Ilustrasi simbolis Surah Al-Humazah: api yang membakar harta dan kesombongan HARTA Ilustrasi simbolis Surah Al-Humazah: api yang menghancurkan kesombongan dan harta yang ditumpuk.

Kupas Tuntas Surah Al-Humazah: Latin, Terjemahan, dan Tafsirnya

Surah Al-Humazah (Pengumpat) adalah surah ke-104 dalam Al-Qur'an. Surah ini tergolong sebagai surah Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Terdiri dari sembilan ayat yang singkat namun padat makna, surah ini membawa pesan yang sangat kuat dan relevan sepanjang zaman. Fokus utamanya adalah memberikan peringatan keras terhadap tiga perilaku tercela yang saling berkaitan: mengumpat (ghibah), mencela (namimah), dan menumpuk harta dengan keserakahan sambil menganggapnya sebagai sumber keabadian. Surah ini melukiskan dengan jelas balasan pedih yang menanti para pelaku perbuatan tersebut, yaitu Neraka Huthamah, api Allah yang menyala-nyala dan sanggup menembus hingga ke dalam hati.

Surah Al-Humazah menjadi cerminan bagi setiap individu untuk senantiasa menjaga lisan, perbuatan, dan hatinya dari penyakit-penyakit sosial yang merusak. Ia mengajarkan bahwa kehormatan seseorang tidak diukur dari banyaknya harta yang ia kumpulkan, melainkan dari ketakwaan dan kebersihan jiwanya. Dengan gaya bahasa yang tegas dan gambaran azab yang mengerikan, surah ini bertujuan untuk mengguncang kesadaran manusia agar menjauhi kesombongan, materialisme, dan kebiasaan merendahkan orang lain.

Bacaan Lengkap Surah Al-Humazah: Arab, Latin, dan Terjemahan

Berikut adalah teks lengkap Surah Al-Humazah beserta tulisan latin dan terjemahan dalam bahasa Indonesia untuk mempermudah pemahaman dan penghafalan.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍۙ (١)

Wailul likulli humazatil lumazah.

Celakalah setiap pengumpat lagi pencela,

الَّذِيْ جَمَعَ مَالًا وَّعَدَّدَهٗۙ (٢)

Allażī jama‘a mālaw wa ‘addadah.

yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,

يَحْسَبُ اَنَّ مَالَهٗٓ اَخْلَدَهٗۚ (٣)

Yaḥsabu anna mālahū akhladah.

dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.

كَلَّاۗ لَيُنْۢبَذَنَّ فِى الْحُطَمَةِۖ (٤)

Kallā, layumbażanna fil-ḥuṭamah.

Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Huthamah.

وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْحُطَمَةُۗ (٥)

Wa mā adrāka mal-ḥuṭamah.

Dan tahukah kamu apakah (neraka) Huthamah itu?

نَارُ اللّٰهِ الْمُوْقَدَةُۙ (٦)

Nārullāhil-mūqadah.

(Yaitu) api (azab) Allah yang dinyalakan,

الَّتِيْ تَطَّلِعُ عَلَى الْاَفْـِٕدَةِۗ (٧)

Allatī taṭṭali‘u ‘alal-af'idah.

yang (membakar) sampai ke hati.

اِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُّؤْصَدَةٌۙ (٨)

Innahā ‘alaihim mu'ṣadah.

Sungguh, api itu ditutup rapat atas (diri) mereka,

فِيْ عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ (٩)

Fī ‘amadim mumaddadah.

(sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.

Tafsir Mendalam Surah Al-Humazah Ayat per Ayat

Untuk memahami kedalaman pesan yang terkandung dalam Surah Al-Humazah, mari kita telaah makna setiap ayatnya secara lebih rinci, merujuk pada penjelasan para ulama tafsir.

Tafsir Ayat 1: Peringatan Keras bagi Pengumpat dan Pencela

Wailul likulli humazatil lumazah.

Terjemahan: Celakalah setiap pengumpat lagi pencela.

Ayat pertama langsung dibuka dengan kata "Wail" (وَيْلٌ), sebuah kata dalam bahasa Arab yang mengandung makna ancaman kecelakaan besar, kebinasaan, atau kesengsaraan yang amat dahsyat. Sebagian ulama menafsirkan "Wail" sebagai nama sebuah lembah di neraka Jahannam yang penuh dengan penderitaan. Penggunaan kata ini di awal surah menunjukkan betapa seriusnya perbuatan yang akan disebutkan setelahnya di mata Allah SWT.

Ancaman ini ditujukan kepada "kulli humazatil lumazah" (setiap pengumpat dan pencela). Terdapat perbedaan tipis namun signifikan antara humazah dan lumazah.

Humazah (هُمَزَةٍ) berasal dari kata *hamaza*, yang berarti mencela atau mengkritik di belakang atau secara tersembunyi. Ini mencakup perbuatan ghibah (menggunjing), yaitu membicarakan keburukan seseorang di saat ia tidak hadir. Perilaku ini bisa dilakukan melalui lisan, tulisan (seperti di media sosial), atau bahkan isyarat tubuh seperti lirikan mata sinis, senyuman mengejek, atau gerakan tangan yang merendahkan. Ia adalah tikaman dari belakang, merusak kehormatan orang lain tanpa sepengetahuannya.

Lumazah (لُّمَزَةٍ) berasal dari kata *lamaza*, yang berarti mencela atau menghina secara terang-terangan di hadapan orang yang bersangkutan. Ini adalah bentuk agresi verbal langsung, seperti memanggil dengan julukan buruk, mengejek kekurangan fisik, mengolok-olok status sosial, atau merendahkan martabat seseorang di depan umum. Perilaku ini menunjukkan kesombongan dan kezaliman yang nyata.

Dengan menggabungkan kedua kata ini, Allah SWT mengutuk segala bentuk perbuatan yang merusak kehormatan dan menyakiti perasaan orang lain, baik dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Ayat ini adalah deklarasi perang terhadap budaya caci maki, fitnah, dan perundungan dalam segala bentuknya.

Tafsir Ayat 2: Akar Masalah, Keserakahan Harta

Allażī jama‘a mālaw wa ‘addadah.

Terjemahan: yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.

Ayat kedua ini mengupas akar psikologis dari perilaku mengumpat dan mencela yang disebutkan sebelumnya. Sering kali, kesombongan dan kebiasaan merendahkan orang lain lahir dari perasaan superioritas yang dipicu oleh kekayaan materi. Ayat ini menggambarkan potret seorang individu yang orientasi hidupnya hanya tertuju pada dua hal: "jama'a maalan" (mengumpulkan harta) dan "wa 'addadah" (dan menghitung-hitungnya).

Frasa "jama'a maalan" tidak hanya berarti sekadar mencari nafkah yang halal. Konteksnya lebih dalam, yaitu menumpuk kekayaan dengan penuh ambisi dan keserakahan, seolah-olah tujuan hidup hanyalah untuk memperbanyak aset. Harta menjadi berhala yang dipuja, mengalahkan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas. Orang seperti ini akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan lebih banyak, tanpa peduli halal atau haram.

Frasa "wa 'addadah" memiliki makna ganda yang kuat. Secara harfiah, ia berarti "menghitung-hitungnya". Ini menggambarkan keasyikan si penumpuk harta dalam mengalkulasi kekayaannya, merasakan kenikmatan dan kepuasan dari angka-angka yang terus bertambah di rekeningnya. Namun, makna yang lebih dalam adalah menjadikan harta tersebut sebagai 'uddah (persiapan atau tameng) untuk menghadapi masa depan. Ia begitu yakin bahwa hartanya adalah bekal dan pelindung utama, sumber kekuatan dan keamanan. Ia terus menghitungnya bukan hanya karena cinta, tetapi juga sebagai cara untuk menenangkan kecemasannya akan masa depan, sebuah keyakinan yang keliru.

Perilaku ini menciptakan mentalitas bahwa nilai seseorang diukur dari jumlah kekayaannya. Akibatnya, ia memandang rendah mereka yang hartanya lebih sedikit, dan merasa berhak untuk mencela dan mengumpat mereka. Hartanya menjadi sumber arogansi yang membuatnya buta terhadap kehormatan orang lain.

Tafsir Ayat 3: Ilusi Keabadian yang Diciptakan Harta

Yaḥsabu anna mālahū akhladah.

Terjemahan: dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.

Ayat ini menyingkap angan-angan palsu yang bersemayam di hati para penumpuk harta. Kata "yahsabu" (يَحْسَبُ) berarti "dia mengira" atau "dia menyangka". Ini menunjukkan sebuah asumsi yang salah dan tidak berdasar. Apa yang ia kira? "Anna maalahu akhladah" (bahwa hartanya dapat mengekalkannya).

Tentu saja, secara rasional tidak ada seorang pun yang benar-benar percaya bahwa uang dapat mencegah kematian. Namun, ayat ini berbicara tentang kondisi psikologis dan spiritual. Orang yang terobsesi dengan harta akan hidup seolah-olah ia akan abadi di dunia ini. Hartanya memberinya ilusi kekuasaan, kontrol, dan keamanan yang begitu besar sehingga ia melupakan kefanaan hidup dan keniscayaan kematian. Ia berpikir bahwa dengan hartanya, ia bisa membeli segalanya: kesehatan terbaik, keamanan terjamin, dan status sosial yang abadi. Ia lupa bahwa kematian adalah ketetapan Allah yang tidak bisa ditunda atau dinegosiasikan dengan kekayaan sebanyak apa pun.

Sikap ini membuatnya lalai dari mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat. Baginya, investasi terbaik adalah di dunia, untuk dunianya. Ia tidak terpikir untuk berinfak, bersedekah, atau menggunakan hartanya di jalan Allah karena itu dianggap mengurangi "keabadian" dunianya. Ayat ini merupakan kritik tajam terhadap pandangan hidup materialistis yang menempatkan dunia sebagai tujuan akhir dan melupakan eksistensi akhirat.

Tafsir Ayat 4: Bantahan Tegas dan Ancaman yang Pasti

Kallā, layumbażanna fil-ḥuṭamah.

Terjemahan: Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Huthamah.

Ayat keempat datang sebagai bantahan yang sangat keras dan tegas terhadap angan-angan pada ayat sebelumnya. Kata "Kallaa" (كَلَّا) adalah partikel sanggahan yang kuat, yang bisa diterjemahkan sebagai "Sekali-kali tidak!", "Tidak sama sekali!", atau "Jauh dari itu!". Kata ini menghancurkan ilusi bahwa harta bisa memberikan keabadian. Allah SWT dengan tegas menolak seluruh asumsi keliru tersebut.

Setelah sanggahan, langsung diikuti dengan ancaman yang pasti. Frasa "layumbadzanna" (لَيُنْۢبَذَنَّ) mengandung penekanan yang berlapis. Huruf 'lam' di awal dan 'nun tasydid' di akhir (disebut Lam At-Taukid dan Nun At-Taukid) dalam tata bahasa Arab berfungsi untuk menegaskan kepastian yang tidak dapat diragukan lagi. Artinya, "pasti dan sungguh-sungguh dia akan dilemparkan". Kata "nambadz" itu sendiri memiliki makna melempar sesuatu yang hina dan tidak berharga. Ini adalah gambaran yang sangat kontras. Orang yang di dunia merasa mulia karena hartanya, di akhirat akan dicampakkan ke dalam neraka seperti sampah yang tidak bernilai.

Ke mana ia akan dilemparkan? "Fil-Huthamah" (فِى الْحُطَمَةِ). Huthamah adalah salah satu nama neraka yang secara bahasa berasal dari kata *hatama*, yang berarti menghancurkan, meremukkan, atau melumatkan sesuatu hingga berkeping-keping. Nama ini sendiri sudah memberikan gambaran betapa dahsyatnya siksaan di dalamnya. Segala sesuatu yang masuk ke dalamnya akan hancur lebur.

Tafsir Ayat 5: Pertanyaan untuk Menggugah Kesadaran

Wa mā adrāka mal-ḥuṭamah.

Terjemahan: Dan tahukah kamu apakah (neraka) Huthamah itu?

Setelah menyebut nama Huthamah, Allah SWT melontarkan sebuah pertanyaan retoris: "Dan tahukah kamu apa itu Huthamah?". Gaya bahasa seperti ini sering digunakan dalam Al-Qur'an untuk menarik perhatian pendengar atau pembaca dan untuk menekankan betapa luar biasa dan mengerikannya sesuatu yang sedang dibicarakan. Pertanyaan ini menyiratkan bahwa kedahsyatan Huthamah berada di luar jangkauan imajinasi dan pengetahuan manusia. Sehebat apa pun manusia mencoba membayangkannya, hakikatnya jauh lebih mengerikan.

Pertanyaan ini berfungsi sebagai jeda yang dramatis sebelum Allah SWT sendiri yang akan menjelaskan sifat dari Huthamah tersebut. Ini adalah cara untuk mempersiapkan mental pendengar agar benar-benar meresapi dan merasakan kengerian dari deskripsi yang akan datang, sehingga peringatan tersebut benar-benar masuk ke dalam hati.

Tafsir Ayat 6: Hakikat Huthamah, Api Milik Allah

Nārullāhil-mūqadah.

Terjemahan: (Yaitu) api (azab) Allah yang dinyalakan.

Inilah jawaban dari pertanyaan sebelumnya. Huthamah adalah "Naarullah" (نَارُ اللّٰهِ), yaitu "Api Allah". Penyandaran kata "api" kepada "Allah" (idhafah) menunjukkan bahwa ini bukanlah api biasa seperti api yang kita kenal di dunia. Api dunia adalah ciptaan Allah, tetapi api ini adalah api yang secara khusus dinisbatkan kepada-Nya, menandakan keistimewaan dalam hal kedahsyatan, panas, dan sifatnya yang menghukum. Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa api di dunia ini hanyalah satu dari tujuh puluh bagian dari panasnya api neraka.

Kata selanjutnya adalah "al-muqadah" (الْمُوْقَدَةُ), yang berarti "yang dinyalakan" atau "yang senantiasa berkobar". Kata ini memberikan makna bahwa api tersebut tidak akan pernah padam. Ia terus menerus menyala dengan kekuatan yang sama, atau bahkan lebih dahsyat, atas perintah dan kekuasaan Allah SWT. Ini bukanlah api yang membutuhkan bahan bakar seperti kayu atau minyak; bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan, dan ia menyala abadi sebagai wujud azab yang kekal bagi para penghuninya yang kafir.

Tafsir Ayat 7: Sifat Api yang Menembus Hati

Allatī taṭṭali‘u ‘alal-af'idah.

Terjemahan: yang (membakar) sampai ke hati.

Ayat ini menjelaskan sifat paling unik dan mengerikan dari Api Huthamah. Ia adalah api "yang naik atau sampai ke hati". Kata "taththali'u" (تَطَّلِعُ) berarti naik, mencapai, atau bahkan menyingkap. Sasarannya adalah "al-af'idah" (الْاَفْـِٕدَةِ), bentuk jamak dari *fu'ad*, yang berarti hati nurani atau pusat kesadaran dan perasaan.

Ini adalah sebuah fenomena di luar logika fisika dunia. Api di dunia membakar dari luar ke dalam. Ia membakar kulit, lalu daging, lalu tulang. Namun, Api Huthamah ini memiliki kemampuan untuk langsung menembus dan mencapai pusat eksistensi manusia, yaitu hati. Mengapa hati? Karena hatilah sumber dari segala niat, keyakinan, dan perasaan. Di hatilah bersemayam kesombongan, keserakahan, kedengkian, dan keyakinan keliru bahwa harta dapat mengekalkan. Maka, azab tersebut langsung menyasar sumber penyakitnya.

Siksaan ini tidak hanya bersifat fisik (rasa sakit terbakar), tetapi juga bersifat psikologis dan spiritual yang luar biasa. Bayangkan rasa sakit yang tidak hanya membakar raga, tetapi juga membakar inti dari kesadaran, emosi, dan penyesalan. Rasa sakitnya menembus hingga ke tempat di mana harapan dan keputusasaan bersemayam. Ini adalah puncak dari penderitaan yang tak terbayangkan.

Tafsir Ayat 8: Pintu yang Tertutup Rapat

Innahā ‘alaihim mu'ṣadah.

Terjemahan: Sungguh, api itu ditutup rapat atas (diri) mereka.

Ayat ini menggambarkan kondisi para penghuni Huthamah. Kata "mu'shadah" (مُّؤْصَدَةٌ) berarti "tertutup rapat" atau "terkunci rapat tanpa celah". Ini menegaskan bahwa tidak ada harapan sedikit pun untuk bisa melarikan diri atau sekadar mendapatkan sedikit kelegaan dari luar. Semua pintu neraka ditutup rapat-rapat atas mereka.

Gambaran ini melenyapkan secercah harapan pun. Keputusasaan menjadi absolut. Mereka terperangkap selamanya dalam lautan api yang menyala-nyala. Ayat ini menambah dimensi penderitaan psikologis yang luar biasa. Selain rasa sakit fisik dan spiritual, mereka juga harus menanggung siksaan mental karena mengetahui bahwa kondisi mereka abadi dan tidak ada jalan keluar.

Tafsir Ayat 9: Terikat di Tiang yang Menjulang

Fī ‘amadim mumaddadah.

Terjemahan: (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.

Ayat terakhir ini melengkapi gambaran penyiksaan dengan detail yang lebih spesifik. Para penghuni neraka tidak hanya terkurung di dalam api yang tertutup rapat, tetapi mereka juga berada dalam kondisi "fii 'amadin mumaddadah" (فِيْ عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ). Ada dua penafsiran utama mengenai frasa ini di kalangan para ulama.

Penafsiran pertama: Mereka diikat pada tiang-tiang yang sangat panjang dan menjulang tinggi. Ini adalah gambaran penghinaan dan ketidakberdayaan yang total. Mereka tidak bisa bergerak bebas, terbelenggu dalam posisi yang menyakitkan, sementara api membakar mereka dari segala arah.

Penafsiran kedua: Kata "'amadim mumaddadah" merujuk pada palang-palang atau selot-selot panjang yang digunakan untuk mengunci pintu-pintu neraka dari luar, membuatnya semakin mustahil untuk dibuka. Kedua penafsiran ini sama-sama mengarah pada makna kepungan, ketiadaan harapan, dan siksaan yang abadi.

Dengan demikian, surah ini ditutup dengan sebuah gambaran akhir yang sangat detail dan mengerikan tentang nasib para pengumpat, pencela, dan penumpuk harta yang sombong, sebagai peringatan pamungkas bagi siapa saja yang membaca atau mendengarnya.

Pelajaran dan Hikmah dari Surah Al-Humazah

Surah Al-Humazah, meskipun singkat, sarat dengan pelajaran berharga yang dapat menjadi panduan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah beberapa hikmah utama yang bisa kita petik:

Penutup

Surah Al-Humazah adalah sebuah peringatan abadi dari Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Ia mengingatkan kita akan tiga dosa besar yang sering dianggap remeh namun memiliki dampak destruktif, baik secara sosial di dunia maupun secara individual di akhirat: mengumpat, mencela, dan keserakahan materialistis. Dengan memahami bacaan surah al humazah latin, terjemahan, serta tafsirnya, kita diajak untuk melakukan introspeksi mendalam terhadap lisan, perbuatan, dan cara pandang kita terhadap harta. Semoga Allah SWT melindungi kita dari sifat-sifat tercela tersebut dan membimbing kita menuju jalan yang diridhai-Nya, jalan yang dipenuhi dengan kerendahan hati, kepedulian terhadap sesama, dan persiapan yang matang untuk kehidupan abadi di akhirat.

🏠 Kembali ke Homepage