Konsep 'mengadu domba', atau lebih dikenal dalam bahasa Latin sebagai Divide et Impera (Pecah dan Kuasai), bukanlah sebuah fenomena baru. Ini adalah taktik kuno yang telah diuji waktu, digunakan oleh para penguasa, politisi, hingga individu yang mencari keuntungan pribadi dengan cara menciptakan atau memperuncing konflik antara dua pihak atau lebih. Di balik kesederhanaan istilahnya, terdapat jaringan kompleks intrik, manipulasi psikologis, dan penyebaran informasi yang dirancang secara cermat untuk meruntuhkan kohesi dan solidaritas.
Artikel ini akan menelusuri secara mendalam segala aspek dari tindakan mengadu domba, mulai dari definisi etimologisnya, akar sejarah yang membentuk implementasinya di berbagai peradaban, mekanisme psikologis yang membuatnya begitu efektif, hingga bentuk-bentuk modernnya yang tersebar luas di ruang digital. Memahami bagaimana taktik ini bekerja adalah langkah fundamental untuk membangun benteng pertahanan, baik pada tingkat individu, organisasi, maupun masyarakat luas.
Mengadu domba secara harfiah merujuk pada tindakan menempatkan dua 'domba jantan' dalam satu kandang sehingga mereka bertarung. Namun, dalam konteks sosiopolitik, istilah ini bermakna lebih luas: tindakan disengaja untuk memecah belah persatuan, menimbulkan permusuhan, dan melemahkan potensi kerjasama dua pihak yang sebenarnya memiliki kepentingan bersama, demi keuntungan pihak ketiga.
Meski sering dikaitkan dengan Kekaisaran Romawi—yang menggunakan prinsip ini untuk mengelola wilayah taklukan yang luas—filosofi pecah belah dan kuasai sebenarnya telah dipraktikkan jauh sebelum itu. Taktik ini didasarkan pada pemahaman bahwa entitas yang bersatu sangat sulit dikalahkan, tetapi jika energi mereka dihabiskan untuk saling bertikai, kekuasaan eksternal akan dengan mudah mendominasi atau mengeksploitasi mereka.
Romawi dikenal cerdas dalam mengelola suku-suku yang ditaklukkan. Alih-alih menyatukan semua suku di bawah satu payung perlawanan, mereka memberikan hak istimewa yang berbeda-beda kepada kelompok tertentu. Dengan mempromosikan persaingan status atau ekonomi antar-suku, Romawi memastikan bahwa suku-suku tersebut lebih fokus pada perebutan dominasi internal daripada bersatu melawan Roma. Pembagian ini menciptakan lapisan loyalitas yang kompleks dan saling mencurigai.
Di Indonesia, praktik mengadu domba menjadi instrumen utama kekuasaan kolonial, khususnya di bawah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). VOC tidak hanya memanfaatkan perbedaan suku dan agama yang sudah ada, tetapi juga secara aktif menciptakan keretakan. Mereka seringkali mendukung satu bangsawan lokal melawan bangsawan lainnya, atau menanamkan benih kecurigaan antara pemimpin adat dan pemimpin agama. Ketika kedua pihak bertarung, VOC datang sebagai 'penyelamat' atau mediator, dan sebagai imbalannya, mereka meminta konsesi wilayah atau monopoli perdagangan. Strategi ini sangat efektif dalam melemahkan kerajaan-kerajaan besar Nusantara satu per satu, tanpa perlu menggunakan kekuatan militer yang masif di setiap front.
Meskipun memiliki tujuan yang sama—yaitu menciptakan kekacauan—terdapat perbedaan dalam metode. Fitnah (penyebaran kebohongan dengan maksud menjatuhkan reputasi) seringkali menjadi salah satu alat utama dalam mengadu domba. Namun, mengadu domba tidak selalu memerlukan kebohongan total. Kadang-kadang, yang diperlukan hanyalah membesar-besarkan perbedaan kecil, memutarbalikkan fakta yang benar (spin), atau menafsirkan tindakan netral sebagai agresi. Intinya adalah bagaimana membuat dua pihak percaya bahwa kepentingan mereka berlawanan secara eksistensial, padahal mungkin tidak demikian.
Taktik mengadu domba hanya akan berhasil jika ia mampu menembus pertahanan rasional manusia dan mengaktifkan bias kognitif yang sudah tertanam dalam diri kita. Kesuksesan taktik ini bukan terletak pada kekuatan informasi itu sendiri, melainkan pada kelemahan psikologis manusia dalam menghadapi ketidakpastian, ancaman, dan kebutuhan akan identitas kelompok.
Manusia secara naluriah mencari afiliasi dan keamanan dalam kelompok (in-group). Sebaliknya, mereka cenderung memandang kelompok lain (out-group) dengan kecurigaan atau stereotip negatif. Pengadu domba memanfaatkan fenomena ini dengan cara menjelekkan, mendemonisasi, atau memproyeksikan niat jahat ke pihak luar. Dengan memperkuat batas antara "kita" dan "mereka", taktik ini menciptakan soliditas internal semu di dalam kelompok pengadu domba, sementara pada saat yang sama, membenarkan permusuhan terhadap kelompok sasaran.
Taktik paling efektif adalah menghubungkan kelompok sasaran dengan ancaman terhadap eksistensi atau sumber daya kelompok sendiri. Jika kelompok A berhasil diyakinkan bahwa kelompok B akan mengambil pekerjaan mereka, melanggar wilayah mereka, atau merusak nilai-nilai suci mereka, maka tindakan defensif—yang seringkali bersifat agresif—akan segera muncul. Rasa takut adalah bahan bakar paling kuat yang menggerakkan perselisihan, karena mengesampingkan nalar demi keselamatan. Pengadu domba hanya perlu menekan tombol ketakutan ini.
Kepercayaan adalah perekat sosial. Taktik mengadu domba berfungsi untuk melarutkan perekat ini. Ini dilakukan dengan menyisipkan keraguan tentang integritas pemimpin atau niat baik anggota kelompok lawan. Setelah kepercayaan terkikis, komunikasi langsung menjadi terhambat. Pihak yang bertikai tidak lagi saling berbicara; mereka mulai saling berasumsi tentang niat tersembunyi. Dalam kondisi komunikasi yang rusak ini, setiap rumor atau informasi yang disebarkan oleh pengadu domba akan diterima sebagai kebenaran, sebab saluran verifikasi telah dihancurkan.
Pengadu domba seringkali tidak perlu sepenuhnya meyakinkan target tentang kebohongan. Mereka hanya perlu menanamkan benih keraguan. Dalam situasi konflik yang rentan, keraguan sudah cukup untuk melumpuhkan inisiatif kerjasama. Keraguan ini menciptakan ambivalensi psikologis di mana individu mulai mempertanyakan loyalitasnya sendiri, membuat mereka mudah ditarik ke dalam spiral konflik yang merugikan semua pihak kecuali sang manipulator.
Mengadu domba tidak hanya terjadi di panggung politik atau medan perang. Taktik ini merasuk ke dalam berbagai lapisan interaksi manusia, dari lingkungan kerja yang kompetitif hingga hubungan antar negara di panggung global.
Dalam politik, mengadu domba sering digunakan untuk menjaga stabilitas kekuasaan atau untuk meraih kemenangan elektoral. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk polarisasi identitas, baik berdasarkan agama, etnis, status sosial, atau ideologi. Tujuannya adalah memecah kekuatan oposisi menjadi faksi-faksi kecil yang saling bertentangan, sehingga kekuatan utama tetap tak tertandingi. Dengan menciptakan musuh bersama yang samar-samar, para penguasa dapat mengalihkan perhatian publik dari masalah internal yang sebenarnya dan mengonsolidasikan dukungan dengan mengklaim sebagai pembela kelompok yang terancam.
Polarisasi adalah senjata ampuh. Dengan menekankan dan membesar-besarkan perbedaan identitas yang tidak relevan dengan isu substantif, fokus publik bergeser dari kebijakan ekonomi atau keadilan sosial, menuju perseteruan nilai-nilai yang bersifat emosional. Hasilnya adalah masyarakat yang terbagi secara tajam, di mana dialog rasional hampir mustahil dilakukan.
Dalam dunia kerja, mengadu domba dapat terjadi ketika seorang manajer atau pemimpin menciptakan persaingan tidak sehat di antara bawahannya. Tujuan utamanya mungkin untuk memastikan tidak ada satu individu pun yang menjadi terlalu kuat sehingga dapat mengancam posisi manajer tersebut, atau untuk memeras produktivitas maksimum melalui rasa takut dan persaingan. Ini seringkali melibatkan penyampaian informasi yang bertentangan atau pujian berlebihan kepada satu pihak di hadapan pihak lain, menciptakan iri hati dan konflik tersembunyi.
Taktik ini memicu apa yang disebut crab mentality (mentalitas kepiting), di mana alih-alih berfokus pada tujuan perusahaan, karyawan saling menarik ke bawah karena mereka percaya hanya ada ruang terbatas untuk sukses. Lingkungan kerja yang penuh kecurigaan dan intrik ini pada akhirnya menghancurkan inovasi dan moral kerja, tetapi menguntungkan manipulator yang ingin mengendalikan arus informasi.
Era informasi telah memberikan dimensi baru yang menakutkan bagi taktik mengadu domba. Media sosial memungkinkan penyebaran informasi yang terdistorsi dengan kecepatan kilat, mencapai audiens yang masif tanpa melalui filter editorial tradisional. Taktik modern sering melibatkan:
Dampak dari keberhasilan taktik mengadu domba jauh melampaui konflik sesaat. Ia meninggalkan luka yang dalam dan berkepanjangan pada struktur sosial, ekonomi, dan psikologis.
Pada tingkat masyarakat, mengadu domba menghancurkan modal sosial (social capital)—nilai kepercayaan, jaringan, dan norma-norma yang memfasilitasi kerjasama. Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan pada tetangga atau rekan sejawatnya, inisiatif bersama untuk mengatasi masalah publik (seperti sanitasi, pendidikan, atau keamanan) akan runtuh. Persatuan sosial digantikan oleh fragmentasi, di mana setiap kelompok hanya peduli pada kepentingan sempitnya sendiri, bahkan jika itu merugikan kepentingan kolektif yang lebih besar. Ini adalah resep pasti menuju kegagalan negara atau komunitas.
Lingkungan yang diwarnai konflik dan ketidakpercayaan memiliki biaya ekonomi yang sangat besar. Konflik internal yang disebabkan oleh pengaduan domba mengalihkan sumber daya dari produksi dan inovasi menuju keamanan dan konflik resolusi. Investor asing maupun domestik enggan menanam modal di wilayah yang dianggap tidak stabil atau rentan terhadap perselisihan sipil. Dalam konteks korporat, energi karyawan yang dihabiskan untuk intrik internal adalah energi yang hilang dari layanan pelanggan atau pengembangan produk, yang pada akhirnya merugikan profitabilitas dan pertumbuhan jangka panjang.
Bagi individu yang menjadi korban atau terlibat dalam situasi yang diadu domba, dampak psikologisnya bisa sangat merusak. Lingkungan yang toksik, penuh kecurigaan, dan perselisihan terus-menerus dapat menyebabkan stres kronis, kecemasan, bahkan trauma. Ketika seseorang merasa dikhianati oleh orang yang mereka percayai akibat informasi yang menyesatkan, rasa aman (security) mereka dalam hubungan sosial akan hilang. Hal ini dapat menimbulkan sikap sinis ekstrem terhadap semua bentuk informasi dan otoritas, yang pada gilirannya membuat mereka semakin terisolasi.
Untuk melawan, kita harus memahami bagaimana taktik ini dijalankan secara operasional. Pengadu domba modern adalah master narasi, memanfaatkan kerentanan data dan kecepatan penyebaran informasi.
Taktik ini jarang menggunakan kebohongan mutlak, melainkan menggunakan 'kebenaran parsial'. Mereka memilih fakta-fakta yang benar, tetapi mengeluarkannya dari konteks yang benar (out-of-context facts), lalu membingkai fakta tersebut sedemikian rupa sehingga menciptakan narasi yang mendukung konflik. Misalnya, mengutip pernyataan yang diucapkan bertahun-tahun lalu dan menyajikannya seolah-olah itu adalah posisi kelompok saat ini, tanpa memperhatikan perubahan konteks atau perkembangan pandangan.
Pengadu domba seringkali menciptakan 'orang-orangan sawah' (straw man argument)—yaitu menyederhanakan dan mendistorsi pandangan pihak lawan menjadi sesuatu yang mudah diserang dan tidak representatif. Mereka juga mengidentifikasi 'kambing hitam' (scapegoat). Kambing hitam ini adalah entitas (individu, kelompok kecil, atau bahkan negara lain) yang disalahkan atas semua masalah yang ada. Dengan mengarahkan kemarahan kolektif terhadap kambing hitam, perhatian teralihkan dari pelaku adu domba itu sendiri, dan solidaritas palsu tercipta melalui kebencian bersama.
Propaganda yang efektif tidak bertujuan pada nalar, melainkan pada emosi. Taktik mengadu domba secara sistematis menyasar emosi negatif seperti kemarahan, rasa iri, ketidakadilan, dan kebencian. Pesan-pesan yang dirancang dengan baik akan memicu respons instan yang bersifat visceral, yang membuat individu bereaksi impulsif tanpa melakukan verifikasi faktual. Ketika massa didorong oleh emosi, kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan mencari resolusi damai akan hilang.
Mengadu domba adalah taktik yang mengandalkan kerapuhan dan ketidaktahuan targetnya. Pertahanan terbaik adalah meningkatkan kesadaran, memperkuat nalar, dan membangun sistem yang tahan terhadap manipulasi.
Langkah pertama dalam menghadapi upaya mengadu domba adalah mengadopsi skeptisisme yang sehat. Ketika menerima informasi yang memicu emosi kuat—terutama marah atau takut—seseorang harus berhenti sejenak dan melakukan verifikasi silang. Ini melibatkan beberapa langkah kunci:
Inti dari mengadu domba adalah membuat dua pihak berhenti berbicara satu sama lain dan mulai berbicara tentang satu sama lain. Untuk melawan hal ini, jembatan komunikasi langsung harus dibangun kembali dan diperkuat. Dalam situasi konflik, pihak-pihak yang terlibat harus didorong untuk saling bertemu dan mendengarkan langsung, daripada melalui 'utusan' atau 'mediator' yang mungkin memiliki kepentingan sendiri.
Organisasi dan komunitas harus menerapkan kebijakan transparansi yang kuat, terutama dalam pengambilan keputusan penting. Dialog terbuka dan inklusif memastikan bahwa setiap perbedaan pandangan ditangani secara konstruktif, sehingga manipulator tidak memiliki celah untuk menyisipkan interpretasi yang memecah belah.
Di era digital, pertahanan juga harus melibatkan regulasi dan pendidikan. Pemerintah dan lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam meningkatkan literasi media masyarakat. Pendidikan ini harus fokus pada cara kerja algoritma, identifikasi taktik propaganda, dan pentingnya etika berbagi informasi. Regulasi, meskipun kontroversial, perlu dipertimbangkan untuk mengatasi penyebaran informasi palsu yang terorganisir, terutama yang bertujuan merusak keamanan nasional atau kohesi sosial.
Untuk mengapresiasi kedalaman dan bahaya taktik ini, penting untuk meninjau beberapa studi kasus yang menunjukkan implementasinya di berbagai skala. Studi kasus ini membuktikan bahwa strategi mengadu domba tidak pernah mati, hanya bertransformasi menyesuaikan zaman.
Dalam skala internasional, kekuatan-kekuatan besar sering menggunakan proksi untuk mengadu domba negara-negara kecil di suatu kawasan. Ini memastikan bahwa kekuatan regional tidak pernah bersatu menjadi blok yang cukup kuat untuk menantang kepentingan kekuatan besar tersebut. Pendekatan ini melibatkan dukungan militer, finansial, dan diplomatik yang berbeda kepada pihak-pihak yang bertikai, dengan tujuan memelihara konflik yang berkepanjangan (frozen conflict). Konflik yang berkelanjutan menjamin ketergantungan para pihak pada kekuatan eksternal, sekaligus memastikan bahwa seluruh wilayah tetap terfragmentasi dan mudah dikendalikan.
Pengaduan domba geopolitik tidak selalu bersifat militer. Seringkali, ini melibatkan manipulasi narasi ekonomi. Misalnya, menyebar luaskan narasi bahwa investasi dari satu negara X akan secara inheren merugikan pekerja lokal, sementara investasi dari negara Y adalah penyelamat. Meskipun kedua jenis investasi mungkin memiliki risiko dan manfaat yang serupa, pembingkaian narasi yang berlawanan memicu perdebatan sengit di dalam negeri, mengalihkan fokus dari kebutuhan untuk merumuskan kebijakan ekonomi yang independen.
Dalam sebuah organisasi besar yang sukses, upaya mengadu domba oleh pesaing atau bahkan oleh anggota internal yang ambisius dapat memicu keruntuhan. Bayangkan sebuah perusahaan teknologi yang memiliki dua divisi unggulan yang sangat berpotensi: Divisi A (Inovasi) dan Divisi B (Produksi). Seorang manipulator, yang mungkin ingin memperebutkan kursi CEO atau melemahkan perusahaan demi pesaing, mulai menyebarkan rumor. Divisi A dituduh boros dan tidak realistis; Divisi B dituduh lambat dan tidak adaptif. Rumor ini disertai dengan data kinerja yang diseleksi (misalnya, menyoroti kegagalan eksperimen Divisi A sambil mengabaikan keberhasilan fundamentalnya).
Akibatnya, kedua divisi mulai menahan informasi penting, menolak bekerjasama dalam alokasi sumber daya, dan saling menyalahkan ketika terjadi kegagalan. Manajemen puncak menghabiskan seluruh waktu mereka untuk memediasi, bukan berinovasi. Kohesi internal hancur, dan perusahaan tersebut kehilangan keunggulan kompetitifnya, meskipun sumber daya manusianya sebetulnya superior.
Melawan taktik yang usianya ribuan tahun membutuhkan lebih dari sekadar reaksi sesaat. Ini memerlukan perubahan budaya dan kelembagaan yang mendalam, fokus pada empati, dan pengembangan sistem nilai yang menolak keuntungan yang didapat dari perpecahan.
Salah satu alasan utama mengapa taktik mengadu domba berhasil adalah karena ia memanfaatkan kegagalan kita untuk melihat kemanusiaan dalam diri orang lain. Membangun budaya anti-manipulasi berarti mempraktikkan empati aktif—berusaha memahami perspektif orang lain, bahkan ketika kita tidak setuju. Ini juga melibatkan pengakuan bahwa pluralitas (perbedaan suku, agama, pandangan) adalah kekayaan, bukan kelemahan yang harus dieksploitasi.
Ketika konflik terjadi, alih-alih mencari siapa yang harus disalahkan (yang seringkali hanya memperpanjang siklus adu domba), masyarakat harus beralih ke pendekatan restoratif. Ini berfokus pada perbaikan kerusakan, pemulihan hubungan, dan pemahaman mengapa konflik terjadi, daripada sekadar memberikan hukuman. Pendekatan ini melemahkan kemampuan manipulator yang biasanya mencari hukuman untuk memperburuk permusuhan.
Setiap masyarakat memerlukan lembaga atau otoritas yang secara luas dipercaya sebagai netral dan independen. Ketika keraguan disebarkan tentang kebenaran suatu isu, lembaga-lembaga ini (seperti pengadilan, media publik yang bertanggung jawab, atau badan pengawas independen) harus mampu memberikan penilaian yang faktual dan otoritatif. Jika lembaga-lembaga penengah ini sendiri menjadi target upaya adu domba atau dipolitisasi, masyarakat akan kehilangan titik jangkar kebenaran dan rentan terhadap anarki informasi.
Banyak pihak, termasuk media dan politisi, terkadang tergoda untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek (seperti peningkatan klik, rating, atau popularitas elektoral) dengan ikut serta dalam narasi yang memecah belah. Kunci resiliensi jangka panjang adalah kesepakatan etis kolektif untuk menolak keuntungan yang didapat dari perpecahan. Para pemimpin dan tokoh masyarakat harus secara konsisten memberikan contoh dengan menolak narasi kebencian dan secara aktif mempromosikan persatuan, bahkan ketika tindakan tersebut secara politis tidak populer di basis pendukung mereka sendiri.
Dengan kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan kemampuan manipulasi digital yang semakin canggih, tantangan untuk melawan taktik mengadu domba akan semakin berat. AI memungkinkan produksi konten hasutan yang dipersonalisasi, ditargetkan, dan diproduksi dalam volume yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kita memasuki era hiper-realitas, di mana membedakan antara yang benar dan yang direkayasa hampir mustahil tanpa bantuan teknologi penangkal.
Salah satu harapan terbesar dalam pertempuran melawan disinformasi adalah pengembangan alat verifikasi fakta berbasis AI yang dapat bekerja lebih cepat daripada penyebaran hoaks itu sendiri. Sistem ini perlu dikembangkan secara terbuka dan independen untuk mendeteksi pola manipulasi narasi, mengidentifikasi aktivitas buzzer yang terkoordinasi, dan menandai konten yang telah diedit secara digital untuk tujuan memecah belah.
Namun, teknologi hanyalah alat. Pertahanan utama tetap berada pada dimensi spiritual dan kemanusiaan. Jika hati nurani masyarakat telah dilatih untuk selalu mencari titik temu, menghargai kebenaran, dan menolak kebencian, bahkan teknologi manipulatif paling canggih pun akan kehilangan kekuatannya. Kesadaran bahwa pihak yang mengadu domba selalu berusaha mencuri sumber daya kita yang paling berharga—yaitu persatuan dan kepercayaan—harus menjadi prinsip panduan kolektif. Menjaga solidaritas adalah bentuk perlawanan sipil paling fundamental terhadap taktik kuno yang selalu haus akan perpecahan.
Keseluruhan analisis mengenai taktik mengadu domba menunjukkan bahwa ia adalah penyakit sosial yang terus bermutasi. Keberhasilan pencegahannya memerlukan komitmen yang terus menerus dan multi-sektor. Masyarakat harus berinvestasi dalam benteng pertahanan kognitif dan emosional.
Untuk mengamankan diri dari bahaya mengadu domba, terdapat tiga prinsip utama yang harus dipegang teguh oleh setiap individu dan kolektif:
Pemimpin sejati dalam konteks ini adalah mereka yang berani melangkah di tengah badai polarisasi dan menyerukan rekonsiliasi. Pemimpin harus mencontohkan dialog yang sulit dan transparan. Pendidik, baik formal maupun informal, memiliki tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai skeptisisme rasional dan kewarganegaraan yang bertanggung jawab, membekali generasi muda dengan alat untuk memilah informasi di tengah kebisingan digital.
Pada akhirnya, menghadapi upaya mengadu domba adalah ujian terhadap kematangan sebuah peradaban. Ia menuntut ketahanan psikologis, kejujuran intelektual, dan komitmen moral untuk memilih persatuan di atas keuntungan pribadi yang diperoleh dari perpecahan. Hanya dengan membangun dan memelihara budaya kebersamaan yang kuat, masyarakat dapat memastikan bahwa taktik kuno yang merusak ini kehilangan daya cengkeramnya selamanya.