alam (sunnatullah) yang tak terhindarkan. Malam tidak dapat melarikan diri dari pengejaran siang, dan sebaliknya. Keteraturan ini memberikan stabilitas yang diperlukan bagi kehidupan di bumi. Jika rotasi bumi melambat atau cepat walau sedetik saja, dampak terhadap kehidupan akan fatal. Keteraturan ini adalah tanda bahwa kekuasaan Allah tidak pernah tidur.
Ayat tersebut kemudian menyebut tiga entitas kosmik utama: وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ وَٱٱلنُّجُومَ مُسَخَّرَٰتٍۭ بِأَمْرِهِۦٓ (dan matahari, bulan, dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya).
Kata kunci di sini adalah musakhkharāt, yang berarti ‘ditundukkan’ atau ‘dijinakkan’. Ini berarti bahwa semua benda langit raksasa ini—yang di masa lalu sering disembah oleh manusia—bukanlah dewa-dewi independen, melainkan hamba yang sepenuhnya berada di bawah kendali Allah. Mereka tidak memiliki kehendak sendiri; mereka hanya melaksanakan hukum dan perintah yang telah ditetapkan bagi mereka.
Penyebutan terperinci tentang benda-benda langit ini berfungsi untuk mematahkan argumen kaum musyrikin yang menyembah benda-benda kosmik. Allah menegaskan bahwa semua objek yang terlihat agung dan besar itu hanyalah pelayan yang tunduk kepada perintah tunggal-Nya.
Penegasan بِأَمْرِهِۦٓ (dengan perintah-Nya) adalah penutup yang kuat. Ini menghubungkan tindakan penciptaan (Khalq) dengan tindakan pengaturan (Amr). Seluruh alam semesta tidak hanya diciptakan oleh Allah, tetapi juga dioperasikan dan dikelola secara berkelanjutan oleh-Nya. Tidak ada satu pun partikel yang bergerak tanpa izin atau perintah-Nya.
Ini adalah penolakan terhadap konsep deisme (keyakinan bahwa Tuhan menciptakan lalu meninggalkan ciptaan-Nya). Ayat ini menegaskan bahwa Allah bersifat *Qayyum*, Yang Maha Berdiri Sendiri, yang terus-menerus mengelola dan memelihara ciptaan-Nya.
Puncak dari ayat 54 adalah frasa tegas yang merangkum seluruh pesan: أَلَا لَهُ ٱلْخَلْقُ وَٱلْأَمْرُ (Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan adalah hak-Nya).
Frasa ini membagi kedaulatan Allah menjadi dua kategori yang tak terpisahkan:
Ini adalah definisi sempurna dari Tauhid Rububiyyah. Karena Allah adalah Pencipta (Al-Khalq), maka Dia jugalah Pengatur (Al-Amr). Ini meniadakan hak siapapun di alam semesta untuk mengklaim bagian dari penciptaan atau bagian dari perintah yang mutlak. Ketika manusia mencari bantuan atau hukum dari selain Allah, mereka telah merusak prinsip Al-Khalq wal Amr ini.
Dalam konteks kehidupan manusia, pernyataan ini berarti bahwa Allah tidak hanya menciptakan kita, tetapi Dia juga yang berhak menetapkan hukum dan syariat bagi kita. Syariat Islam adalah manifestasi dari Al-Amr (Perintah) Allah di bumi. Siapa pun yang menolak syariat, berarti menolak hak pengaturan Allah atas ciptaan-Nya.
Ayat ditutup dengan pujian agung: تَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلْعَٰلَمِينَ (Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam).
Kata Tabārakallāh mengandung makna keberkahan, keagungan, kebaikan yang melimpah, dan kekekalan. Frasa ini menutup argumen kosmik dengan pengakuan bahwa Allah jauh di atas segala kekurangan, dan segala kebaikan serta keagungan berasal dari-Nya. Dia adalah Rabbul-'Ālamīn—Tuhan, Pengatur, dan Pemelihara seluruh alam semesta, bukan hanya manusia atau bumi, tetapi semua jenis eksistensi, baik yang kita ketahui maupun yang tidak.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menekankan bahwa ayat ini adalah bukti bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan pengatur seluruh urusan. Mengenai Istawa 'alal Arsh, beliau menegaskan bahwa ayat ini harus diterima sebagaimana adanya, dan bahwa penafsiran yang benar adalah penafsiran generasi Salaf: meyakini tanpa menyerupakan, tanpa menafikan, dan tanpa menanyakan 'bagaimana'.
Ibnu Katsir juga menarik perhatian pada hubungan antara penciptaan dalam enam hari dan fakta bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan hikmah. Meskipun Allah Maha Kuasa untuk menciptakan dalam sekejap, proses bertahap mengajarkan manusia tentang kesempurnaan hikmah Ilahi dalam setiap tindakan kosmik dan temporal.
Para ulama ushuluddin sering menggunakan ayat ini sebagai dalil utama untuk membedakan antara sifat-sifat Allah yang terkait dengan penciptaan (Khalq) dan sifat-sifat yang terkait dengan penetapan hukum (Amr).
Al-Amr (perintah) mencakup dua jenis perintah:
Ayat 54 menyatukan kedua jenis perintah ini. Allah yang mengatur matahari juga yang menetapkan hukum bagi manusia. Keterpisahan antara hukum kosmik dan hukum syariat adalah sebuah kekeliruan dalam pandangan Tauhid.
Konsep penciptaan langit dan bumi dalam enam masa, dan Istawa 'alal Arsh, diulang di tujuh tempat berbeda dalam Al-Qur'an (seperti dalam Yunus 3, Hud 7, Al-Furqan 59, As-Sajdah 4, Qaf 38, Al-Hadid 4). Pengulangan ini tidak dimaksudkan sebagai redundansi, tetapi sebagai penegasan yang sangat kuat dari doktrin sentral Rububiyyah. Setiap pengulangan diletakkan dalam konteks yang sedikit berbeda, memberikan dimensi makna baru.
Dalam Surah Al-A'raf, penekanan adalah pada pembedaan antara Tuhan yang Maha Kuasa dengan berhala-berhala yang tidak dapat berbuat apa-apa. Ini adalah peringatan kepada kaum yang ingkar dan menolak kenabian.
Memahami kekuasaan Allah yang menciptakan seluruh kosmos dalam enam masa memberikan perspektif mengenai kekuasaan-Nya untuk membangkitkan kembali manusia dari kematian. Jika Allah mampu menciptakan jagat raya yang begitu luas dan kompleks dari ketiadaan, maka membangkitkan kembali sekumpulan tulang belulang adalah hal yang jauh lebih mudah bagi-Nya. Ayat ini secara implisit menantang keraguan kaum musyrikin mengenai Hari Kebangkitan.
Ilustrasi abstrak Kedaulatan Ilahi di atas Arsy.
Ayat 54, meskipun berfokus pada Tauhid Rububiyyah (ketuhanan dalam penciptaan dan pengaturan), berfungsi sebagai jembatan tak terhindarkan menuju Tauhid Uluhiyyah (ketuhanan dalam ibadah). Jika Allah adalah satu-satunya Pencipta yang mengatur malam, siang, matahari, dan bulan, maka masuk akal bahwa hanya Dia yang berhak menerima ibadah kita.
Setiap kali seorang Muslim melihat terbitnya matahari, peredaran bulan, atau pergantian musim, ia diingatkan bahwa semua fenomena ini adalah *musakhkharāt* (ditundukkan) oleh Allah. Refleksi ini seharusnya mengarahkan hati untuk hanya takut dan berharap kepada Sang Pengatur Mutlak.
Pentingnya refleksi ini terletak pada pembebasan manusia dari takhayul dan penyembahan makhluk. Kekuatan alam bukanlah entitas independen yang harus ditakuti atau disembah, melainkan tanda-tanda yang diatur oleh satu tangan Ilahi.
Keteraturan sempurna yang digambarkan dalam pergantian malam dan siang (*yughsyil-lailan-nahāra yaṭlubuhū ḥathītha*) mengajarkan kita bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keteraturan dan disiplin. Segala sesuatu di alam semesta berjalan sesuai jadwal yang ditentukan. Muslim didorong untuk meniru keteraturan kosmik ini dalam kehidupan pribadi mereka—mulai dari waktu shalat yang teratur, manajemen waktu, hingga ketertiban dalam bermasyarakat.
Keteraturan ini juga menumbuhkan rasa aman. Umat manusia dapat menjalani hidup dengan kepastian bahwa hukum fisika akan tetap berlaku, dan bahwa Tuhan mereka memegang kendali penuh. Kepastian ini adalah sumber ketenangan dalam menghadapi kekacauan duniawi.
Penciptaan dalam enam masa, meskipun Allah mampu menciptakannya seketika, mengajarkan pentingnya kesabaran dan proses dalam meraih tujuan. Manusia seringkali menginginkan hasil instan, namun Al-Qur'an menunjukkan bahwa bahkan Sang Pencipta alam semesta menggunakan tahapan yang terencana. Ini adalah pengajaran bagi para pendakwah, pelajar, dan siapa pun yang berusaha mencapai kebaikan, bahwa hasil yang abadi memerlukan waktu, usaha, dan perencanaan strategis.
Keyakinan pada *Istawa 'alal Arsh* memberikan dimensi rohani yang penting: rasa ketinggian Allah (Uluww). Ini membantu Muslim dalam shalat dan doa, menyadari bahwa mereka menghadap dan meminta kepada Zat Yang Maha Tinggi, yang memiliki kedaulatan di atas segala ciptaan.
Rasa ketinggian ini memotivasi kerendahan hati. Semakin seseorang merenungkan keagungan Arsy dan ketinggian Allah, semakin ia menyadari betapa kecilnya dirinya di hadapan Penguasa alam semesta.
Frasa أَلَا لَهُ ٱلْخَلْقُ وَٱلْأَمْرُ memiliki implikasi hukum dan politik yang mendasar. Jika Al-Khalq (Penciptaan) dan Al-Amr (Perintah) adalah hak mutlak Allah, maka legislasi (pembuatan hukum) yang paling tinggi di dunia haruslah berasal dari Allah. Tidak ada otoritas manusia yang boleh menetapkan hukum yang bertentangan dengan perintah Sang Pencipta.
Dalam konteks modern, ini adalah prinsip syariah: hukum Allah adalah yang paling sah karena berasal dari Zat yang paling mengetahui kepentingan ciptaan-Nya. Segala sistem buatan manusia yang mengabaikan hak Allah dalam Al-Amr adalah sebuah penyangkalan terhadap kedaulatan-Nya yang dinyatakan dalam ayat ini.
Ketika seseorang merenungkan bahwa seluruh sistem kosmik, yang memastikan dia tetap hidup, beroperasi di bawah perintah yang sempurna, hal itu seharusnya memicu rasa syukur yang mendalam. Syukur ini diwujudkan melalui Takwa—menjaga diri dari segala sesuatu yang dilarang oleh Sang Pengatur Agung dan menjalankan segala perintah-Nya.
Takwa adalah respons logis terhadap fakta bahwa kita hidup sepenuhnya dalam kerajaan dan pengaturan Allah (Rabbul-'ālamīn). Rasa takut kepada Allah lahir dari kesadaran akan kekuasaan-Nya yang tak terbatas, sebagaimana diuraikan secara detail dalam Ayat 54.
Ayat ini menyajikan gambaran kesatuan alam semesta yang diatur oleh satu prinsip. Tidak ada konflik dalam penciptaan Allah; tidak ada perselisihan antara bintang dan bulan. Hal ini mendorong umat manusia untuk mencari kesatuan dan harmoni, baik dalam masyarakat maupun dalam pandangan hidup, mencontoh keteraturan yang telah ditetapkan oleh Allah di kosmos. Manusia, sebagai bagian dari ciptaan, juga harus tunduk pada perintah yang sama untuk mencapai keselarasan.
Setiap bagian dari Surah Al-A'raf Ayat 54—dari penciptaan tahap demi tahap hingga bersemayamnya Allah di Arsy, dari pergerakan cepat siang dan malam hingga ketundukan benda-benda langit—adalah deklarasi yang abadi dan universal tentang keesaan, kekuasaan, dan kedaulatan Allah atas segala sesuatu yang ada. Ayat ini adalah fondasi yang kokoh bagi iman seorang Muslim.
Kajian ini menegaskan bahwa merenungkan ayat-ayat kosmik seperti ini adalah bentuk ibadah yang mendalam, karena ia membawa kita untuk memahami Dzat yang kita sembah. Dalam keagungan *Al-Khalq wal Amr*, kita menemukan alasan paling mendasar untuk tunduk dan berserah diri sepenuhnya kepada ٱللَّهُ رَبُّ ٱلْعَٰلَمِينَ.