Surah Ad-Dhuha, yang berarti "Waktu Matahari Sepenggalahan Naik" atau "Waktu Pagi yang Terang Benerang," merupakan surah ke-93 dalam Al-Qur'an dan termasuk dalam golongan Surah Makkiyah. Surah yang terdiri dari sebelas ayat ini memiliki bobot historis dan psikologis yang luar biasa besar dalam sirah kenabian. Ia diturunkan pada masa yang sangat kritis, saat Nabi Muhammad ﷺ mengalami keraguan dan kesedihan mendalam karena terputusnya wahyu selama periode tertentu. Periode ini, yang oleh para ulama disebut sebagai fatra al-wahy, menciptakan kekosongan spiritual yang dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk menyebarkan tuduhan bahwa Allah telah meninggalkan atau membenci Rasul-Nya.
Artikel ini akan mengupas tuntas setiap aspek Surah Ad-Dhuha, mulai dari konteks historis penurunannya, analisis linguistik sumpah-sumpah Ilahi, janji-janji yang menenangkan, hingga implikasi moral dan sosial dari perintah-perintah yang terkandung di dalamnya. Kita akan melihat bagaimana surah ini tidak hanya relevan bagi Nabi di masa kesulitannya, tetapi juga menjadi cetak biru abadi bagi setiap jiwa yang merasa ditinggalkan, yang sedang berjuang di tengah kegelapan keraguan, atau yang meragukan janji kebaikan di masa depan.
Penting untuk memahami bahwa Surah Ad-Dhuha adalah jawaban langsung terhadap keputusasaan. Setelah turunnya beberapa wahyu pertama yang sangat kuat, seperti Surah Al-Alaq dan Al-Muddathir, terjadi jeda. Jeda ini bervariasi dalam riwayat, ada yang menyebutkan 15 hari, ada yang menyebutkan hingga beberapa bulan. Bagi seorang Nabi yang baru saja menerima tugas kenabian, terputusnya komunikasi dengan sumber Ilahi merupakan cobaan berat, seolah-olah jembatan spiritual telah ditarik. Kesedihan Nabi semakin diperparah oleh ejekan para musyrikin Makkah, yang dengan sinis mengatakan, "Tuhannya telah meninggalkan dia," atau "Setannya (Jibril) telah pergi." Tuduhan keji ini menusuk hati Nabi, menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kelanjutan risalahnya.
Dalam riwayat yang shahih, disebutkan bahwa ketika Jibril tidak muncul untuk waktu yang lama, hal ini menimbulkan kekhawatiran yang tak terperikan. Surah Ad-Dhuha hadir sebagai pelukan Ilahi, sebagai penegasan mutlak bahwa kegelapan hanyalah fase sementara, dan bahwa hubungan spiritual antara Allah dan Rasul-Nya tidak pernah terputus, melainkan hanya diuji. Ini adalah fondasi psikologis Surah Ad-Dhuha: afirmasi yang menolak tuduhan keputusasaan dan menjamin kehangatan kasih sayang Tuhan.
Struktur Surah Ad-Dhuha sangatlah indah, membagi diri menjadi tiga segmen utama: sumpah dan penolakan (ayat 1-3), janji masa depan yang lebih baik (ayat 4-5), dan perintah moral serta pengingat nikmat masa lalu (ayat 6-11).
وَالضُّحَىٰ ﴿١﴾ وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ ﴿٢﴾ مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ ﴿٣﴾
Ayat 1 & 2: "Demi waktu dhuha (ketika matahari naik sepenggalah)." dan "Dan demi malam apabila telah sunyi."
Allah memulai surah ini dengan sumpah (qasam) atas dua waktu yang berlawanan: Dhuha (pagi yang cerah) dan Lail (malam yang sunyi/gelap). Para mufassir menjelaskan bahwa sumpah atas fenomena alam ini tidak sekadar puitis, tetapi mengandung makna mendalam tentang siklus kehidupan dan wahyu itu sendiri. Dhuha melambangkan datangnya cahaya, kejernihan, dan permulaan, seolah mengindikasikan datangnya wahyu yang terang benderang. Sebaliknya, Lail (malam) melambangkan periode istirahat, ketenangan, atau dalam konteks wahyu, periode fatra (jeda) itu sendiri, sebuah masa kesunyian.
Penyebutan kedua waktu ini secara berdampingan menegaskan bahwa kesulitan (malam) dan kemudahan (pagi) adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama, keduanya diciptakan dan diatur oleh Allah. Jeda dalam wahyu adalah bagian dari rencana Ilahi, sama alaminya dengan siklus matahari terbit dan terbenam. Sumpah ini mempersiapkan pendengar untuk menerima pernyataan agung berikutnya.
Ayat 3: "Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak pula membencimu."
Ini adalah inti dari Surah Ad-Dhuha, jawaban tegas yang menghancurkan semua keraguan dan tuduhan. Kata kunci di sini adalah Maa Wadda'aka Rabbuka (Tuhanmu tidak meninggalkanmu) dan wa maa qalaa (dan tidak pula membencimu). Kata wadda'a berasal dari kata wida' yang berarti perpisahan atau pamit. Penolakan ini menunjukkan bahwa jeda wahyu bukanlah perpisahan. Allah menegaskan bahwa hubungan-Nya dengan Rasul-Nya bersifat permanen dan penuh kasih sayang.
Kata Qalaa (membenci) adalah penolakan terhadap tuduhan musuh. Tuduhan bahwa Allah murka dan menjauhkan diri adalah fitnah keji. Surah ini mengajarkan bahwa dalam masa-masa paling gelap sekalipun, ketika kita merasa seolah-olah doa kita tidak dijawab atau bimbingan spiritual kita terputus, itu bukanlah tanda kebencian Ilahi, melainkan mungkin sebuah ujian kesabaran atau persiapan untuk karunia yang lebih besar.
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَىٰ ﴿٤﴾ وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَىٰ ﴿٥﴾
Ayat 4: "Dan sesungguhnya yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan."
Ayat ini memberikan harapan ganda. Secara eskatologis (akhirat), kehidupan akhirat pasti jauh lebih baik daripada kehidupan dunia (al-Ula). Namun, para mufassir juga melihat makna duniawi yang bersifat temporal: keadaan Nabi di masa depan, termasuk kemenangan risalah, penyebaran Islam, dan pengakuan, akan jauh lebih baik daripada keadaan sulit yang dialaminya di Makkah pada saat itu.
Ayat ini adalah penyemangat universal bagi setiap orang yang sedang berjuang. Ia memastikan bahwa puncak kesulitan hari ini tidak menentukan puncak kebahagiaan di masa depan. Kegelapan saat ini adalah prasyarat bagi fajar yang akan datang. Janji ini menuntut tawakkal (penyerahan diri) dan optimisme Ilahiah.
Ayat 5: "Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga (hatimu) menjadi puas."
Ini adalah janji yang paling menenangkan: wa lasawfa yu’ṭīka rabbuka fa tarḍā. Penggunaan kata lasawfa (pasti akan, dalam waktu dekat) menekankan kepastian janji ini. Allah tidak hanya akan memberi, tetapi memberi sampai Nabi (dan secara implisit, hamba-Nya) mencapai tingkat kepuasan yang absolut (tarḍā). Dalam konteks Nabi, karunia ini mencakup syafaat agung (hak untuk menolong umatnya di Hari Kiamat) dan kemenangan besar di dunia (Fathu Makkah).
Bagi umat, ayat ini berfungsi sebagai jaminan bahwa perjuangan yang dilakukan atas nama kebenaran tidak akan sia-sia. Allah akan membalas dengan kemurahan yang melampaui harapan kita, mengenyahkan semua rasa sakit dan kekecewaan masa lalu dengan kepuasan hakiki.
Setelah menenangkan hati Nabi dengan janji masa depan, Allah mengingatkan tentang kasih sayang-Nya di masa lalu. Ini adalah teknik psikologis yang kuat: jika Allah telah menjaga di masa lalu, mengapa Dia akan meninggalkan sekarang?
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ ﴿٦﴾ وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ ﴿٧﴾ وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَىٰ ﴿٨﴾
Ayat 6: "Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?"
Nabi Muhammad ﷺ lahir dalam keadaan yatim, kehilangan ayah sebelum lahir, dan ibunya meninggal ketika ia masih sangat kecil. Ayat ini menegaskan bahwa Allah-lah pelindung sejati. Perlindungan ini datang melalui kakeknya, Abdul Muttalib, dan pamannya, Abu Thalib. Allah menggunakan perantara manusia untuk melaksanakan perlindungan Ilahi-Nya. Ini mengajarkan bahwa bahkan dalam kerentanan terburuk (kehilangan orang tua), pertolongan Allah selalu ada.
Ayat 7: "Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung (tersesat), lalu Dia memberikan petunjuk?"
Kata ḍāllān di sini tidak berarti tersesat dalam dosa (karena Nabi terlindungi dari dosa), melainkan "tersesat" dalam artian tidak mengetahui jalan menuju hukum dan risalah yang sempurna, tidak memiliki wahyu sebelumnya. Sebelum kenabian, meskipun beliau adalah pribadi yang jujur dan suci, beliau belum mengetahui jalan syariat yang lengkap. Petunjuk (hadā) yang diberikan adalah wahyu Al-Qur'an itu sendiri. Ayat ini menekankan nikmat terbesar: petunjuk spiritual.
Ayat 8: "Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan (miskin), lalu Dia memberikan kecukupan?"
Nabi ﷺ pada awalnya hidup dalam kesulitan ekonomi. Kecukupan (aghnā) yang diberikan Allah datang melalui pernikahan dengan Khadijah, yang merupakan saudagar kaya dan mulia, serta melalui keberkahan dalam urusan dagang Nabi sendiri. Ini mengajarkan pentingnya nikmat rezeki dan kekayaan material sebagai bentuk manifestasi kasih sayang Tuhan.
Ayat 6, 7, dan 8 membentuk sebuah pola yang luar biasa: Allah mengubah status dari kerentanan fisik (yatim), kerentanan spiritual (bingung), dan kerentanan material (miskin) menjadi perlindungan, petunjuk, dan kecukupan. Ini adalah narasi universal transformasi yang didorong oleh kasih sayang Ilahi.
Setelah mengingat nikmat (Ayat 6-8), Surah Ad-Dhuha beralih ke kewajiban (Ayat 9-11). Prinsipnya: karena engkau telah menerima, maka berikanlah. Berkah Ilahi tidak dimaksudkan untuk dinikmati sendiri, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan sosial.
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ ﴿٩﴾ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ ﴿١٠﴾ وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ﴿١١﴾
Ayat 9: "Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang."
Ini adalah perintah yang sangat spesifik dan personal, mengingat Nabi sendiri adalah seorang yatim. Kata tahqhar berarti menindas, menekan, atau memperlakukan dengan kasar. Perintah ini mencakup perlindungan fisik, emosional, dan finansial bagi anak yatim. Intinya adalah larangan memanfaatkan kerentanan seseorang yang tidak memiliki pelindung duniawi.
Ayat 10: "Dan terhadap orang yang meminta-minta (fakir/miskin), janganlah engkau menghardiknya."
Kata tanhar berarti menghardik, membentak, atau menolak dengan cara yang menyakitkan. Perintah ini meluas kepada semua yang membutuhkan (peminta, pengemis, atau yang datang mencari bantuan/ilmu). Islam tidak hanya memerintahkan pemberian, tetapi juga kualitas pemberian tersebut—harus disertai dengan rasa hormat (ihsan). Jika tidak bisa memberi materi, setidaknya berikanlah kata-kata yang baik.
Ayat 11: "Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau nyatakan (syukuri)."
Perintah ketiga ini adalah puncak spiritualnya. Kata ḥaddith bisa berarti menceritakan, menampakkan, atau memperlihatkan. Ini adalah perintah untuk mensyukuri nikmat. Syukur ini bukan hanya diucapkan, tetapi juga diwujudkan:
Bagi Nabi, perintah ini secara khusus berarti: sampaikanlah risalah (wahyu) yang telah Allah berikan kepadamu, karena itu adalah nikmat terbesar. Ini mengembalikan fokus dari penerimaan personal menjadi tugas penyebaran risalah.
Surah Ad-Dhuha sering disebut sebagai "surah antidepresi" karena kemampuannya menyentuh inti keputusasaan manusia. Ketika seseorang berada dalam kesulitan, ada dua kecenderungan emosional yang berbahaya: pertama, merasa ditinggalkan (kesepian); kedua, merasa tidak berharga (dibenci). Ayat 3 menolak kedua perasaan tersebut secara eksplisit: "Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak pula membencimu." Pesan ini adalah fondasi stabilitas emosional bagi seorang mukmin. Ketika dunia terasa gelap, ingatan bahwa Allah tetap hadir adalah satu-satunya pelabuhan aman.
Struktur narasi surah ini mengikuti alur terapi kognitif:
Inilah keindahan Surah Ad-Dhuha; ia mengubah krisis iman menjadi panggilan untuk beramal. Kesedihan ditransformasikan menjadi energi untuk berbuat kebaikan, menegaskan bahwa nilai diri tidak terletak pada penerimaan sesaat, melainkan pada keikhlasan berbakti.
Konsep transisi sangat sentral dalam Surah Ad-Dhuha. Dalam konteks sumpah, Dhuha dan Lail mewakili perubahan abadi dalam kosmos. Tidak ada malam yang abadi, dan tidak ada pagi yang statis. Ini adalah cerminan hukum alam yang mutlak: segala sesuatu bergerak, dan kesulitan (malam) pasti diikuti oleh kemudahan (Dhuha).
Jika kita memperluas tafsir dari fenomena alam ke keadaan spiritual manusia, Dhuha mewakili momen penerimaan wahyu, kejernihan spiritual, dan produktivitas. Lail mewakili momen istirahat, kontemplasi, atau bahkan kekosongan. Surah ini mengajarkan bahwa kedua fase tersebut adalah pemberian. Kita tidak akan menghargai Dhuha tanpa mengalami Lail, dan kita tidak dapat beristirahat dengan baik (Lail) tanpa bekerja keras (Dhuha). Keduanya memiliki nilai di sisi Allah.
Ayat 9, 10, dan 11 merangkum tiga pilar utama akhlak Islam setelah menerima karunia:
Hubungan antara Yatīm dan Sā’il sangat menarik. Allah menjadikan Nabi ﷺ sebagai Yatim yang dilindungi (Ayat 6), dan kemudian sebagai Ā’il (kekurangan) yang dicukupi (Ayat 8). Oleh karena itu, Nabi diperintahkan untuk tidak menindas Yatīm dan tidak menghardik Sā’il. Ini adalah etika timbal balik: perlakuanmu terhadap orang lemah harus sesuai dengan perlakuan Allah kepadamu saat engkau lemah.
Tiga perintah ini juga dapat dilihat sebagai kontribusi terhadap tiga dimensi kehidupan: dimensi perlindungan sosial (yatim), dimensi bantuan langsung (fakir/sa'il), dan dimensi spiritual-dakwah (mengucapkan syukur). Tanpa ketiga dimensi ini, kehidupan spiritual menjadi pincang.
Ayat 8, "Wa wajadaka ‘ā’ilan fa aghnā," sering diartikan bahwa Allah menjadikan Nabi kaya secara material. Namun, tafsir yang lebih luas mencakup kekayaan hati dan kekayaan spiritual. Kekayaan sejati dalam Islam bukanlah banyaknya harta, tetapi ketenangan jiwa dan ketiadaan kebutuhan mutlak kepada manusia lain.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa Al-Ighna (pemberian kecukupan) yang sempurna adalah mencukupkan hamba-Nya dengan diri-Nya (Allah) sendiri, sehingga hamba tersebut tidak membutuhkan apa pun dari makhluk. Meskipun Nabi menerima kekayaan material melalui Khadijah, kekayaan spiritual (ghinā an-nafs) adalah karunia yang lebih besar yang memungkinkannya menjalankan risalah tanpa terbebani oleh kebutuhan duniawi.
Meskipun tidak ada hadis shahih yang secara eksplisit mewajibkan pembacaan Surah Ad-Dhuha dalam Shalat Dhuha, ada hubungan simbolis yang kuat. Shalat Dhuha adalah ibadah yang dilakukan pada waktu Dhuha, yang merupakan waktu produktivitas dan pencerahan awal hari. Membaca surah yang bersumpah atas waktu tersebut, dan yang menjanjikan cahaya setelah kegelapan, berfungsi untuk mengisi ulang energi spiritual di tengah kesibukan duniawi. Ini adalah momen untuk mengingat janji Allah sebelum kita tenggelam dalam kesibukan hari.
Ayat 4, "Dan sesungguhnya yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan," adalah salah satu janji terbesar dalam Al-Qur'an. Dalam kehidupan modern, kita sering terjebak dalam perbandingan, mengukur kebahagiaan kita dengan masa lalu yang ideal atau dengan pencapaian orang lain. Surah Ad-Dhuha memecahkan siklus perbandingan ini dengan menjamin bahwa masa depan Ilahi yang telah disiapkan (baik duniawi maupun ukhrawi) akan melampaui segala sesuatu yang telah hilang di masa lalu.
Ayat ini berfungsi sebagai sumber ketahanan (resilience). Ketika seorang Muslim menghadapi kegagalan bisnis, kehilangan pekerjaan, atau bahkan fitnah, dia diinstruksikan untuk memiliki keyakinan mutlak bahwa Allah sedang menyiapkan 'sesuatu yang lebih baik.' Namun, 'lebih baik' ini seringkali menuntut upaya dan kesabaran (sabr) dari pihak hamba. Janji ini bukan tanpa syarat; ia memerlukan keyakinan bahwa kegelapan yang dialami adalah sebuah terowongan, bukan dinding buntu.
Filosofi khairun lak menuntut kita untuk selalu bergerak maju. Mengingat janji ini, mukmin harus menghindari penyesalan berlebihan (hasrat) atas apa yang telah berlalu, karena fokus pada masa lalu menghalangi pandangan terhadap kebaikan yang akan datang.
Dalam konteks kontemporer, penafsiran atas yatim dan sa’il harus diperluas agar tetap relevan:
Inti dari Ayat 9 dan 10 adalah etika interaksi sosial yang penuh empati. Kita harus memperlakukan orang lain—terutama mereka yang berada di bawah—dengan standar yang kita harapkan dari Allah ketika kita berada dalam posisi yang sama-sama membutuhkan.
Perintah "hendaklah engkau nyatakan (syukuri)" (Ayat 11) adalah perintah aktif, bukan pasif. Syukur sejati adalah amal. Bagaimana kita menerapkan fahaddith secara praktis?
Di era media sosial, fahaddith juga bisa berarti menggunakan platform kita untuk menyebarkan pesan kebaikan dan harapan, alih-alih mengeluh atau menyebarkan keputusasaan. Syukur menuntut visibilitas, asalkan visibilitas itu ditujukan untuk memuji Pemberi Nikmat, bukan diri sendiri.
Ayat 5, "Sehingga (hatimu) menjadi puas," adalah janji kepuasan tertinggi. Konsep ridha (kepuasan) adalah tujuan tertinggi spiritualitas Islam, lebih tinggi dari sekadar kebahagiaan. Kebahagiaan bisa bersifat sementara, tetapi ridha adalah kondisi permanen di mana hati menerima takdir Allah, baik yang baik maupun yang buruk, dengan ketenangan mutlak.
Allah menjanjikan Nabi-Nya kepuasan total, yang menyiratkan bahwa seluruh penderitaan dan penolakan yang dialami di Makkah akan terbayar lunas dengan hasil yang memuaskan hati. Bagi umat, ini adalah pengingat bahwa tujuan akhir dari ibadah dan perjuangan adalah mencapai maqam ar-ridha, tempat di mana keinginan pribadi menyelaraskan diri sepenuhnya dengan kehendak Ilahi.
Surah ini mengajarkan bahwa hukum alam dan hukum spiritual Allah bekerja berdasarkan siklus. Sebagaimana ada pergantian Dhuha dan Lail, ada pula pergantian kesulitan dan kemudahan (sebagaimana ditegaskan juga dalam Surah Al-Insyirah). Mukmin yang memahami Surah Ad-Dhuha menyadari bahwa kekayaan hari ini bisa jadi merupakan ujian, sama halnya kemiskinan hari ini bisa jadi merupakan pemurnian. Tidak ada fase yang permanen.
Kondisi ini menuntut keseimbangan: ketika dalam masa Dhuha (kemudahan), kita harus rendah hati dan giat bersedekah (Ayat 9-10). Ketika dalam masa Lail (kesulitan), kita harus bersabar dan yakin pada janji Allah (Ayat 4-5). Kepatuhan terhadap perintah sosial dan spiritual (Ayat 9-11) adalah kunci untuk memastikan transisi dari 'permulaan' yang sulit menuju 'kemudian' yang lebih baik.
Surah Ad-Dhuha adalah masterpiece Al-Qur'an yang berfungsi sebagai penawar hati bagi mereka yang merasa rentan dan ditinggalkan. Ia diturunkan untuk menghilangkan keraguan terbesar yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad ﷺ, yaitu keraguan akan kasih sayang Tuhannya.
Melalui sumpah kosmik, Surah ini menjamin kepastian janji Ilahi: kesulitan akan berlalu, dan setiap hamba yang sabar akan dibalas dengan karunia yang melimpah dan kepuasan hati (ridha).
Pesan kunci yang dibawa Surah Ad-Dhuha bagi setiap individu adalah:
Dengan mengamalkan Surah Ad-Dhuha, seorang mukmin menemukan kembali fondasi spiritualnya, mengubah keputusasaan menjadi optimisme, dan mengubah kekosongan menjadi tanggung jawab sosial yang mulia. Ia adalah cahaya pagi yang abadi, memandu umat manusia keluar dari kegelapan keraguan menuju kepastian janji dan karunia Allah Yang Maha Pengasih.
Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari Surah Ad-Dhuha, menjadikannya lentera di setiap periode malam sunyi kehidupan kita, dan senantiasa mengingat untuk mensyukuri nikmat Tuhan kita, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Kekuatan dan kenyamanan spiritual yang terkandung dalam sebelas ayat ini adalah warisan yang tak ternilai harganya bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman.
Penutup Surah Ad-Dhuha (Ayat 9-11) adalah transisi dari kepribadian Nabi ke fungsi kenabian, dan dari kenabian ke kemanusiaan universal. Setelah Allah meyakinkan Nabi tentang identitas dan masa depannya, Dia segera mengalihkan fokus Nabi keluar dari dirinya sendiri. Ini mengajarkan bahwa pemenuhan spiritual terbesar tidak ditemukan dalam introspeksi yang tak berujung, tetapi dalam melayani orang lain.
Pelayanan kepada yatim dan fakir adalah cara untuk meniru sifat-sifat Allah yang Maha Pelindung (Al-Waliy) dan Maha Pemberi Kecukupan (Al-Ghani). Ketika seorang hamba memberikan perlindungan dan bantuan, ia sedang merefleksikan Rahmat Ilahi di bumi. Dengan demikian, Surah Ad-Dhuha menutup dengan menegaskan bahwa respons tertinggi terhadap Kasih Sayang Ilahi adalah Kasih Sayang Humanis. Itulah jalan menuju kepuasan sejati (ridha) yang dijanjikan di awal Surah.