Surah Al-Ma'idah (Hidangan) adalah surah ke-5 dalam Al-Qur'an dan termasuk golongan surah Madaniyah. Surah ini diturunkan setelah periode hijrah, pada masa-masa akhir kenabian Muhammad ﷺ, dan mencakup banyak sekali peraturan dan hukum yang bersifat fundamental bagi masyarakat Muslim. Karena posisinya yang diturunkan di Madinah, Surah Al-Ma'idah sarat dengan penetapan syariat, termasuk hukum pidana, perdata, dan kaidah etika hubungan antarumat beragama, khususnya dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).
Nama surah ini diambil dari kisah permohonan Nabi Isa AS kepada Allah SWT agar diturunkan hidangan dari langit, yang termaktub pada ayat 114. Namun, cakupan tema surah ini jauh melampaui kisah tersebut; ia berfungsi sebagai dokumen hukum yang mengukuhkan keimanan, mengatur kehidupan sosial, dan menetapkan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Surah ini memiliki 120 ayat dan sering disebut sebagai salah satu surah penutup yang mengatur syariat Islam secara komprehensif.
Ayat pembuka ini adalah fondasi moral dan hukum surah ini. Ia menekankan pentingnya menepati perjanjian, baik perjanjian dengan Allah (iman dan ketaatan), maupun perjanjian antarmanusia (akad, kontrak, sumpah). Konsep ini mencakup semua bentuk komitmen yang diambil oleh seorang Muslim.
Setelah perintah umum tentang perjanjian, ayat ini langsung menetapkan hukum-hukum terkait binatang ternak dan perburuan. Hukum halal dan haram ini adalah bagian dari perjanjian yang harus ditaati. Allah SWT menghalalkan binatang ternak (unta, sapi, kambing) kecuali yang dikecualikan (seperti yang telah mati, darah, dan daging babi), dan menegaskan larangan berburu saat ihram (keadaan suci dalam haji atau umrah). Larangan ini tidak hanya sekadar aturan makanan, tetapi juga latihan disiplin dan penghormatan terhadap batasan suci.
Gambar 1: Menepati Janji dan Keseimbangan Hukum.
Ayat 3 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam syariat tentang makanan. Ia mengulang dan memperkuat larangan-larangan yang sudah disebutkan di surah-surah sebelumnya, memberikan penekanan serius terhadap jenis makanan yang haram:
Pentingnya larangan-larangan ini adalah untuk menjaga kemurnian fisik dan spiritual umat Islam, membedakan mereka dari praktik-praktik jahiliah.
Bagian tengah dari Ayat 3 adalah intisari dari ajaran Islam, yang dikenal sebagai Ayat Akmalud Din (Ayat Penyempurnaan Agama). Ayat ini diturunkan pada hari Arafah saat Haji Wada' (Haji Perpisahan), sekitar tiga bulan sebelum wafatnya Nabi Muhammad ﷺ.
Ayat ini memiliki implikasi teologis yang sangat besar. Ia menandakan bahwa semua hukum, ajaran, dan tuntunan yang dibutuhkan umat manusia telah diselesaikan dan diwahyukan. Setelah ayat ini, tidak ada lagi hukum dasar (fardhu atau haram) yang akan ditambahkan. Ini adalah penutup risalah, sebuah deklarasi bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan final. Konsekuensinya, upaya untuk menambah atau mengurangi hukum dalam Islam setelah nabi wafat dianggap sebagai bid'ah (inovasi yang tercela).
Ayat ini memberikan kelonggaran dalam hubungan sosial dan makanan dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Ditegaskan bahwa makanan (daging hasil sembelihan) orang-orang Ahli Kitab adalah halal bagi kaum Muslim, begitu pula makanan kaum Muslim halal bagi mereka. Kelonggaran ini menunjukkan pengakuan terhadap dasar tauhid yang masih dipegang oleh Ahli Kitab, meskipun terdapat penyimpangan dalam akidah mereka.
Selain makanan, ayat ini juga menghalalkan pernikahan dengan wanita-wanita suci (muhshanat) dari kalangan Ahli Kitab. Hal ini adalah pengecualian yang signifikan, karena pernikahan dengan wanita dari agama lain yang tidak memiliki dasar wahyu (musyrik) dilarang keras. Namun, para ulama menekankan pentingnya menjaga iman dalam keluarga, dan pernikahan ini tetap tunduk pada syarat-syarat moralitas dan kesucian.
Ayat 6 adalah sumber utama hukum (fiqh) tentang cara bersuci sebelum salat. Ayat ini menjelaskan tata cara Wudu (berwudu) secara rinci, menetapkan empat rukun wajib:
Selain wudu, ayat ini juga mencakup mandi janabah (mandi besar) yang diwajibkan setelah bersetubuh atau keluar air mani. Selanjutnya, Allah SWT memberikan solusi jika air tidak tersedia atau berbahaya bagi kesehatan, yaitu dengan Tayamum (bersuci dengan debu suci). Tayamum menunjukkan rahmat Allah yang tidak ingin memberatkan hamba-Nya. Tujuan akhir dari thaharah adalah kesucian batin dan fisik dalam menghadap Ilahi.
Gambar 2: Pensyariatan Wudu dan Tayamum.
Ayat 8 adalah salah satu penekanan paling kuat dalam Al-Qur'an mengenai kewajiban menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, bahkan terhadap musuh. Ini adalah prinsip etika dan yurisprudensi tertinggi dalam Islam.
Pesan kunci dari ayat ini adalah bahwa emosi—kebencian, permusuhan, atau bahkan cinta yang berlebihan—tidak boleh memengaruhi keputusan hukum atau kesaksian. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran objektif, karena keadilan adalah jembatan menuju takwa (ketakutan kepada Allah). Ayat ini merupakan landasan bagi sistem peradilan Islam yang menjamin hak-hak semua pihak, terlepas dari latar belakang agama, ras, atau status sosial.
Sebagian besar Surah Al-Ma'idah berfokus pada kritik, peringatan, dan narasi sejarah mengenai Bani Israil (Yahudi) dan kaum Nasrani. Tujuannya bukan hanya menceritakan sejarah, tetapi juga memberikan pelajaran bagi umat Islam agar tidak mengulangi kesalahan serupa, yaitu melanggar perjanjian dan mengubah hukum Ilahi.
Allah SWT mengingatkan tentang perjanjian-Nya dengan Bani Israil dan bagaimana mereka melanggarnya. Mereka diberikan 12 pemimpin dan janji perlindungan, dengan syarat mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, dan beriman kepada para rasul. Namun, Bani Israil terkenal dengan pembangkangan mereka, yang menyebabkan hati mereka mengeras, dan hukuman berupa kutukan dan penyimpangan dari kebenaran.
Salah satu kisah kunci yang diulang dalam surah ini adalah keengganan Bani Israil untuk memasuki Tanah Suci (Palestina) saat diperintahkan oleh Nabi Musa AS. Karena rasa takut dan ketidakpercayaan, mereka menolak perintah Allah, yang mengakibatkan mereka dihukum tersesat di padang Tih selama empat puluh tahun. Kisah ini menjadi peringatan keras tentang akibat dari kepengecutan, ketidaktaatan, dan menolak kepemimpinan yang ditunjuk Allah.
Untuk menyoroti betapa seriusnya kejahatan pembunuhan dan betapa pentingnya hidup, Allah SWT menceritakan kisah Qabil dan Habil, dua putra pertama Nabi Adam AS. Qabil membunuh Habil karena rasa iri ketika kurban Habil diterima, sementara kurban Qabil ditolak. Peristiwa ini adalah kejahatan pertama yang dilakukan manusia di bumi.
Dari kisah ini, turunlah sebuah prinsip universal yang sangat penting (Ayat 32):
Ayat ini menetapkan nilai tak terhingga dari setiap nyawa manusia. Islam memandang pembunuhan yang tidak adil (tanpa hak) sebagai kejahatan terhadap seluruh kemanusiaan. Sebaliknya, menyelamatkan satu nyawa dianggap menyelamatkan seluruh umat manusia, menekankan nilai moral dan sosial yang tinggi dalam menjaga keamanan dan kehidupan.
Sebagai kontras terhadap prinsip pemeliharaan hidup, Surah Al-Ma'idah menetapkan hukuman yang berat bagi mereka yang melakukan kejahatan terorganisir yang mengganggu ketertiban umum (dikenal sebagai Hirabah - perampokan, terorisme, atau perusakan sistem).
Bentuk-bentuk hukuman bagi muharibin (pelaku kerusakan di bumi) sangat tegas, seperti dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki secara bersilangan, atau diasingkan. Ketegasan ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kekacauan total dan memastikan bahwa kedaulatan hukum Allah ditegakkan. Ayat ini menunjukkan bahwa sementara Islam menghargai nyawa, ia juga harus bertindak tegas terhadap ancaman yang membahayakan keamanan kolektif.
Surah ini juga mengukuhkan hukum hadd (hukuman tetap) bagi pencuri laki-laki maupun perempuan, yaitu potong tangan. Hukuman ini, meski terlihat keras, berfungsi sebagai pencegahan yang efektif. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa hukum ini hanya diterapkan dalam kondisi yang sangat ketat dan spesifik (misalnya, nilai curian mencapai nisab, tidak ada kelaparan ekstrem, dan terbukti tanpa keraguan), menekankan bahwa tujuan utamanya adalah menciptakan keamanan properti dalam masyarakat.
Ayat-ayat ini adalah kritik tajam terhadap Yahudi dan Nasrani yang menyelewengkan ajaran kitab suci mereka (Taurat dan Injil) atau menolak menerapkan hukum Allah yang ada di dalamnya. Kritikan ini puncaknya pada sebuah deklarasi prinsip yang menjadi dasar yurisprudensi Islam:
Dan pada ayat 45 disebut sebagai orang-orang zalim, dan pada ayat 47 disebut sebagai orang-orang fasik. Tiga istilah ini (kafir, zalim, fasik) digunakan bergantian untuk menggambarkan tingkat keseriusan menolak atau mengabaikan hukum Allah. Meskipun tafsir modern dan klasik memiliki perbedaan dalam mengaplikasikan gelar-gelar ini (terutama ‘kafir’) kepada penguasa Muslim yang gagal menerapkan hukum, pesan fundamentalnya adalah wajibnya berhukum kepada wahyu Ilahi.
Setelah mengisahkan Taurat dan Injil, Allah menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai ‘Muhaymin’ (Penjaga, Pengoreksi, dan Penguji) kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur'an mengesahkan kebenaran yang ada dalam kitab-kitab tersebut dan mengoreksi penyimpangan yang telah terjadi. Ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk memutuskan perkara di antara manusia berdasarkan apa yang diturunkan Allah, tanpa mengikuti hawa nafsu mereka.
Allah SWT juga menjelaskan hikmah perbedaan syariat (metode dan aturan) antarumat, meskipun akidah (dasar keimanan) mereka sama. Perbedaan ini adalah ujian bagi setiap umat dalam menggunakan karunia yang telah diberikan, memotivasi mereka untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
Ayat 51 adalah salah satu ayat politik dan sosial yang paling sering diperdebatkan. Ayat ini melarang kaum Muslim menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai Auliya (pemimpin, pelindung, atau teman setia).
Tafsir klasik menekankan bahwa konteks ayat ini diturunkan pada masa perang dan ketegangan politik, khususnya ditujukan kepada kaum munafik yang diam-diam bersekutu dengan Yahudi di Madinah demi keuntungan pribadi. Makna Auliya di sini merujuk pada loyalitas politik penuh dan kepemimpinan yang dapat membahayakan komunitas Muslim. Ayat ini berfungsi untuk menjaga integritas komunitas Muslim dan mencegah intrik politik internal.
Allah SWT mengecam orang-orang munafik yang tergesa-gesa mencari perlindungan atau persahabatan dengan Ahli Kitab, khawatir mereka akan ditimpa bencana atau kesulitan. Allah memperingatkan bahwa jika orang-orang beriman berpaling, Allah akan mendatangkan kaum lain yang dicintai-Nya dan mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin dan keras terhadap orang kafir (Ayat 54). Ayat ini sering ditafsirkan sebagai isyarat bagi kaum Muslim generasi awal untuk berdiri tegak dan tidak gentar menghadapi musuh.
Surah ini menggambarkan perilaku Ahli Kitab, terutama dalam merespons ajakan salat dan iman. Mereka sering menjadikan agama sebagai bahan ejekan dan permainan. Allah SWT mengutuk sifat-sifat negatif yang dominan di antara mereka, seperti kecintaan berlebihan pada keduniaan, praktik riba (pemakan harta), dan mengubah hukum. Ayat 64 secara spesifik menyebut bahwa orang Yahudi memiliki kebiasaan merusak bumi dan menyatakan bahwa tangan Allah terbelenggu (kikir), yang merupakan bentuk kekufuran dan penghinaan terhadap sifat kemahakuasaan Allah. Sebagai balasan, permusuhan dan kebencian ditempatkan di antara mereka hingga hari Kiamat.
Bagian akhir surah ini beralih fokus secara intensif kepada kaum Nasrani, mengoreksi keyakinan mereka tentang ketuhanan Nabi Isa AS dan Bunda Maryam AS, serta mengukuhkan posisi Isa sebagai hamba dan rasul Allah.
Ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang menekankan pentingnya menyampaikan seluruh ajaran yang diturunkan kepadanya. Ini adalah pernyataan yang kuat mengenai tidak adanya penyembunyian dalam wahyu Islam, berbeda dengan tuduhan yang sering dialamatkan kepada Ahli Kitab.
Al-Ma'idah dengan tegas menolak konsep ketuhanan Isa dan Trinitas yang diyakini oleh sebagian besar Nasrani. Allah SWT berfirman bahwa sungguh kafirlah orang-orang yang mengatakan, "Sesungguhnya Allah adalah Al-Masih putra Maryam."
Ayat 75 secara logis membantah ketuhanan Isa dengan menyatakan bahwa Isa AS dan ibunya hanyalah manusia biasa yang makan makanan. Mereka tunduk pada kebutuhan fisik manusia, yang mustahil bagi Tuhan. Ini adalah argumen yang sederhana namun kuat untuk menegaskan Tauhid (keesaan Allah) murni.
Ayat ini menargetkan dua penyimpangan besar dalam praktik Ahli Kitab: melampaui batas (seperti memuja manusia hingga menjadikannya Tuhan) dan mengikuti hawa nafsu (seperti mengubah hukum). Pesan ini relevan bagi umat Islam, memperingatkan agar tidak jatuh ke dalam ekstremitas, baik dalam bentuk radikalisme berlebihan maupun kelalaian total.
Allah SWT mengutuk Bani Israil yang ingkar melalui lisan Nabi Daud AS dan Nabi Isa AS, karena mereka berani melanggar hukum, berbuat maksiat, dan tidak saling melarang dari kemungkaran. Ayat ini menekankan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) sebagai pilar utama komunitas Muslim. Kaum munafik juga dikecam karena menjadikan orang-orang kafir sebagai teman akrab, yang menunjukkan kelemahan iman mereka.
Surah Al-Ma'idah membuat perbedaan yang jelas antara Yahudi dan Nasrani dalam hal kecenderungan mereka terhadap umat Islam. Ayat 82 menyatakan bahwa orang-orang Yahudi adalah yang paling keras permusuhannya terhadap kaum Muslim, sedangkan kaum Nasrani (khususnya yang tulus) disebut yang paling dekat persahabatannya, karena mereka memiliki pendeta dan tidak menyombongkan diri. Ayat ini merujuk pada kaum Nasrani yang tulus menerima kebenaran ketika mendengarkan bacaan Al-Qur'an, yang menunjukkan potensi dialog dan titik temu spiritual.
Allah melarang umat Islam mengharamkan hal-hal baik yang telah dihalalkan-Nya. Ayat ini menegur ekstremitas asketisme (hidup sangat zuhud) yang melampaui batas, seperti yang dilakukan oleh beberapa kaum Nasrani, yang menjauhi nikmat dunia secara berlebihan. Islam menganjurkan keseimbangan (wasatiyah).
Ayat 89 kemudian membahas hukum sumpah. Sumpah yang tidak disengaja (laghw) dimaafkan, tetapi sumpah yang disengaja dan dilanggar (mun’aqidah) memerlukan penebusan (kafarat), berupa memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian, memerdekakan budak, atau puasa tiga hari. Ini menekankan pentingnya keseriusan dalam bersumpah.
Dua ayat ini adalah penetapan hukum haram yang paling tegas dan final terhadap minuman keras (khamr) dan perjudian (maysir), yang sebelumnya dilarang secara bertahap.
Alasan pengharaman bukan hanya karena bahaya fisik dan finansial, tetapi karena keduanya adalah alat setan untuk menanamkan permusuhan dan kebencian di antara manusia, serta menghalangi mereka dari mengingat Allah dan melaksanakan salat. Pengharaman ini adalah perlindungan total terhadap akal, harta, dan keharmonisan sosial.
Sebagai kelanjutan dari Ayat 1, Allah SWT mengulangi larangan berburu binatang darat saat seseorang berada dalam keadaan ihram. Jika larangan ini dilanggar, kafarat wajib dibayar, yaitu menyembelih hewan ternak yang sepadan dengan hewan buruan, atau memberikan makanan kepada orang miskin, atau berpuasa. Namun, ayat ini mengizinkan penangkapan ikan (buruan laut) selama ihram.
Allah SWT memperingatkan kaum Muslim agar tidak mengajukan pertanyaan yang terlalu detail atau filosofis yang jika dijawab akan menimbulkan kesulitan atau beban baru dalam praktik agama. Peringatan ini muncul karena pada masa kenabian, beberapa sahabat mengajukan pertanyaan yang tidak perlu, yang dikhawatirkan dapat mengubah status sesuatu yang semula mubah (boleh) menjadi wajib atau haram. Ayat ini menganjurkan kepraktisan dan ketaatan tanpa mencari-cari celah.
Ayat 102 menegaskan bahwa kaum sebelum mereka (Ahli Kitab) juga pernah mengajukan pertanyaan yang tidak perlu, yang kemudian membuat mereka ingkar terhadap jawaban yang diberikan oleh para nabi.
Bagian penutup Surah Al-Ma'idah adalah klimaks dari keseluruhan surah, yaitu saat Allah SWT berbicara langsung kepada para nabi, khususnya Nabi Isa AS, pada hari Kiamat. Ini adalah dialog dramatis yang menggarisbawahi keesaan Allah dan pertanggungjawaban para utusan-Nya.
Allah akan mengumpulkan para rasul dan bertanya kepada mereka mengenai respons umat mereka terhadap risalah yang disampaikan. Mereka akan menjawab bahwa hanya Allah yang mengetahui segala yang gaib.
Allah mengingatkan Nabi Isa AS tentang semua mukjizat luar biasa yang dianugerahkan kepadanya: berbicara saat bayi, menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati, dan diperkuat dengan Ruhul Qudus (Jibril). Semua mukjizat ini ditekankan sebagai karunia dari Allah, bukan kekuatan yang berasal dari ketuhanan Isa sendiri. Ini adalah bantahan terakhir terhadap doktrin penyimpangan Nasrani.
Inilah ayat yang menjadi nama surah. Para pengikut Nabi Isa (Hawariyyun) meminta kepadanya agar Allah menurunkan ‘Ma'idah’ (hidangan dari langit) sebagai bukti kebenaran. Permintaan ini dianggap sebagai ujian iman.
Allah mengabulkan permintaan itu tetapi memberikan peringatan yang sangat keras: jika ada yang ingkar setelah melihat mukjizat tersebut, mereka akan dihukum dengan azab yang tidak pernah ditimpakan kepada siapa pun di alam semesta. Hal ini menunjukkan bahwa mukjizat besar menuntut pertanggungjawaban yang lebih besar.
Bagian paling mengharukan dan kritis dalam surah ini adalah dialog di Hari Kiamat, di mana Allah SWT bertanya kepada Nabi Isa:
Nabi Isa AS menjawab dengan penuh ketundukan dan kesucian (Tauhid), menolak keras tuduhan tersebut. Ia bersaksi bahwa ia hanya menyampaikan apa yang diperintahkan kepadanya: untuk menyembah Allah semata, Tuhannya dan Tuhan mereka. Ia menegaskan bahwa selama ia hidup, ia menjadi saksi atas mereka, namun setelah ia diwafatkan, Allah-lah yang menjadi Pengawas. Pernyataan ini menjadi penutup yang mutlak bagi seluruh argumen teologis dalam surah ini: Isa adalah hamba Allah, dan Tauhid harus ditegakkan.
Surah ini ditutup dengan janji surga bagi orang-orang yang benar (beriman dan beramal saleh) dan penegasan kekuasaan Allah yang mutlak atas langit, bumi, dan segala isinya. Ini adalah akhir yang mengikat semua hukum, peringatan, dan kisah dalam surah ini pada tujuan akhir: ketaatan mutlak kepada Allah, Sang Maha Kuasa.
Surah Al-Ma'idah, karena diturunkan pada periode akhir kenabian, memiliki peran unik dalam membentuk masyarakat Muslim yang ideal. Berbeda dengan surah-surah Makkiyah yang fokus pada akidah dasar, Al-Ma'idah berfungsi sebagai konstitusi yang komprehensif. Untuk memahami kedalaman surah ini, perlu dianalisis bagaimana berbagai tema yang tampaknya berbeda (dari wudu hingga hukum pidana, dari makanan halal hingga kritikan terhadap Ahli Kitab) saling terkait.
Surah ini menunjukkan bahwa kesalehan pribadi adalah prasyarat untuk keadilan publik. Ayat 6 (Wudu dan Tayamum) mengajarkan kesucian individu (thaharah) sebagai syarat ibadah. Segera setelah itu, Ayat 8 menekankan keadilan dalam kesaksian. Keterkaitannya jelas: seseorang yang disiplin dan suci dalam urusan pribadinya (seperti dalam melaksanakan wudu sebelum salat lima waktu) akan lebih mampu menegakkan standar keadilan yang tinggi dan objektif di hadapan orang lain.
Demikian pula, larangan keras terhadap minuman keras dan judi (Ayat 90) ditempatkan untuk melindungi akal dan harta, yang pada gilirannya melindungi keadilan sosial. Jika individu rusak oleh hawa nafsu (khamr dan judi), masyarakat akan gagal menegakkan janji dan keadilan yang ditekankan dalam Ayat 1.
Al-Ma'idah menetapkan batas-batas yang tegas namun adil dalam berinteraksi dengan Ahli Kitab. Di satu sisi, ada kelonggaran (izin memakan sembelihan mereka dan menikahi wanita mereka - Ayat 5), yang merupakan pengakuan terhadap akar tauhid mereka. Di sisi lain, terdapat larangan keras mengambil mereka sebagai Auliya (pemimpin/pelindung) dan kritik tajam terhadap penyimpangan akidah mereka (Trinitas - Ayat 73).
Tujuan dari dikotomi ini adalah untuk memelihara identitas Muslim yang mandiri (tidak bergantung pada Ahli Kitab dalam kepemimpinan) sambil tetap mempertahankan interaksi sipil dan perdagangan yang damai, asalkan tidak mengkompromikan prinsip-prinsip Tauhid.
Ayat 3, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu...”, tidak hanya berarti bahwa hukum telah lengkap, tetapi juga bahwa Islam tidak perlu lagi mencari legitimasi dari luar (dari Taurat atau Injil) atau menambahkan ritual baru. Kesempurnaan ini adalah penutup, dan Surah Al-Ma'idah sendiri menjadi perwujudan dari penyempurnaan itu, karena surah ini mengatur hal-hal yang belum diatur secara final sebelumnya, seperti hukum-hukum muamalah dan batasan makanan.
Kisah-kisah dalam surah ini (Musa, Isa, Qabil dan Habil) semuanya berpusat pada kegagalan manusia untuk memenuhi janji, baik janji ketaatan (Bani Israil menolak masuk Tanah Suci) maupun janji moral (Qabil membunuh adiknya). Dengan membandingkan umat Muhammad ﷺ dengan kegagalan umat sebelumnya, Al-Ma'idah mendorong umat Muslim untuk menjadi umat terbaik, yang benar-benar memegang teguh perjanjian yang telah mereka ikrarkan.
Penyampaian status Nabi Isa di Hari Kiamat (Ayat 116) adalah puncak dari pembersihan akidah. Dengan penolakan Isa AS terhadap pemujaan dirinya, Al-Ma'idah memberikan kesimpulan definitif tentang sifat Tauhid, menegaskan bahwa semua rasul hanyalah hamba yang diutus, dan ketuhanan adalah milik Allah semata.
Ayat 8 tentang keadilan adalah relevan secara abadi, terutama dalam masyarakat multikultural saat ini. Prinsip bahwa kebencian terhadap suatu kelompok tidak boleh mencegah kita berlaku adil adalah pondasi bagi hak asasi manusia dan keharmonisan sosial dalam Islam. Dalam konteks modern, ini berarti menjamin hak minoritas, menerapkan hukum secara imparsial, dan menolak diskriminasi dalam proses peradilan atau pengambilan keputusan publik.
Aturan rinci tentang makanan halal, sembelihan, dan larangan riba/judi (Ayat 90) membentuk kerangka kerja bagi ekonomi syariah. Larangan riba (meskipun tidak secara eksplisit diulang di Al-Ma'idah, tetapi diperkuat oleh surah lain) dan larangan maysir (judi) memastikan bahwa transaksi keuangan didasarkan pada risiko yang dibagi dan etika, bukan spekulasi murni yang merusak stabilitas ekonomi individu dan komunitas.
Peringatan terhadap ekstremitas dalam beragama (Ayat 77) sangat penting. Islam menolak baik sikap terlalu berlebihan (ghuluw) maupun kelalaian (tafrith). Ayat ini mendorong umat Islam untuk mengadopsi jalan tengah (wasatiyah) dalam ibadah dan interaksi sosial, menghindari fanatisme yang menyebabkan perpecahan atau penambahan hukum yang tidak berdasar (bid'ah).
Surah Al-Ma'idah berdiri sebagai bukti bahwa wahyu Ilahi mencakup setiap aspek kehidupan, dari ritual paling pribadi (bersuci) hingga hukum publik yang paling berat (hukum pidana), semuanya dirancang untuk membawa manusia menuju kesuksesan di dunia dan akhirat, asalkan mereka menepati janji yang telah mereka buat kepada Tuhan dan sesama manusia.
Dengan seluruh keluasan tema dan kedalaman hukumnya, Surah Al-Ma'idah bukan hanya kumpulan peraturan, melainkan sebuah seruan untuk hidup dalam ketaatan yang menyeluruh, menegakkan tauhid, keadilan, dan menunaikan setiap perjanjian yang telah diikrarkan, sebagai bekal menuju keridaan Allah SWT.