Surah Al-Hajj adalah salah satu surah yang memiliki keunikan tersendiri dalam Al-Qur'an. Surah ini memadukan tema-tema Makkiyah yang menekankan tauhid dan ancaman hari akhir, dengan tema-tema Madaniyah yang membahas hukum-hukum ibadah, terutama ritual haji. Inti dari surah ini, sebagaimana tercermin sejak ayat pembukaannya yang mengguncang, adalah penegasan tentang kedahsyatan dan kepastian Hari Kiamat. Dalam rangkaian argumentasi yang sangat kuat, Allah SWT menyampaikan jaminan bahwa setelah kehidupan dunia yang fana, akan ada kehidupan abadi di mana setiap jiwa akan dibangkitkan. Penegasan mutlak ini mencapai puncaknya pada Ayat 7, sebuah deklarasi yang menyimpulkan semua bukti yang telah disajikan sebelumnya.
Ayat 7 Surah Al-Hajj (terletak pada juz ke-17) tidak hanya berfungsi sebagai penutup dari rangkaian ayat tentang penciptaan manusia dari tanah dan kebangkitan alam semesta (Ayat 5 dan 6), tetapi juga merupakan poros keyakinan eskatologis (akhir zaman) dalam Islam. Ayat ini merupakan janji ilahi yang tidak mungkin diingkari, menetapkan prinsip dasar bahwa Hari Kiamat adalah kenyataan yang tak terhindarkan dan bahwa Allah memiliki kekuasaan penuh atas segala sesuatu, termasuk membangkitkan kembali mereka yang telah mati dan hancur di dalam kubur.
Ayat yang ringkas namun padat makna ini memuat dua penegasan utama yang saling terkait erat, keduanya didahului oleh kata penegas "Wa anna" (وَأَنَّ), yang berarti "dan sesungguhnya." Penegasan pertama adalah kepastian waktu yang dijanjikan, dan penegasan kedua adalah perwujudan kekuasaan ilahi di waktu tersebut, yaitu kebangkitan. Pemahaman mendalam terhadap kata kunci dalam ayat ini, seperti As-Sa'ah (الساعة), La Raiba Fīhā (لَّا رَيْبَ فِيهَا), dan Yab'ath (يَبْعَثُ), sangat penting untuk mengupas seluruh hikmah yang terkandung di dalamnya.
Secara harfiah, As-Sa'ah berarti "jam" atau "waktu tertentu." Namun, dalam terminologi Al-Qur'an, istilah ini merujuk kepada Hari Kiamat, momen akhir dari kehidupan dunia ini dan permulaan kehidupan akhirat. Penggunaan kata "sa'ah" menyiratkan bahwa kedatangan Kiamat adalah peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba dan dalam sekejap mata, menegaskan bahwa tidak ada seorang pun, selain Allah SWT, yang mengetahui kapan waktu pastinya. Penekanan pada "sa'ah" di sini mengingatkan manusia akan kesementaraan hidup duniawi dan perlunya persiapan. Hal ini adalah kontras dengan pandangan kaum musyrikin Mekkah yang meragukan kemungkinan kiamat, menganggapnya hanya sebagai dongeng masa lalu. Ayat ini membersihkan keraguan tersebut dengan pernyataan tegas.
Kehadiran As-Sa'ah dalam konteks Surah Al-Hajj, khususnya setelah gambaran kengerian di Ayat 1 dan 2, menciptakan suasana urgensi spiritual. Kedatangan As-Sa'ah bukanlah sekadar akhir dari waktu, melainkan awal dari pertanggungjawaban. Segala perbuatan, baik besar maupun kecil, akan dipertimbangkan. Karena itu, penegasan "As-Sa'ah ātiyatun" (Kiamat pasti datang) adalah fondasi moral bagi perilaku manusia. Jika tidak ada hari perhitungan, motivasi untuk berbuat adil dan saleh akan hilang, yang menunjukkan pentingnya keyakinan ini bagi struktur masyarakat yang beretika.
Frasa ini adalah jantung dari penegasan ilahi. Raiba (ريب) berarti keraguan, kebimbangan, atau kekhawatiran. Dengan meniadakan keraguan (La Raiba), Allah menetapkan Kiamat sebagai sebuah kepastian ontologis—sebuah kebenaran yang tidak tunduk pada spekulasi atau penolakan manusia. Dalam literatur tafsir, frasa ini berfungsi sebagai tantangan langsung terhadap kaum ateis dan musyrikin yang seringkali mempertanyakan bagaimana tulang belulang yang telah hancur dapat dihidupkan kembali.
Ketiadaan keraguan ini diperkuat oleh konteks sebelum Ayat 7, yaitu bukti-bukti kekuasaan Allah yang terlihat dalam penciptaan alam (Ayat 5 dan 6). Jika Allah mampu menciptakan manusia dari ketiadaan (setetes air mani) dan kemudian mematikan bumi yang kering lalu menghidupkannya kembali dengan hujan, maka membangkitkan manusia dari kubur adalah hal yang sangat mungkin, bahkan relatif lebih mudah bagi Kekuasaan Mutlak-Nya. Oleh karena itu, keraguan atas Kiamat sama dengan keraguan atas Kekuasaan dan Kebenaran Allah secara keseluruhan.
Kata kerja Yab'ath (يَبْعَثُ) secara bahasa berarti "mengirim" atau "membangkitkan." Dalam konteks eskatologi, ia merujuk pada kebangkitan kembali jasad dan roh dari kematian. Ayat ini secara spesifik menyebut "man fī al-qubūr" (orang-orang yang berada di dalam kubur). Penggunaan istilah "kubur" (al-qubūr) di sini harus dipahami secara luas, mencakup semua tempat peristirahatan terakhir, baik yang dikubur di tanah, yang tenggelam di lautan, yang terbakar menjadi abu, maupun yang dimakan binatang buas.
Penegasan bahwa Allah membangkitkan semua yang ada di kubur menyoroti sifat universal dari kebangkitan. Ini bukanlah kebangkitan parsial atau selektif, tetapi mencakup seluruh umat manusia sejak Nabi Adam AS hingga manusia terakhir yang hidup sebelum As-Sa'ah tiba. Maksud utama dari pernyataan ini adalah bahwa kematian fisik bukanlah akhir dari eksistensi, melainkan transisi sementara menuju Barzakh, sebelum akhirnya kembali dikumpulkan untuk perhitungan. Kekuatan Allah melampaui batas-batas fisik kematian dan kehancuran materi.
Visualisasi Kebangkitan: Dari Tanah menuju Kehidupan Baru.
Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya menekankan bahwa ayat ini merupakan balasan tegas terhadap orang-orang yang meragukan. Ia menjelaskan bahwa urutan ayat ini—dari gambaran kengerian Kiamat (Ayat 1-2), kemudian bukti penciptaan (Ayat 5), hingga penegasan Kiamat dan Kebangkitan (Ayat 7)—adalah sebuah urutan logis yang tidak dapat dibantah. Al-Qurtubi fokus pada makna "wa anna" (dan sesungguhnya), yang berfungsi sebagai sumpah yang diperkuat. Penegasan ini wajib diterima sebagai bagian fundamental dari akidah. Menurut Al-Qurtubi, jika seseorang meragukan janji Allah untuk membangkitkan, ia secara tidak langsung meragukan kekuasaan Allah atas segala sesuatu.
Al-Qurtubi juga membahas pandangan filosofis yang menolak kebangkitan fisik (hanya roh), dan dengan tegas menolak pandangan tersebut, mengacu pada frasa "man fī al-qubūr". Kubur adalah tempat jasad, yang menunjukkan bahwa kebangkitan yang dimaksud adalah kebangkitan jasad (fisik) dan roh secara bersamaan. Jika hanya roh yang dibangkitkan, maka penggunaan kata "kubur" menjadi tidak relevan, karena roh tidak berada di dalam kubur. Kebangkitan fisik adalah bukti nyata dari kesempurnaan Kekuasaan Ilahi.
Ibn Kathir, seperti tafsir klasik lainnya, selalu merujuk kepada ayat-ayat sebelumnya sebagai konteks. Menurut Ibn Kathir, Ayat 7 adalah kesimpulan yang tak terhindarkan dari Ayat 5 dan 6. Ayat 5 memberikan contoh bagaimana Allah memulai penciptaan dari setetes air yang hina (nutfah), melalui berbagai tahapan biologis yang kompleks (alaqah dan mudhghah), hingga manusia mencapai usia tua atau meninggal di tengah perjalanan hidup. Ayat 6 kemudian memberikan bukti alamiah: bumi yang mati dihidupkan kembali oleh hujan. Ketika manusia merenungkan proses ini, bagaimana mungkin mereka masih meragukan kebangkitan?
Ibn Kathir menyatakan bahwa tujuan Allah memberikan bukti-bukti tersebut adalah untuk memastikan bahwa manusia tidak memiliki alasan logis untuk menolak Al-Ba'th (kebangkitan). Ayat 7 menyimpulkan bahwa kebangkitan dari kubur adalah keniscayaan yang didukung oleh semua bukti empiris tentang kekuasaan Allah dalam penciptaan dan menghidupkan kembali. Keyakinan akan As-Sa'ah dan Al-Ba'th adalah tanda iman yang benar kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Benar.
Tafsir kontemporer, seperti yang dilakukan oleh Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur'an, melihat ayat ini sebagai penegasan yang membawa dampak psikologis dan moral yang besar. Qutb menekankan bahwa kepastian Hari Kiamat adalah satu-satunya landasan yang menjamin keadilan mutlak. Di dunia ini, kezaliman seringkali tidak terbalaskan, dan orang-orang saleh seringkali teraniaya. Jika tidak ada Sa'ah dan kebangkitan, maka keadilan ilahi akan terasa tidak sempurna.
Ayat 7, dengan jaminan kebangkitan, memastikan bahwa setiap perbuatan akan diadili. Ini adalah motivasi tertinggi bagi seorang mukmin untuk terus berbuat baik, karena kebangkitan menjamin bahwa tidak ada kebaikan yang sia-sia dan tidak ada kejahatan yang luput dari perhitungan. Dalam pandangan modern, ini juga dapat dilihat sebagai keajaiban di tingkat atomik. Ketika ilmu pengetahuan modern mulai memahami bahwa informasi genetik (DNA) tersimpan dengan sempurna dalam partikel sekecil apapun, hal ini semakin memperkuat keyakinan bahwa Allah mampu mengumpulkan kembali materi yang tercerai-berai dan membangkitkan kembali setiap individu dengan identitasnya yang utuh.
Intisari dari Surah Al-Hajj Ayat 7 adalah: Kepastian (Kiamat adalah pasti) dan Kekuasaan (Allah mampu membangkitkan). Kedua hal ini merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya Al-Haqq (Kebenaran dan Keadilan Ilahi).
Ayat 6 Surah Al-Hajj menyatakan, "Demikianlah (kejadian itu) karena sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Benar (Al-Haqq) dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati, dan sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu." Ayat 7 kemudian datang sebagai konsekuensi langsung dari Ayat 6. Karena Allah adalah Al-Haqq, maka janji-Nya tentang Kiamat (Ayat 7) juga haruslah haq (benar).
Nama Allah Al-Haqq (Kebenaran Mutlak) adalah alasan teologis utama mengapa kebangkitan adalah sebuah keniscayaan. Jika Allah, yang esensinya adalah Kebenaran, telah berjanji bahwa Kiamat akan datang dan bahwa Dia akan membangkitkan penghuni kubur, maka janji itu tidak mungkin palsu atau dibatalkan. Konsep Al-Haqq menyiratkan bahwa firman-Nya adalah kebenaran, tindakan-Nya adalah kebenaran, dan perhitungan-Nya adalah kebenaran. Orang-orang musyrik Mekkah menolak kebangkitan karena mereka mengukur kekuasaan Tuhan dengan keterbatasan kemampuan manusia. Mereka bertanya, "Setelah kami menjadi tulang belulang dan debu, apakah kami akan dibangkitkan?" Jawaban dari Ayat 7 ini adalah: Ya, karena Allah adalah Al-Haqq, dan janji kebangkitan adalah realisasi dari Kebenaran Mutlak-Nya.
Penolakan terhadap kebangkitan adalah penolakan terhadap sifat ketuhanan Al-Haqq. Jika kebangkitan itu tidak terjadi, maka firman Allah mengandung keraguan, dan itu bertentangan dengan sifat-Nya. Oleh karena itu, keyakinan kepada As-Sa'ah dan Al-Ba'th bukan hanya masalah keyakinan terhadap peristiwa masa depan, tetapi merupakan penerimaan total terhadap Keesaan dan Kebenaran Sang Pencipta. Segala keraguan mengenai kebangkitan adalah keraguan yang tidak berdasar, karena telah ditegaskan bahwa tidak ada keraguan sedikit pun pada janji tersebut (La Raiba Fīhā).
Selain Al-Haqq, sifat Al-Adl (Maha Adil) juga menuntut adanya Hari Kebangkitan. Dalam kehidupan dunia, manusia diberi kehendak bebas dan dihadapkan pada ujian. Namun, tidak semua keadilan ditegakkan di dunia. Banyak pelaku kezaliman yang hidup dalam kemewahan hingga akhir hayat, sementara banyak orang yang teraniaya dan sabar tidak menerima balasan yang setimpal di dunia.
Jika siklus kehidupan berhenti di kematian, maka keadilan yang sempurna tidak pernah tercapai, dan itu bertentangan dengan sifat Allah sebagai Al-Adl. Kebangkitan adalah panggung di mana keadilan universal ditegakkan sepenuhnya, di mana setiap hak yang terampas dikembalikan, dan setiap perbuatan dibalas dengan setimpal. Oleh karena itu, janji membangkitkan mereka yang berada di kubur adalah manifestasi paling agung dari Keadilan Ilahi. Kebangkitan mengubah seluruh makna eksistensi, memberikan tujuan yang mendalam pada setiap penderitaan dan perjuangan moral di dunia fana ini.
Salah satu argumen terkuat Al-Qur'an untuk membuktikan kebangkitan adalah perbandingan logis. Musuh-musuh kebenaran sering bertanya, "Mengapa Allah tidak menciptakan kita kembali seperti awal?" Allah membalas dengan pertanyaan retoris: Apakah lebih sulit untuk memulai penciptaan dari ketiadaan, atau mengulang kembali penciptaan dari sisa-sisa yang ada? Jawabannya jelas, mengulang adalah lebih mudah.
Dalam konteks Surah Al-Hajj, Ayat 5 menjelaskan bahwa manusia diciptakan melalui proses yang sangat rumit: dari tanah, kemudian air mani, menjadi segumpal darah (alaqah), lalu segumpal daging (mudhghah), yang sebagian berbentuk sempurna dan sebagian tidak. Proses ini, dari materi yang paling dasar hingga makhluk yang paling kompleks (manusia), adalah bukti luar biasa dari kemampuan Allah. Jika Dia mampu melakukan permulaan yang rumit itu, maka proses kebangkitan, meskipun terlihat mustahil bagi akal manusia, adalah hal yang sangat mudah bagi Kekuasaan Mutlak (Al-Qadir). Kebangkitan hanyalah sebuah perintah Kun Fayakun (Jadilah, maka jadi).
Allah adalah Al-Haqq, sehingga janji kebangkitan adalah mutlak benar.
Keyakinan teguh terhadap Surah Al-Hajj Ayat 7 memiliki dampak transformatif yang sangat besar terhadap kehidupan seorang mukmin. Ketika kepastian akan As-Sa'ah tertanam kuat, pola pikir dan tindakan manusia akan berubah secara radikal. Ayat ini bukan sekadar informasi teologis, tetapi seruan moral untuk bertindak.
Sadar bahwa Hari Kiamat "lā raiba fīhā" (tiada keraguan padanya) mendorong individu untuk meningkatkan taqwa (ketakwaan). Jika perhitungan pasti akan terjadi, maka tidak ada gunanya menunda amal saleh atau terlibat dalam dosa. Kebangkitan dari kubur bukanlah pilihan, melainkan takdir. Hal ini memunculkan rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap setiap pilihan yang diambil, karena hasilnya akan dihadapi di hadapan Allah.
Ayat ini berfungsi sebagai peringatan yang abadi, menjaga hati mukmin dari kelalaian duniawi yang berlebihan. Dunia (dunya) yang penuh godaan dan kesenangan sesaat akan kehilangan daya tariknya jika dibandingkan dengan kepastian kehidupan abadi yang dimulai setelah kebangkitan. Seorang mukmin yang memahami Ayat 7 akan selalu mengorientasikan hidupnya pada persiapan menuju akhirat, memastikan bahwa saat ia dibangkitkan, ia telah membawa bekal amal yang cukup.
Bagi mereka yang menderita atau menghadapi kesulitan yang luar biasa di dunia, keyakinan pada kebangkitan adalah sumber ketenangan yang tak terbatas. Ayat 7 memastikan bahwa penderitaan di dunia ini bersifat sementara dan keadilan yang hilang pasti akan ditemukan. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa semua musibah yang menimpa orang beriman akan dihapus dosanya, dan bagi yang tertindas, pertolongan dan balasan terbaik telah menanti setelah Al-Ba'th.
Oleh karena itu, ketika menghadapi kematian orang-orang tercinta, seorang mukmin berpegang teguh pada janji bahwa mereka yang berada di kubur akan dibangkitkan. Kematian hanyalah tidur panjang menanti panggilan kebangkitan. Ini memberikan perspektif yang berbeda tentang kehilangan, mengubah kesedihan menjadi harapan akan pertemuan abadi di akhirat.
Ayat 7 juga memberikan argumen yang kuat bagi umat Islam dalam berdialog dengan mereka yang menyangkal eksistensi akhirat. Penyangkalan terhadap kebangkitan seringkali berakar pada keangkuhan intelektual, di mana manusia merasa dapat mengukur semua kekuasaan Tuhan dengan keterbatasan ilmu pengetahuan mereka sendiri. Al-Qur'an secara konsisten menantang pandangan ini. Manusia hanya mengetahui sedikit tentang rahasia roh dan materi; bagaimana mereka bisa mengklaim bahwa kebangkitan adalah hal yang mustahil bagi Sang Pencipta alam semesta?
Jawaban "lā raiba fīhā" adalah jawaban mutlak yang menutup semua pintu perdebatan. Pertanyaan mengenai "bagaimana" bukanlah domain manusia, melainkan domain Kekuasaan Ilahi. Tugas manusia adalah menerima kepastian janji tersebut berdasarkan bukti-bukti yang telah diberikan, baik yang bersifat logis (analogi penciptaan) maupun yang bersifat firman (wahyu).
Untuk memahami sepenuhnya kekuatan Ayat 7, kita harus melihat posisinya dalam narasi Surah Al-Hajj:
Surah ini dibuka dengan seruan keras kepada seluruh manusia: "Yā ayyuhan nāsuttaqū Rabbakum, inna zalzalatas-sā‘ati syai'un 'aẓīm" (Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya kegoncangan Hari Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar). Ayat-ayat ini menggambarkan kengerian yang akan terjadi, termasuk ibu yang melupakan anaknya yang disusui dan wanita hamil yang keguguran karena dahsyatnya peristiwa itu. Ini adalah pendahuluan yang bertujuan untuk menanamkan rasa takut dan kesadaran akan realitas Hari Akhir.
Setelah menakut-nakuti dengan gambaran Kiamat, Allah beralih ke ranah ilmiah dan filosofis untuk memberikan bukti bahwa Kiamat dan Kebangkitan bukanlah hal yang mustahil. Ayat 5 menjelaskan tahap-tahap penciptaan manusia—bukti bahwa Allah memulai kehidupan dari materi yang paling dasar. Kemudian, Ayat 6 memberikan bukti eksternal, yaitu siklus kehidupan bumi: "Dan engkau melihat bumi itu kering, kemudian apabila Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu..."
Kedua ayat ini (5 dan 6) berfungsi sebagai dalil (bukti) rasional. Jika Allah mampu menciptakan manusia dari sel yang tidak terlihat dan menghidupkan kembali bumi yang mati setiap musim semi, maka membangkitkan miliaran manusia dari kubur adalah perwujudan dari Kekuasaan yang sama, bahkan lebih mudah karena itu adalah pengulangan. Ayat 7 adalah kesimpulan logis dari bukti-bukti ini: "Maka ketahuilah, dan sesungguhnya Hari Kiamat itu pasti datang..."
Setelah menyatakan kepastian kebangkitan di Ayat 7, ayat-ayat selanjutnya beralih ke respon manusia. Ayat 8 berbicara tentang jenis manusia yang masih berdebat tentang Allah tanpa ilmu, petunjuk, atau kitab yang memberi penerangan. Ini menunjukkan bahwa meskipun bukti-bukti telah jelas (Ayat 5-7), akan selalu ada pihak yang menolak kebenaran karena kesombongan atau ketidaktahuan.
Rangkaian ini menunjukkan strategi Qur'ani yang cermat: dimulai dengan peringatan keras, diikuti dengan bukti-bukti yang tidak terbantahkan, diakhiri dengan penegasan mutlak (Ayat 7), dan kemudian mendiskusikan respons hati manusia terhadap kebenaran tersebut.
Ketika Ayat 7 berbicara tentang As-Sa'ah, ia merujuk pada Kiamat Besar (Qiyamah al-Kubra), yaitu penghancuran total alam semesta dan permulaan kebangkitan. Namun, pemahaman tentang kebangkitan juga berhubungan erat dengan Kiamat Kecil (Qiyamah al-Sughra), yaitu kematian individu.
Kematian adalah kiamat bagi setiap individu. Saat seseorang meninggal, ia memasuki alam Barzakh, sebuah periode transisi antara kehidupan dunia dan Hari Kebangkitan. Meskipun Ayat 7 secara eksplisit berbicara tentang kebangkitan fisik dari kubur, proses kematian itu sendiri adalah pengingat harian akan janji besar di masa depan. Setiap jenazah yang dimakamkan adalah janji yang sedang ditunda. Kematian adalah bukti awal bahwa Allah memegang kendali penuh atas kehidupan dan akhir dari setiap makhluk.
Ayat 7 berfokus pada kebangkitan fisik universal. Ini adalah momen ketika man fī al-qubūr dibangkitkan. Para ulama tafsir menekankan bahwa kebangkitan ini terjadi setelah tiupan sangkakala yang kedua. Jasad yang telah hancur dan menjadi tanah akan dikumpulkan kembali. Hadis Rasulullah SAW menjelaskan bahwa tubuh manusia akan hancur kecuali tulang ekor (‘ajb al-dhanab), dari mana manusia akan diciptakan kembali. Keajaiban kebangkitan ini menegaskan kembali tema Surah Al-Hajj: Kekuatan Allah SWT adalah tanpa batas.
Pentingnya membedakan kedua jenis kiamat ini adalah untuk memahami urgensi. Meskipun Kiamat Besar masih jauh dan waktunya tersembunyi, Kiamat Kecil dapat datang kapan saja. Oleh karena itu, persiapan yang didorong oleh keyakinan pada Ayat 7 harus dilakukan hari ini, bukan besok. Kepastian As-Sa'ah yang lā raiba fīhā menuntut tindakan segera dan konsisten dalam ibadah dan moralitas.
Mengapa Al-Qur'an, dan khususnya Surah Al-Hajj, mengulang-ulang tema kebangkitan dengan berbagai analogi? Jawabannya terletak pada keengganan dasar manusia untuk menerima konsep akhirat, terutama jika kebangkitan fisik yang dimaksud. Secara psikologis, manusia cenderung percaya hanya pada apa yang dapat mereka lihat dan sentuh.
Di masa turunnya Al-Qur'an, dan bahkan hingga kini, penolakan terhadap kebangkitan adalah titik perdebatan utama antara mukmin dan non-mukmin. Para penyangkal menggunakan argumen materialistik: "Bagaimana mungkin tulang yang hancur menjadi hidup lagi?" Untuk mengatasi inersia kognitif ini, Al-Qur'an menggunakan repetisi dan variasi bukti:
Ayat 7 adalah puncak dari strategi ini, di mana setelah penyajian bukti-bukti yang rasional, Allah memberikan penutup yang mutlak, tidak memberi ruang bagi interpretasi lain: "lā raiba fīhā". Pengulangan ini adalah metode pedagogis ilahi untuk memastikan bahwa keyakinan akan hari akhir tertanam kuat dan tidak goyah oleh godaan atau keraguan sekular.
Setiap pengulangan tema kebangkitan memiliki dua fungsi: memberikan harapan kepada orang-orang saleh dan memberikan peringatan keras kepada orang-orang fasik. Bagi yang saleh, kebangkitan berarti pahala abadi. Bagi yang fasik, kebangkitan berarti penghukuman yang tidak terhindarkan.
Surah Al-Hajj Ayat 7, dengan pendeklarasiannya bahwa Allah akan membangkitkan semua yang di kubur, secara efektif menempatkan semua manusia pada kedudukan yang sama di hadapan Keadilan Ilahi. Status sosial, kekayaan, atau kekuatan duniawi tidak akan lagi berarti. Hanya amal shaleh yang akan menjadi penentu. Kesadaran ini adalah fondasi bagi etika Islam, yang selalu menekankan bahwa kehidupan dunia hanyalah ladang untuk menanam benih amal yang akan dituai di Hari Kebangkitan.
Frasa "Yab'ath man fī al-qubūr" (Membangkitkan semua orang yang di dalam kubur) memerlukan analisis yang lebih rinci mengenai istilah al-qubūr. Sebagaimana dijelaskan oleh para ahli tafsir, "kubur" di sini bukan hanya merujuk pada liang lahat fisik yang digali di tanah, tetapi merupakan konsep teologis yang lebih luas, merujuk pada alam Barzakh, atau alam antara.
Alam Barzakh adalah dimensi di mana ruh berada setelah terpisah dari jasad hingga hari kiamat. Meskipun jasad mungkin telah hancur total, ruh berada dalam kondisi tertentu, merasakan kenikmatan atau siksaan, tergantung pada amal perbuatannya di dunia. Ketika Al-Qur'an menyebut kubur, ia menggunakan simbol yang paling mudah dipahami oleh manusia—tempat peristirahatan terakhir jasad—untuk merujuk pada keadaan mati secara umum, terlepas dari di mana jasad itu berakhir.
Ini menjawab keraguan yang mungkin muncul: Bagaimana dengan orang yang mati karena tenggelam dan jasadnya hilang, atau dimakan api hingga menjadi abu? Apakah mereka juga dibangkitkan dari kubur? Ya. Karena bagi Allah, lokasi fisik jasad tidak relevan. Kekuasaan-Nya mencakup setiap partikel yang pernah membentuk jasad tersebut, di mana pun ia berada. Istilah "kubur" berfungsi sebagai penanda kolektif untuk semua tempat peristirahatan jiwa yang telah berpisah dari kehidupan duniawi.
Penegasan bahwa Allah membangkitkan "yang di kubur" adalah penegasan kekuasaan Allah atas materi yang paling terfragmentasi. Para penyangkal kebangkitan selalu fokus pada kehancuran materi. Mereka berargumen bahwa tidak mungkin mengumpulkan kembali partikel yang tersebar dan menggabungkannya menjadi bentuk semula. Ayat 7 adalah jawaban lugas: Allah, yang menciptakan partikel-partikel tersebut, memiliki catatan sempurna atas keberadaan dan lokasi setiap atom yang pernah menjadi bagian dari tubuh seseorang.
Kekuasaan ini bahkan melampaui waktu. Allah telah menetapkan batas akhir kehidupan di kubur (Barzakh), dan ketika saatnya tiba (As-Sa'ah), Dia akan memanggil mereka kembali. Proses ini adalah manifestasi sempurna dari ilmu Allah yang Maha Meliputi (Al-'Alīm) dan Kekuasaan-Nya yang Mutlak (Al-Qadīr).
Dari segi hukum dan argumen teologis (hujjah), Ayat 7 adalah penutup argumen. Setelah bukti-bukti penciptaan (Ayat 5) dan penghidupan kembali alam (Ayat 6), tidak ada lagi alasan yang sah untuk menolak kebangkitan. Allah telah memberikan bukti yang cukup dan kemudian mengikrarkan janji-Nya tanpa keraguan. Maka, bagi siapa pun yang masih menolak kebangkitan, ia menghadapi sanksi teologis yang berat karena menolak janji Al-Haqq.
Oleh karena itu, Surah Al-Hajj Ayat 7 bukan hanya sebuah pernyataan keyakinan; ia adalah fondasi arsitektur akidah Islam, menegaskan bahwa kehidupan ini memiliki tujuan, dan bahwa di akhir dari semua perjalanan, setiap manusia akan berdiri di hadapan Sang Pencipta dalam sebuah perhitungan yang adil dan benar. Keyakinan akan Al-Ba'th adalah pembeda antara kehidupan yang bermakna dan kehidupan yang sia-sia tanpa pertanggungjawaban.
Surah Al-Hajj Ayat 7, dengan segala kesederhanaan kalimatnya, mengandung bobot teologis yang luar biasa. Ayat ini memantapkan dua pilar fundamental iman: pertama, bahwa Hari Kiamat (As-Sa'ah) adalah kepastian yang tidak dapat diragukan sedikit pun (lā raiba fīhā); dan kedua, bahwa Allah memiliki kekuasaan mutlak untuk membangkitkan semua manusia yang berada di kubur (yab'ath man fī al-qubūr). Kedua pilar ini berdiri tegak di atas sifat Allah sebagai Al-Haqq (Kebenaran Mutlak) dan Al-Adl (Maha Adil).
Penegasan kebangkitan di Surah Al-Hajj, yang berada di antara gambaran kengerian Kiamat dan bukti-bukti penciptaan alam, memberikan perspektif yang lengkap tentang eksistensi. Ia mengingatkan kita bahwa keberadaan kita di dunia ini adalah ujian, dan bahwa setiap detik yang kita jalani adalah investasi untuk kehidupan yang abadi. Keyakinan pada Ayat 7 adalah kunci untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan taqwa, harapan, dan kepatuhan mutlak kepada kehendak Ilahi. Ini adalah inti dari pesan wahyu: sesungguhnya, kehidupan ini adalah fana, dan janji kebangkitan adalah Al-Haqq yang kekal.