Menggali Kedalaman Doa Kenabian: Surah Al-Anbiya Ayat 89

Analisis Teks, Konteks, dan Warisan Spiritual Nabi Zakariyya AS

I. Konteks Historis dan Keagungan Surah Al-Anbiya

Surah Al-Anbiya (Para Nabi) merupakan surah Makkiyyah yang sarat dengan kisah para utusan Allah SWT. Inti dari surah ini adalah penegasan tentang Keesaan Allah dan kebenaran hari kebangkitan, yang diperkuat melalui narasi perjuangan berbagai nabi. Dari Ibrahim yang menghadapi berhala, Nuh yang menghadapi banjir, hingga Yunus yang ditelan ikan, surah ini menyajikan sebuah galeri iman yang luar biasa. Di antara kisah-kisah penuh ujian tersebut, terdapat kisah Nabi Zakariyya (Zechariah), yang kisahnya diabadikan dalam ayat ke-89, sebuah untaian doa yang mengandung pelajaran tauhid dan tawakal yang tak terhingga.

Kisah Nabi Zakariyya datang pada titik narasi Al-Qur'an di mana kekuatan doa dan mukjizat ilahi diperlihatkan secara kontras dengan keterbatasan manusiawi. Zakariyya adalah seorang hamba yang saleh, bertugas melayani di Baitul Maqdis. Ia telah mencapai usia senja, dan istrinya, Isya' (atau Al-Yasabith), juga mandul. Secara logis, harapan untuk memiliki keturunan—terutama seorang penerus yang dapat melanjutkan estafet kenabian—sudah tertutup. Namun, Zakariyya tidak pernah membiarkan logika dunia memadamkan api harapannya kepada Sang Pencipta. Doanya adalah manifestasi sempurna dari keyakinan bahwa kekuasaan Allah melampaui segala hukum alam.

Doa yang Mengubah Takdir: Ayat 89

وَزَكَرِيَّآ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُۥ رَبِّ لَا تَذَرْنِى فَرْدًۭا وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْوَٰرِثِينَ

Transliterasi: Wa Zakariyyā iż nādā Rabbahū Rabbi lā tażarnī fardaw wa anta khayrul-wāriṡīn.

Terjemah: Dan (ingatlah kisah) Zakariyya, ketika ia menyeru Tuhannya: "Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan) dan Engkaulah Waris yang paling baik." (QS. Al-Anbiya [21]: 89)

Ayat ini adalah intisari dari sebuah permintaan yang diajukan dengan kerendahan hati yang ekstrem, namun dibalut dengan pengakuan sempurna terhadap sifat-sifat keagungan Allah. Keindahan doa ini terletak pada kombinasi antara kebutuhan insani dan pengakuan teologis. Zakariyya mengakui kelemahannya, kebutuhannya akan pewaris risalah, sekaligus menegaskan bahwa pada akhirnya, segala sesuatu—hidup, mati, dan warisan—kembali kepada Allah, Sang Waris Sejati.

II. Analisis Linguistik dan Terminologi Kunci

Untuk memahami kedalaman spiritual ayat 89, kita harus membongkar setiap komponen linguistiknya. Bahasa Arab Al-Qur'an menggunakan kata-kata dengan presisi makna yang mendalam, dan doa Zakariyya adalah contoh utama dari kekayaan semantik tersebut.

A. Panggilan Ilahi: Rabbi (يا رَبِّ)

Doa ini dibuka dengan seruan 'Rabbi' (Ya Tuhanku). Penggunaan kata *Rabb* tidak hanya berarti 'Tuhan' dalam arti umum (seperti *Ilah*), tetapi secara khusus merujuk pada Dia yang Memelihara, Mendidik, Mengurus, dan Memberi Rezeki. Ketika Zakariyya memanggil Allah dengan 'Rabbi', ia sedang mengajukan permohonan kepada Sumber segala pemeliharaan. Ini menunjukkan hubungan yang intim dan pengakuan total akan ketergantungan. Nabi Zakariyya tahu bahwa hanya Dia yang mampu memelihara harapannya dan mewujudkan sesuatu dari ketiadaan, terutama dalam konteks biologis yang sudah mustahil.

Pengulangan seruan dalam konteks Al-Qur'an (seperti dalam beberapa doa nabi lain) menunjukkan intensitas dan urgensi permohonan. Ini bukan sekadar permintaan formal, melainkan jeritan hati seorang hamba yang sudah putus asa dari sarana duniawi, namun menggantungkan segala harapannya pada sarana ilahi. Kontemplasi atas seruan 'Rabbi' ini menggarisbawahi pentingnya menyertakan pengakuan atas sifat pemeliharaan Allah dalam setiap doa kita.

B. Permintaan Utama: Lā Tadharnī Fardan (لَا تَذَرْنِى فَرْدًا)

Frasa ini adalah inti dari permintaan Zakariyya: "Janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri." Kata kunci di sini adalah *Fardan* (فَرْدًا), yang berarti 'sendirian', 'tunggal', atau 'soliter'.

Penggunaan kata kerja *tadharnii* (dari akar kata *d-dh-r*) yang berarti 'meninggalkan' atau 'membiarkan', menunjukkan permohonan untuk tidak ditinggalkan dalam keadaan tunggal. Ini adalah permohonan untuk kelanjutan eksistensial dan spiritualitas umat yang ia pimpin. Keinginan untuk memiliki keturunan yang saleh adalah keinginan yang universal, namun bagi seorang nabi, ini menjadi kewajiban dalam konteks pemeliharaan agama.

C. Pengakuan Tertinggi: Wa Anta Khayrul Wāritsīn (وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْوَٰرِثِينَ)

Puncak spiritual dan teologis dari doa ini terdapat pada penutupnya: "Dan Engkaulah Waris yang paling baik." Frasa ini adalah masterstroke kerendahan hati dan tauhid. Kata *al-Waarits* (الْوَٰرِثُ) berarti 'Pewaris'.

Mengapa Zakariyya menutup doanya dengan pengakuan bahwa Allah adalah Waris terbaik? Ini berfungsi sebagai sebuah pernyataan teologis ganda:

  1. Pengakuan Kedaulatan Mutlak (Tawakal): Zakariyya menyadari bahwa bahkan jika ia diberikan keturunan, keturunan itu pada akhirnya akan kembali kepada Allah. Lebih jauh lagi, jika Allah tidak mengabulkan permintaannya, segala yang ia miliki—risalah, pengabdian, dan bahkan jiwanya—akan diwariskan kembali kepada Allah. Dengan demikian, ia menyerahkan hasil doanya sepenuhnya kepada kehendak Ilahi.
  2. Pengakuan Keabadian (Harapan): Jika ia meninggal tanpa pewaris manusia, risalah Allah tetap akan abadi karena Allah sendiri yang akan mewarisinya dan menjamin kelangsungannya. Ini adalah jaminan bahwa pekerjaan kenabian tidak akan sia-sia. Dengan mengakui Allah sebagai *Khayrul Wāritsīn* (Sebaik-baik Pewaris), Zakariyya sebenarnya sedang memperkuat argumennya: Ya Allah, Engkau tahu betapa pentingnya warisan ini, dan jika tidak ada pewaris manusia, Engkaulah yang paling mampu menjamin kelestarian warisan tersebut.

Para mufassir menekankan bahwa penutup ini adalah adab tertinggi dalam berdoa. Setelah menyatakan kebutuhannya, Zakariyya menempatkan permintaan itu di bawah payung kehendak Allah. Doa ini bukan perintah, melainkan permohonan yang berserah diri secara total, menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang sifat Allah sebagai *al-Baqi* (Yang Kekal) dan kepemilikan mutlak.

III. Tafsir dan Implikasi Teologis Mendalam

Para ulama tafsir klasik dan kontemporer telah banyak mengulas ayat ini, menekankan berbagai dimensi spiritual yang terkandung di dalamnya. Analisis terhadap tafsir ini memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana doa ini harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

A. Tafsir Ibn Katsir: Fokus pada Kepemilikan Mutlak

Imam Ibn Katsir, dalam tafsirnya, menekankan konteks usia Zakariyya yang sudah sangat tua. Permintaan itu datang bukan dari ambisi pribadi, melainkan dari rasa tanggung jawab terhadap agama. Mengenai frasa "Khayrul Wāritsīn," Ibn Katsir menafsirkannya sebagai pengakuan bahwa Allah adalah yang tersisa setelah semua makhluk binasa. Allah adalah Pewaris sejati atas langit dan bumi serta segala isinya. Pengakuan ini membebaskan Zakariyya dari rasa takut akan kehilangan warisan duniawi, karena ia tahu bahwa warisan yang paling utama (risalah) berada di tangan yang paling aman, yaitu Allah SWT.

Pandangan ini mengajarkan kita bahwa ketika kita memohon sesuatu yang tampaknya mustahil, kita harus terlebih dahulu memperbarui pengakuan kita akan sifat kekal dan kedaulatan Allah. Permintaan Zakariyya diluluskan bukan karena kelayakan dirinya semata, tetapi karena pengakuan tulusnya terhadap Kemahakuasaan Allah, yang diwujudkan dalam pemberian Yahya (Yohanes Pembaptis) sebagai karunia yang luar biasa.

B. Tafsir Al-Qurtubi: Warisan Harta vs. Warisan Ilmu

Imam Al-Qurtubi menyoroti perbedaan antara warisan materi dan warisan spiritual. Para nabi tidak mewariskan dirham atau dinar; warisan mereka adalah ilmu, hikmah, dan risalah. Ketika Zakariyya khawatir menjadi 'fardan', kekhawatiran terbesarnya adalah tidak adanya orang yang mewarisi ilmu kenabiannya di Bani Israil, terutama setelah melihat penyimpangan yang terjadi di antara kaumnya.

Doa ini adalah pelajaran abadi bagi setiap muslim yang berjuang untuk kebaikan. Warisan yang harus kita khawatirkan terputus bukanlah properti, melainkan amal saleh, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang mendoakan. Permintaan Nabi Zakariyya adalah permohonan agar Allah menjamin keberlanjutan kebaikan, bahkan jika sarana duniawi (usia dan kondisi fisik) telah tertutup rapat.

Melalui lensa Al-Qurtubi, kita melihat bahwa doa ini relevan bagi siapa pun yang merasa terasing dalam perjuangan dakwah atau pendidikan. Kita memohon kepada Allah, Waris Terbaik, agar upaya dan ilmu kita tidak sia-sia setelah kita tiada.

C. Prinsip Tawakal yang Sempurna

Doa ini adalah salah satu contoh tawakal paling agung dalam Al-Qur'an. Tawakal adalah menyandarkan segala urusan kepada Allah setelah berusaha. Dalam kasus Zakariyya, usahanya adalah doa itu sendiri. Kondisi biologisnya (usia tua dan istri mandul) adalah batas maksimal usaha manusia. Setelah mencapai batas itu, doa ini muncul sebagai ekspresi penyerahan total.

Frasa *Wa anta Khayrul Wāritsīn* adalah katup pengaman tawakal. Jika permintaannya dikabulkan (mendapat anak), itu adalah karunia. Jika tidak dikabulkan, ia tetap yakin bahwa apa yang ia tinggalkan akan terpelihara dengan sempurna oleh Allah, Waris Terbaik. Tidak ada ruang untuk kekecewaan atau rasa tidak puas, karena keyakinan telah mendominasi. Ini adalah titik di mana harapan (Raja') bertemu dengan penyerahan total (Taslim).

IV. Kedalaman Makna Fardan: Mengatasi Kesendirian Eksistensial

Konsep *fardan* (sendirian) dalam ayat 89 dapat dieksplorasi melampaui makna harfiah ketidakpunyaan anak. Ia menyentuh isu kesendirian eksistensial, terutama bagi seorang pemimpin atau pembawa risalah.

A. Kesendirian dalam Kepemimpinan

Nabi sering kali merasa sendirian dalam menghadapi tantangan kaumnya. Mereka berdiri tegak melawan arus penyimpangan dan kekufuran. Zakariyya, yang melihat kebobrokan moral dan spiritual di antara Bani Israil, sangat membutuhkan sekutu, seseorang yang memiliki integritas dan komitmen spiritual yang sama untuk berbagi beban risalah. Kesendirian yang ia takutkan adalah kesendirian di medan jihad spiritual, bukan hanya kesendirian di rumah.

Bagi setiap dai, pendidik, atau reformer, rasa 'fardan' ini sering muncul. Doa ini menjadi sumber kekuatan, meminta bukan hanya bantuan, tetapi juga kontinuitas perjuangan melalui generasi berikutnya. Ketika kita memohon agar tidak ditinggalkan sendirian, kita memohon agar komunitas kebaikan (jama’ah) tetap hidup dan terus berkembang.

B. Keseimbangan Antara Kebutuhan dan Keabadian

Ada dualitas yang indah dalam permintaan 'fardan'. Di satu sisi, Zakariyya menyatakan kebutuhan pribadinya yang sangat manusiawi—keinginan untuk melihat darahnya sendiri membawa risalah. Di sisi lain, ia dengan cepat mengimbanginya dengan pengakuan ilahi. Kontras ini menunjukkan kerangka berpikir kenabian: kebutuhan pribadi selalu harus tunduk dan terintegrasi dalam rencana Tuhan yang lebih besar.

Kesendirian manusia adalah fakta. Setiap manusia akan mati sendirian dan dihisab sendirian. Namun, Zakariyya memohon agar ia tidak dibiarkan 'sendirian' dalam hal meninggalkan warisan spiritual. Jika semua manusia pada akhirnya kembali kepada Allah, Waris Terbaik, maka memohon pewaris hanyalah sebuah sarana untuk memastikan keberlanjutan dakwah di dunia fana ini, sementara hasil akhirnya tetap dijamin oleh Waris Abadi.

Simbol Doa dan Harapan Sebuah ilustrasi sederhana tangan terangkat dalam posisi berdoa, dengan sinar cahaya yang memancar ke atas, melambangkan harapan yang tak terbatas.

Doa Nabi Zakariyya mengajarkan bahwa kesendirian terbesar yang harus dihindari adalah kegagalan untuk meninggalkan jejak kebaikan. Dengan memohon seorang anak saleh, ia berinvestasi pada masa depan rohaninya. Dan ketika Allah memberikan Yahya, Dia memberikan seorang nabi yang akan menjadi syahid, memastikan warisan spiritual itu terus mengalir deras.

V. Aspek Doa dan Adab Meminta (Adabul Du'a)

Doa ini tidak hanya menjadi teks yang indah, tetapi juga panduan praktis tentang adab yang benar saat memohon kepada Allah SWT, terutama dalam situasi yang dianggap mustahil. Adabul Du'a yang tercermin dalam ayat 89 mencakup beberapa dimensi kunci yang harus diteladani oleh setiap mukmin.

A. Memulai dengan Pujian dan Pengakuan (Ta'zhim)

Zakariyya memulai dengan seruan 'Rabbi'. Ini adalah pengakuan akan sifat ketuhanan dan pemeliharaan Allah. Adab yang benar dalam berdoa adalah memulai dengan memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW (meski Zakariyya hidup sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, prinsipnya adalah memuji utusan Allah, dan yang utama adalah memuji Allah sendiri).

Pujian ini membangun jembatan antara kebutuhan hamba yang fana dan kekuasaan Rabb yang Abadi. Ketika kita menyebut Allah sebagai Rabb, kita sedang mengingatkan diri kita sendiri (dan berharap Allah menerima) bahwa Dialah sumber utama dari segala pemenuhan, dan Dialah yang berhak atas pemeliharaan kita.

B. Menyatakan Kebutuhan Secara Jujur (I'tiraf)

Frasa "Lā tadharnī fardan" adalah pernyataan kebutuhan yang polos dan jujur. Zakariyya tidak berusaha menutupi kelemahannya atau keputusasaannya secara duniawi. Ia mengakui kondisinya yang 'sendirian'. Adab berdoa menuntut kejujuran total kepada Allah. Tidak ada yang tersembunyi. Menyatakan kelemahan adalah bentuk kekuatan, karena ia menunjukkan kerendahan hati mutlak di hadapan Yang Maha Kuat.

C. Mengaitkan Permintaan dengan Tujuan yang Lebih Mulia (Risalah)

Permintaan anak oleh Zakariyya bukanlah semata-mata untuk kesenangan pribadi. Ia ingin anak itu mewarisi 'Warisan Ya'qub', warisan kenabian dan tauhid. Adab tertinggi adalah ketika permintaan pribadi kita dihubungkan dengan tujuan yang lebih besar, yaitu kemaslahatan agama dan penyebaran kebaikan di muka bumi. Ketika doa kita melayani tujuan ilahi, kemungkinan untuk dikabulkan akan semakin besar, karena ia sejalan dengan kehendak Allah untuk menyempurnakan cahaya-Nya.

D. Penutup dengan Penyerahan Total (Taslim dan Tawakal)

Sebagaimana telah dibahas secara mendalam, penutup "Wa Anta Khayrul Wāritsīn" adalah penyerahan total. Ini adalah puncak adab: setelah memohon dengan sungguh-sungguh, hamba menyerahkan hasilnya kepada kehendak terbaik Tuhannya. Ini menghilangkan potensi konflik batin dan keputusasaan jika permintaan itu tidak segera dikabulkan. Ia berkata: Ya Allah, Engkau adalah Waris yang sempurna, maka kelangsungan risalah ini, baik melalui anakku atau melalui Engkau sendiri, aku serahkan sepenuhnya kepada-Mu.

Pelajaran krusialnya: Doa yang diterima adalah doa yang ditutup dengan pengakuan Kedaulatan Allah. Kita memohon, tetapi Allah yang memutuskan bagaimana, kapan, atau apakah yang terbaik akan diberikan.

VI. Telaah Konsep Al-Wārits (Sang Pewaris) dalam Asmaul Husna

Ayat 89 tidak hanya sebuah doa, tetapi juga sebuah pernyataan teologis tentang salah satu nama terindah Allah: Al-Wārits (الْوَٰرِثُ). Memahami makna nama ini penting untuk menghayati penutup doa Zakariyya.

A. Definisi Al-Wārits

Al-Wārits adalah Dia yang mewarisi atau memiliki segala sesuatu setelah semua makhluk yang memiliki binasa. Dalam bahasa Arab, *warits* adalah yang mengambil alih kepemilikan setelah pemilik sebelumnya tiada. Dalam konteks Ilahiah, ini berarti:

  1. Kekekalan (Al-Baqi): Allah adalah Dzat Yang Kekal, yang tetap ada ketika semua makhluk fana telah lenyap. Dialah Pemilik sejati segala sesuatu yang kita anggap sebagai 'milik' kita di dunia.
  2. Pemilik Mutlak: Kepemilikan manusia adalah sementara (amanah). Kepemilikan Allah adalah abadi dan mutlak. Segala yang kita wariskan dari orang tua kita pada akhirnya akan kita wariskan kembali kepada Allah.

Ketika Zakariyya berkata "Engkau adalah Waris yang paling baik," ia tidak hanya membandingkan Allah dengan pewaris manusia (yang mungkin lalai atau korup); ia menegaskan bahwa Allah adalah standar tertinggi dari segala kepemilikan. Pewaris manusia mungkin menyalahgunakan warisan, tetapi Al-Wārits memastikan warisan, terutama warisan spiritual kenabian, terpelihara dalam kondisi terbaik.

B. Implikasi Kekuatan Warisan

Pemahaman tentang Al-Wārits mengubah perspektif kita terhadap keturunan, harta, dan usia. Nabi Zakariyya, meskipun berada di ambang akhir kehidupannya dan tanpa anak, tidak merasa takut kehilangan segalanya. Mengapa? Karena ia tahu ia tidak memiliki apa-apa sejak awal; semuanya milik Al-Wārits.

Keyakinan ini menghasilkan kedamaian batin. Jika kita berjuang untuk mendirikan sekolah, menulis buku, atau mendidik anak, dan kita khawatir tentang siapa yang akan melanjutkannya, doa ini memberikan jawabannya. Kita melakukan yang terbaik, lalu kita serahkan kelangsungan dan dampaknya kepada Al-Wārits. Ini adalah jaminan bahwa usaha yang tulus di jalan Allah tidak akan pernah mati, karena Allah sendiri yang menjamin warisannya.

C. Perbandingan dengan Doa Nabi Ibrahim

Kisah Zakariyya sering dibandingkan dengan Nabi Ibrahim (Abraham) yang juga memohon keturunan pada usia senja. Ibrahim berdoa, "Rabbi hab lī minaṣ-ṣāliḥīn" (Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk orang-orang yang saleh). Meskipun doanya mirip dalam tujuan (meminta anak yang saleh), doa Zakariyya menambahkan dimensi teologis yang unik, yaitu pengakuan "Khayrul Wāritsīn," yang menunjukkan kesadaran yang lebih akut akan akhir kehidupan dan tanggung jawab risalah yang hampir terputus.

Kedua doa ini mengajarkan bahwa memohon keturunan harus selalu diiringi dengan harapan agar keturunan tersebut menjadi orang saleh, penerus kebaikan, bukan sekadar pelanjut garis darah. Warisan spiritual lebih utama dari warisan materi.

VII. Manifestasi Mukjizat dan Hikmah Dibalik Jawaban Doa

Allah SWT mengabulkan doa Nabi Zakariyya dengan cara yang paling menakjubkan, menegaskan bahwa tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Jawaban atas doa ini diabadikan dalam ayat berikutnya dan Surah Maryam, memberikan hikmah yang abadi.

A. Pemberian Yahya (Yohanes Pembaptis)

Allah tidak hanya memberikan seorang anak, tetapi seorang nabi, Yahya (John the Baptist), yang namanya belum pernah diberikan kepada siapa pun sebelumnya. Ini adalah mukjizat ganda: lahir dari orang tua yang tua dan mandul, dan diberi nama yang memiliki kehormatan istimewa. Nabi Yahya adalah pewaris sempurna yang sangat dibutuhkan Zakariyya; ia adalah pribadi yang suci, berbakti, dan menjadi pendahulu bagi risalah Nabi Isa AS.

Jawaban ilahi ini menunjukkan bahwa ketika hamba menggantungkan harapannya pada Waris Terbaik, Allah memberikan karunia yang melampaui imajinasi manusia. Zakariyya hanya meminta untuk tidak 'fardan', tetapi Allah memberinya seorang nabi, yang menjamin keberlanjutan risalahnya dan warisan keimanan yang ia junjung tinggi.

B. Hikmah Penundaan dan Ujian

Mengapa Zakariyya harus menunggu hingga usia senja? Hikmahnya terletak pada pengajaran kesabaran (*Shabr*) dan ketekunan (*Istiqaamah*) dalam berdoa. Penundaan itu menguji keimanan Zakariyya dan meningkatkan nilai mukjizat ketika ia akhirnya dikaruniai anak. Allah ingin menunjukkan kepada umat manusia bahwa doa yang tulus, meskipun diajukan dalam kondisi yang paling tidak memungkinkan secara fisik, akan dijawab pada waktu yang paling tepat menurut Rencana Ilahi.

Ujian kesabaran ini memastikan bahwa Zakariyya tidak akan pernah menganggap karunia itu sebagai hasil dari usahanya sendiri, melainkan semata-mata sebagai anugerah dari Al-Wārits yang Mahakuasa. Hal ini menegaskan kembali pelajaran bahwa waktu pengabulan doa adalah bagian dari takdir Allah, dan hamba hanya bertugas memohon dan berserah diri.

C. Menghidupkan Harapan Bagi yang Putus Asa

Kisah Zakariyya adalah mercusuar harapan bagi setiap orang yang merasa terasing, mandul (secara spiritual atau fisik), atau putus asa karena faktor usia atau kondisi. Ayat 89 adalah obat penawar bagi keputusasaan. Ia mengajarkan bahwa selagi ada napas, pintu doa selalu terbuka, dan batas-batas logis manusia tidak berlaku di hadapan kekuasaan Allah.

Jika seorang nabi di usia 90-an masih memohon dan dikabulkan dengan mukjizat, maka tidak ada alasan bagi seorang mukmin untuk menyerah pada kesulitan hidup. Yang penting adalah kualitas doa—kerendahan hati, kejujuran, dan penyerahan diri total kepada Sang Waris Terbaik.

VIII. Penerapan Kontemporer Doa Al-Anbiya 89

Meskipun doa ini berakar pada kisah kenabian, relevansinya meluas ke setiap aspek kehidupan muslim modern. Ayat 89 adalah model doa untuk menghadapi berbagai bentuk 'kesendirian' dan kekhawatiran tentang kelangsungan upaya baik.

A. Dalam Konteks Keluarga dan Keturunan

Bagi pasangan yang kesulitan memiliki anak, doa ini adalah salah satu sumber permohonan yang paling kuat. Mereka memohon kepada Allah agar tidak dibiarkan 'fardan' tanpa pewaris. Namun, fokus harus tetap pada permintaan anak yang saleh, yang akan menjadi aset akhirat (sebagaimana Nabi Zakariyya meminta pewaris risalah), bukan hanya sekadar pemenuhan keinginan biologis. Doa ini mengingatkan mereka bahwa bahkan jika mereka tidak dikaruniai anak, segala sesuatu pada akhirnya akan kembali kepada Waris Terbaik.

B. Dalam Konteks Sosial dan Dakwah

Seorang pemimpin komunitas, seorang guru, atau seorang aktivis dakwah seringkali merasa 'fardan' (sendirian) dalam usahanya. Mereka khawatir tentang siapa yang akan melanjutkan pekerjaan mereka, siapa yang akan membawa obor kebenaran setelah mereka tiada. Dalam situasi ini, doa "Rabbi lā tadharnī fardan" menjadi permohonan agar Allah membangkitkan generasi penerus yang teguh dalam keimanan, memastikan kelangsungan proyek kebaikan.

Penerapan doa ini meluas pada permintaan akan murid yang saleh, pengikut yang setia, dan tim yang solid—siapa pun yang akan mewarisi dan melanjutkan visi kebaikan yang sedang diperjuangkan.

C. Menghadapi Kecemasan Akan Kematian dan Warisan

Di penghujung kehidupan, banyak orang disibukkan oleh kekhawatiran tentang apa yang akan mereka tinggalkan. Apakah anak-anak mereka akan mengingat ajaran agama? Apakah harta mereka akan menjadi fitnah? Doa ini berfungsi sebagai pelipur lara dan pengingat. Kita memohon yang terbaik, lalu kita serahkan sisa hidup dan warisan kita kepada Waris Terbaik, yang menjamin bahwa segala kebaikan yang pernah kita lakukan akan tercatat dan abadi di sisi-Nya.

Dengan mengamalkan doa ini, kita menggeser fokus dari ketakutan akan kehilangan di dunia fana menjadi kepastian akan pemeliharaan abadi di sisi Allah SWT. Ini adalah latihan spiritual untuk melepaskan kendali dan mempercayai Rencana Ilahi sepenuhnya.

IX. Merangkum Warisan Keimanan Surah Al-Anbiya 89

Surah Al-Anbiya ayat 89, yang merupakan seruan pilu dan penuh harap Nabi Zakariyya, adalah salah satu harta karun Al-Qur'an. Ia mengajarkan kita bahwa doa adalah senjata mukmin yang melampaui batas logika, usia, dan kondisi biologis.

Refleksi Atas Tiga Elemen Utama

Ketiga bagian utama doa ini—seruan intim (*Rabbi*), permintaan tulus (*Lā tadharnī fardan*), dan penyerahan total (*Wa anta Khayrul Wāritsīn*)—membentuk sebuah formula spiritual yang sempurna.

Rahmat di Balik Permintaan: Keindahan ayat ini terletak pada cara Zakariyya mengajukan permohonan. Ia tidak menuntut, melainkan memohon dengan kerendahan hati seorang hamba yang menyadari bahwa ia hanyalah perantara fana bagi sebuah warisan abadi. Rasa tanggung jawabnya terhadap risalah jauh melebihi keinginan pribadi untuk memiliki keturunan.

Warisan yang Abadi: Konsep Waris Terbaik mengajarkan kita tentang prioritas. Hidup kita, harta kita, dan bahkan anak-anak kita, hanyalah pinjaman sementara. Pemilik sejati segala sesuatu adalah Allah. Ketika kita memohon, kita memohon agar Dia menggunakan kita dan apa yang Dia anugerahkan kepada kita sebagai sarana untuk menegakkan kebenaran-Nya. Ini adalah jaminan bahwa tidak ada amal saleh yang sia-sia, dan tidak ada upaya dakwah yang akan terputus selama ia dikaitkan dengan kehendak Al-Wārits.

Doa Nabi Zakariyya, yang terabadikan dalam Surah Al-Anbiya, tetap relevan sebagai sumber kekuatan bagi setiap jiwa yang merasa sendirian dalam perjuangan kebaikan. Ia mengingatkan kita bahwa harapan tidak boleh pernah padam, dan bahwa Penjamin terbaik bagi segala yang kita sayangi adalah Dia, Sang Waris yang Terbaik dan Kekal Abadi.

Doa "Rabbi lā tadharnī fardan wa anta khayrul-wāriṡīn" adalah jaminan bahwa kesendirian terberat akan diatasi oleh kehadiran dan pemeliharaan Allah, Sang Pewaris Sejati, yang menjamin kesinambungan kebaikan, bahkan setelah kita meninggalkan dunia ini.

X. Penguatan Tauhid Melalui Pengakuan Warisan Ilahi

Dalam rangka mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk mengulangi dan menekankan bagaimana doa ini secara mendasar memperkuat prinsip tauhid (keesaan Allah). Tauhid bukan hanya keyakinan teoretis, tetapi praktik sehari-hari, dan doa Zakariyya adalah manifestasi praktis dari tauhid rububiyah dan uluhiyah.

A. Tauhid Rububiyah: Pengaturan Mutlak

Tauhid Rububiyah mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Pemelihara. Ketika Nabi Zakariyya dihadapkan pada kenyataan bahwa ia dan istrinya sudah tua dan mandul—kondisi yang secara ilmiah mustahil diubah—doanya adalah pengakuan bahwa hanya Rububiyah Allah yang dapat mengubah hukum alam ini. Memohon keturunan dalam kondisi tersebut adalah praktik tauhid rububiyah yang paling murni, meyakini bahwa Allah mampu menciptakan tanpa batas, bahkan tanpa sarana yang biasa.

Doa ini mengajarkan bahwa dalam menghadapi krisis atau masalah yang 'mustahil', seorang mukmin harus menggeser fokus dari keterbatasan sarana (seperti kondisi fisik atau ekonomi) menuju Kemahakuasaan Sang Pengatur. Inilah inti dari keyakinan bahwa Allah memiliki kekuasaan untuk memelihara dan mengatur segala yang ada, melampaui sebab-akibat yang kita pahami.

B. Tauhid Uluhiyah: Pengabdian Mutlak

Tauhid Uluhiyah mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan dipatuhi. Dalam konteks doa Zakariyya, ini tercermin dalam tujuan doanya. Ia tidak meminta anak untuk memenuhi keinginan egoistik, melainkan untuk melayani tujuan ibadah: melanjutkan estafet kenabian. Seluruh permintaan didedikasikan untuk kelangsungan pengabdian kepada Allah.

Penutup "Wa Anta Khayrul Wāritsīn" juga merupakan puncak pengabdian. Ini adalah ibadah penyerahan. Zakariyya mengabdikan hasilnya kepada Allah, mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya tujuan akhir dari semua tindakan dan permohonan. Ini memurnikan niat, memastikan bahwa permintaan akan keturunan adalah bentuk ibadah, bukan sekadar naluri biologis.

C. Sintesis Kemanusiaan dan Keilahian

Kisah ini menyajikan sintesis yang sempurna antara kelemahan manusiawi dan Kekuatan Ilahi. Nabi Zakariyya adalah manusia yang merasakan kekhawatiran dan kesendirian (*fardan*). Namun, ia mengatasi kelemahan ini dengan berlindung pada Dzat Yang Maha Kuat (*Al-Wārits*).

Pengulangan analisis ini menekankan bahwa ayat 89 adalah pelajaran hidup. Ia mengajarkan kita bahwa setiap bentuk kesendirian, kekurangan, atau ketiadaan, harus dijawab dengan keyakinan pada kepemilikan abadi Allah. Setiap aset yang kita miliki, termasuk waktu dan energi kita, pada akhirnya akan diwariskan kembali kepada-Nya. Dengan demikian, tugas kita adalah memastikan bahwa warisan yang akan kita serahkan kembali kepada Al-Wārits adalah warisan yang paling baik dan bermanfaat.

Doa Nabi Zakariyya bukan hanya untuk mereka yang mendambakan keturunan, tetapi untuk setiap individu yang mencari makna dan kelangsungan spiritualitas dalam hidup yang fana. Ia adalah janji abadi: jika kita menyerahkan hidup kita kepada Waris Terbaik, warisan kita dijamin tidak akan pernah hilang.

Penutup Reflektif yang Mendalam

Pada akhirnya, Surah Al-Anbiya ayat 89 adalah pengingat konstan bahwa segala bentuk kepemilikan dan kelangsungan di dunia ini bersifat sementara, kecuali kepemilikan dan kelangsungan yang dijamin oleh Allah SWT. Ia adalah Waris yang paling baik karena Dia tidak pernah mati, tidak pernah lalai, dan tidak pernah menyia-nyiakan amal. Oleh karena itu, bagi Zakariyya, dan bagi kita semua, solusi untuk merasa tidak 'fardan' adalah mengaitkan diri kita secara total kepada Dzat yang merupakan Waris tunggal dan abadi dari segala yang ada. Memohon dengan kerendahan hati dan menyerahkan hasil kepada-Nya adalah kunci menuju ketenangan sejati, karena kita tahu bahwa apa pun yang terjadi, risalah dan kebaikan akan terus berlanjut di bawah pemeliharaan Yang Maha Kekal.

Semoga kita dapat meneladani adab dan tauhid Nabi Zakariyya AS dalam setiap permohonan yang kita panjatkan, mengakui bahwa dalam segala hal, dari awal hingga akhir, Allah adalah Waris terbaik atas segala sesuatu yang kita usahakan, tinggalkan, dan cintai.

🏠 Kembali ke Homepage