Surah Al-Isra (Perjalanan Malam) adalah salah satu surah Makkiyah yang kaya akan panduan moral, spiritual, dan etika sosial. Di antara banyak perintah yang diajarkan, Allah SWT memberikan perhatian khusus pada bagaimana seorang Muslim harus mengelola sumber daya dan harta yang dimilikinya. Islam tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga memberikan cetak biru yang komprehensif untuk ekonomi pribadi dan masyarakat, memastikan keadilan, keseimbangan, dan keberkahan.
Inti dari etika pengelolaan harta dalam Islam adalah konsep pertanggungjawaban. Harta bukanlah milik mutlak manusia, melainkan amanah dari Allah SWT. Penggunaan harta ini akan dimintai pertanggungjawaban, baik dalam hal sumbernya maupun cara penggunaannya. Di sinilah letak relevansi mendalam dari Surah Al-Isra ayat 27, sebuah ayat pendek namun memiliki implikasi teologis, filosofis, dan praktis yang sangat luas. Ayat ini bukan sekadar larangan finansial, melainkan deklarasi spiritual yang menghubungkan tindakan boros dengan identitas moral terendah: menjadi saudara setan.
Ayat ini berfungsi sebagai batas tegas (hudud) antara penggunaan harta secara bijak (sesuai syariat) dan penyimpangan yang merusak. Ketika kebutuhan primer dan sekunder telah terpenuhi, dan kewajiban seperti zakat telah ditunaikan, cara seseorang menghabiskan sisanya menentukan kedekatan spiritualnya kepada Allah atau sebaliknya, kepada entitas yang paling dibenci, yaitu Syaitan. Oleh karena itu, memahami ayat ini secara utuh memerlukan analisis mendalam terhadap terminologi, konteks, dan konsekuensi spiritualnya.
Ayat ini menggunakan tiga konsep kunci yang saling terkait dan membentuk fondasi larangan keras tersebut:
Kata Al-Mubazzirīn berasal dari kata kerja bazzara (بَذَّرَ), yang secara harfiah berarti 'menyebar' atau 'menghamburkan benih'. Ketika diterapkan pada harta, ia merujuk pada tindakan menghabiskan kekayaan secara sembarangan, tanpa tujuan yang sah, dan tanpa memerhatikan nilai atau hak orang lain. Para ulama tafsir memberikan nuansa yang mendalam mengenai makna tabzir, membedakannya dari sekadar israf (berlebihan).
Ini adalah istilah sanksi moral yang paling berat dalam ayat tersebut. 'Saudara' di sini tidak diartikan secara biologis, melainkan sebagai kemitraan dalam perbuatan, kesamaan tujuan, dan keterikatan spiritual. Orang yang melakukan tabzir sangat mirip dengan setan dalam beberapa aspek fundamental:
Bagian penutup ayat ini berfungsi sebagai alasan logis mengapa Mubazzir disebut saudara setan. Setan disebut kafūrā (sangat ingkar/kufur). Kufur di sini tidak hanya berarti tidak percaya (ingkar teologis), tetapi juga berarti ‘tidak bersyukur’ atau ‘menutup-nutupi nikmat’. Pemborosan (tabzir) adalah manifestasi praktis dari ketidakmampuan untuk menghargai nikmat Allah (kufur nikmat). Ketika seseorang menghamburkan harta, ia menyia-nyiakan karunia Allah. Oleh karena itu, Mubazzir memiliki kesamaan sifat mendasar dengan setan: ingkar dan tidak bersyukur.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang required, kita harus menganalisis bahwa tabzir tidak hanya terbatas pada uang tunai, tetapi mencakup seluruh spektrum sumber daya yang diberikan Allah kepada manusia.
Ini adalah bentuk tabzir yang paling jelas. Ia mencakup pengeluaran yang tidak membawa manfaat duniawi maupun ukhrawi. Contoh-contoh yang dilarang keras, seperti yang dijelaskan oleh para mufassirin klasik:
Tabzir finansial menciptakan ketidakseimbangan ekonomi. Ketika orang kaya memboroskan harta, uang tersebut terperangkap dalam lingkaran konsumsi yang tidak produktif, alih-alih beredar ke tangan mereka yang membutuhkan, sehingga memperlebar jurang kemiskinan.
Para ulama kontemporer memperluas makna tabzir ke sumber daya non-finansial. Waktu adalah modal utama manusia di dunia ini. Menghabiskan waktu secara sia-sia, misalnya menonton hal yang tidak bermanfaat secara berlebihan, menunda kewajiban, atau hanya berfokus pada hiburan yang melalaikan, adalah bentuk tabzir yang lebih berbahaya daripada tabzir uang. Waktu yang hilang tidak dapat dikembalikan, menjadikannya kerugian yang mutlak.
Tubuh adalah amanah. Merusak kesehatan melalui pola hidup tidak sehat, begadang tanpa alasan yang dibenarkan syariat, atau mengonsumsi zat-zat berbahaya adalah tabzir atas nikmat kesehatan dan kekuatan. Seorang Muslim diperintahkan untuk menjaga dirinya agar dapat melaksanakan kewajiban spiritual dan sosialnya secara optimal.
Dalam konteks modern, tabzir sangat relevan dengan isu lingkungan. Penggunaan air, listrik, dan bahan bakar secara boros, atau penggunaan produk sekali pakai yang menghasilkan sampah berlebihan, merupakan tabzir atas sumber daya bumi yang diciptakan Allah. Tindakan ini merugikan generasi mendatang dan melanggar prinsip *istikhlaf* (kekhalifahan) di bumi.
Ilustrasi simbolis tentang bahaya tabzir, di mana harta dihabiskan pada jalan yang merusak dan sia-sia.
Penyebutan mubazzir sebagai ‘saudara setan’ adalah puncak dari ancaman dalam ayat ini. Ini menunjukkan bahwa tabzir bukanlah dosa kecil yang dapat diabaikan, melainkan dosa struktural yang merusak fondasi spiritual seorang Muslim. Konsekuensi dari status ini bersifat berlapis dan luas:
Seperti yang dijelaskan pada bagian akhir ayat, akar masalah setan adalah kufr (ingkar). Tabzir identik dengan kufur nikmat. Syukur (Syukr) adalah mengakui nikmat Allah, baik secara lisan, hati, maupun tindakan. Tindakan syukur melalui harta adalah dengan menggunakannya sesuai kehendak Sang Pemberi. Sebaliknya, tabzir adalah tindakan mengabaikan nilai nikmat tersebut, menganggapnya remeh, dan menghabiskannya tanpa rasa pertanggungjawaban.
Seorang mubazzir secara tidak langsung mengatakan bahwa harta itu adalah hak mutlaknya untuk digunakan sesuka hati, mengabaikan fakta bahwa dalam harta tersebut terdapat hak orang lain (zakat, sedekah) dan hak Allah (tidak digunakan untuk maksiat). Inilah yang menyelaraskan dirinya dengan sifat dasar Iblis: kesombongan dan penolakan terhadap aturan Ilahi.
Barakah (keberkahan) adalah bertambahnya kebaikan Ilahi pada sesuatu. Ketika seseorang menjadi saudara setan melalui tabzir, keberkahan hartanya dicabut. Meskipun jumlah hartanya mungkin besar, ia tidak akan pernah merasa cukup. Kekayaan yang diperoleh akan lenyap dengan cepat atau dihabiskan pada hal-hal yang tidak memberinya ketenangan jiwa, menciptakan lingkaran setan kekurangan spiritual di tengah kelimpahan materi.
Mubazzir merugikan masyarakat secara keseluruhan. Jika masyarakat didominasi oleh perilaku pemborosan, maka:
Karena dampak sosial dan moralnya yang parah, beberapa mazhab fiqih menetapkan status hukum yang ketat terhadap mubazzir. Dalam kasus ekstrem, seorang mubazzir dapat kehilangan haknya untuk mengelola hartanya sendiri (disebut *hajr*). Jika seseorang dikenal sering menghamburkan harta pada hal-hal yang diharamkan atau sia-sia, hakim dapat membatasi aksesnya terhadap hartanya, menyerahkan pengelolaan asetnya kepada wali atau pengampu yang bijaksana. Hal ini dilakukan demi menjaga kepentingan orang tersebut, keluarganya, dan masyarakat agar harta tersebut kembali kepada jalannya yang benar.
Seringkali, istilah Tabzir dan Israf (berlebihan) digunakan secara bergantian, padahal dalam terminologi Al-Qur'an dan Fiqih, keduanya memiliki perbedaan krusial yang menentukan status moral pengeluaran.
Israf (إسراف) adalah tindakan melampaui batas dalam jumlah. Seseorang disebut musrif (orang yang berlebihan) ketika ia menghabiskan terlalu banyak untuk hal yang sebenarnya dibolehkan. Misalnya, menghabiskan setengah gajinya untuk membeli makanan mewah meskipun ia hanya makan sendirian, atau membangun rumah yang terlalu besar melebihi kebutuhannya yang wajar.
Israf, meskipun tidak dihukumi seberat tabzir (saudara setan), tetap dikecam dalam Al-Qur'an (QS. Al-A’raf: 31, QS. Ghafir: 28) karena ia melanggar prinsip keseimbangan (*qasd*) dan berpotensi menyebabkan kufur nikmat di masa depan. Namun, inti dari Israf adalah kelebihan kuantitas, bukan keharaman tujuan.
Tabzir, sebagaimana dijelaskan di Al-Isra 27, adalah pengeluaran yang salah tempat, menyasar tujuan yang haram, makruh, atau benar-benar sia-sia, bahkan jika jumlah yang dikeluarkan sedikit. Seorang yang memberikan uang receh untuk membeli rokok haram atau lotre (meskipun receh) adalah mubazzir. Seorang yang memberi sedekah 10 juta rupiah kepada fakir miskin (tujuan benar) tetapi gajinya 15 juta, ia bisa disebut musrif, namun tidak bisa disebut mubazzir.
Ayat 27 menargetkan Tabzir karena ia mencerminkan penyakit hati dan niat yang selaras dengan tujuan Syaitan—yaitu membuang-buang karunia Allah dan mengarah pada kerusakan moral. Tabzir selalu mengarah kepada kebatilan, sementara Israf bisa terjadi dalam kebaikan, meskipun tidak bijaksana.
Penyelamat dari Tabzir dan Israf adalah Al-Qasd, yang berarti jalan tengah atau keseimbangan. Allah memuji hamba-hamba-Nya yang sempurna (Ibadur Rahman) dalam Surah Al-Furqan, dengan menyatakan bahwa ketika mereka membelanjakan harta, mereka tidak berlebihan (israf) dan tidak pula kikir (qatar), tetapi berada di tengah-tengahnya (QS. Al-Furqan: 67). Prinsip ini menekankan bahwa setiap tindakan finansial harus berdasarkan kebutuhan, kemanfaatan, dan ketaatan, jauh dari ekstrem boros maupun pelit.
Di era globalisasi dan hiper-konsumerisme, pesan Surah Al-Isra 27 semakin mendesak dan relevan. Masyarakat modern sering didorong oleh iklan dan media sosial untuk melakukan pemborosan masif, yang mencakup segala bentuk tabzir modern.
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) mendorong individu untuk terus membeli produk terbaru, mengikuti tren yang berubah-ubah, dan menghabiskan sumber daya finansial mereka demi validasi sosial. Pembelian impulsif dan penggantian barang yang masih berfungsi (misalnya, mengganti ponsel setiap tahun) seringkali masuk dalam kategori tabzir, terutama jika pembelian tersebut mengorbankan kewajiban yang lebih penting, seperti menabung untuk pendidikan atau membayar utang.
Pemborosan sumber daya dan produksi sampah massal (khususnya plastik dan limbah makanan) adalah bentuk tabzir yang paling menghancurkan dalam konteks lingkungan. Setiap tahun, jutaan ton makanan terbuang di negara-negara maju, sementara kelaparan masih merajalela. Ini adalah pelanggaran eksplisit terhadap etika Islam yang mengajarkan bahwa makanan harus dihormati, dan kelebihan harus dibagikan, bukan dibuang.
Dalam hadis, Rasulullah SAW melarang berwudhu dengan air berlebihan, bahkan ketika di tepi sungai yang mengalir. Jika dalam ibadah saja dilarang boros, apalagi dalam urusan duniawi yang tidak memiliki nilai ibadah. Tabzir lingkungan adalah kegagalan kita menjalankan peran sebagai khalifah yang bertanggung jawab atas bumi.
Salah satu cara Syaitan menjerat manusia adalah melalui utang konsumtif berbasis riba. Seseorang yang meminjam dengan bunga tinggi hanya untuk membiayai gaya hidup mewah yang tidak perlu sedang melakukan tabzir ganda: pemborosan harta pada hal yang tidak esensial, dan pemborosan masa depan finansialnya dengan terikat pada sistem riba yang diharamkan. Ini adalah jalur cepat menuju ‘persaudaraan’ dengan Syaitan, karena riba adalah inti dari sistem ekonomi yang tidak adil.
Pencegahan tabzir harus dimulai dengan pendidikan karakter. Ini bukan hanya tentang mengetahui mana yang halal dan haram, tetapi tentang penanaman nilai qana'ah (merasa cukup) dan zuhud (tidak terikat pada dunia). Mujahidin melawan tabzir harus membangun benteng spiritual: senantiasa mengingat bahwa segala sesuatu adalah pinjaman dan akan dimintai pertanggungjawaban. Mengelola pengeluaran bukan sekadar manajemen uang, tetapi manajemen spiritualitas.
Surah Al-Isra dikenal dengan serangkaian perintah moralnya (ayat 23 hingga 39) yang sering disebut ‘Sepuluh Perintah’ (walaupun jumlahnya lebih dari sepuluh, strukturnya mirip). Ayat 27 tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan lanjutan logis dari perintah-perintah etika sebelumnya, yang dimulai dari hak Allah, hak orang tua, hingga hak kerabat dan fakir miskin.
Perhatikan urutan ayat-ayat tersebut:
Setelah Allah memerintahkan untuk menunaikan hak-hak wajib (zakat, infak kepada kerabat dan fakir miskin), Dia segera memberikan peringatan keras untuk tidak menghamburkan sisa harta pada jalan yang batil. Ayat 26 menetapkan ‘kemana harta harus diarahkan’ (positif), dan Ayat 27 menetapkan ‘dari mana harta harus dijauhkan’ (negatif). Keduanya adalah dua sisi mata uang dalam manajemen harta yang Islami.
Menariknya, dua ayat setelah larangan tabzir, Allah juga melarang perilaku ekstrem sebaliknya: kikir (bukhul).
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (terlalu kikir) dan jangan pula kamu terlalu mengulurkannya (terlalu boros) sehingga kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra [17]: 29)
Ayat 27 memperingatkan bahaya ekstrem boros (tabzir), sementara Ayat 29 memperingatkan bahaya ekstrem kikir (bukhul), dan keduanya menegaskan pentingnya jalan tengah (qasd). Boros membuat seseorang menyesal karena hartanya lenyap, kikir membuat seseorang tercela karena tidak menunaikan hak orang lain. Keseimbangan adalah kunci kebahagiaan dunia dan akhirat.
Selain konsekuensi sosial dan finansial, tabzir memiliki efek merusak yang mendalam pada hati dan spiritualitas seseorang. Pemborosan yang terus-menerus adalah gejala dari penyakit hati yang lebih besar.
Orang yang terbiasa dengan tabzir cenderung kehilangan kepekaan terhadap penderitaan orang lain. Fokusnya selalu pada pemuasan diri sendiri dan obsesi terhadap kenikmatan materi. Bagaimana mungkin seseorang menghamburkan ribuan rupiah untuk hal yang tidak penting, sementara tetangganya berjuang untuk makan? Kehilangan empati ini adalah tanda hati yang keras, sebuah kondisi yang dicintai oleh setan.
Persaudaraan dengan setan terbentuk karena keduanya (mubazzir dan setan) sama-sama memiliki fokus pada diri sendiri yang egois. Setan menolak bersujud karena keangkuhan; mubazzir menolak berbagi atau menggunakan harta dengan bijak karena keangkuhan dan ketamakan diri.
Rasa syukur yang sejati menghasilkan kerendahan hati. Ketika seseorang bersyukur, ia merasa berkewajiban menggunakan nikmat sesuai kehendak Sang Pemberi. Tabzir, sebaliknya, menciptakan kepuasan palsu dan rasa memiliki yang berlebihan. Ini adalah lingkaran setan: semakin boros, semakin kurang bersyukur; semakin kurang bersyukur, semakin boros pula ia dalam mencari kepuasan baru yang fana.
Kufur nikmat (yang merupakan sifat setan) adalah pintu masuk utama untuk semua keburukan. Jika seseorang tidak bersyukur atas harta yang kecil, ia juga tidak akan bersyukur atas harta yang besar. Ayat 27 berfungsi sebagai pengingat bahwa ibadah kita kepada Allah tercermin dalam cara kita mengelola amanah dunia.
Hadis Nabi SAW menegaskan bahwa seorang hamba tidak akan beranjak dari hadapan Allah di hari Kiamat hingga ditanya tentang empat hal, termasuk: *“Hartanya, dari mana dia mendapatkannya dan ke mana dia membelanjakannya.”* Ayat 27 memberikan konteks yang menakutkan bagi pertanyaan ini. Membelanjakan harta pada jalan tabzir berarti tidak hanya gagal memberikan jawaban yang memuaskan, tetapi juga mengakui secara tidak langsung bahwa kita telah meniru perilaku entitas yang ingkar (setan).
Oleh karena itu, melawan tabzir adalah jihad spiritual yang berkelanjutan. Ini membutuhkan disiplin diri yang ketat, kesadaran terus-menerus akan nilai setiap rupiah, setiap detik, dan setiap sumber daya yang telah dipercayakan kepada kita.
Mengingat beratnya ancaman yang dibawa oleh Ayat 27, setiap Muslim wajib mengambil langkah konkret untuk menjauhkan diri dari perilaku mubazzir. Pencegahan tabzir memerlukan kombinasi antara kontrol diri (mujahadah), perencanaan, dan niat yang benar (ikhlas).
Pengeluaran harus selalu diukur berdasarkan lima tujuan utama Syariah (Maqasid Syariah):
Pengeluaran yang tidak mendukung salah satu dari lima tujuan ini, dan bahkan merusaknya (seperti membeli barang haram), adalah tabzir. Setiap pengeluaran yang bertujuan pamer, sia-sia, atau maksiat harus segera dihapus dari anggaran hidup seorang Muslim.
Para ulama ekonomi Islam membagi kebutuhan menjadi tiga tingkatan. Muslim diperbolehkan membelanjakan hartanya untuk tiga tingkatan ini, asalkan dilakukan dengan adil (tidak israf) dan tidak pada jalan yang haram (tidak tabzir).
Tabzir terjadi ketika kita mengorbankan Dharuriyyat demi Tahsinat, atau ketika kita membelanjakan harta pada Tahsinat yang melampaui kemampuan finansial atau diniatkan hanya untuk pamer. Pengeluaran harus selalu berlandaskan kebutuhan nyata, bukan sekadar keinginan yang tak terbatas.
Perlawanan terhadap tabzir adalah pertempuran niat. Sebelum membeli atau menghabiskan sesuatu, seseorang harus bertanya pada dirinya sendiri: Mengapa saya membeli ini? Apakah ini akan mendekatkan saya kepada Allah atau menjauhkan saya? Jika niatnya hanya untuk memuaskan ego, pamer, atau mengikuti tren yang tidak Islami, maka itu adalah panggilan Syaitan, dan pengeluaran tersebut berpotensi besar menjadi tabzir.
Ikhlas dalam pengelolaan harta berarti menjadikan pengeluaran harian sebagai ibadah. Bahkan membeli kebutuhan dapur bisa menjadi ibadah jika diniatkan untuk menjaga kesehatan keluarga agar kuat beribadah, sementara membeli barang yang sama dengan niat membuang-buang uang adalah dosa.
Muhasabah mingguan atau bulanan terhadap catatan pengeluaran sangat penting. Muslim perlu mengevaluasi: "Apakah pengeluaran saya pada bulan ini sesuai dengan prinsip Al-Qasd? Adakah pengeluaran yang termasuk kategori tabzir? Apakah saya telah menyisihkan porsi yang cukup untuk hak fakir miskin?" Audit ini membantu mengidentifikasi celah-celah di mana godaan Syaitan masuk untuk mendorong pemborosan.
Melalui Muhasabah, seseorang bisa mengendalikan nafsu konsumtif sebelum ia menjadi kebiasaan yang mengakar, yang pada akhirnya akan membentuk identitas dirinya sebagai ‘saudara setan’ sebagaimana diperingatkan dalam Surah Al-Isra ayat 27.
Surah Al-Isra ayat 27 adalah fondasi emas dalam etika ekonomi Islam. Ia tidak hanya melarang pemborosan dalam arti finansial yang sempit, tetapi ia mendefinisikannya sebagai penyimpangan moral dan spiritual yang paling serius, setara dengan mengadopsi identitas musuh abadi umat manusia, yaitu Syaitan. Peringatan keras bahwa “orang-orang yang pemboros itu adalah saudara-saudara setan” menegaskan bahwa perilaku pemborosan bukanlah isu sepele, melainkan penghianatan terhadap amanah Allah dan manifestasi dari kufur nikmat.
Keseimbangan, atau Al-Qasd, adalah jalan keluar dari jerat tabzir dan israf. Seorang Muslim sejati harus membelanjakan hartanya pada jalan yang sah, adil, dan bermanfaat, memenuhi hak Allah, hak dirinya, dan hak sesama. Kehidupan yang terhindar dari tabzir adalah kehidupan yang penuh syukur, di mana setiap karunia digunakan untuk tujuan mulia, menjauhkan diri dari sifat ingkar dan merusak seperti yang dicontohkan oleh Syaitan. Dengan demikian, kita berharap harta kita menjadi sumber keberkahan di dunia dan bekal terbaik di akhirat kelak.
Perintah ini adalah panggilan untuk kesadaran total—bahwa kita adalah penjaga sementara atas kekayaan, dan pertanggungjawaban kita adalah menyeluruh. Menghindari tabzir adalah langkah awal yang krusial untuk memastikan bahwa kita termasuk golongan hamba yang bersyukur, bukan golongan yang dimurkai dan disebut sebagai saudara setan.