Ayat ke-102 dari Surah Al Baqarah merupakan salah satu ayat Al-Qur'an yang paling kompleks dan padat makna, membahas tema-tema krusial yang melibatkan kenabian, sihir, kekufuran, dan ujian ilahi. Ayat ini tidak hanya berfungsi sebagai narasi sejarah, tetapi juga sebagai peringatan abadi bagi umat manusia mengenai batas antara mukjizat sejati yang berasal dari Allah SWT dan sihir yang berasal dari bisikan setan.
Terjemahan Makna:
Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir dan tidak mengerjakan sihir, hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut. Dan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun hingga keduanya menyatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaanya itu apa yang dapat memisahkan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak akan dapat mencelakakan seseorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan mereka dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat. Dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (Q.S. Al Baqarah: 102)
Ayat 102 muncul setelah pembahasan mengenai kaum Bani Israil dan penolakan mereka terhadap ajaran Rasulullah Muhammad SAW. Ayat ini secara spesifik menyoroti kekeliruan sejarah yang diyakini oleh sebagian Bani Israil di masa lalu, terutama tuduhan bahwa Nabi Sulaiman AS adalah seorang penyihir. Ayat ini berfungsi sebagai koreksi ilahi terhadap narasi yang salah tersebut.
Inti pertama dari ayat ini adalah membersihkan nama Nabi Sulaiman AS dari tuduhan sihir. Sebagian kelompok Yahudi, terutama setelah wafatnya Sulaiman dan hilangnya kerajaan besar Daud dan Sulaiman, mulai menghubungkan kehebatan dan kekuasaan Sulaiman dalam mengendalikan jin, angin, dan hewan, sebagai hasil dari sihir, bukan mukjizat kenabian. Tuduhan ini sangat merusak karena menyamakan kenabian dengan praktik setan.
Gambar 1: Perbedaan antara Ilmu Kenabian (Mukjizat) dan Praktik Sihir (Kekufuran).
Al-Qur'an secara tegas membantah tuduhan ini: “Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman... padahal Sulaiman tidak kafir.” Penafian ini mutlak. Nabi Sulaiman adalah seorang Rasul yang mulia, dan apa yang ia lakukan adalah karunia (mukjizat) dari Allah, bukan hasil dari perjanjian atau praktik sihir dengan setan. Sebaliknya, ayat tersebut menegaskan bahwa setanlah yang kafir dan yang mengajarkan sihir kepada manusia, memanfaatkan nama Sulaiman untuk melegitimasi praktik kotor mereka.
Lafazh وَمَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ (apa yang dibacakan oleh setan-setan) merujuk pada buku-buku sihir atau mantra-mantra yang diciptakan oleh jin atau manusia durhaka, yang diklaim berasal dari hikmah Sulaiman. Para ahli tafsir, seperti Ibn Katsir, menjelaskan bahwa setan-setan ini mencatat berbagai jenis sihir dan klaim palsu, menanamkannya di bawah tahta Sulaiman ketika kerajaan itu dihancurkan. Setelah itu, setan-setan ini menyebarkan cerita bahwa Sulaiman menguasai dunia berkat buku-buku tersebut. Orang-orang Yahudi, yang cenderung mencari jalan pintas atau praktik duniawi, memungut buku-buku tersebut, meninggalkan Taurat, dan mulai mempraktikkan sihir.
Kekafiran sejati, menurut ayat ini, ada pada setan-setan yang menyebarkan kebohongan ini. Mereka kafir karena mengajarkan sesuatu yang merusak iman dan karena menyandarkan kekuasaan ilahi pada ilmu hitam. Ini adalah pembedaan teologis yang sangat penting: Kenabian adalah cahaya tauhid; Sihir adalah kegelapan syirik.
Bagian kedua ayat 102 membahas kisah Harut dan Marut, dua malaikat yang diturunkan di Babilonia (Babil). Bagian ini adalah inti teologis lain yang menjelaskan bagaimana sihir itu menyebar dan mengapa ia menjadi ujian berat bagi manusia.
Ayat menyebutkan: “...dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut.” Babilonia kuno dikenal sebagai pusat studi astronomi dan sihir. Allah menurunkan dua malaikat ini sebagai bentuk ujian (fitnah) bagi manusia.
Tafsir klasik sepakat bahwa tugas Harut dan Marut bukanlah menyebarkan sihir sebagai ibadah, melainkan mengajarkan cara sihir itu bekerja sebagai peringatan. Namun, sebelum mengajarkan, mereka memberikan syarat yang sangat keras dan jelas:
“Dan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun hingga keduanya menyatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.’”
Pernyataan ini menunjukkan betapa seriusnya perbuatan mempelajari sihir. Kedua malaikat itu bertindak sebagai alarm spiritual. Mereka menyampaikan bahwa pengetahuan ini adalah pedang bermata dua: ia bisa digunakan untuk mengenali kejahatan sihir, tetapi jika digunakan untuk tujuan kejahatan atau bahkan sekadar mengagungkannya, maka pelakunya jatuh dalam kekufuran.
Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai hakikat Harut dan Marut, namun pandangan mayoritas yang diterima (seperti oleh Hasan al-Basri dan lainnya) adalah bahwa mereka diturunkan sebagai ujian. Mereka diutus untuk:
Meskipun kedua malaikat tersebut menyampaikan peringatan keras, orang-orang di Babil (terutama yang berhati keras) tetap memilih untuk mempelajari sihir tersebut, mengabaikan peringatan “fala takfur” (janganlah kamu kafir).
Gambar 2: Harut dan Marut, diturunkan sebagai Fitnah (Ujian) di Babilonia.
Ayat 102 memberikan contoh spesifik tentang praktik sihir yang paling berbahaya dan terkenal yang dipelajari dari Harut dan Marut—yaitu sihir yang bertujuan untuk memisahkan pasangan suami istri.
“Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dapat memisahkan antara seorang (suami) dengan istrinya.” Ayat ini menunjukkan betapa destruktifnya sihir. Keharmonisan rumah tangga adalah fondasi masyarakat. Ketika sihir digunakan untuk menghancurkan ikatan suci pernikahan, ia menghancurkan ketenangan dan stabilitas umat.
Para ahli sihir menggunakan berbagai metode, seringkali melibatkan jampi-jampi yang ditujukan kepada jin untuk menciptakan kebencian, keraguan, dan ilusi visual yang membuat pasangan melihat satu sama lain sebagai makhluk yang mengerikan atau menjijikkan. Meskipun efeknya terasa nyata dan merusak, Al-Qur'an segera memberikan batasan yang krusial.
Pembahasan sihir dalam Islam selalu tunduk pada satu prinsip Tauhid yang tidak dapat diganggu gugat: “Dan mereka itu (ahli sihir) tidak akan dapat mencelakakan seseorang pun kecuali dengan izin Allah.”
Ini adalah titik penyeimbang teologis. Meskipun sihir adalah kejahatan yang nyata dan memiliki efek yang terbukti, ia tidak memiliki kekuatan mandiri. Efeknya hanya terjadi jika Allah mengizinkannya sebagai bagian dari takdir dan ujian bagi hamba-Nya. Prinsip ini mengajarkan umat Islam untuk tidak takut pada sihir itu sendiri, melainkan takut hanya kepada Allah, dan mencari perlindungan hanya kepada-Nya (Tawakkal).
Ayat penutup 102 berfungsi sebagai peringatan keras tentang kerugian abadi yang ditanggung oleh orang-orang yang memilih sihir dan kekufuran.
“Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan mereka dan tidak memberi manfaat.” Ilmu sihir adalah ilmu yang merusak, bahkan bagi pelakunya. Selain menyebabkan dosa besar, ia merusak jiwa, mengasingkan pelakunya dari Rahmat Allah, dan membuat mereka bergantung pada entitas setan yang pada akhirnya akan meninggalkan mereka.
Kerugian terbesar adalah di akhirat: “Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat (min khalaq).” Lafazh khalaq di sini berarti bagian, nasib, atau keuntungan. Orang yang memilih sihir (menjual imannya demi sihir) tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun dari kebaikan atau rahmat di hari kiamat.
Ayat ditutup dengan kalimat yang menghujam: “Dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” Ini adalah perumpamaan tentang transaksi yang paling merugi. Mereka menukar iman dan keselamatan abadi dengan kenikmatan atau kekuasaan duniawi yang fana dan haram melalui sihir.
Jika mereka benar-benar memahami nilai dari Surga dan murkanya Neraka, mereka tidak akan pernah melakukan perdagangan yang bodoh dan merugikan ini. Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan nilai sejati dari iman (Tauhid) dibandingkan dengan godaan duniawi, sekecil apapun itu.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman Ayat 102, kita perlu menelaah pandangan para ulama tafsir dan fiqih mengenai hakikat sihir, keterkaitannya dengan jin, dan hukum syariat bagi pelakunya.
Secara bahasa, sihir (سحر) berarti sesuatu yang halus, tersembunyi, atau yang mengubah hakikat suatu benda di mata orang. Secara istilah syar'i, para ulama memiliki definisi yang luas, tetapi intinya sihir selalu melibatkan unsur yang haram:
Imam Al-Qurtubi dan Imam Ar-Razi menekankan bahwa sihir yang dibahas di Babil dan yang dilakukan oleh setan yang menuduh Sulaiman adalah sihir jenis pertama, yang intinya adalah kekufuran dan syirik. Keduanya sepakat bahwa sihir merupakan kejahatan yang paling merusak tauhid.
Berdasarkan konteks ayat 102, yang secara eksplisit menghubungkan sihir dengan kekufuran (“fala takfur” dan “hanya setan-setan itulah yang kafir”), mayoritas ulama salaf dan khalaf berpandangan bahwa mempelajari dan mempraktikkan sihir, terutama yang melibatkan interaksi dengan setan (Syirk), adalah perbuatan kufur akbar (kekafiran besar) yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Pandangan Mazhab Fiqih:
Ayat 102 memberikan landasan teologis utama untuk hukum ini, yaitu bahwa sihir adalah antitesis dari Wahyu Ilahi, dan memilih sihir berarti menolak Allah sebagai satu-satunya sumber kekuatan.
Ayat 102 sangat penting karena secara permanen memisahkan garis antara kekuasaan kenabian dan praktik setan. Kebingungan ini muncul karena Nabi Sulaiman AS memang memiliki kontrol atas jin, angin, dan hewan.
Kekuatan Sulaiman adalah Mukjizat (keajaiban yang diberikan Allah kepada Nabi sebagai bukti kenabian). Mukjizat adalah karunia yang didapat melalui ketaatan dan doa (“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” - Q.S. Sad: 35). Mukjizat meningkatkan iman dan ketaatan.
Kekuatan sihir, sebaliknya, adalah Istidraj (penyesatan bertahap) yang didapat melalui kekufuran, syirik, dan penghinaan terhadap syariat. Sihir merusak iman dan membawa pelakunya kepada kesesatan.
Tujuan kekuasaan Sulaiman adalah menegakkan tauhid, keadilan, dan menyebarkan syariat Allah. Dampaknya adalah kemakmuran dan petunjuk.
Tujuan sihir adalah menciptakan perpecahan, kerugian, dan kerusakan (“ma yufarriquna bihi baina al-mar'i wa zaujih”). Dampaknya adalah kekacauan dan kekufuran.
Dengan demikian, Al-Qur'an memastikan bahwa sejarah tidak mencampuradukkan kenabian yang suci dengan praktik kotor para setan dan pengikut mereka.
Meskipun kisah Harut dan Marut terjadi di masa lalu, dan tuduhan terhadap Sulaiman telah dibantah, pelajaran dari Ayat 102 tetap sangat relevan bagi umat Islam saat ini, khususnya dalam menghadapi fitnah dan praktik sihir yang mungkin masih terjadi.
Pelajaran terpenting dari ayat ini adalah penguatan Tauhid. Karena sihir hanya bekerja dengan izin Allah, perlindungan terbaik bukanlah melalui ilmu sihir tandingan, melainkan melalui keyakinan yang teguh kepada Allah SWT. Jika seseorang meyakini bahwa hanya Allah yang bisa memberi manfaat atau mudarat, maka kekuatan sihir akan terasa nihil.
Ketakutan yang berlebihan terhadap sihir itu sendiri dapat merusak Tauhid. Seorang Muslim harus menjaga pandangan bahwa sihir hanyalah salah satu bentuk musibah, sama seperti penyakit atau bencana alam, yang kesemuanya berada di bawah kendali mutlak Sang Pencipta.
Ayat 102 secara implisit mendorong umat Islam untuk kembali kepada wahyu. Jika sihir adalah bacaan setan, maka penawarnya adalah bacaan Allah. Inilah yang menjadi dasar bagi praktik Ruqyah Syar’iyyah, yaitu pengobatan dan perlindungan diri melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan doa-doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Ayat-ayat perlindungan, seperti Al-Fatihah, Ayat Kursi (Al Baqarah 255), Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas, berfungsi sebagai benteng spiritual. Khususnya, surat Al-Falaq dan An-Nas secara eksplisit diturunkan untuk melindungi dari kejahatan malam dan kejahatan tukang sihir.
Gambar 3: Kekuatan Tauhid dan Ruqyah sebagai perisai spiritual melawan sihir.
Kedalaman makna ayat 102 juga terletak pada pemilihan lafazhnya yang sangat spesifik. Analisis linguistik membantu kita mengunci pemahaman teologis yang dimaksudkan oleh Al-Qur'an.
Akar kata س-ح-ر (s-h-r) memiliki konotasi tersembunyi. Misalnya, waktu sahur (sebelum fajar) disebut demikian karena sifatnya yang tersembunyi atau samar. Ketika diterapkan pada sihir, ia merujuk pada praktik yang mengubah persepsi atau kenyataan dengan cara yang tersembunyi dari pandangan umum.
Para ulama bahasa membagi sihir menjadi dua: (1) Sesuatu yang terjadi akibat perjanjian dan bantuan jin (hakiki) dan (2) Sesuatu yang mengelabui mata (seperti ilusi optik). Ayat 102 jelas membahas jenis pertama, yang efeknya nyata dan membutuhkan kekufuran sebagai biaya transaksional.
Lafazh yang digunakan Harut dan Marut, “innamā naḥnu fitnah” (sesungguhnya kami hanya cobaan), menunjukkan bahwa kehadiran mereka di Babilonia adalah murni pengujian. Dalam bahasa Arab, fitnah berarti ujian atau cobaan yang memisahkan yang baik dari yang buruk, seperti emas dimurnikan dari kotoran dengan api.
Ayat ini mengajarkan bahwa Allah terkadang menghadirkan sarana kejahatan secara eksplisit (seperti pengetahuan sihir) di hadapan manusia, untuk melihat apakah manusia akan menggunakan akal dan iman mereka untuk memilih kebaikan atau apakah mereka akan terjerumus ke dalam kekufuran yang telah diperingatkan.
Kata khalaq (tiadalah baginya keuntungan di akhirat) memiliki makna porsi atau bagian yang ditentukan. Penggunaan kata ini sangat kuat. Ini bukan sekadar kerugian, tetapi penolakan total terhadap janji surga. Barangsiapa membeli sihir, ia telah membuang seluruh 'bagian' kebahagiaan abadinya. Ini menggambarkan kerugian yang absolut dan permanen.
Kisah Harut dan Marut adalah salah satu subjek yang paling banyak diperdebatkan dalam tafsir. Penting untuk membedakan antara narasi yang diterima secara luas dan narasi yang ditolak oleh para ulama kritikus.
1. Versi Populer (Riwayat Israiliyyat): Sebagian riwayat menyebutkan bahwa malaikat Harut dan Marut meremehkan dosa manusia. Allah kemudian menantang mereka untuk hidup di bumi dengan nafsu manusia. Mereka gagal dalam ujian tersebut (melakukan perzinaan, minum khamr, dan bahkan membunuh) karena godaan seorang wanita (Zuhrah). Setelah kegagalan itu, mereka dihukum digantung terbalik di Babilonia. Versi ini sering ditemukan dalam kitab-kitab tafsir awal yang mengambil dari sumber Israiliyyat (kisah Yahudi/Kristen).
2. Versi yang Diterima oleh Ulama Muta’akhirin (Pendapat Akidah yang Benar): Versi ini menyatakan bahwa malaikat adalah makhluk yang ma’shum (terjaga dari dosa besar). Tugas Harut dan Marut murni pengajaran, sebagai ujian bagi manusia. Mereka mengajarkan cara sihir bekerja—bukan karena mereka tergoda oleh sihir—tetra karena mereka diperintah untuk memberikan pengetahuan yang membedakan sihir dari mukjizat. Mereka selalu menyertai pengajaran mereka dengan peringatan tegas, “Janganlah kamu kafir.” Riwayat Israiliyyat yang menyebutkan kedua malaikat itu berzina dan minum khamr, dinilai lemah, bertentangan dengan konsensus Ahlu Sunnah mengenai sifat malaikat, dan ditolak oleh para ulama seperti Ibn Hazm dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah.
Al-Qur’an sendiri tidak memberikan detail tentang dosa yang dilakukan oleh malaikat, tetapi menekankan peran mereka sebagai ujian (fitnah) dan menekankan bahwa tujuan mereka adalah untuk mencegah kekufuran (fala takfur).
Inti dari ayat ini adalah bahwa bahkan ketika pengetahuan berbahaya diizinkan untuk diakses, Allah telah menyediakan peringatan yang jelas dan konsekuensi yang tegas. Tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan manusia yang memilih untuk mengabaikan peringatan tersebut demi mengejar kekuatan terlarang.
Ayat 102 memberikan pelajaran fiqih yang sangat tajam mengenai batasan antara dosa (fasiq) dan kekufuran (kufr).
Sihir merupakan kejahatan yang unik karena ia hampir selalu merupakan syirik akbar (kemusyrikan besar) atau kufur akbar (kekafiran besar). Ini berbeda dengan dosa besar lain seperti membunuh atau berzina, yang membuat pelakunya fasiq, tetapi belum tentu kafir.
Mengapa sihir adalah kekufuran? Karena untuk mendapatkan layanan atau kemampuan dari setan/jin, seorang tukang sihir harus menaati perintah setan tersebut, yang hampir selalu berupa:
Tindakan-tindakan ini secara langsung menafikan Tauhid Rububiyah (keyakinan bahwa hanya Allah yang menguasai) dan Uluhiyah (keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah). Oleh karena itu, sihir adalah pengkhianatan total terhadap ikrar keimanan.
Ayat ini juga memberikan pelajaran tentang pentingnya memilih ilmu. “Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan mereka dan tidak memberi manfaat.”
Ilmu yang bermanfaat adalah yang mendekatkan diri kepada Allah, baik ilmu agama (Syariah) maupun ilmu dunia (misalnya kedokteran, teknik) yang diniatkan untuk kemaslahatan umat. Ilmu sihir, meskipun mungkin memberikan keuntungan duniawi yang cepat (seperti memisahkan suami istri atau mencari kekayaan), pada hakikatnya adalah kebodohan spiritual yang hanya mendatangkan kerugian abadi. Kerugian ini jauh lebih besar daripada manfaat fana yang didapat di dunia.
Pernyataan ini adalah kritikan tajam terhadap Bani Israil yang meninggalkan Kitab Suci (Taurat dan hikmah Sulaiman) dan memilih buku-buku sihir. Mereka menukar warisan kenabian yang membawa cahaya dan keselamatan dengan kegelapan yang menjanjikan kehancuran.
Sebagai penutup dari analisis yang mendalam, kita harus merangkum nilai-nilai pendidikan (tarbiyah) yang terkandung dalam Surah Al Baqarah ayat 102, yang menjadikannya ayat yang tak lekang oleh waktu.
Al-Qur'an sebagai kitab yang menjaga kebenaran, memastikan bahwa tuduhan keji terhadap Nabi Sulaiman AS tidak bertahan. Ini mengajarkan umat Islam untuk selalu menjaga kehormatan para Nabi dan Rasul, dan tidak membiarkan narasi yang merusak Tauhid mencemari kisah mereka. Ini adalah perlindungan terhadap sejarah agama yang suci.
Ayat ini menetapkan batas moral yang sangat jelas: upaya untuk memisahkan suami istri melalui cara setan adalah salah satu bentuk kejahatan terbesar yang harus dihindari. Keluarga adalah institusi ilahi, dan sihir yang menyerangnya adalah serangan terhadap seluruh tatanan masyarakat yang diridhai.
Ketika Bani Israil memilih sihir di atas hikmah yang diturunkan kepada mereka, mereka menunjukkan prioritas yang salah. Ayat 102 menegaskan kembali bahwa mengejar ilmu yang membawa pada kekufuran atau kerugian abadi adalah kebodohan yang nyata, meskipun ilmu itu tampak kuat atau menarik secara duniawi.
Kisah Harut dan Marut adalah bukti bahwa pengetahuan tanpa iman adalah berbahaya. Pengetahuan tentang sihir, meskipun diturunkan oleh malaikat, tidak menyelamatkan pelakunya dari hukuman jika mereka mengabaikan peringatan untuk tidak kafir.
Secara keseluruhan, Surah Al Baqarah Ayat 102 adalah pilar teologis yang menegaskan supremasi Tauhid, menolak segala bentuk praktik sihir sebagai kekufuran, dan mengingatkan bahwa kekuasaan apapun di alam semesta, termasuk efek sihir, sepenuhnya berada dalam genggaman dan izin Allah SWT.
Umat Islam diperintahkan untuk menjauhi jalan setan dan senantiasa berlindung hanya kepada Yang Maha Kuasa, Dzat yang memiliki segala manfaat dan mudarat.
***
Untuk melengkapi pembahasan mengenai ayat yang sangat panjang dan kaya ini, kita perlu mengulangi dan memperkuat beberapa poin teologis kunci yang sering kali terlewatkan dalam diskusi singkat mengenai sihir.
Penting untuk memahami intensitas penafian dalam ayat ini. Allah SWT mengulang penegasan: “وَ مَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ” (dan Sulaiman tidaklah kafir). Ini adalah penegasan yang mendalam, yang berfungsi untuk melindungi kenabian dari asosiasi dengan ilmu hitam. Tuduhan bahwa seorang nabi besar menggunakan sihir adalah bentuk penghinaan terbesar, sebab nabi adalah pembawa wahyu dan antitesis dari praktik setan. Dengan menolak tuduhan ini, Al-Qur'an secara efektif membatalkan semua narasi yang berkembang di luar ajaran Islam yang mencoba menyandingkan mukjizat dengan sihir. Mukjizat adalah kemuliaan, sihir adalah kehinaan.
Salah satu alasan mengapa Bani Israil tertarik pada buku-buku sihir adalah janji kekuatan dan kontrol yang cepat. Ayat 102 menjadi cerminan dari kecenderungan manusia modern yang ingin mencapai hasil tanpa usaha yang halal, tanpa kesabaran, dan tanpa ketaatan. Sihir, dalam konteks modern, bisa dipandang sebagai simbol segala jalan pintas yang haram yang menukar keberkahan abadi dengan kesenangan duniawi yang instan dan penuh kerugian.
Mereka yang memilih sihir melakukan transaksi yang merusak: mereka menukar ketaatan yang sulit dengan kekufuran yang mudah. Padahal, jalan yang diridhai Allah adalah jalan kesabaran, kerja keras, dan penantian pahala di akhirat.
Kontras antara ilmu yang "mencelakakan mereka dan tidak memberi manfaat" dan ilmu kenabian (wahyu) sangatlah jelas. Umat Islam diwajibkan untuk memprioritaskan ilmu yang membawa pada ketaatan dan keselamatan (ilmu agama), dan ilmu yang membawa manfaat nyata bagi kemanusiaan (ilmu duniawi). Ilmu sihir adalah ilmu yang harus diketahui untuk dihindari, bukan untuk dipraktikkan. Sebagaimana Harut dan Marut mengajarkannya sebagai peringatan, tujuannya adalah membedakan kebenaran dari kebatilan, bukan untuk ikut serta dalam kebatilan tersebut.
Fokus ayat pada sihir pemisah antara suami istri menunjukkan betapa sihir bukan hanya dosa individu, tetapi juga kejahatan sosial. Pernikahan adalah benteng moral umat; ketika benteng itu dihancurkan, masyarakat akan rapuh. Oleh karena itu, sihir memiliki konsekuensi yang luas, membenarkan mengapa hukumannya sangat berat dalam syariat Islam, karena ia mengancam stabilitas keseluruhan umat.
Hukum yang keras terhadap sihir menunjukkan perlindungan syariat terhadap lima kebutuhan dasar (maqashid syariah): agama (dengan memerangi syirik), jiwa (dengan menolak kerusakan), akal (dengan menolak ilusi setan), keturunan/keluarga (dengan melindungi pernikahan), dan harta.
***
Meskipun Ayat 102 secara spesifik membahas sihir, pemahaman kita mengenai sihir harus didukung oleh ayat-ayat kunci lainnya dalam Surah Al Baqarah, khususnya Ayat Kursi (Ayat 255), yang sering dibaca sebagai pelindung utama dari kejahatan yang disebarkan oleh setan dan tukang sihir.
Ayat Kursi adalah manifestasi dari Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah yang sempurna. Dengan memahami Ayat Kursi, seorang Muslim memperkuat keyakinan bahwa Allah adalah “Al-Hayyul Qayyum” (Yang Maha Hidup lagi Terus Menerus Mengurus), yang kekuasaan-Nya meliputi seluruh langit dan bumi.
Ketika seseorang membacakan Ayat Kursi, ia sedang menegaskan kembali prinsip yang menjadi penyeimbang dalam Ayat 102: “Wa laa yuhithuuna bi syai’in min ‘ilmihi illa bi maa syaa’” (Mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya). Ini paralel dengan prinsip “illa bi idznillah” (kecuali dengan izin Allah) dalam Ayat 102. Sihir, sekuat apa pun, tidak bisa melampaui kehendak dan izin Allah. Ayat Kursi adalah pengingat bahwa semua kekuatan, termasuk setan, tunduk pada keagungan Allah.
Ayat 102 mengajarkan bahwa rasa takut terhadap kekuatan selain Allah adalah pintu masuk syirik. Semakin seseorang bergantung pada jampi-jampi terlarang atau metode sihir tandingan, semakin ia tergelincir dari Tauhid. Sebaliknya, keimanan yang didasarkan pada Tauhid yang murni (seperti yang dijelaskan dalam Ayat Kursi) menghasilkan ketenangan jiwa dan tawakkal yang mutlak. Inilah perlindungan yang paling hakiki, yang ditawarkan oleh Wahyu Ilahi, berlawanan dengan kegelapan yang dijual oleh setan di Babilonia.
Kesimpulan dari penafsiran ayat ini, yang diperkuat oleh hadis-hadis Nabi SAW, adalah bahwa sihir bukanlah sekadar pelanggaran etika, melainkan pelanggaran mendasar terhadap akidah. Pelaku sihir adalah musuh masyarakat dan musuh utama agama karena mereka berusaha menghancurkan Tauhid. Konsep kekufuran yang terkait dengan sihir dalam Ayat 102 harus dipahami sebagai peringatan keras dari Allah kepada seluruh umat manusia untuk tidak pernah mempertaruhkan iman mereka demi kekuasaan atau keuntungan duniawi yang bersifat sementara. Nilai surga tidak dapat ditukar dengan seluruh sihir yang ada di dunia.
***
Demikianlah analisis mendalam mengenai Surah Al Baqarah Ayat 102, sebuah ayat yang tidak hanya menceritakan sejarah para nabi dan ujian masa lalu, tetapi juga memberikan pedoman abadi bagi seorang Mukmin dalam menghadapi fitnah, menjaga Tauhid, dan memilih jalan ilmu yang bermanfaat di atas jalan kegelapan dan kekufuran.