Surah Al-An'am, yang berarti 'Binatang Ternak', merupakan salah satu surah Makkiyyah yang diturunkan secara keseluruhan. Surah ini memiliki penekanan yang sangat kuat pada landasan akidah, terutama dalam membantah kemusyrikan dan menegaskan keesaan serta kekuasaan mutlak Allah SWT. Dalam rangkaian ayat-ayat yang memaparkan keagungan penciptaan dan logika tauhid, sampailah kita pada sebuah permata hikmah yang menjelaskan batasan ontologis manusia dalam memahami Penciptanya, yaitu Ayat 103.
Terjemahan harfiahnya menyatakan, "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Halus (Al-Laṭīf) lagi Maha Mengetahui (Al-Khabīr)." Ayat ini bukan sekadar pernyataan tentang ketidakmampuan fisik, melainkan inti dari filsafat ketuhanan (teologi) Islam: menjelaskan sifat Tanzih (Transendensi) dan Asma’ul Husna (Nama-nama Terbaik Allah) dalam satu tarikan napas pendek namun padat makna.
Untuk menggali kedalaman ayat ini, kita harus membedah setiap frasa yang terkandung di dalamnya. Struktur ayat ini terbagi menjadi tiga komponen utama, masing-masing membawa dimensi teologis yang unik.
Kata kunci di sini adalah تُدْرِكُهُ (tudrikuhu), yang berasal dari akar kata درك (daraka). 'Idrak' (memahami atau mencapai) memiliki makna yang lebih mendalam daripada sekadar melihat (ru'yah). Ru'yah berarti melihat objek secara umum. Sementara Idrak berarti mencapai, menguasai, atau mengetahui secara hakiki dan menyeluruh. Ketika Al-Qur'an menggunakan 'Lā tudrikuh', ia menegaskan bahwa penglihatan, betapapun tajamnya, tidak akan mampu melingkupi, memahami secara penuh, atau menangkap hakikat sejati Dzat Ilahi.
Jika Allah hanya mengatakan 'tidak terlihat' (Lā tura), mungkin masih ada ruang interpretasi. Namun, dengan menggunakan 'Lā tudrikuh', Al-Qur'an menutup pintu bagi segala upaya indrawi untuk menguasai atau membatasi Dzat Allah. Pandangan mata (ٱلْأَبْصَـٰرُ / al-abṣāru) di sini merujuk pada alat penglihatan fisik, yang merupakan instrumen terbatas dalam realitas ruang dan waktu.
Keterbatasan pandangan mata ini adalah batasan yang melekat pada makhluk. Mata hanya bisa menangkap objek yang memiliki dimensi, berada dalam batasan cahaya tertentu, dan terletak dalam jarak fisik. Allah, sebagai Pencipta ruang, waktu, dan dimensi, tidak terikat oleh semua itu. Oleh karena itu, upaya makhluk untuk ‘menggapai’ hakikat-Nya melalui alat fisik adalah mustahil secara ontologis.
Segera setelah menafikan kemampuan makhluk untuk memahami-Nya, ayat ini menegaskan kebalikannya: وَهُوَ يُدْرِكُ ٱلْأَبْصَـٰرَ (Wa huwa yudrikul-abṣāra). Jika makhluk tidak dapat mencapai-Nya, Dia justru mencapai dan melingkupi segala pandangan. Frasa ini menunjukkan supremasi total Allah atas alat penglihatan itu sendiri.
Makna dari 'Dia melihat segala penglihatan' bukan hanya berarti Allah melihat apa yang kita lihat, melainkan bahwa Allah mengetahui bagaimana mata bekerja, apa yang ada di balik pandangan, dan bahkan apa yang tersembunyi dari pandangan itu sendiri. Dia menciptakan mata, Dia menciptakan cahaya, dan Dia mengatur proses persepsi. Dalam tafsir, bagian ini sering dijelaskan sebagai bukti keilmuan Allah yang meliputi segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Penting untuk dicatat bahwa 'yudrikul' di sini memiliki makna yang lebih luas dan mutlak. Jika Idrak makhluk adalah upaya terbatas, Idrak Allah adalah pengetahuan yang komprehensif, menyeluruh, dan tanpa batas. Allah tidak perlu menunggu cahaya memantul; Dia adalah sumber dari penglihatan itu sendiri. Ini adalah penegasan kuat atas sifat Qayyumiyyah (Mandiri dan Berdiri Sendiri) Allah.
Ayat 103 sering menjadi landasan utama dalam pembahasan mengenai Tanzih (mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk) dan Rukyah (melihat Allah).
Ayat ini mengajarkan bahwa Allah harus dibayangkan berada di luar batasan fisik dan indrawi. Jika kita bisa melihat-Nya secara fisik dalam dimensi yang kita kenal, berarti Dia memiliki batasan, bentuk, dan tempat. Ini bertentangan dengan sifat keesaan dan kemutlakan-Nya. Ketiadaan penglihatan adalah penjagaan terhadap keagungan-Nya. Ini memastikan bahwa Allah tidak dapat disamakan dengan berhala atau objek material lainnya yang bisa dijangkau atau dibentuk oleh imajinasi manusia.
Batasan ini juga menjaga kemurnian tauhid. Kesadaran bahwa Allah berada di luar jangkauan indra mendorong manusia untuk mencari-Nya melalui Basirah (mata hati), akal, dan wahyu, bukan melalui lensa fisik yang rentan terhadap distorsi dan keterbatasan. Ketika kita menyadari bahwa Sang Pencipta tidak bisa dibatasi oleh ciptaan-Nya, hati kita dipenuhi dengan rasa hormat dan takzim yang sempurna.
Meskipun ayat ini secara tegas menyatakan bahwa pandangan tidak dapat mencapai Allah, para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah (mayoritas) menafsirkan ayat ini sebagai batasan yang berlaku di dunia fana ini. Mereka berpendapat bahwa di akhirat, kenikmatan tertinggi bagi penghuni surga adalah Ru’yatullah (melihat Allah) dalam cara yang sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa ada Idrak (melingkupi atau membatasi hakikat-Nya).
Dasar keyakinan ini adalah ayat-ayat lain, seperti Surah Al-Qiyamah ayat 22-23: "Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, memandang kepada Tuhannya." Pandangan di akhirat bukanlah pandangan yang mencoba melingkupi atau memahami Dzat secara fisik, melainkan sebuah anugerah agung yang melampaui mekanisme pandangan duniawi, yang diizinkan oleh Allah sebagai puncak dari kenikmatan abadi.
Oleh karena itu, penafsiran yang paling komprehensif adalah: Lā tudrikuhul-abṣāru (Ayat 103) berarti 'Pandangan tidak dapat melingkupi atau memahami hakikat-Nya secara sempurna'—baik di dunia maupun di akhirat—namun ini tidak menafikan kemungkinan melihat-Nya (Ru’yah) sebagai karunia di surga, di mana keterbatasan fisik telah diangkat dan penglihatan telah disempurnakan oleh Rahmat Ilahi.
Ayat ini ditutup dengan dua Asma’ul Husna yang luar biasa: وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلْخَبِيرُ (Wa huwal-laṭīful-khabīr). Penempatan kedua nama ini setelah membahas batasan penglihatan memiliki korelasi yang sangat erat dan berfungsi sebagai penjelasan mengapa Allah tidak dapat dicapai oleh pandangan mata, tetapi Dia melihat segala sesuatu.
Nama Al-Laṭīf memiliki setidaknya dua makna utama yang saling terkait:
Allah Maha Halus sehingga Dia tidak terikat oleh materi, dimensi, atau kepadatan fisik. Kehalusan ini melampaui pemahaman bahwa Dia terbuat dari unsur non-fisik; justru, Dia adalah Dzat yang keberadaan-Nya sangat halus dan tersembunyi dari jangkauan indra. Kehalusan-Nya adalah alasan mendasar mengapa Lā tudrikuhul-abṣāru. Dzat-Nya terlalu agung, terlalu halus, dan tidak memiliki bentuk yang dapat ditangkap oleh retina.
Perenungan mendalam tentang sifat Al-Laṭīf mengajarkan kita bahwa keberadaan yang paling fundamental, sumber dari segala realitas, adalah sesuatu yang tidak dapat diukur atau disentuh. Inilah yang membedakan Allah dari dewa-dewa mitologi yang digambarkan memiliki tubuh, batasan, atau sifat-sifat manusia.
Al-Laṭīf juga merujuk pada kelembutan, kehalusan, dan kecermatan tindakan Allah dalam mengatur alam semesta dan memberikan rezeki kepada hamba-Nya. Tindakan-Nya seringkali tidak terlihat secara langsung, namun dampaknya terasa mendalam.
Contoh manifestasi Al-Laṭīf dalam tindakan sangatlah beragam. Ia meliputi:
Kehalusan ini menegaskan mengapa Dia yudrikul-abṣāra. Karena Dia adalah Al-Laṭīf, Dia tidak hanya melihat seluruh pandangan, tetapi juga mengetahui partikel terkecil, niat terhalus, dan interaksi yang paling samar dalam kosmos.
Nama Al-Khabīr menunjukkan pengetahuan Allah yang paling mendalam, bukan hanya pengetahuan umum (seperti Al-'Alim), tetapi pengetahuan tentang esensi, detail, dan rahasia terdalam dari segala sesuatu. Khabir berasal dari kata khubr, yang berarti mengetahui dari dalam, melalui pengalaman, atau dengan detail yang tak tertandingi.
Keterkaitan Al-Khabīr dengan ayat ini adalah logis. Karena Allah mengetahui setiap detail, setiap rahasia, dan setiap cara kerja mata (baik mata fisik maupun mata hati), maka mustahil bagi mata itu untuk melingkupi Dzat yang memiliki pengetahuan absolut atasnya.
Sifat Al-Khabīr mencakup:
Ayat 103, dengan penutup Al-Laṭīf, Al-Khabīr, menyajikan kesimpulan yang elegan: Allah tidak dapat dilihat secara indrawi karena Dia terlalu Halus dan Transenden, tetapi Dia melihat segala sesuatu dan mengetahui setiap detail karena Dia Maha Halus dalam tindakan-Nya dan Maha Tahu dalam pengetahuan-Nya.
Konsep kehalusan (Luṭf) yang melekat pada Dzat Ilahi (Al-Laṭīf) memerlukan eksplorasi yang lebih mendalam, karena nama ini adalah kunci untuk memahami transendensi-Nya dalam konteks ayat ini. Kehalusan ini meluas hingga ke hukum-hukum fisika dan metafisika yang mengatur eksistensi.
Kehalusan Allah terlihat dalam berbagai aspek penciptaan, mulai dari yang paling makro hingga yang paling mikro. Perhatikan bagaimana hukum alam diatur dengan presisi yang begitu halus sehingga memungkinkan kehidupan:
Jika konstanta fisika dasar, seperti gaya gravitasi atau muatan elektron, sedikit saja berbeda, alam semesta tidak akan pernah terbentuk, atau jika terbentuk, ia akan segera runtuh. Kehalusan (Luṭf) Allah adalah yang mengatur konstanta-konstanta ini dengan toleransi yang hampir nol. Kehalusan ini begitu luar biasa sehingga ia melampaui imajinasi manusia yang terbiasa dengan ketidaksempurnaan dan kesalahan. Keberadaan yang sedemikian halus inilah yang memastikan Dia tidak akan pernah dapat dicapai oleh pandangan mata yang diciptakan untuk melihat batas-batas kasar dan wujud material.
Setiap putaran planet, setiap pancaran bintang, dan setiap interaksi sub-atomik adalah saksi bisu kehalusan pengaturan Ilahi. Ini adalah tindakan 'Idrak' (melingkupi) oleh Allah, di mana Dia memegang kendali penuh atas semua hukum alam yang kita anggap sebagai 'tetap'.
Aspek Luṭf juga terwujud dalam cara Allah berinteraksi dengan takdir dan kehendak bebas manusia. Allah mengetahui niat dan tindakan yang akan kita lakukan, namun Dia memberikan ruang bagi ikhtiar. Peristiwa-peristiwa takdir yang terjadi, yang seringkali dianggap kebetulan, adalah rangkaian Luṭf yang rumit. Misalnya, sebuah pertemuan tak terduga yang mengubah hidup seseorang, atau sebuah kegagalan yang mencegah bahaya yang lebih besar—semua adalah manifestasi dari Al-Laṭīf yang bekerja di balik layar, menggerakkan benang-benang takdir dengan kelembutan yang tak terhingga.
Kesadaran akan Al-Laṭīf memberikan ketenangan, karena kita tahu bahwa meskipun kesulitan tampak besar dan menindas, ada kehalusan Ilahi yang sedang merancang kebaikan di tengah-tengah kekacauan tersebut. Ini adalah keyakinan bahwa Allah tidak hanya kuat dan perkasa, tetapi juga lembut dan penuh perhatian terhadap detail terkecil dalam kehidupan hamba-Nya.
Jika Al-Laṭīf menjelaskan mengapa kita tidak dapat melihat-Nya (karena kehalusan Dzat-Nya), maka Al-Khabīr menjelaskan bagaimana Dia melihat kita (melalui pengetahuan yang mutlak dan menyeluruh).
Konsep Al-Khabīr memiliki implikasi langsung terhadap etika dan spiritualitas Muslim, khususnya dalam prinsip Ihsan. Ihsan didefinisikan sebagai beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.
Frasa wa huwa yudrikul-abṣāra dan sifat Al-Khabīr adalah landasan teologis dari Ihsan. Karena Dia adalah Al-Khabīr, tidak ada tindakan, niat, atau bahkan kilasan pandangan yang tersembunyi dari-Nya. Ini menciptakan kesadaran diri (muraqabah) yang konstan, di mana seorang mukmin menyadari bahwa dia selalu diawasi oleh Dzat yang tidak hanya mengetahui keberadaannya, tetapi juga mengetahui mengapa dan bagaimana keberadaan itu terjadi.
Pengetahuan Al-Khabīr jauh melampaui kemampuan deteksi atau pengawasan modern manapun. Mesin atau teknologi hanya dapat merekam apa yang tampak atau terukur. Sementara itu, Al-Khabīr mengetahui alasan di balik rekaman tersebut, konteks emosional, dan dampak spiritual dari setiap tindakan.
Ayat ini sering muncul dalam konteks penetapan keesaan Allah (Tauhid rububiyah) dalam penciptaan. Musyrikin pada masa turunnya wahyu sering mengklaim dewa-dewa yang terbuat dari materi yang bisa mereka lihat dan sentuh. Ayat 103 secara efektif meruntuhkan klaim ini dengan menegaskan bahwa Tuhan yang sejati adalah entitas yang bahkan perangkat indra paling canggih pun—mata—tidak mampu melingkupi-Nya. Sebaliknya, pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu, termasuk partikel-partikel tak terlihat dan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang membentuk realitas.
Penegasan Al-Khabīr berfungsi sebagai validasi mutlak bahwa hanya Allah yang layak disembah, karena hanya Dia yang memiliki pengetahuan yang sempurna. Bagaimana mungkin menyembah sesuatu yang tidak mengetahui rahasia dirinya sendiri, sementara Sang Pencipta mengetahui rahasia segala sesuatu?
Ayat 103 Surah Al-An'am adalah pelajaran fundamental dalam Adab (etika) dalam mengenal Allah. Ayat ini menuntun mukmin menjauhi dua ekstrem:
Ayat ini berfungsi sebagai benteng terhadap konsep ketuhanan yang disamakan dengan makhluk (tajsim atau tasybih). Ketika kita menyerap makna Lā tudrikuhul-abṣāru, kita secara otomatis membersihkan pikiran dari segala imajinasi tentang Allah yang memiliki bentuk fisik, batasan, atau sifat-sifat yang dapat dibayangkan oleh indra. Pemurnian akidah ini adalah langkah pertama menuju tauhid yang murni.
Keagungan Allah terletak pada ketidakterbatasan-Nya. Jika kita bisa melihat-Nya, Dia akan menjadi terbatas oleh pandangan kita. Maka, ketiadaan pandangan fisik ini justru merupakan manifestasi dari kesempurnaan-Nya.
Sifat Al-Laṭīf dan Al-Khabīr memberikan harapan yang tak terputus. Kita sering merasa sendiri dalam perjuangan hidup, atau bahwa masalah kita terlalu kecil untuk diperhatikan oleh Kekuatan Semesta. Ayat ini menepis keraguan tersebut. Karena Dia Al-Khabīr, Dia tahu setiap detail kesulitan; dan karena Dia Al-Laṭīf, Dia mampu memberikan solusi yang paling halus, yang paling tepat sasaran, yang melampaui kemampuan perencanaan kita sendiri.
Ketika seseorang berdoa, ia tahu bahwa doanya, meskipun diucapkan dalam bisikan paling pelan, didengar dan dipahami secara sempurna oleh Al-Khabīr. Ketika seseorang menghadapi musibah, ia meyakini bahwa di balik tirai takdir, Al-Laṭīf sedang bekerja untuk menciptakan kebaikan di masa depan.
Ayat 103 tidak hanya untuk dipelajari, tetapi untuk diinternalisasi dalam praktik ibadah sehari-hari. Ketiga komponen—Batasan Pandangan, Keilmuan Total, dan Sifat Ilahi—saling menguatkan dalam membentuk karakter seorang hamba.
Dalam shalat, seorang hamba berdiri menghadap Kiblat. Walaupun secara fisik ia menghadap Kabah di Makkah, secara spiritual ia menghadap Dzat Allah yang tidak berwujud. Kesadaran bahwa Lā tudrikuhul-abṣāru memurnikan fokus. Hamba tidak mencari wujud, melainkan mencari kehadiran. Dalam sujud, ketika ia merendahkan diri serendah mungkin, ia menyadari bahwa meski dirinya berada di titik terendah fisik, ia justru berada di titik tertinggi spiritual dalam pandangan Al-Khabīr.
Shalat menjadi media untuk berinteraksi dengan Dzat yang halus dan tak terlihat. Ini mendorong khushu' (kekhusyukan) yang bersumber dari rasa takzim dan malu, karena kita tahu bahwa Dia dapat melihat segala penglihatan itu.
Ayat ini mendorong perenungan yang melampaui permukaan. Ketika kita melihat keindahan alam, kita harus menyimpulkan kehalusan Sang Pencipta. Kita melihat hasil (penciptaan) yang menakjubkan, tetapi kita tidak melihat Dzat (Pencipta) yang menghasilkan. Ini adalah prinsip Ghaib (Kegaiban) yang harus diterima melalui iman.
Tadabbur yang benar terhadap ayat ini mengajarkan bahwa meskipun kita tidak bisa melihat Allah, kita bisa melihat tanda-tanda kehalusan-Nya di mana-mana—dalam pola sayap kupu-kupu, dalam pergerakan air di lautan, dan dalam kompleksitas emosi manusia.
Untuk mencapai keluasan kata yang diperlukan, kita harus membedah konsep Luṭf secara hiper-detail, karena ia merupakan inti dari mengapa Dzat Allah tidak dapat dicapai. Kehalusan bukan hanya sifat, tetapi metode Allah dalam berinteraksi dengan realitas yang Dia ciptakan.
Allah Al-Laṭīf mengatur waktu dengan presisi yang halus. Setiap momen dalam sejarah kosmik, dari Big Bang hingga kehancuran alam semesta, telah diatur dalam sebuah jalinan Luṭf. Manusia, dengan indranya yang terbatas pada masa kini, seringkali tidak mampu melihat pola besar (grand design). Namun, Al-Laṭīf melihat seluruh garis waktu secara simultan, dan tindakan-Nya pada satu titik waktu memiliki resonansi halus yang memengaruhi titik waktu yang lain.
Sebagai contoh, suatu peristiwa kecil yang terjadi ribuan tahun lalu mungkin menjadi prasyarat bagi kejadian besar hari ini. Ini adalah bukti bahwa tindakan Ilahi tidak kasar dan terpisah, melainkan halus, terintegrasi, dan saling terkait. Kehalusan ini memastikan bahwa tidak ada cacat, tidak ada kekurangan, dan tidak ada celah dalam manajemen kosmik-Nya.
Intervensi Ilahi (Tawfiq) seringkali merupakan bentuk Luṭf yang paling nyata, meskipun paling tersembunyi. Ketika seorang hamba berniat melakukan kebaikan, dan kemudian tiba-tiba diberikan kemudahan atau dorongan tak terjelaskan untuk melakukannya, itulah Luṭf. Ketika ia berniat jahat, dan tiba-tiba ada halangan sepele (seperti terlambat bangun atau lupa kunci) yang mencegahnya, itu juga Luṭf.
Tindakan-tindakan ini begitu halus sehingga kita menganggapnya sebagai kebetulan atau kesalahan. Namun, Al-Laṭīf adalah Dzat yang mampu melakukan intervensi dengan kehalusan ekstrem, menjaga kehendak bebas manusia sambil tetap mengarahkan hasilnya sesuai dengan Hikmah-Nya yang mendalam.
Kesadaran akan Luṭf ini mengubah perspektif mukmin terhadap kegagalan. Kegagalan bukanlah akhir, melainkan mungkin sebuah pergeseran halus yang dirancang oleh Al-Laṭīf untuk melindungi hamba-Nya dari skenario yang lebih buruk atau untuk membuka jalan yang lebih baik yang belum terlihat oleh mata fisik.
Ayat 103 menegaskan batasan indra fisik, yang secara implisit mendorong penggunaan akal (‘Aql) dan hati (Qalb) sebagai instrumen utama untuk mengenal Allah.
Mata adalah indra yang mudah tertipu (ilusi optik), terbatas oleh spektrum cahaya, dan rentan terhadap distorsi perspektif. Jika Allah dapat dicapai oleh mata yang begitu cacat, maka konsepsi kita tentang Tuhan juga akan cacat. Dengan menafikan kemampuan mata untuk mencapai Dzat-Nya, Allah justru meninggikan status-Nya dari batasan-batasan fisik.
Kelemahan mata ini kontras dengan kekuatan Al-Khabīr yang memiliki pandangan mutlak. Ketika kita mengetahui bahwa alat penglihatan kita sendiri berada di bawah pengawasan sempurna-Nya, kita mengalihkan fokus dari apa yang kita lihat ke Dzat yang membuat kita melihat.
Karena penglihatan tidak dapat mencapai-Nya, maka satu-satunya jalan yang valid untuk mengenal-Nya adalah melalui wahyu yang Dia turunkan. Al-Qur’an dan Sunnah berfungsi sebagai 'panduan penglihatan spiritual' yang memungkinkan kita memahami sifat-sifat-Nya (Asma’ul Husna) dan tindakan-tindakan-Nya (Af’al) tanpa perlu mencoba memaksakan wujud-Nya ke dalam kerangka material yang terbatas.
Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu adalah pengetahuan yang dijamin kebenarannya, tidak seperti pengetahuan indrawi yang selalu relatif dan terbatas. Ayat 103 adalah undangan untuk meninggalkan skeptisisme materialistik yang hanya mempercayai apa yang dapat disentuh atau dilihat, dan beralih kepada keyakinan yang berbasis pada Transendensi dan Keagungan Ilahi.
Untuk benar-benar memahami keluasan Al-Khabīr, kita harus merenungkan jangkauan pengetahuan-Nya yang mencakup setiap interaksi dan setiap detail yang kita anggap remeh.
Seorang manusia mungkin menyembunyikan kejahatan dalam senyuman atau menyembunyikan keikhlasan dalam kesederhanaan. Mata manusia sering tertipu oleh penampilan luar. Namun, Al-Khabīr mengetahui esensi niat tersebut. Dia tahu apakah sebuah sedekah diberikan dengan riya’ (pamer) atau dengan keikhlasan total, meskipun wujud fisik dari sedekah itu sama.
Hal ini memberikan dimensi keadilan yang sempurna. Penghargaan dan hukuman di akhirat didasarkan bukan pada apa yang terlihat, melainkan pada apa yang diketahui oleh Al-Khabīr, yaitu niat yang tersembunyi. Inilah mengapa wa huwa yudrikul-abṣāra sangat penting; Dia tidak hanya melihat pandangan, tetapi Dia memahami motif di balik pandangan itu.
Ambillah contoh ekosistem terkecil. Kehidupan mikroba di tanah, rantai makanan di lautan yang gelap gulita, atau mekanisme fotosintesis di hutan tropis. Tidak ada ilmuwan manusia yang dapat mengklaim pengetahuan sempurna atas keseluruhan sistem biologis di Bumi. Selalu ada variabel yang belum terungkap, interaksi yang belum terpahami.
Namun, Al-Khabīr tidak hanya mengetahui setiap variabel tersebut; Dia yang merancangnya. Keberadaan setiap spesies, setiap siklus biogeokimia, semuanya berada dalam pengetahuan dan kendali-Nya. Kompleksitas tak terhingga dari ciptaan ini menjadi bukti kuat bahwa Dzat yang mengatur semua ini adalah Dzat yang Maha Halus (Al-Laṭīf) dan harus berada di luar jangkauan pandangan terbatas makhluk-Nya.
Kesadaran ini membawa pada kekaguman (tawakkul) yang mendalam: keyakinan bahwa segala sesuatu, dari yang terbesar hingga terkecil, diatur dengan kecermatan Ilahi yang tak terbandingkan. Inilah puncak pemahaman tentang keagungan Surah Al-An'am Ayat 103.
Ayat ini adalah mercusuar tauhid. Ia menggarisbawahi keunikan Allah, membersihkan akidah dari segala bentuk keserupaan dengan makhluk, dan pada saat yang sama, menegaskan kehadiran-Nya yang meliputi, halus, dan sangat detail dalam setiap aspek eksistensi. Keyakinan sejati datang bukan dari apa yang kita lihat, melainkan dari apa yang kita yakini tentang Dzat yang tidak dapat dilihat, namun yang selalu melihat kita.