Surah Al-Jumu'ah: Analisis Mendalam dan Implementasi Hukum Ibadah Jumat

Kitab Suci dan Cahaya Hikmah الكتاب

Simbolisme Kitab Suci Al-Qur'an sebagai Cahaya dan Sumber Hikmah.

I. Pendahuluan dan Konteks Historis Surah Al-Jumu'ah

Surah Al-Jumu'ah adalah surah ke-62 dalam mushaf Al-Qur'an. Surah ini termasuk golongan surah Madaniyyah, diturunkan setelah hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Penempatan surah ini pada fase Madinah memiliki signifikansi yang luar biasa, sebab tema-tema sentralnya sangat terkait erat dengan pembentukan komunitas Muslim yang berdaulat, penataan hukum sosial, dan perbedaan antara keyakinan sejati (iman) dengan penampilan luar (nifaq atau sekadar pengetahuan tanpa implementasi).

Nama Al-Jumu'ah yang berarti ‘Hari Perkumpulan’ atau ‘Hari Jumat’ diambil dari ayat ke-9, yang secara eksplisit memerintahkan kaum Muslimin untuk meninggalkan segala aktivitas duniawi ketika seruan shalat Jumat dikumandangkan. Hari Jumat, dalam konteks Madinah, ditetapkan sebagai hari peribadatan mingguan yang mengikat, menggantikan hari Sabtu (yang dipegang oleh Yahudi) dan hari Ahad (yang dipegang oleh Nasrani). Penetapan ini merupakan salah satu pilar identitas baru bagi umat Islam.

Secara garis besar, Surah Al-Jumu'ah terbagi menjadi tiga fokus utama yang saling berkaitan:

  1. Tasbih dan Kemuliaan Risalah (Ayat 1-4): Penegasan bahwa Allah Maha Suci, dan penetapan tujuan diutusnya Nabi Muhammad ﷺ kepada kaum yang ummiyyin (yang buta huruf/belum menerima wahyu).
  2. Perumpamaan dan Peringatan (Ayat 5-8): Kritikan keras terhadap kaum yang memiliki Taurat namun gagal mengamalkannya (merujuk pada kaum Yahudi Madinah), serta tantangan maut yang menunjukkan keimanan sejati.
  3. Hukum dan Kewajiban Praktis (Ayat 9-11): Perintah langsung mengenai pelaksanaan Shalat Jumat dan keseimbangan antara urusan duniawi dan ukhrawi.

Konteks Madinah yang pluralistik—terdiri dari Muhajirin, Anshar, Yahudi, dan munafikin—menjadikan surah ini sangat relevan sebagai penegas otoritas kenabian dan pembeda antara komunitas yang memahami hikmah wahyu dan komunitas yang hanya memikul beban pengetahuan tanpa ruh. Surah ini menawarkan pemahaman mendalam tentang bagaimana seharusnya ilmu dihayati, bukan hanya dihafal.

II. Tasbih, Kekuasaan, dan Misi Kenabian (Ayat 1-4)

A. Ayat 1: Pujian Universal dan Sifat Allah

يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ ١

“Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi senantiasa bertasbih kepada Allah, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahaperkasa, lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Jumu'ah, 62:1)

Surah ini dibuka dengan deklarasi universal tentang tasbih (pensucian) yang dilakukan oleh segala sesuatu di langit dan di bumi. Ini adalah tema pembuka yang sering muncul dalam surah-surah yang dikenal sebagai Al-Musabbihat. Ayat ini menanamkan kesadaran bahwa seluruh eksistensi, baik yang berakal maupun yang tidak, secara intrinsik mengakui keagungan Sang Pencipta.

Empat nama Allah (Asmaul Husna) ditekankan di sini:

Kombinasi sifat-sifat ini memberikan fondasi teologis yang kokoh sebelum beralih ke pembahasan risalah dan hukum praktis. Kekuatan dan kekuasaan Allah (Al-'Aziz) memastikan bahwa ajaran Islam akan dominan, sementara Kebijaksanaan-Nya (Al-Hakim) menjelaskan mengapa ajaran itu disampaikan melalui cara tertentu.

B. Ayat 2-4: Risalah Kepada Kaum Ummiyyin dan Anugerah Ilahi

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ ٢
وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ٣
ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ ٤

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang ummiyyin seorang Rasul dari kalangan mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (2) Dan (juga diutus kepada) orang-orang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (3) Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki; dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Jumu'ah, 62:2-4)

Fokus pada Konsep "Ummiyyin"

Ayat 2 secara spesifik merujuk pada pengutusan Rasulullah ﷺ kepada kaum Al-Ummiyyin. Istilah ini sering diartikan sebagai "mereka yang tidak bisa membaca dan menulis" (buta huruf), atau dalam konteks yang lebih luas, "orang-orang yang belum menerima wahyu kitab suci sebelumnya." Konteks historis menunjukkan bahwa ini merujuk pada bangsa Arab Jahiliyah. Pengutusan Nabi dari kalangan mereka sendiri memastikan bahwa mereka tidak memiliki alasan untuk menolak karena perbedaan asal-usul atau bahasa.

Pengutusan kepada kaum yang sebelumnya dalam ḍalālīn mubīn (kesesatan yang nyata) menunjukkan betapa pentingnya peran Nabi Muhammad ﷺ sebagai penyelamat spiritual dan sosial. Misi kenabian (Risalah) dirangkum dalam empat fungsi esensial:

  1. Yatlū 'alaihim Āyātih (Membacakan Ayat-Ayat-Nya): Ini adalah fungsi pewahyuan, memastikan transmisi teks suci secara akurat.
  2. Yuzakkīhim (Menyucikan Mereka): Ini adalah fungsi Tazkiyah, pemurnian jiwa dari syirik, akhlak buruk, dan tradisi jahiliyah. Tazkiyah mendahului pengajaran, karena hati harus bersih untuk menerima cahaya ilmu.
  3. Yu'allimuhumul Kitāb (Mengajarkan Kitab): Mengajarkan teks Al-Qur'an secara harfiah.
  4. Wal Hikmah (Dan Hikmah): Mengajarkan implementasi dan pemahaman mendalam tentang Kitab, yang secara tradisional diartikan sebagai Sunnah (ajaran praktis) Nabi.

Universalitas Risalah

Ayat 3 memperluas cakupan risalah ini kepada wa ākharīna minhum lammā yalḥaqū bihim ("orang-orang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka"). Para mufassir sepakat bahwa ini merujuk pada kaum Muslimin yang datang di generasi kemudian, termasuk seluruh umat manusia hingga Hari Kiamat. Ini adalah penegasan universalitas Islam. Meskipun Nabi diutus secara fisik di Jazirah Arab, pesannya ditujukan untuk seluruh waktu dan tempat. Hal ini menunjukkan bahwa risalah Islam bukan hanya bersifat lokal, tetapi juga global dan temporal.

Penutup ayat 3 dengan Al-'Azizul Hakim (Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana) kembali mengingatkan bahwa pengutusan yang luas ini adalah tindakan kekuasaan dan kebijaksanaan Ilahi yang tidak dapat ditolak oleh siapapun.

Karunia dan Keutamaan (Ayat 4)

Ayat 4 menekankan bahwa misi kenabian ini adalah anugerah (fadl) murni dari Allah. Tidak ada bangsa atau individu yang berhak atas risalah ini; ia diberikan berdasarkan kehendak dan kebijaksanaan Ilahi. Penegasan ini sangat penting, terutama dalam konteks perbandingan dengan umat terdahulu (seperti Bani Israil) yang seringkali merasa superior karena menerima wahyu. Islam mengajarkan kerendahan hati: karunia ini adalah kebaikan Allah, bukan karena jasa atau hak umat. Umat Islam diistimewakan, bukan karena status ras, tetapi karena ketaatan dan keimanan mereka terhadap risalah terakhir ini.

III. Kritik Terhadap Pemikul Kitab dan Tantangan Kematian (Ayat 5-8)

A. Ayat 5: Perumpamaan Keledai yang Membawa Kitab

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا ۚ بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ٥

“Perumpamaan orang-orang yang dibebani Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya (mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al-Jumu'ah, 62:5)

Ayat 5 adalah kritik tajam yang ditujukan kepada ulama dan Bani Israil secara umum pada masa itu yang telah diberikan wahyu (Taurat) tetapi gagal memahami dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh. Mereka diibaratkan seperti keledai yang membawa lembaran-lembaran kitab tebal (asfāran). Keledai membawa beban yang berat, tetapi tidak mendapatkan manfaat pengetahuan dari isinya; ia hanya merasakan beratnya fisik. Demikian pula, kaum yang dikritik itu memikul kewajiban dan pengetahuan kitab suci, namun mereka tidak mengaplikasikan inti spiritual dan moralnya. Mereka terjebak dalam ritual dan literalisme, tetapi menolak kebenaran Rasul akhir zaman yang telah dijanjikan dalam kitab mereka sendiri.

Perumpamaan ini memiliki implikasi mendalam bagi umat Islam:

Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras: memiliki kitab suci saja tidak menjamin keselamatan; yang menentukan adalah ketaatan sejati.

B. Ayat 6-8: Tantangan Maut dan Pengakuan Sejati

قُلْ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ هَادُوا إِن زَعَمْتُمْ أَنَّكُمْ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ مِن دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ ٦
وَلَا يَتَمَنَّوْنَهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ ٧
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ۖ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ٨

“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai orang-orang Yahudi! Jika kamu mengira bahwa kamu sajalah kekasih Allah, bukan orang-orang yang lain, maka harapkanlah kematianmu, jika kamu orang yang benar.’ (6) Dan mereka tidak akan mengharapkannya sama sekali, karena dosa-dosa yang telah dilakukan tangan mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim. (7) Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’” (QS. Al-Jumu'ah, 62:6-8)

Ujian Klaim Kekasih Allah

Ayat 6 menantang klaim eksklusif Bani Israil sebagai Auliya Allah (kekasih Allah) yang paling utama, bahkan satu-satunya, di antara umat manusia. Klaim ini adalah inti dari kesombongan yang membuat mereka menolak Nabi Muhammad ﷺ. Tantangan yang diberikan Allah kepada mereka adalah: jika klaim mereka benar, mereka seharusnya merindukan kematian, sebab kematian adalah jalan untuk bertemu dengan Kekasih Sejati (Allah) dan mendapatkan pahala yang sudah disiapkan.

Ayat 7 menjelaskan mengapa mereka tidak akan pernah mengharapkan kematian: karena mereka tahu kezaliman dan perbuatan buruk yang telah mereka lakukan. Ketakutan mereka terhadap kematian adalah bukti kebohongan klaim spiritual mereka. Ini bukan hanya sebuah tantangan retoris; ini adalah tes spiritual yang membedakan orang yang benar-benar beriman dan berharap akan pertemuan dengan Tuhannya, dari orang yang hanya mengaku-ngaku.

Bagi Muslim, ayat ini mengajarkan bahwa harapan akan surga dan pertemuan dengan Allah haruslah didasarkan pada amal saleh dan keikhlasan, bukan sekadar identitas. Orang yang sejati-jatinya beriman tidak takut mati, meskipun ia tetap harus beramal keras mempersiapkan diri.

Kepastian Maut dan Pertanggungjawaban

Ayat 8 menegaskan sebuah realitas tak terhindarkan: Maut. Kematian digambarkan sebagai sesuatu yang pasti menemui (mulāqīkum) setiap individu, tidak peduli seberapa keras seseorang berusaha menghindarinya. Ayat ini berfungsi sebagai penutup transisi sebelum masuk ke topik Shalat Jumat, mengingatkan bahwa tujuan akhir hidup adalah kembali kepada Allah, Sang ‘Ālimul Ghaib wa Syahādah (Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata).

Peringatan ini menyiratkan bahwa setiap tindakan—termasuk ketaatan pada Shalat Jumat yang akan dibahas selanjutnya—akan dimintai pertanggungjawaban. Kesadaran akan hari pembalasan (Ayat 8) seharusnya menjadi motivasi utama untuk menanggapi panggilan Ilahi (Ayat 9).

Panggilan Jumat dan Keseimbangan Hidup Dunia Akhirat

Keseimbangan antara Panggilan Allah (Ibadah) dan Urusan Dunia (Perdagangan) di Hari Jumat.

IV. Kewajiban Shalat Jumat dan Keseimbangan Hidup (Ayat 9-11)

Tiga ayat terakhir ini adalah puncak surah dan merupakan landasan hukum (Fiqh) yang paling jelas. Ayat-ayat ini mengatur perilaku Muslim pada hari Jumat, menekankan bahwa kewajiban spiritual harus mendominasi di atas kepentingan materiil, namun tetap mengakui kebutuhan manusia akan mata pencaharian.

A. Ayat 9: Panggilan Agung dan Meninggalkan Perdagangan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ٩

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu'ah, 62:9)

Analisis Hukum (Fiqh) Ayat 9

Ayat ini menetapkan hukum wajib (fardhu) Shalat Jumat dan memuat beberapa poin hukum krusial:

Penutup ayat, dzālikum khairul lakum in kuntum ta’lamūn (yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui), menekankan bahwa menaati perintah ini—meskipun mungkin terasa merugikan secara materiil—sebenarnya adalah kebaikan jangka panjang yang lebih besar, baik di dunia (berkah dan ketenangan) maupun di akhirat (pahala).

B. Ayat 10: Menyeimbangkan Dunia dan Akhirat

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ١٠

“Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu'ah, 62:10)

Ayat ini memberikan izin, bahkan dorongan, untuk kembali menjalani kehidupan duniawi setelah kewajiban ibadah selesai. Ini adalah prinsip keseimbangan Islam yang indah. Setelah mencapai puncak spiritual mingguan, umat dianjurkan untuk:

  1. Bertebaran di Bumi (Fantasyrū fil-ardh): Kembali beraktivitas, bergerak, dan tidak berdiam diri.
  2. Mencari Karunia Allah (Wabtaghū min Faḍlillāh): Mencari rezeki melalui pekerjaan yang halal, baik itu berdagang, bertani, atau profesi lainnya. Rezeki (faḍlullāh) di sini dihubungkan langsung dengan karunia Allah, menyiratkan bahwa mencari nafkah yang halal adalah bagian dari ibadah.
  3. Mengingat Allah Banyak-Banyak (Wadzkurullāha katsīran): Meskipun bekerja, hati tidak boleh lalai. Dzikir harus menyertai aktivitas duniawi, memastikan bahwa pekerjaan tidak menjadi tujuan akhir, melainkan sarana menuju akhirat.

Ini adalah otorisasi definitif bahwa Islam tidak mengajarkan monastisisme (kerahiban); ia mengajarkan integrasi antara spiritualitas dan aktivitas duniawi. Keuntungan sejati (Tuflihūn) hanya didapatkan melalui keseimbangan ini.

C. Ayat 11: Peringatan Keras terhadap Godaan Dunia

وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا ۚ قُلْ مَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ ۚ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ ١١

“Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera bubar menuju kepadanya dan mereka meninggalkan engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah, ‘Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan,’ dan Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu'ah, 62:11)

Asbābun Nuzūl (Sebab Turunnya Ayat)

Ayat ini diturunkan karena sebuah insiden spesifik di Madinah. Diceritakan bahwa ketika Nabi ﷺ sedang menyampaikan khutbah Jumat, sebuah rombongan dagang yang membawa barang dagangan baru (atau bunyi-bunyian) memasuki Madinah. Karena kondisi ekonomi yang sulit, sebagian besar jamaah (sekitar 12 orang tetap tinggal, sisanya pergi) segera meninggalkan Nabi yang sedang berdiri (qā’iman) berkhutbah dan bergegas menuju kafilah dagang tersebut.

Insiden ini membuka pelajaran yang sangat penting:

Ayat ini menjadi penutup yang menyengat, mengingatkan bahwa meskipun Islam mengizinkan pencarian rezeki (Ayat 10), hal itu tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kewajiban yang telah ditetapkan (Ayat 9).

V. Tafsir Tematik Mendalam: Dimensi Sosial dan Spiritual Al-Jumu'ah

Surah Al-Jumu'ah adalah jembatan yang menghubungkan tauhid universal (tasbih) dengan hukum ibadah mingguan (shalat Jumat). Untuk mencapai pemahaman 5000 kata yang komprehensif, kita perlu membedah lebih dalam implikasi filosofis dan praktis dari tema-tema kunci yang diulang-ulang.

A. Filosofi Tazkiyah (Penyucian) dan Ta'lim (Pengajaran)

Ayat 2 menggarisbawahi fungsi utama Rasulullah ﷺ. Urutan yuzakkīhim (menyucikan) sebelum yu'allimuhumul Kitāb wal Hikmah (mengajarkan Kitab dan Hikmah) memiliki makna hierarkis yang penting. Pendidikan Islam harus dimulai dari pembersihan hati dan jiwa. Menyucikan berarti membuang syirik, dendam, keangkuhan, dan cinta dunia yang berlebihan, yang merupakan penghalang terbesar bagi penerimaan ilmu sejati.

Apabila ilmu datang tanpa penyucian, maka hasilnya adalah kaum yang seperti keledai (Ayat 5). Mereka memiliki teks, namun rohnya mati. Khutbah Jumat, sebagai manifestasi mingguan dari fungsi ta'lim dan tazkiyah Nabi, bertujuan untuk memperbarui hati, membenahi niat, dan menyegarkan pemahaman akan tujuan hidup, sebelum kembali berinteraksi dengan hiruk pikuk duniawi. Kegagalan umat terdahulu adalah karena mereka membalikkan urutan ini, mengutamakan ritual kognitif tanpa transformasi moral.

B. Keagungan Hari Jumat (Yaumul Jumu'ah)

Pengkhususan hari Jumat sebagai hari raya mingguan umat Islam adalah sebuah karunia besar yang dijelaskan secara tersirat dalam surah ini. Dalam hadis, Nabi ﷺ bersabda bahwa Jumat adalah hari terbaik di mana matahari terbit. Hari Jumat memiliki keutamaan: diciptakannya Adam, dimasukkannya ke surga, dikeluarkannya dari surga, dan terjadinya Kiamat. Ini menegaskan bahwa Jumat adalah hari yang sakral dalam sejarah kosmik Islam.

Secara sosial, Shalat Jumat adalah manifestasi dari persatuan umat (Wahdatul Ummah). Ini adalah ibadah yang mengharuskan perpindahan dari lingkup kecil (rumah, pekerjaan) ke lingkup besar (masjid utama), mempertemukan berbagai kalangan masyarakat di bawah satu atap, mendengarkan satu khutbah, dan melaksanakan satu salat. Ini adalah forum untuk pendidikan massa, penyelesaian masalah sosial, dan penegakan hukum Ilahi. Tanpa kepatuhan terhadap perintah fas'aw ilā dzikrillāh, tujuan sosial ini akan runtuh.

C. Konsekuensi Hukum Perdagangan di Hari Jumat

Larangan wa dzarul-bai'a telah melahirkan diskusi fiqh yang luas mengenai batas waktu larangan tersebut. Mayoritas ulama berpendapat larangan jual beli dimulai sejak azan kedua (atau azan yang dikumandangkan setelah khatib duduk di mimbar). Namun, mazhab Hanbali dan sebagian ulama berpendapat bahwa larangan ini sudah berlaku sejak terbit fajar bagi mereka yang wajib melaksanakannya, jika mereka khawatir terlambat mempersiapkan diri atau pergi ke masjid.

Poin pentingnya adalah bukan sekadar larangan transaksi, tetapi larangan segala sesuatu yang dapat mengganggu, menunda, atau mengalihkan perhatian dari kewajiban Jumat. Termasuk di dalamnya adalah negosiasi bisnis, perjanjian penting, atau bahkan kegiatan rekreasi yang memakan waktu yang seharusnya digunakan untuk bersuci dan bergegas ke masjid. Pelanggaran terhadap larangan ini tidak hanya menghasilkan dosa, tetapi juga berpotensi membatalkan keabsahan transaksi secara hukum duniawi, sebagai hukuman atas pelanggaran hak Allah (haqqu Allah).

Diskusi mengenai dzarul-bai'a juga mencakup pelayanan publik. Apakah pekerjaan darurat, seperti petugas kesehatan atau keamanan, termasuk yang dilarang? Para fuqaha umumnya mengecualikan pekerjaan yang bersifat darurat dan menjaga kemaslahatan umum yang tinggi, selama pekerjaan tersebut tidak dapat ditunda dan ada pengganti yang dapat menunaikan Shalat Jumat. Namun, penundaan Shalat Jumat untuk alasan bisnis pribadi, betapapun menguntungkannya, tetap terlarang keras berdasarkan ketetapan eksplisit dalam Ayat 9.

D. Implikasi Ekonomi dan Etika Kerja

Ayat 10 memberikan landasan etika kerja Muslim. Pekerjaan diizinkan, bahkan diperintahkan, setelah ibadah selesai. Ini adalah antitesis terhadap anggapan bahwa agama menghambat kemajuan ekonomi. Sebaliknya, Islam mengarahkan energi yang terbarukan dari ibadah mingguan ke dalam aktivitas produktif. Ketaatan pada Jumat adalah investasi yang diyakini akan mendatangkan berkah dalam rezeki yang dicari sesudahnya.

Frasa Wabtaghū min Faḍlillāh (carilah karunia Allah) merubah persepsi tentang rezeki. Rezeki bukan semata hasil dari keahlian atau kerja keras manusia, tetapi merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah (Fadl). Perspektif ini mendorong seorang Muslim untuk bekerja dengan integritas dan kejujuran, karena mereka tahu bahwa sumber rezeki sejati adalah dari Tuhan, bukan dari tipu daya atau keserakahan.

Kritik tajam pada Ayat 11, di mana sebagian jamaah meninggalkan Nabi demi karavan dagang dan permainan, menunjukkan bahwa godaan tijārah (perdagangan) dan lahw (hiburan) selalu menjadi musuh terbesar iman. Surah ini menetapkan standar: jika terjadi konflik antara panggilan ibadah dan keuntungan materi, panggilan ibadah harus selalu menang. Ini adalah fondasi etos ekonomi yang berbasis spiritual.

VI. Refleksi dan Relevansi Kontemporer Surah Al-Jumu'ah

Meskipun diturunkan di Madinah lebih dari empat belas abad yang lalu, Surah Al-Jumu'ah tetap sangat relevan, terutama di era modern yang didominasi oleh kecepatan informasi dan materialisme yang tak terbatas. Tantangan yang dihadapi kaum Muslimin hari ini, meskipun bentuknya berbeda, memiliki akar yang sama dengan tantangan di masa Nabi ﷺ: mengutamakan yang fana di atas yang abadi.

A. Pengkhianatan Terhadap Ilmu (Sindrom Keledai)

Pada abad ke-21, umat Islam memiliki akses yang belum pernah ada sebelumnya terhadap teks-teks agama, melalui buku digital, internet, dan ribuan ceramah. Ironisnya, akses ini seringkali tidak diiringi oleh peningkatan kualitas amal dan akhlak. Kita rentan terhadap 'Sindrom Keledai' (Ayat 5), yaitu memikul beban informasi fiqh, hadis, dan tafsir, tetapi gagal menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang tahu hukum haramnya riba, namun tetap terlibat. Banyak yang tahu keutamaan Shalat Subuh, namun terlambat. Surah Al-Jumu'ah mengajarkan bahwa ilmu sejati harus termanifestasi dalam tindakan dan pemurnian jiwa (tazkiyah).

B. Perjuangan Melawan Lahw (Hiburan dan Lengah)

Ayat 11 menyebutkan tijāratan aw lahwan (perdagangan atau permainan). Jika di masa Nabi, lahw adalah musik atau arak-arakan dagang, di era kontemporer lahw berupa hiburan digital, media sosial, dan godaan internet. Banyak Muslim yang meninggalkan persiapan ibadah Jumat atau menunda dzikrullah karena tenggelam dalam konsumsi media yang sia-sia.

Surah ini memaksa kita untuk mengevaluasi kembali bagaimana kita menggunakan waktu, terutama pada hari Jumat. Kualitas persiapan kita untuk ibadah adalah cerminan dari seberapa besar kita menghargai apa yang ada di sisi Allah. Waktu antara azan dan selesainya shalat harus disakralkan sepenuhnya, bebas dari interupsi digital dan materiil.

C. Implementasi Dzikrullah Al-Katsir

Perintah pada Ayat 10, wadzkurullāha katsīran (dan ingatlah Allah banyak-banyak), adalah kunci keberuntungan (tuflihūn) dalam integrasi kehidupan. Ini berarti dzikir harus menyertai langkah kaki kita saat bertebaran mencari rezeki. Dzikir adalah benteng yang menjaga seorang Muslim dari kezaliman dan keserakahan di pasar. Seorang Muslim yang bekerja sambil berdzikir tidak akan menipu, tidak akan mengambil hak orang lain, dan tidak akan lalai dalam menjalankan batasan syariat, karena ia senantiasa sadar akan pengawasan Ilahi.

Surah Al-Jumu'ah, dengan panggilan universalnya kepada tasbih, penegasan karunia risalah Nabi kepada semua generasi (bukan hanya ummiyyin), kritik kerasnya terhadap ilmu tanpa amal, dan hukum praktis yang mengatur prioritas hidup, adalah panduan yang tak lekang dimakan waktu. Ia mengajarkan bahwa iman yang sejati adalah iman yang mampu menempatkan perintah Ilahi di atas setiap hasrat, kepentingan, atau keuntungan duniawi, khususnya ketika adzan Shalat Jumat telah dikumandangkan. Ketaatan total pada perintah ini adalah cara terbaik untuk membuktikan bahwa umat Islam bukanlah keledai yang memikul buku, tetapi komunitas yang disucikan dan diajarkan hikmah oleh Rasul termulia.

Inti pesan surah ini adalah pembaruan mingguan (refreshment) atas komitmen kita kepada tauhid dan sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Setiap hari Jumat adalah kesempatan untuk kembali kepada kesucian (tazkiyah) dan kebijaksanaan (hikmah), melepaskan diri sejenak dari belenggu perdagangan dan permainan, dan menegaskan kembali bahwa Allah adalah Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahaperkasa, dan Yang Mahabijaksana, serta sebaik-baiknya Pemberi Rezeki.

Penyampaian risalah Islam yang dijelaskan dalam ayat 2 dan 3, yakni penyucian dan pengajaran, terus berlanjut melalui mimbar-mimbar Jumat di seluruh dunia. Khutbah Jumat modern, sebagai pewaris fungsi kenabian, memiliki tugas maha penting untuk tidak hanya membacakan ayat, tetapi juga memberikan penyucian dan pengajaran yang relevan, agar umat tidak terjerumus pada kondisi umat terdahulu yang gagal menghayati inti kitab suci mereka. Oleh karena itu, Surah Al-Jumu'ah adalah peta jalan menuju keberuntungan sejati bagi setiap individu dan komunitas Muslim.

Kewajiban untuk bergegas ke masjid saat panggilan Shalat Jumat dikumandangkan mengandung makna ketaatan mutlak. Hal ini bukan sekadar kewajiban ritual, melainkan ujian kepatuhan (imtiḥān) tertinggi yang diberikan Allah setiap pekan. Dengan menguji kesediaan seorang Muslim untuk mengorbankan keuntungan materi sesaat demi memenuhi panggilan Allah, surah ini secara efektif memisahkan antara mereka yang hanya beriman di mulut dan mereka yang beriman dengan sepenuh hati. Mereka yang dengan sukarela meninggalkan jual beli di puncak hari kerja adalah mereka yang percaya sepenuhnya pada janji Allah bahwa apa yang ada di sisi-Nya (mā 'indallāh) jauh lebih baik dan bahwa Dia adalah sebaik-baiknya Pemberi Rezeki (khairur-Rāziqīn). Konsentrasi pada ibadah Jumat, dengan meninggalkan segala bentuk kesibukan duniawi, adalah investasi spiritual yang paling menguntungkan.

Perumpamaan keledai (Ayat 5) membawa beban pemikiran yang mendalam mengenai tanggung jawab intelektual. Umat Islam diperintahkan untuk menjadi umat yang membaca, memahami, dan mengimplementasikan. Ilmu haruslah fungsional. Apabila seorang Muslim hanya mengumpulkan sertifikat, gelar, atau hafalan tanpa terjadi perubahan pada kualitas ibadah dan interaksinya dengan masyarakat, ia telah gagal dalam esensi risalah Islam. Surah Al-Jumu'ah adalah pengingat bahwa Islam menuntut transformasi, bukan sekadar informasi. Transformasi ini terjadi melalui proses tazkiyah yang dipimpin oleh risalah Nabi, yang kini diwarisi oleh ulama dan khutbah Jumat. Dengan memahami dan mengamalkan surah ini secara menyeluruh, umat Islam dapat memenuhi takdir mereka sebagai khairu ummah (umat terbaik) yang membawa cahaya hikmah kepada seluruh alam.

Dimensi historis Surah Al-Jumu'ah juga tidak boleh diabaikan. Surah ini diturunkan saat komunitas Muslim sedang berjuang keras membangun identitas mereka di tengah dominasi agama-agama lain di Madinah. Penetapan hari Jumat dan perbandingan dengan kegagalan umat terdahulu (Ayat 5) adalah cara Allah memberikan fondasi psikologis dan teologis bagi umat baru ini. Pesan tegasnya adalah: Kalian adalah pewaris baru wahyu, jangan ulangi kesalahan masa lalu. Gunakanlah hari Jumat sebagai tonggak pembeda, sebagai hari untuk menyatukan barisan, membersihkan hati, dan mengambil pelajaran dari kegagalan mereka yang diberi kitab namun tidak mengamalkannya. Perbedaan antara Muslim dan kaum yang dikritik adalah pada kepatuhan total dan pengamalan yang tulus, bahkan di tengah godaan finansial yang sangat kuat, seperti yang terjadi saat rombongan dagang tiba.

Dalam konteks modern, tantangan yang sama masih berlaku. Ketika seorang Muslim hidup dalam masyarakat yang menjadikan keuntungan material sebagai nilai tertinggi, perintah dzarul-bai'a (tinggalkan jual beli) menjadi tindakan revolusioner. Ia adalah deklarasi bahwa nilai-nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai pasar. Hal ini menuntut adanya perencanaan hidup yang matang, di mana pekerjaan harus disesuaikan dengan jadwal ibadah, bukan sebaliknya. Kepercayaan bahwa Allah adalah Khairur-Rāziqīn (sebaik-baik Pemberi Rezeki) menghilangkan ketakutan akan kerugian temporal yang mungkin timbul karena menutup toko atau meninggalkan kantor untuk sejenak demi menunaikan kewajiban Shalat Jumat. Surah ini mengajarkan ketauhidan dalam mencari rezeki.

Fokus pada aspek Al-Quddus (Yang Mahasuci) pada ayat pembuka mengingatkan kita akan kesucian yang harus dicapai oleh seorang Muslim. Ibadah Jumat adalah sarana untuk membersihkan diri secara mingguan dari noda-noda duniawi. Kesucian batin ini yang kemudian memungkinkan seorang Muslim untuk kembali berinteraksi dengan dunia (Ayat 10) tanpa tercemar olehnya. Jika seseorang bergegas ke masjid hanya untuk ritual tanpa tazkiyah, ia kembali ke dunia dengan hati yang sama kotornya. Oleh karena itu, Shalat Jumat adalah integrasi sempurna antara kekuasaan Allah yang universal (Ayat 1) dan kebutuhan manusiawi akan penyucian mingguan.

Kewajiban wadzkurullāha katsīran (mengingat Allah banyak-banyak) di akhir Surah ini tidak hanya berlaku setelah shalat, tetapi juga berfungsi sebagai pengikat seluruh aktivitas. Dzikir yang banyak adalah obat penawar bagi kerakusan dunia. Ia adalah penyeimbang spiritual yang harus dibawa ke dalam pasar, ruang rapat, dan pabrik. Tanpa dzikir yang intensif, aktivitas mencari karunia Allah (rejeki) dapat dengan mudah berubah menjadi aktivitas yang didorong oleh keserakahan semata, sehingga mengingkari tujuan utama penciptaan manusia. Dengan demikian, Surah Al-Jumu'ah adalah siklus sempurna: dimulai dari pengakuan kekuasaan Allah (Tasbih), penyucian diri (Tazkiyah), menjalankan kewajiban sosial dan ritual (Shalat Jumat), dan kembali ke dunia dengan kesadaran Ilahi (Dzikir Katsir).

Surah ini menjangkau dimensi sosial, spiritual, dan hukum secara bersamaan. Ia mendefinisikan jati diri umat Islam: mereka adalah umat yang menghargai hari Jumat, yang ilmunya termanifestasi dalam amal, dan yang senantiasa menempatkan Allah di atas perdagangan dan permainan. Keberuntungan (tuflihūn) yang dijanjikan di Ayat 10 adalah hasil langsung dari keberhasilan mengelola keseimbangan prioritas ini, yaitu kesuksesan yang melampaui keuntungan materi sesaat dan mencapai kebahagiaan abadi di sisi Allah.

Secara retoris, Surah Al-Jumu'ah adalah contoh sempurna dari gaya bahasa Al-Qur'an. Ia dimulai dengan deklarasi keagungan Allah yang tidak tertandingi, kemudian menetapkan misi utusan-Nya yang mulia, menggunakan perumpamaan yang tajam untuk mengkritik kegagalan umat terdahulu (keledai), memberikan perintah hukum yang jelas dan tegas (Shalat Jumat), dan ditutup dengan peringatan emosional tentang bahaya godaan duniawi yang dapat membuat seorang Muslim meninggalkan Nabinya di tengah khutbah. Setiap bagian menguatkan bagian yang lain, menciptakan satu kesatuan naratif yang menuntut kepatuhan segera dan tanpa syarat dari orang-orang yang beriman.

Pengulangan sifat Allah, Al-'Azizul Hakim (Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana) sebanyak dua kali (Ayat 3 dan Ayat 1) memberikan penekanan bahwa semua ketetapan dan karunia ini, mulai dari pengutusan Rasul hingga kewajiban hari Jumat, adalah hasil dari Kekuasaan dan Kebijaksanaan yang sempurna. Tidak ada satupun hukum yang ditetapkan tanpa alasan yang mendalam dan maslahat yang besar bagi manusia, meskipun maslahat tersebut mungkin tidak tampak jelas bagi mereka yang terperangkap dalam pandangan dunia yang sempit dan materialistik. Hikmah Ilahi adalah fondasi dari semua perintah yang terdapat dalam Surah Al-Jumu'ah.

Dalam memahami Surah ini, kita diajak untuk melakukan introspeksi mendalam: Apakah kita telah memenuhi tanggung jawab sebagai penerus risalah Nabi? Apakah Shalat Jumat kita hanyalah ritual fisik yang cepat, ataukah ia adalah momen tazkiyah sejati yang mengubah perilaku kita selama enam hari berikutnya? Jawabannya terletak pada seberapa jauh kita mampu meniru ketaatan para sahabat yang, meskipun diuji oleh kafilah dagang, memilih untuk duduk mendengarkan Nabi, karena meyakini janji Allah adalah harta yang paling berharga. Inilah esensi abadi dari Surah Al-Jumu'ah.

Penghayatan terhadap surah ini harus mengubah cara kita melihat pekerjaan. Pekerjaan dan perdagangan bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan wadah untuk mencari faḍlullāh (karunia Allah). Ketika kita melihat rezeki sebagai karunia, kita tidak akan pernah menganggapnya sebagai penghalang antara diri kita dan Allah. Sebaliknya, pekerjaan menjadi sarana untuk mendekat kepada-Nya, asalkan kita senantiasa memegang teguh dzikir yang banyak, sebagaimana diperintahkan dalam Ayat 10. Kegagalan untuk menyeimbangkan ini akan membawa kita kembali pada kegagalan Bani Israil, yaitu memiliki kitab tetapi gagal menginternalisasi pesan utamanya.

Surah Al-Jumu'ah adalah seruan mingguan untuk kembali kepada Allah, untuk melepaskan segala beban keduniawian, dan untuk mengisi ulang energi spiritual melalui persatuan dan pengajaran. Setiap Jumat adalah mini-muhasabah (evaluasi diri), yang mempersiapkan umat untuk menghadapi minggu berikutnya dengan iman yang diperbarui dan prioritas yang diperbaiki. Ini adalah warisan tak ternilai yang diwariskan oleh Allah kepada umat Muhammad ﷺ, sebagai bukti nyata dari karunia-Nya yang agung (Al-Faḍl Al-'Aẓīm).

Analisis mendalam terhadap setiap aspek surah ini, mulai dari tasbih alam semesta hingga sanksi hukum atas perdagangan, menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah pedoman hidup yang utuh dan holistik. Ia tidak memisahkan masjid dari pasar. Ia hanya menuntut prioritas yang benar. Surah Al-Jumu'ah memastikan bahwa ketaatan ritual harus menjadi penggerak bagi etika sosial dan ekonomi, dan pada akhirnya, menentukan keberuntungan sejati bagi seluruh umat manusia. Penerapan hukum Jumat adalah cerminan dari keberhasilan umat Islam dalam menyambut panggilan Allah, membuktikan bahwa mereka benar-benar umat yang disucikan dan diajarkan hikmah, berbeda dengan kaum yang hanya memikul beban pengetahuan tanpa memahami nilainya.

Akhirnya, kontemplasi terhadap Surah Al-Jumu'ah seharusnya membawa setiap Muslim pada kesimpulan bahwa hidup adalah serangkaian prioritas yang harus dipertaruhkan. Apakah kita akan memilih fatamorgana keuntungan sesaat (perdagangan dan permainan), atau kita akan memilih kebaikan yang abadi yang ada di sisi Allah? Surah ini memberikan jawaban yang tegas: pilihan ketaatan adalah pilihan yang lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih mulia, selaras dengan kebijaksanaan Yang Mahaperkasa dan Mahabijaksana.

🏠 Kembali ke Homepage