Terjemahan Surah Al-Mulk: Menggali Kedalaman Makna dan Kekuasaan Allah

Surah Al-Mulk (ٱلْمُلْك), yang juga dikenal sebagai Tabarak (تبارك), adalah surah ke-67 dalam Al-Qur'an. Surah ini terdiri dari 30 ayat dan tergolong dalam surah Makkiyah, diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Fokus utama surah ini adalah penegasan kekuasaan mutlak Allah SWT atas seluruh alam semesta, keberadaan kehidupan dan kematian sebagai ujian, serta perbandingan antara nasib orang-orang yang beriman dengan orang-orang yang mengingkari hari akhir.

Tradisi Nabi Muhammad ﷺ sangat menganjurkan umatnya untuk membaca Surah Al-Mulk secara rutin, khususnya sebelum tidur, karena memiliki keutamaan besar sebagai penyelamat dan pelindung (maniah) dari siksa kubur. Memahami terjemahan surah Al-Mulk adalah langkah awal untuk merenungkan kebesaran Sang Pencipta dan mempersiapkan diri menghadapi hari pertanggungjawaban.

Keutamaan dan Latar Belakang Surah Al-Mulk

Nama 'Al-Mulk' secara harfiah berarti 'Kerajaan' atau 'Kekuasaan'. Surah ini secara langsung membuka dengan pernyataan tentang keberkahan dan kekuasaan absolut Allah di tangan-Nya segala kerajaan. Surah ini diturunkan pada periode sulit dakwah di Makkah, di mana umat Islam minoritas sering menghadapi keraguan dan penolakan keras dari kaum musyrikin terhadap konsep kebangkitan dan kekuasaan tunggal Allah.

Surah Al-Mulk menjawab keraguan tersebut dengan argumen kosmik yang kuat, mengajak manusia untuk melihat langit yang terbentang sempurna, bumi yang mudah dijelajahi, dan mekanisme kehidupan yang teratur. Inti dari surah ini adalah mengajak manusia untuk menggunakan akal, merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah (Ayatullah al-Kawniyah), dan menyadari bahwa setiap amal perbuatan akan dihitung, dan kekuasaan untuk memberi balasan adalah mutlak di sisi Allah.

Kekuasaan Kosmik ٱلْمُلْك

Terjemahan Surah Al-Mulk Ayat per Ayat dan Tafsir Mendalam

Ayat 1
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.

Tafsir Ayat 1: Keagungan dan Kekuasaan Mutlak

Ayat pembuka ini menetapkan dasar teologis surah. Kata kunci di sini adalah تَبَارَكَ (Tabarak), yang artinya Mahasuci, Mahaberkah, dan Mahaagung. Ini adalah pernyataan tentang keesaan dan kesempurnaan Allah yang melampaui segala kekurangan.

Frasa بِيَدِهِ الْمُلْكُ (Biyadihil-mulk), 'di tangan-Nya kekuasaan/kerajaan', menekankan bahwa seluruh otoritas, kendali, dan kepemilikan alam semesta — dari partikel terkecil hingga galaksi terbesar — berada di bawah kendali eksklusif Allah. Metafora 'di tangan-Nya' menunjukkan kepemilikan dan kendali langsung, tanpa perantara yang setara atau mitra. Ini menolak segala bentuk politheisme atau dualisme kekuasaan.

Pernyataan ditutup dengan وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (Wa huwa 'ala kulli syai'in qadir), 'dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu'. Ini bukan hanya klaim kekuasaan, melainkan penegasan kapabilitas ilahi yang tidak terbatas. Jika Dia menghendaki sesuatu, Dia cukup berfirman 'Jadilah', dan itu pun terjadi. Penekanan pada kekuasaan mutlak ini mempersiapkan pendengar untuk menerima kebenaran tentang kebangkitan dan hari penghakiman, yang sering dianggap mustahil oleh kaum musyrikin.

Kedalaman makna ayat pertama ini mengharuskan setiap Muslim untuk menyadari bahwa segala peristiwa di alam raya ini, baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan, berjalan sesuai kehendak dan ketetapan-Nya. Kesadaran ini adalah landasan tauhid yang kuat.

Ayat 2
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.

Tafsir Ayat 2: Tujuan Kehidupan dan Ujian Amal

Ayat ini adalah jantung dari Surah Al-Mulk, menjelaskan tujuan eksistensi manusia. Allah menegaskan bahwa Dia خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ (Khalaqal-mauta wal-hayat), menciptakan kematian dan kehidupan. Penciptaan kematian sebelum kehidupan dalam urutan ayat menunjukkan bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan fase yang diciptakan dan dikendalikan, sama seperti kehidupan.

Tujuan utama penciptaan rangkaian ini adalah لِيَبْلُوَكُمْ (Liyabluwakum), untuk menguji kalian. Ujian ini bertujuan melihat أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا (Ayyukum ahsanu 'amala), siapa di antara kalian yang terbaik amalnya. Penekanannya bukan pada 'terbanyak' amalnya, melainkan 'terbaik' atau 'paling berkualitas'. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa amal yang terbaik adalah amal yang paling ikhlas (dikerjakan semata-mata karena Allah) dan paling benar (sesuai dengan sunnah Rasulullah ﷺ).

Konsep 'ahsanul 'amal' menuntut kesadaran kualitas spiritual dan metodologis dalam setiap tindakan, bukan sekadar kuantitas. Hidup adalah rentang waktu terbatas yang diberikan untuk membuktikan kualitas ketaatan kita kepada Sang Pencipta. Kematian berfungsi sebagai batas waktu dan pintu gerbang menuju hasil ujian tersebut.

Ayat ini ditutup dengan dua sifat Allah: الْعَزِيزُ (Al-'Aziz), Mahaperkasa, menunjukkan bahwa Dia memiliki kekuatan untuk memberi balasan yang adil atas ujian tersebut; dan الْغَفُورُ (Al-Ghafur), Maha Pengampun, memberikan harapan bahwa meskipun manusia sering lalai dalam ujian hidup, pintu taubat dan ampunan-Nya selalu terbuka bagi mereka yang kembali dan beramal shalih. Kombinasi kedua sifat ini menunjukkan keadilan yang seimbang dengan rahmat.

Ayat 3
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا ۖ مَّا تَرَىٰ فِي خَلْقِ الرَّحْمَٰنِ مِن تَفَاوُتٍ ۖ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِن فُطُورٍ
Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?

Tafsir Ayat 3: Kesempurnaan Ciptaan Kosmik

Sebagai bukti kekuasaan yang telah diklaim di ayat pertama, Allah mengalihkan perhatian manusia kepada alam semesta, khususnya langit. Dia menciptakan سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا (Sab'a samawatin tibaqa), tujuh langit berlapis-lapis. Angka tujuh sering digunakan dalam bahasa Arab untuk menunjukkan banyak atau sempurna, namun secara literal merujuk pada lapisan-lapisan langit yang bertingkat.

Poin krusialnya adalah: مَّا تَرَىٰ فِي خَلْقِ الرَّحْمَٰنِ مِن تَفَاوُتٍ (Ma tara fi khalqir-Rahmani min tafawut), kamu tidak akan melihat ketidakseimbangan, kekurangan, atau ketidakserasian dalam ciptaan Allah Yang Maha Pengasih. Penggunaan nama Ar-Rahman (Maha Pengasih) di sini penting, menunjukkan bahwa kesempurnaan ciptaan ini adalah manifestasi dari kasih sayang-Nya kepada makhluk.

Allah kemudian menantang manusia: فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِن فُطُورٍ (Farji'il-basara hal tara min futur), coba ulangi pandanganmu; adakah kamu melihat keretakan atau cacat? Tantangan ini bersifat retoris. Semakin manusia meneliti, baik melalui mata telanjang maupun teknologi, semakin mereka akan menemukan keteraturan, hukum fisika yang presisi, dan kesempurnaan desain. Tidak ada celah, tidak ada kesalahan, tidak ada ketidaksesuaian yang menunjukkan kelemahan Sang Pencipta.

Ayat ini mengajak kepada refleksi ilmiah dan filosofis: kesempurnaan kosmos adalah bukti nyata atas Kemahakuasaan (Qudrah) dan Keadilan (Ihsan) Allah. Keteraturan alam semesta mencerminkan keteraturan syariat-Nya. Jika ciptaan-Nya saja begitu sempurna, maka janji dan ancaman-Nya pun pasti sempurna dan tidak bercacat.

Ayat 4
ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ
Kemudian ulangi pandangan(mu) sekali lagi dan sekali lagi, niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu (tanpa menemukan cacat) dalam keadaan hina dan ia (pandanganmu) telah payah.

Tafsir Ayat 4: Keterbatasan Akal dalam Menggugat Ciptaan

Ayat ini menegaskan tantangan yang diungkapkan pada ayat sebelumnya. Perintah ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ (Tsummarji'il-basara karrataini), 'kemudian ulangi pandanganmu dua kali lagi' (atau berkali-kali), berfungsi sebagai penekanan hiperbolis. Allah meminta manusia untuk mengerahkan seluruh kemampuan analisis dan observasi mereka untuk menemukan kesalahan dalam desain kosmik ini.

Hasil dari penyelidikan yang intensif tersebut adalah: يَنقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا (Yanqalib ilaikal-basaru khasi'an), pandanganmu akan kembali kepadamu dalam keadaan hina. Kata khasi'an berarti terdepak, gagal, atau terhina. Ini menunjukkan bahwa mata dan akal manusia, meskipun berusaha keras, tidak akan menemukan kekurangan struktural atau cacat desain yang mereka cari dalam ciptaan Allah.

Selain hina, pandangan itu kembali dalam keadaan وَهُوَ حَسِيرٌ (Wa huwa hasir), yang berarti letih, payah, atau lemah. Akal dan indra manusia terbatas; mereka akan kelelahan sebelum berhasil membuktikan adanya ketidaksempurnaan pada alam semesta yang diatur oleh Allah. Penggunaan dua kata sifat yang kuat ini menekankan bahwa sistem alam semesta yang dibangun Allah adalah bukti tak terbantahkan atas Kemahakuasaan-Nya. Ayat ini mendorong manusia untuk beralih dari mencari cacat menjadi mengakui keagungan Sang Pencipta.

Ayat 5
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِّلشَّيَاطِينِ ۖ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ
Dan sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka azab neraka Sa‘ir.

Tafsir Ayat 5: Fungsi Ganda Bintang

Setelah membicarakan kesempurnaan langit, ayat ini menjelaskan dua fungsi utama benda-benda langit. Langit yang paling dekat dengan bumi (السَّمَاءَ الدُّنْيَا - As-Samaa’ad Dunya) telah dihiasi dengan بِمَصَابِيحَ (Bimasabih), yaitu lampu-lampu penerang, merujuk pada bintang-bintang besar dan bercahaya.

Fungsi pertama adalah estetika dan petunjuk: زَيَّنَّا (Zayannaa), Kami hiasi. Bintang-bintang berfungsi sebagai perhiasan yang indah, menarik perhatian, dan memungkinkan manusia untuk bernavigasi dan menentukan waktu. Ini adalah karunia Rahmat (Kasih Sayang) Allah.

Fungsi kedua bersifat ghaib (tak terlihat): وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِّلشَّيَاطِينِ (Wa ja’alnahā rujūmal lisy-syayāṭīn), Kami jadikan ia (bintang-bintang itu) sebagai pelempar setan. Ini merujuk pada fenomena meteor/bintang jatuh yang digunakan untuk menghalangi setan-setan yang berusaha mencuri dengar kabar dari langit (malaikat). Ini adalah perlindungan ilahi terhadap wahyu dan kebenaran agar tidak dicampuri oleh tipuan setan. Ini menunjukkan bahwa meskipun kekuasaan Allah bersifat kosmik (Ayat 3-4), ia juga bekerja di dunia ghaib.

Ayat ini kemudian beralih ke ancaman bagi setan dan mereka yang mengikuti jalannya (orang kafir): وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ (Wa a’tadnā lahum ‘adhābas-sa’īr), dan Kami sediakan bagi mereka azab neraka Sa’ir (api yang menyala-nyala). Terdapat korelasi simbolis: bagaimana setan yang mendekati batas langit dilempari api dari bintang, begitu pula mereka yang mengikuti setan akan dilempari api di akhirat.

Ayat 6
وَلِلَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Dan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, disediakan azab neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.

Tafsir Ayat 6: Ancaman bagi Kekafiran

Setelah membahas kekuasaan-Nya di langit (ayat 3-5), surah ini sekarang berfokus pada konsekuensi bagi mereka yang menolak bukti-bukti kekuasaan tersebut. Ayat ini secara eksplisit menyebutkan الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ (Alladhīna kafarū bi Rabbihim), orang-orang yang ingkar atau kafir terhadap Tuhan mereka. Kekafiran di sini diartikan sebagai penolakan total terhadap tauhid dan hari kebangkitan, meskipun bukti-bukti kekuasaan sudah jelas di depan mata.

Balasan yang disiapkan adalah عَذَابُ جَهَنَّمَ ('Adhābu Jahannam), azab Jahanam. Nama neraka yang disebut di sini sering kali menunjukkan tingkatan siksa yang paling umum dan mengerikan. Jahanam adalah tempat siksaan yang disiapkan, bukan sebagai pembalasan dendam ilahi, melainkan sebagai konsekuensi logis dari penolakan manusia terhadap jalan kebenaran yang ditawarkan-Nya.

Ayat ini ditutup dengan kesimpulan tegas: وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (Wa bi'sal-maṣīr), dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. Kata al-maṣīr menunjukkan destinasi akhir atau tempat peristirahatan permanen. Dengan menyebutnya 'seburuk-buruk tempat kembali', Allah memperingatkan bahwa tidak ada lagi harapan setelah memasuki Jahanam; itu adalah kegagalan total dalam ujian hidup yang dibahas di Ayat 2. Ini adalah kontras tajam dengan rahmat yang disiapkan bagi orang-orang yang beriman.

Ayat 7
إِذَا أُلْقُوا فِيهَا سَمِعُوا لَهَا شَهِيقًا وَهِيَ تَفُورُ
Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar suara Jahanam yang mengerikan (mengaum), sedang ia meluap-luap.

Tafsir Ayat 7: Kengerian Jahanam

Ayat ini memberikan gambaran yang menakutkan tentang kondisi neraka, menekankan dimensi pendengaran dan visual dari siksaan. Ketika orang kafir أُلْقُوا فِيهَا (Ulqū fīhā), dilemparkan ke dalamnya (dengan kasar, menunjukkan kemarahan Allah), hal pertama yang mereka dengar adalah suara neraka itu sendiri.

Mereka mendengar شَهِيقًا (Syahīqan), yaitu suara mengaum atau tarikan nafas yang mengerikan, seperti suara keledai atau orang yang tercekik yang mengeluarkan suara keras saat menarik nafas. Ini menunjukkan bahwa neraka adalah entitas yang hidup dan penuh amarah, bukan hanya lubang api pasif. Suara ini sendiri sudah menakutkan sebelum siksaan fisik dimulai.

Secara visual, neraka digambarkan وَهِيَ تَفُورُ (Wa hiya tafūr), yang berarti meluap-luap, mendidih, atau membara dengan intensitas ekstrem. Gambaran ini menunjukkan panas yang luar biasa dan energi yang tak tertahankan. Luapan dan auman ini memperparah penderitaan psikologis orang-orang kafir saat mereka baru tiba, menegaskan bahwa mereka telah mencapai tempat yang sangat menakutkan dan di luar batas pemahaman mereka.

Ayat 8
تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ ۖ كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ
Hampir saja (neraka) itu terpecah karena marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, “Apakah belum pernah datang kepadamu seorang pemberi peringatan?”

Tafsir Ayat 8: Kemarahan Neraka dan Pertanyaan Pertanggungjawaban

Kelanjutan deskripsi neraka: تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ (Takādu tamayyazu minal-ghaizh), ia hampir terpecah karena kemarahan. Neraka digambarkan memiliki kemarahan yang begitu hebat terhadap penghuninya sehingga hampir meledak atau terpisah-pisah. Ini personifikasi neraka sebagai sesuatu yang aktif, kejam, dan sangat marah kepada mereka yang menolak Allah, menegaskan bahwa siksaan itu adalah hasil dari Murka Ilahi.

Kemudian, proses interogasi dimulai. كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ (Kullama ulqiya fīhā fawjun), setiap kali sekumpulan orang (yang kafir) dilemparkan ke dalamnya, mereka disambut oleh خَزَنَتُهَا (Khazanatuhā), para penjaganya (malaikat Zabaniyah).

Pertanyaan yang diajukan oleh para malaikat adalah pertanyaan kunci pertanggungjawaban: أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ (Alam ya'tikum nadhīr?), bukankah telah datang kepadamu seorang pemberi peringatan? Pertanyaan ini menyinggung Ayat 2, yang menyatakan hidup adalah ujian. Allah selalu mengirimkan nabi dan rasul (nadhir) untuk memberikan petunjuk dan peringatan yang jelas.

Interogasi ini menunjukkan bahwa tidak ada alasan bagi manusia untuk berakhir di Jahanam. Mereka tidak dapat mengklaim ketidaktahuan. Neraka bukanlah kejutan, melainkan konsekuensi yang telah diperingatkan berulang kali. Ini menegaskan keadilan mutlak Allah, yang tidak akan menghukum kecuali setelah memberikan peringatan yang jelas dan menyeluruh.

Ayat 9
قَالُوا بَلَىٰ قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللَّهُ مِن شَيْءٍ إِنْ أَنتُمْ إِلَّا فِي ضَلَالٍ كَبِيرٍ
Mereka menjawab, “Benar, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, lalu kami mendustakannya dan kami katakan, ‘Allah tidak menurunkan sesuatu apa pun. Kamu (para nabi) hanyalah berada dalam kesesatan yang besar.’”

Tafsir Ayat 9: Pengakuan dan Penyesalan

Menanggapi pertanyaan para malaikat, para penghuni neraka memberikan pengakuan yang pahit: قَالُوا بَلَىٰ قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ (Qālū balā qad jā'anā nadhīr), mereka berkata, 'Ya, sungguh telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan.' Pengakuan ini menghapus alasan apapun yang mungkin mereka ajukan untuk membela diri.

Namun, pengakuan itu diikuti dengan deskripsi tindakan mereka saat hidup di dunia: فَكَذَّبْنَا (Fa kadhdhabnā), lalu kami mendustakannya. Mereka tidak hanya menolak, tetapi juga mengambil langkah lebih jauh dengan menuduh para Rasul. Mereka berkata: وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللَّهُ مِن شَيْءٍ (Wa qulnā mā nazzalallāhu min syay'in), Kami katakan, 'Allah tidak menurunkan sesuatu apa pun.' Ini adalah puncak dari kekafiran mereka, menolak otoritas ilahi (wahyu) secara keseluruhan.

Tuduhan mereka terhadap para Rasul sangat menghina: إِنْ أَنتُمْ إِلَّا فِي ضَلَالٍ كَبِيرٍ (In antum illā fī ḍalālin kabīr), Kalian (para Rasul) hanyalah berada dalam kesesatan yang besar. Ironisnya, mereka yang menuduh orang lain berada dalam 'kesesatan yang besar' (dhalalin kabir) sekarang menyadari bahwa tuduhan itu sepenuhnya kembali kepada diri mereka sendiri. Ayat ini menunjukkan bahwa inti kekafiran adalah kesombongan; mereka menolak kebenaran bukan karena kurangnya bukti, melainkan karena keangkuhan dan penolakan untuk tunduk pada otoritas yang lebih tinggi.

Ayat 10
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Dan mereka berkata, “Sekiranya kami dahulu mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), tentu kami tidak termasuk penghuni neraka Sa‘ir.”

Tafsir Ayat 10: Penyesalan karena Kegagalan Menggunakan Akal dan Pendengaran

Ayat ini menampilkan penyesalan terdalam para penghuni neraka. Mereka menyadari bahwa kejatuhan mereka bukan disebabkan oleh ketiadaan peringatan, melainkan oleh kegagalan mereka sendiri dalam menggunakan karunia akal dan indra yang diberikan Allah.

Frasa لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ (Law kunnā nasma’u), sekiranya kami mendengarkan, merujuk pada pendengaran ketaatan, yaitu menerima dan mematuhi wahyu ilahi yang disampaikan oleh para Rasul. Frasa ini mencakup penerimaan terhadap kebenaran dan peringatan yang sampai ke telinga mereka.

Frasa kedua, أَوْ نَعْقِلُ (Aw na’qil), atau memikirkan/menggunakan akal, merujuk pada penggunaan kemampuan intelektual (‘aql) untuk merenungkan bukti-bukti kosmik (Ayat 3-5) dan memahami kebenaran logis dari wahyu. Mereka mengakui bahwa mereka mematikan akal kritis mereka terhadap agama dan memilih mengikuti hawa nafsu atau tradisi buta.

Kesimpulan dari penyesalan mereka adalah: مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ (Mā kunnā fī ashābis-sa’īr), tentu kami tidak akan termasuk penghuni neraka Sa’ir. Penyesalan ini datang terlambat dan tidak berguna. Ayat ini menjadi peringatan keras bagi umat manusia di dunia untuk menggunakan sepenuhnya potensi pendengaran dan akal yang merupakan alat utama untuk mencapai kebenaran. Pengabaian terhadap dua karunia inilah yang membawa mereka pada kegagalan dalam ujian hidup.

Ayat 11
فَاعْتَرَفُوا بِذَنبِهِمْ فَسُحْقًا لِّأَصْحَابِ السَّعِيرِ
Maka mereka mengakui dosa-dosa mereka. Tetapi jauhlah (dari rahmat Allah) bagi penghuni neraka Sa‘ir itu.

Tafsir Ayat 11: Pengakuan Akhir dan Keputusan Final

Ayat ini menutup rangkaian dialog pertanggungjawaban di neraka. فَاعْتَرَفُوا بِذَنبِهِمْ (Fa'tarafū bidhambihim), maka mereka mengakui dosa-dosa mereka. Pengakuan ini adalah hasil dari interogasi malaikat dan penyesalan mendalam (ayat 10). Mereka mengakui bahwa mereka adalah penyebab utama penderitaan mereka sendiri; itu adalah hasil dari pilihan bebas mereka untuk mendustakan dan mengabaikan.

Pengakuan ini diikuti dengan pernyataan final: فَسُحْقًا لِّأَصْحَابِ السَّعِيرِ (Fa suḥqal li'aṣḥābis-sa'īr), maka jauhlah (dari rahmat Allah) bagi penghuni neraka Sa’ir itu. Kata suḥqan berarti kehancuran, jauh, atau kebinasaan. Ini adalah keputusan ilahi yang final, menegaskan bahwa mereka telah gagal dalam ujian dan sekarang terputus dari rahmat Allah yang melimpah (yang diindikasikan oleh nama Ar-Rahman di Ayat 3).

Pernyataan ini berfungsi sebagai kesimpulan yang kuat dari bagian ancaman dalam surah. Neraka bukanlah tempat bagi orang yang sekadar salah, tetapi bagi mereka yang secara sadar dan sombong menolak kebenaran dan peringatan ilahi, bahkan setelah bukti-bukti kosmik yang sempurna (langit dan bintang) disajikan kepada mereka. Mereka mengakui dosa mereka, namun pengakuan itu datang ketika pintu taubat telah tertutup, dan hukuman telah jatuh.

Ayat 12
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka meskipun tidak melihat-Nya, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.

Tafsir Ayat 12: Ganjaran bagi Keimanan Ghaib

Setelah kontras tajam dengan nasib orang kafir (ayat 6-11), surah ini kini memaparkan ganjaran bagi kaum mukminin. Ayat ini mendefinisikan kriteria utama keimanan yang sejati: يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ (Yakhshawna Rabbahum bil-ghaib), orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka dalam keadaan ghaib (tidak terlihat).

Rasa takut (khauf) di sini bukanlah rasa takut yang melumpuhkan, melainkan rasa hormat dan ketaatan yang mendorong mereka untuk menjauhi maksiat, meskipun mereka berada dalam kesendirian, jauh dari penglihatan manusia. Mereka percaya dan tunduk pada Allah, hari kebangkitan, dan surga/neraka, meskipun semua itu belum terlihat secara fisik. Inilah esensi iman sejati—beramal di saat tidak ada yang melihat kecuali Allah.

Konsekuensi dari keimanan ghaib ini adalah dua hadiah utama: مَّغْفِرَةٌ (Maghfirah), ampunan dosa, yang merupakan pembersihan dari kegagalan masa lalu; dan أَجْرٌ كَبِيرٌ (Ajrun kabīr), pahala yang besar. Ampunan adalah penyelamatan dari hukuman, sedangkan pahala adalah kemurahan hati Allah yang melimpah ruah, menjanjikan surga yang kekal. Ayat ini memberikan insentif luar biasa bagi umat Islam untuk mempertahankan kualitas keimanan mereka bahkan saat tidak diawasi oleh manusia.

Rahmat dan Ampunan مَّغْفِرَةٌ
Ayat 13
وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ ۖ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati.

Tafsir Ayat 13: Pengetahuan Allah yang Universal

Ayat ini berfungsi sebagai peringatan universal bagi semua manusia, menghubungkan keimanan ghaib (ayat 12) dengan pengawasan ilahi yang konstan. Allah menyatakan bahwa apakah manusia أَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ (Asirrū qawlakum awijharū bihi), merahasiakan perkataan mereka atau menyatakannya secara terang-terangan, bagi Allah itu sama saja.

Poin pentingnya adalah kesimpulan: إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (Innahu 'alīmum bidzātiṣ-ṣudūr), sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati. Dzaatish-shudūr (isi hati) merujuk pada apa yang tersembunyi jauh di lubuk jiwa: niat, pikiran tersembunyi, bisikan, dan keyakinan. Jika Allah mengetahui apa yang tersembunyi di dalam dada, maka tentu saja Dia mengetahui apa yang diucapkan secara rahasia maupun terbuka.

Ayat ini memperkuat konsep pertanggungjawaban di Ayat 2 dan konsep ketakutan ghaib di Ayat 12. Karena Allah mengetahui niat sejati di balik setiap perkataan dan perbuatan, amal (yang terbaik) dinilai bukan hanya dari bentuk luarnya, tetapi dari niat internal (ikhlas) yang tersembunyi. Tidak ada tempat persembunyian, baik fisik maupun mental, dari pengawasan Allah SWT. Pengetahuan-Nya adalah mutlak, sempurna, dan menyeluruh.

Ayat 14
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Padahal Dia Mahalembut, Mahateliti.

Tafsir Ayat 14: Pencipta Pasti Maha Mengetahui

Ini adalah pertanyaan retoris yang kuat yang berfungsi sebagai penegasan logis terhadap Ayat 13. أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ (Alaa ya’lamu man khalaq?), Bukankah Dia yang menciptakan akan mengetahui? Tentu saja. Ini adalah argumen yang tak terbantahkan: mustahil bagi Pencipta (yang telah menciptakan sistem kosmik yang sempurna, seperti disebutkan di Ayat 3 dan 4) untuk tidak mengetahui rincian dari ciptaan-Nya, termasuk pikiran dan bisikan tersembunyi manusia.

Ayat ini ditutup dengan dua nama indah Allah: اللَّطِيفُ (Al-Latīf), Mahalembut, dan الْخَبِيرُ (Al-Khabīr), Mahateliti/Maha Mengetahui segala rincian. Sifat Al-Latīf merujuk pada pengetahuan-Nya yang sangat halus dan terperinci, meliputi segala hal yang nyaris tidak terdeteksi oleh manusia, seperti gerakan atom atau niat hati yang paling samar.

Sedangkan Al-Khabīr menekankan pengetahuan-Nya yang menyeluruh tentang segala kejadian, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Kombinasi kedua sifat ini meyakinkan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan cara yang paling terperinci dan dengan kelembutan yang meliputi. Dia tidak hanya mengetahui secara umum, tetapi mengetahui setiap seluk-beluk ciptaan-Nya. Ini memperkuat landasan tauhid dan pertanggungjawaban: apa pun yang kita lakukan, Allah mengetahuinya dengan detail yang sempurna.

Ayat 15
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali) dibangkitkan.

Tafsir Ayat 15: Penaklukan Bumi dan Pengakuan Rezeki

Setelah membahas langit dan pengetahuan ilahi, fokus beralih ke bumi. Allah adalah الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا (Alladhī ja’ala lakumul-arḍa dhalūlan), yang menjadikan bumi itu tunduk atau mudah dijelajahi bagi kalian. Kata dhalūlan berarti jinak, yang mudah dikuasai, atau memudahkan. Ini adalah karunia Allah yang membuat bumi layak dihuni, tidak selalu bergejolak, dan memungkinkan manusia untuk bercocok tanam, membangun, dan bepergian.

Ayat ini memberi perintah untuk beraktivitas: فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا (Famshū fī manākibihā), maka jelajahilah segala penjurunya. Manākib secara harfiah berarti bahu atau sisi, yang berarti berjalanlah di atas permukaan bumi, bekerjalah, dan carilah nafkah. Ini adalah seruan eksplisit untuk kerja keras, eksplorasi, dan tidak bermalas-malasan.

Tujuan dari aktivitas ini adalah untuk mendapatkan rezeki-Nya: وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ (Wa kulū min rizqih), dan makanlah dari rezeki-Nya. Ini mengingatkan bahwa meskipun manusia bekerja, rezeki itu sendiri berasal dari Allah, dan pekerjaan hanyalah sarana. Ini menggabungkan perintah untuk bekerja dengan kesadaran tauhid.

Ayat ini ditutup dengan pengingat final tentang hari akhir, menghubungkan kehidupan duniawi dengan pertanggungjawaban: وَإِلَيْهِ النُّشُورُ (Wa ilaihin-nusyūr), dan hanya kepada-Nya lah kamu dibangkitkan. Setelah diberi kebebasan dan rezeki di dunia (ujian), semua harus kembali kepada-Nya untuk diadili. Kesibukan mencari rezeki tidak boleh melupakan tujuan akhir ini.

Ayat 16
أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
Apakah kamu merasa aman terhadap Dia (Allah) yang di langit, bahwa Dia tidak akan membenamkan bumi bersama kamu, sehingga tiba-tiba bumi itu berguncang?

Tafsir Ayat 16: Ancaman Bencana Ilahi

Ayat ini kembali menggunakan nada peringatan, menantang rasa aman manusia yang mungkin timbul dari kemudahan menjelajahi bumi (ayat 15). Allah bertanya, أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ (A'amintum man fis-samā'i?), Apakah kamu merasa aman terhadap Dia yang di langit? Frasa 'Dia yang di langit' secara umum merujuk pada Allah yang Maha Tinggi, yang mengendalikan segala sesuatu dari atas, menegaskan ketinggian dan kekuasaan-Nya.

Pertanyaan ini menyangkut kemampuan-Nya untuk membalikkan keadaan bumi yang ‘jinak’ menjadi liar dan mengancam. Ancaman yang disebutkan adalah أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ (An yakhsifa bikumul-arḍa), bahwa Dia membenamkan bumi bersama kalian. Ini merujuk pada bencana alam yang menelan bumi, seperti gempa besar atau tanah longsor.

Konsekuensi dari pembenaman ini adalah فَإِذَا هِيَ تَمُورُ (Fa'idhā hiya tamūr), tiba-tiba bumi itu berguncang atau bergoncang hebat. Kata tamūr menunjukkan gerakan yang cepat, tidak terduga, dan destruktif. Ayat ini mengingatkan manusia bahwa kenyamanan hidup di bumi hanyalah sementara dan bergantung pada izin-Nya. Jika manusia melupakan janji-Nya dan mengingkari keesaan-Nya, bumi yang jinak itu dapat dengan mudah menjadi alat siksaan-Nya.

Ayat 17
أَمْ أَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا ۖ فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ
Atau apakah kamu merasa aman terhadap Dia yang di langit, bahwa Dia tidak akan mengirimkan badai batu kepadamu? Kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat) peringatan-Ku.

Tafsir Ayat 17: Ancaman Bencana Langit

Ayat ini melanjutkan peringatan sebelumnya, kini berfokus pada ancaman dari atas, dari langit. Allah bertanya lagi apakah mereka merasa aman terhadap kekuasaan-Nya. Ancaman kali ini adalah أَن يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا (An yursila 'alaikum ḥāṣiban), bahwa Dia akan mengirimkan badai batu (ḥāṣib) kepada kalian. Ini merujuk pada siksaan yang datang dari udara, seperti badai pasir disertai batu atau hujan meteor, yang pernah menimpa kaum-kaum terdahulu yang mendustakan Rasul mereka.

Ancaman dari bumi (ayat 16) dan ancaman dari langit (ayat 17) menunjukkan bahwa Allah memiliki kontrol total atas seluruh lingkungan hidup manusia, dan Dia dapat menggunakan salah satu dari ciptaan-Nya untuk menghukum ketika Dia berkehendak. Hal ini menantang rasa aman palsu yang dimiliki oleh para penolak di Makkah.

Ayat ini ditutup dengan peringatan final: فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ (Fasata'lamūna kaifa nadhīr), kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat) peringatan-Ku. Ini adalah ancaman yang tersirat, bahwa pengetahuan tentang kebenaran peringatan yang diabaikan (disebut di Ayat 8 dan 9) akan datang pada saat yang menyakitkan, yaitu saat hukuman ditimpakan di dunia atau di akhirat. Penekanan pada kata nadhīr (peringatan) menunjukkan bahwa kekafiran mereka adalah karena penolakan terhadap utusan yang datang dengan pesan yang jelas.

Ayat 18
وَلَقَدْ كَذَّبَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَكَيْفَ كَانَ نَكِيرِ
Dan sungguh, orang-orang yang sebelum mereka pun telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Maka betapa hebatnya (akibat) kemurkaan-Ku.

Tafsir Ayat 18: Pelajaran dari Sejarah Umat Terdahulu

Ayat ini menggunakan sejarah sebagai alat peringatan. Allah mengingatkan kaum Quraisy Makkah dan umat manusia secara umum bahwa وَلَقَدْ كَذَّبَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ (Wa laqad kadhdhabal-ladhīna min qablihim), sungguh, orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul). Ini merujuk pada kaum-kaum terdahulu seperti kaum Nuh, Ad, Tsamud, dan Luth, yang ditimpa bencana setelah mereka menolak peringatan.

Pelajaran dari sejarah ditekankan melalui pertanyaan retoris: فَكَيْفَ كَانَ نَكِيرِ (Fa kaifa kāna nakīr?), Maka betapa hebatnya (akibat) kemurkaan-Ku? Kata nakīr di sini berarti penolakan yang keras atau hukuman yang mengerikan sebagai balasan atas penolakan mereka terhadap kebenaran.

Ini adalah ancaman yang diperkuat: jika Allah telah menghukum kaum-kaum terdahulu yang mendustakan dengan pembenaman, badai batu, dan bencana lainnya, maka kaum musyrikin saat ini tidak boleh merasa aman. Hukuman Allah terhadap penolakan adalah sebuah ketetapan sejarah yang akan terulang. Ayat ini menyajikan sejarah sebagai bukti nyata dari kekuasaan ilahi yang disebutkan di awal surah.

Ayat 19
أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صَافَّاتٍ وَيَقْبِضْنَ ۚ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا الرَّحْمَٰنُ ۚ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ
Atau apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain (Allah) Yang Maha Pengasih. Sungguh, Dia Maha Melihat segala sesuatu.

Tafsir Ayat 19: Mukjizat Penerbangan

Setelah ancaman, surah kembali mengajak manusia merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah (Ayatullah). Kali ini, perhatian diarahkan ke langit, tetapi bukan pada bintang, melainkan pada ciptaan yang lebih dekat: burung. Pertanyaan أَوَلَمْ يَرَوْا (Awalam yaraw), Apakah mereka tidak memperhatikan, adalah ajakan untuk menggunakan penglihatan dan akal.

Burung-burung digambarkan dalam dua posisi: صَافَّاتٍ (Ṣāffātin), mengembangkan sayap (meluncur tanpa mengepak), dan وَيَقْبِضْنَ (Wa yaqbiḍna), mengatupkan sayap (mengepak atau menahan diri). Keseimbangan dan mekanisme penerbangan yang kompleks ini adalah sebuah keajaiban fisika dan biologi.

Penjelasan ilahinya adalah: مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا الرَّحْمَٰنُ (Mā yumsikuhunna illar-Raḥmān), Tidak ada yang menahan mereka (di udara) selain Yang Maha Pengasih. Dalam konteks ini, Allah mengingatkan bahwa hukum aerodinamika, gravitasi, dan struktur burung semuanya diatur oleh Rahmat-Nya (Kasih Sayang) agar manusia dapat menyaksikan dan mengambil pelajaran. Jika Allah menghentikan hukum ini, burung akan jatuh. Hal ini mirip dengan bagaimana bumi ditahan agar tidak membenamkan manusia (ayat 16).

Ayat ini ditutup dengan penegasan: إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ (Innahū bikulli syai'in baṣīr), Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu. Allah melihat setiap detail pergerakan burung, sama seperti Dia melihat setiap perbuatan manusia (ayat 2). Pengawasan total ini menjamin keadilan dalam pertanggungjawaban.

Ayat 20
أَمَّنْ هَٰذَا الَّذِي هُوَ جُندٌ لَّكُمْ يَنصُرُكُم مِّن دُونِ الرَّحْمَٰنِ ۚ إِنِ الْكَافِرُونَ إِلَّا فِي غُرُورٍ
Atau siapakah dia yang menjadi bala tentara bagimu yang dapat menolong kamu selain (Allah) Yang Maha Pengasih? Orang-orang kafir itu hanyalah dalam keadaan tertipu.

Tafsir Ayat 20: Ketergantungan pada Allah

Ayat ini beralih ke ranah sosiopolitik, menantang para musyrikin yang merasa aman karena memiliki suku, harta, dan kekuatan manusia (bala tentara). Pertanyaan retorisnya adalah: أَمَّنْ هَٰذَا الَّذِي هُوَ جُندٌ لَّكُمْ يَنصُرُكُم مِّن دُونِ الرَّحْمَٰنِ (Am man hādhal-ladhī huwa jundul lakum yanṣurukum min dūnir-Raḥmān?), Siapakah yang menjadi bala tentaramu yang dapat menolongmu selain Yang Maha Pengasih?

Ayat ini menegaskan bahwa setiap kekuatan manusia, kekuasaan, atau aliansi yang diandalkan oleh kaum kafir tidak akan berguna jika Allah memutuskan untuk menghukum (seperti yang diancamkan di ayat 16 dan 17). Hanya Allah, Ar-Rahman, yang dapat memberi pertolongan sejati. Penggunaan nama Ar-Rahman di sini menekankan bahwa pertolongan datang dari sumber kasih sayang dan rahmat yang tiada batas, bukan dari kekuatan militer yang terbatas.

Kesimpulan kerasnya adalah: إِنِ الْكَافِرُونَ إِلَّا فِي غُرُورٍ (Inil-kāfirūna illā fī ghurūr), Orang-orang kafir itu hanyalah dalam keadaan tertipu. Ghurūr berarti khayalan, tipuan, atau ilusi. Mereka tertipu oleh kekuatan sementara mereka sendiri, oleh materi dunia, dan oleh janji-janji palsu berhala atau sekutu mereka. Mereka mengira mereka aman padahal mereka berjalan menuju kehancuran total. Tipuan ini adalah hasil dari kegagalan mereka menggunakan akal (ayat 10).

Ayat 21
أَمَّنْ هَٰذَا الَّذِي يَرْزُقُكُمْ إِنْ أَمْسَكَ رِزْقَهُ ۚ بَل لَّجُّوا فِي عُتُوٍّ وَنُفُورٍ
Atau siapakah dia yang dapat memberimu rezeki jika Dia menahan rezeki-Nya? Bahkan, mereka terus-menerus dalam kesombongan dan berpaling.

Tafsir Ayat 21: Sumber Tunggal Rezeki

Melanjutkan tantangan terhadap ketergantungan kaum musyrikin pada selain Allah, ayat ini berfokus pada rezeki (sebagai kelanjutan Ayat 15). Pertanyaan retorisnya: أَمَّنْ هَٰذَا الَّذِي يَرْزُقُكُمْ إِنْ أَمْسَكَ رِزْقَهُ (Am man hādhal-ladhī yarzuqukum in amsaka rizqah?), Siapakah yang bisa memberimu rezeki jika Dia menahan rezeki-Nya?

Rezeki tidak hanya mencakup makanan, tetapi juga air, udara, kesehatan, dan sarana kehidupan lainnya. Jika Allah memutuskan untuk menahan salah satu sumber vital ini (misalnya, hujan, kesuburan tanah, atau kemampuan bernapas), tidak ada satu pun kekuatan di bumi yang dapat memaksakan rezeki itu kembali. Ayat ini menegaskan kembali tauhid rububiyah: hanya Allah yang mengendalikan semua aspek kehidupan.

Meskipun bukti-bukti kekuasaan (langit, bumi, burung) dan kontrol rezeki sudah sangat jelas, respon kaum kafir adalah negatif: بَل لَّجُّوا فِي عُتُوٍّ وَنُفُورٍ (Bal lajjū fī 'utuwwin wa nufūr), Bahkan, mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauh/berpaling. Kata 'utuww berarti melampaui batas, keras kepala, atau kesombongan yang ekstrem. Sementara nufūr berarti berpaling dengan jijik, lari, atau menjauh dari kebenaran.

Ini adalah diagnosis ilahi atas kondisi mereka: mereka menolak bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena kesombongan yang disengaja. Hati mereka telah mengeras dan menolak untuk merenungkan kebenaran yang nyata, sebagaimana mereka gagal menggunakan akal dan pendengaran (Ayat 10).

Ayat 22
أَفَمَن يَمْشِي مُكِبًّا عَلَىٰ وَجْهِهِ أَهْدَىٰ أَمَّن يَمْشِي سَوِيًّا عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih mendapat petunjuk, ataukah orang yang berjalan tegak di atas jalan yang lurus?

Tafsir Ayat 22: Perbandingan Jalan Kesesatan dan Petunjuk

Ayat ini menggunakan perumpamaan yang kuat untuk membedakan antara orang kafir dan orang beriman. Perbandingan ini menargetkan kondisi spiritual mereka yang digambarkan di Ayat 21 (kesombongan dan berpaling).

Orang kafir digambarkan sebagai مَن يَمْشِي مُكِبًّا عَلَىٰ وَجْهِهِ (Man yamsyī mukibban 'alā wajhih), orang yang berjalan terjungkal (terseret) di atas wajahnya. Ini adalah gambaran tentang seseorang yang tidak dapat melihat ke depan, berjalan tanpa arah, dan menderita karena posisi yang tidak alami dan menyakitkan. Secara spiritual, ini melambangkan kesesatan; orang kafir terseret oleh hawa nafsu dan kesombongan mereka, sehingga mereka tidak dapat melihat kebenaran (hidayah) meskipun bukti-buktinya jelas.

Sebaliknya, orang beriman digambarkan sebagai أَمَّن يَمْشِي سَوِيًّا عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ (Amman yamsyī sawiyyan 'alā ṣirāṭim mustaqīm), ataukah orang yang berjalan tegak lurus di atas jalan yang lurus. Berjalan tegak melambangkan martabat, tujuan yang jelas, dan kemudahan dalam perjalanan. Sirathal Mustaqim (Jalan yang Lurus) adalah Islam, jalan yang jelas, logis, dan sempurna yang disediakan Allah.

Pertanyaan retorisnya adalah: Siapa yang lebih mendapat petunjuk? Jawabannya jelas. Ayat ini menyimpulkan bahwa kekafiran bukan hanya salah keyakinan, tetapi juga kondisi eksistensial yang menyedihkan dan tidak efektif, sementara keimanan adalah kejelasan, stabilitas, dan petunjuk sejati.

Ayat 23
قُلْ هُوَ الَّذِي أَنشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۖ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ
Katakanlah, “Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati nurani bagi kamu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.”

Tafsir Ayat 23: Karunia Indra dan Rendahnya Rasa Syukur

Ayat ini menginstruksikan Nabi Muhammad ﷺ untuk mengingatkan kaum musyrikin tentang asal mula penciptaan mereka dan karunia utama yang diberikan Allah. قُلْ هُوَ الَّذِي أَنشَأَكُمْ (Qul huwal-ladhī ansya'akum), Katakanlah, Dialah yang menciptakan kamu (dari ketiadaan).

Penciptaan ini diikuti dengan pemberian tiga karunia kognitif vital: السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ (As-sam’a wal-abṣāra wal-af'idah), pendengaran, penglihatan, dan hati nurani/akal. Karunia-karunia ini adalah alat untuk menerima petunjuk ilahi. Pendengaran adalah gerbang untuk menerima wahyu (nadhīr), penglihatan adalah alat untuk merenungkan tanda-tanda kosmik (langit, bumi, burung), dan hati nurani/akal (af’idah) adalah pusat untuk memahami dan memproses kebenaran, mencegah mereka berjalan terjungkal (ayat 22).

Ironisnya, setelah karunia besar ini, Allah mencela: قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ (Qalīlam mā tasykurūn), sedikit sekali kamu bersyukur. Mereka memiliki semua perangkat yang dibutuhkan untuk beriman (pendengaran, penglihatan, akal), namun mereka gagal menggunakannya untuk tujuan yang benar, sehingga menunjukkan minimnya rasa syukur. Ayat ini secara implisit menyerukan penggunaan aktif indra dan akal sebagai bentuk ibadah dan syukur kepada Allah.

Ayat 24
قُلْ هُوَ الَّذِي ذَرَأَكُمْ فِي الْأَرْضِ وَإِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Katakanlah, “Dialah yang menjadikan kamu berkembang biak di bumi, dan hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan.”

Tafsir Ayat 24: Penyebaran dan Pengumpulan

Ayat ini melengkapi Ayat 23 dan Ayat 15 (tentang menjelajahi bumi). Setelah diciptakan (ansya'a), manusia ذَرَأَكُمْ فِي الْأَرْضِ (Dhara'akum fil-arḍ), dijadikan berkembang biak dan menyebar di bumi. Ini merujuk pada karunia reproduksi dan penyebaran populasi manusia di seluruh penjuru bumi untuk memakmurkannya (isti'mar).

Namun, penyebaran ini tidak berarti manusia bebas tanpa batas. Ayat ini mengakhiri dengan pengingat esensial tentang hari akhir: وَإِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (Wa ilaihi tuḥsyarūn), dan hanya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan. Sama seperti Ayat 15 yang mengingatkan tentang An-Nushur (kebangkitan), Ayat 24 mengingatkan tentang Al-Hashr (pengumpulan) di Padang Mahsyar untuk pertanggungjawaban.

Ini adalah siklus: Penciptaan → Pengujian (hidup) → Penyebaran (mencari rezeki) → Pengembalian (mati) → Pengumpulan (di hadapan Allah). Seluruh aktivitas manusia di bumi harus selalu disadari berada dalam kerangka waktu yang berujung pada pengumpulan dan penghakiman ilahi. Jika Allah mampu menciptakan dan menyebarkan mereka, Dia pasti mampu mengumpulkan mereka kembali, meskipun mereka telah menjadi tulang belulang.

Ayat 25
وَيَقُولُونَ مَتَىٰ هَٰذَا الْوَعْدُ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
Dan mereka bertanya, “Kapankah (datangnya) ancaman itu, jika kamu orang-orang yang benar?”

Tafsir Ayat 25: Ejekan tentang Waktu Hari Kiamat

Ayat ini kembali mencerminkan dialog antara Nabi Muhammad ﷺ dan kaum musyrikin Makkah. Setelah berulang kali diperingatkan tentang hari kebangkitan (al-Nushur, al-Hashr) dan azab neraka (Sa’ir, Jahannam), kaum kafir merespon dengan ejekan dan sikap skeptis. Mereka menanyakan: مَتَىٰ هَٰذَا الْوَعْدُ (Matā hādhal-wa’du?), Kapankah janji (ancaman) ini akan datang?

Pertanyaan ini diajukan bukan untuk mencari tahu, tetapi untuk menantang otoritas Nabi: إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ (In kuntum ṣādiqīn), jika kamu (hai Muhammad dan pengikutmu) adalah orang-orang yang benar. Mereka menganggap penundaan kiamat sebagai bukti bahwa ancaman itu palsu. Ini adalah taktik kuno untuk menghindari kebenaran dengan mengalihkan fokus dari keharusan mempersiapkan diri menuju pertanyaan tentang waktu yang hanya diketahui oleh Allah.

Pertanyaan ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang sifat janji Allah; janji itu pasti, tetapi waktunya dirahasiakan sebagai bagian dari ujian. Kaum kafir sibuk mengolok-olok waktu kedatangan, sementara kaum mukmin sibuk mempersiapkan diri untuk kepastian kedatangannya.

Ayat 26
قُلْ إِنَّمَا الْعِلْمُ عِندَ اللَّهِ وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُّبِينٌ
Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya ilmu (tentang hari Kiamat) hanya ada pada Allah. Dan aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang jelas.”

Tafsir Ayat 26: Respon Terhadap Pertanyaan Waktu

Ayat ini memberikan respon ilahi kepada Nabi Muhammad ﷺ mengenai pertanyaan sombong kaum kafir. Respon ini mengandung dua poin fundamental tentang kenabian dan kekuasaan Allah.

Pertama: قُلْ إِنَّمَا الْعِلْمُ عِندَ اللَّهِ (Qul innamal-'ilmu 'indallāh), Katakanlah, sesungguhnya pengetahuan (tentang waktu Kiamat) hanya di sisi Allah. Jawaban ini menegaskan bahwa waktu Hari Kiamat adalah bagian dari pengetahuan Ghaib (ilmul-ghaib) yang eksklusif bagi Allah. Bahkan seorang Rasul pun tidak mengetahuinya. Hal ini membatalkan tantangan kaum kafir dan memperkuat kekuasaan Allah.

Kedua: وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُّبِينٌ (Wa innamā anā nadhīrum mubīn), dan aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang jelas. Fungsi Nabi ﷺ adalah sebagai nadhīr (pemberi peringatan), bukan penentu jadwal. Tugasnya adalah menjelaskan konsekuensi dari tindakan mereka dan mengingatkan mereka tentang kepastian Hari Kiamat, bukan memberikan tanggal kedatangannya. Peringatan ini haruslah 'jelas' (mubīn), tanpa keraguan, memungkinkan manusia untuk membuat keputusan yang tepat. Fokus harus pada persiapan, bukan spekulasi waktu.

Ayat 27
فَلَمَّا رَأَوْهُ زُلْفَةً سِيئَتْ وُجُوهُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَقِيلَ هَٰذَا الَّذِي كُنتُم بِهِ تَدَّعُونَ
Ketika mereka melihat (azab) itu sudah dekat, wajah orang-orang kafir menjadi muram. Dan dikatakan (kepada mereka), “Inilah yang dahulu kamu minta supaya disegerakan.”

Tafsir Ayat 27: Kenyataan Azab yang Mendekat

Ayat ini melompati waktu, menggambarkan momen ketika ancaman yang mereka ejek (ayat 25) akhirnya menjadi kenyataan. فَلَمَّا رَأَوْهُ زُلْفَةً (Falammā ra'awhu zulfatan), Ketika mereka melihatnya (azab) sudah dekat. Kata zulfah berarti sangat dekat. Momen ini bisa merujuk pada saat kematian, atau yang lebih mungkin, pada hari kiamat atau saat mereka melihat neraka di hadapan mereka.

Reaksi mereka adalah kengerian dan keputusasaan: سِيئَتْ وُجُوهُ الَّذِينَ كَفَرُوا (Sī'at wujūhul-ladhīna kafarū), wajah orang-orang kafir menjadi muram, gelap, atau jelek karena ketakutan dan keputusasaan yang ekstrem. Wajah mereka mencerminkan penyesalan yang dibahas di Ayat 10 dan 11.

Pada momen itu, mereka akan mendapatkan cibiran yang kejam: وَقِيلَ هَٰذَا الَّذِي كُنتُم بِهِ تَدَّعُونَ (Wa qīla hādhal-ladhī kuntum bihi tadda'ūn), Dan dikatakan, “Inilah yang dahulu kamu minta supaya disegerakan.” Kata tadda’ūn bisa berarti mendesak atau menuntut. Cibiran ini mengakhiri kesombongan dan keangkuhan mereka. Penantian mereka berakhir dengan kepastian hukuman, membuktikan kebenaran peringatan yang telah mereka anggap remeh selama hidup.

Ayat 28
قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَهْلَكَنِيَ اللَّهُ وَمَن مَّعِيَ أَوْ رَحِمَنَا فَمَن يُجِيرُ الْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
Katakanlah (Muhammad), “Terangkanlah kepadaku jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersamaku atau memberi kami rahmat (hidup), maka siapakah yang dapat melindungi orang-orang kafir dari azab yang pedih?”

Tafsir Ayat 28: Kematian Nabi Tidak Menghapus Kebenaran

Ayat ini kembali menginstruksikan Nabi ﷺ untuk menjawab ejekan kaum kafir. Kaum musyrikin sering berharap Nabi Muhammad ﷺ dan para pengikutnya cepat binasa. Nabi diperintahkan untuk berkata: أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَهْلَكَنِيَ اللَّهُ وَمَن مَّعِيَ أَوْ رَحِمَنَا (Ara'aitum in ahlakaniyallāhu wa man ma’iya aw raḥimanā), Bagaimana jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersamaku, atau memberi kami rahmat (hidup)?

Maknanya adalah: Nasib Nabi ﷺ dan pengikutnya—baik mereka mati syahid atau hidup penuh rahmat—adalah urusan Allah. Kematian Nabi tidak akan mengakhiri kebenaran Islam. Pertanyaan esensialnya adalah: فَمَن يُجِيرُ الْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ (Fa man yujīrul-kāfirīna min 'adhābin alīm?), Siapakah yang dapat melindungi orang-orang kafir dari azab yang pedih?

Ayat ini mengingatkan bahwa masalah utamanya adalah Azab Allah yang pasti, bukan status hidup atau mati Nabi. Nabi hanyalah pembawa pesan (nadhīr). Jika pemberi pesan meninggal, pesan itu tetap berlaku. Tidak ada satu pun kekuatan, bala tentara (ayat 20), atau sekutu yang dapat menolong mereka dari hukuman Allah yang pedih jika mereka tetap dalam kekafiran.

Ayat 29
قُلْ هُوَ الرَّحْمَٰنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا ۖ فَسَتَعْلَمُونَ مَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Katakanlah, “Dialah Yang Maha Pengasih (Ar-Rahman), kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya kami bertawakal. Maka kelak kamu akan mengetahui siapakah yang berada dalam kesesatan yang nyata.”

Tafsir Ayat 29: Komitmen Iman dan Tawakal

Ayat ini berisi deklarasi iman yang tegas dari Nabi Muhammad ﷺ dan kaum mukminin, yang berfungsi sebagai pembeda akhir dari kaum kafir. قُلْ هُوَ الرَّحْمَٰنُ (Qul huwar-Raḥmānu), Katakanlah, Dialah Yang Maha Pengasih. Penggunaan nama Ar-Rahman yang sering muncul dalam surah ini menunjukkan bahwa meskipun Dia memiliki kekuatan untuk menghukum (Al-Qadir, Al-Aziz), dasar hubungan-Nya dengan makhluk adalah Kasih Sayang.

Deklarasi iman mereka adalah: آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا (Āmannā bihi wa 'alaihi tawakkalnā), Kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya kami bertawakal (berserah diri). Iman adalah penerimaan hati, dan tawakal adalah ketergantungan penuh dalam tindakan, membedakan mukmin sejati dari mereka yang mengandalkan harta atau bala tentara (ayat 20).

Ayat ini diakhiri dengan peringatan yang mencerminkan ancaman di Ayat 9: فَسَتَعْلَمُونَ مَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ (Fasata'lamūna man huwa fī ḍalālim mubīn), Maka kelak kamu akan mengetahui siapakah yang berada dalam kesesatan yang nyata. Kaum kafir menuduh Rasul berada dalam kesesatan yang besar (Ayat 9), tetapi pada Hari Kiamat, Allah akan menunjukkan secara mutlak siapa sebenarnya yang berada dalam kesesatan yang jelas dan tak terbantahkan.

Ayat 30
قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَصْبَحَ مَاؤُكُمْ غَوْرًا فَمَن يَأْتِيكُم بِمَاءٍ مَّعِينٍ
Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu surut ke dalam tanah, maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?”

Tafsir Ayat 30: Tantangan Final tentang Sumber Kehidupan

Surah Al-Mulk ditutup dengan tantangan yang sangat praktis dan mendasar, kembali ke tema rezeki dan kekuasaan mutlak atas alam (seperti di Ayat 15 dan 21). Pertanyaan ini berfokus pada air, sumber kehidupan utama.

Allah meminta Nabi ﷺ menanyakan: أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَصْبَحَ مَاؤُكُمْ غَوْرًا (Ara'aitum in aṣbaḥa mā'ukum ghawran), Bagaimana menurutmu jika sumber air kalian menjadi surut (meresap) ke dalam tanah? Kata ghawran merujuk pada air yang hilang, masuk terlalu dalam ke perut bumi sehingga tidak dapat dijangkau.

Tantangan ini adalah: فَمَن يَأْتِيكُم بِمَاءٍ مَّعِينٍ (Fa man ya'tīkum bimā'im ma'īn?), Maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir/jernih bagi kalian? Jawabannya adalah, tidak ada seorang pun, tidak ada kekuatan duniawi, yang dapat mengembalikan air tersebut kecuali Allah. Air yang mengalir (ma’īn) adalah karunia vital yang memungkinkan kehidupan dan pertanian.

Ayat penutup ini menyimpulkan seluruh tema surah: keberadaan manusia, kekuasaan Allah atas langit dan bumi, dan kepastian rezeki. Jika Allah mampu menghilangkan sumber air yang paling esensial, maka Dia mampu menghidupkan dan mematikan, menghukum dan memberi pahala. Tantangan ini mengajak manusia untuk secara serius merenungkan ketergantungan mereka yang mutlak kepada Allah, Yang Memiliki Kekuasaan (Al-Mulk) atas segala sesuatu, dan mendorong mereka untuk bersyukur dan tunduk sebelum terlambat.

Rangkuman Tema Utama Surah Al-Mulk

Surah Al-Mulk adalah karya teologis yang terstruktur sempurna, menggunakan pendekatan bertahap untuk membuktikan tauhid dan keharusan adanya pertanggungjawaban di akhirat. Tema-tema intinya terjalin erat:

1. Penegasan Kekuasaan dan Tujuan (Ayat 1-2)

2. Bukti Kosmik (Ayat 3-5, 19)

3. Perbandingan Nasib dan Pertanggungjawaban (Ayat 6-11)

4. Pengawasan dan Ketergantungan (Ayat 13-17, 20-22)

5. Kepastian Kebangkitan (Ayat 23-30)

Surah Al-Mulk adalah seruan untuk sadar dan merenung. Surah ini memberikan keseimbangan antara ancaman hukuman yang adil bagi yang menolak, dan janji ampunan serta pahala besar bagi mereka yang beriman ghaib. Dengan terus merenungkan terjemahan surah Al-Mulk, seorang Muslim diharapkan dapat menjalani kehidupan dengan kesadaran penuh bahwa ia sedang dalam ujian yang diawasi oleh Dzat Yang Mahakuasa dan Mahateliti.

🏠 Kembali ke Homepage